Tuesday 1 July 2008

Saturday 22 March 2008

KOALISI AKTOR DALAM IMPLEMENTASI KEBKOALISI AKTOR DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

KOALISI AKTOR DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
(Suatu Kajian tentang Koalisi Aktor dalam Implementasi Kebijakan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) di Sekolah Dasar Kota Solok)


THE ACTOR COALITION IN THE POLICY IMPLEMENTATION
A Study of Actor Coalition In Policy Implementation of School Based Quality Improvement Management (SBQIM) in Kota Solok’s Primary School

SUMMARY
Nazwar, Postgraduate Program of Brawijaya University, Malang, 2003. The Actor Coalition in The Policy Implementation (A Study of Actor Coalition In Policy Implementation of School Based Quality Improvement Management (SBQIM) in Kota Solok’s Primary School); Chief of Guidance Commission (I), Drs. Susilo Zauhar, MS., Member of Guidance Commission (II), Drs. Choirul Saleh, MS.
Though that looks on education quality improvement in primary school, though school based management policy, is a relatively new phenomenon. So that the SBQIM policy selection, and its implementation, need to be supported by actor/stakeholders group/organization (coalition) which are, include: Teacher Work Group (TWG), SBQIM Work Group, School Committee/BP3 and group/team of pioneers and movers of SBQIM policy conduction and else.
The research took a setting in primary schools, because of their uniqueness, which are the success in implementation SBQIM policy and the high schools management ability based on: 1) The ability of headmasters in conducting the management functions (planning, organizing, movement, ad controlling). 2.) Teachers ability in conducting teaching-studying process, using appropriate studying strategy such as: PAKEM. 3) Degree of parents, society, related government (actors/stakeholders) involve or participation and the available funds allocation.
The focus of he research consisted of: 1) The actor/stakeholders’ attitude and point of view in SBQIM policy implementation include: resources, policy implementation process and else. In this case will be seen about the point of view and attitude of school society, society, related government which are joined (coalition) in Teacher Work Group (TWK), SBQIM Work Group, School Committee/BP3, Pioneers team and the movers of SBQIM conduction ad other organization related with the SBQIM policy implementation. 2) Society involvement or participation as one of important actor/ stakeholders in SBQIM policy implementation in Kota Solok’s primary school. 3) Barrier factors in the SBQIM policy implementation in Kota Solok’s primary school.


The approach used in this research is phenomenal. Said so because qualitative approach in this research have typical such as: have actual setting, researcher is the key instrument, usually descriptive, stress on process, data analysis is inductive and mean of every event are the essential concern in this research.
Data grouped using observation technique of in depth interview, and documentation. Observation technique used to achieve the real illustration about point of view and attitude of related actor/ stakeholders. Involvement of participation of important society (actor/stakeholders), and barrier factors in SBQIM policy implementation.
While documentation used to support data gained from the observation and in depth interview. Data analysis done using interactive analysis model in which involve activities of data collecting, data presentation, data reduction, and conclusion withdrawal.
This research’s result prove that MPMBS policy implementation in primary school are hardly defined by following factors, some of them are: 1) Resources readiness including human resources, tools, equipment, funding had by school. 2) SBQIM policy implementation process including: SBQIM policy institution, actor/stakeholders’ compre-hension, socialization, and the SBQIM policy conduction. 3) Society involvement and participation as one of important actor/ stakeholders in the SBQIM policy implementation.
Things above can be accomplished if: 1) Given broader autonomy (independence) to school side. 2) Headmaster’s ability in managing the school he/she lead on and apply existed potency in school and its environment. 3) Sufficiently funds availability in every school. 4) The existence of support from all others group/organization (coalition) of related actor/stakeholders including school society (teachers, students, and employees), society (students’ parent, public figure and other common society, education observers), related government (education department job holder, observers and others).



RINGKASAN
Gagasan yang memandang peningkatan mutu pendidikan di sekolah dasar, melalui kebijakan manajemen berbasis sekolah, merupakan fenomena relatif baru. Sehingga pemilihan kebijakan MPMBS, dan pengimplementasiannya, perlu didukung oleh kelompok/organisasi (koalisi) aktor/ stakeholders adalah, meliputi: Kelompok Kerja Guru (KKG), Kelompok Kerja MPMBS, Komite Sekolah/BP3 dan Kelompok/Tim pelopor dan penggerak pelaksanaan kebijakan MPMBS dan lain-lain.
Penelitian mengambil latar di sekolah dasar, karena mempunyai keunikan, yakni keberhasilan dalam mengimplementasikan kebijakan MPMBS dan kemampuan manajemen sekolah yang tinggi yang didasarkan pada: (1) Kemampuan Kepala Sekolah melaksanakan fungsi-fungsi manajemen (perencanaan pengorganisasian, pergerakan, dan pengawasan); (2)Kemampuan guru melaksanakan proses belajar mengajar, dengan strategi pembelajaran yang sesuai misalnya: PAKEM; (3) Tingkat keterlibatan atau partisipasi orang tua, masyarakat dan pemerintah terkait (aktor/stakeholders) serta alokasi anggaran yang tersedia.
Fokus penelitian terdiri dari: (1) Sikap dan pandangan aktor/stakeholders dalam implementasi kebijakan MPMBS meliputi: sumberdaya, proses implementasi kebijakan dan lain-lain. Dalam hal ini akan dilihat mengenai pandangan dan sikap warga sekolah, masyarakat, pemerintah terkait, yang tergabung (berkoalisi) dalam Kelompok Kerja Guru (KKG), Kelompok Kerja MPMBS, Komite Sekolah/BP3, Tim pelopor dan penggerakan pelaksanaan MPMBS dan organisasi lain yang terkait dengan implementasi kebijakan MPMBS; (2) Keterlibatan atau partisipasi masyarakat sebagai salah satu aktor/stakeholders penting dalam implementasi kebijakan MPMBS di sekolah dasar Kota Solok; (3) Faktor-faktor yang menjadi kendala dalam implementasi kebijakan MPMBS di sekolah dasar Kota Solok.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini fenomenologis. Dikatakan demikian karena pendekatan kualitatif pada penelitian ini mempunyai ciri-ciri antara lain: mempunyai setting yang aktual, peneliti adalah instrumen kunci, biasanya bersifat deskriptif, menekan pada proses, analisis data bersifat induktif dan mean (pemaknaan) tiap even adalah merupakan perhatian yang esensial dalam penelitian ini.


Data dikelompokkan dengan menggunakan teknik observasi (pengamatan) wawancara mendalam, dan dokumentasi. Teknik observasi digunakan untuk memperoleh gambaran sesungguhnya tentang pandangan dan sikap aktor/stakeholders) terkait. Keterlibatan atau partisipasi masyarakat (aktor/stakeholders) penting, dan faktor-faktor yang menjadi kendala dalam implementasi kebijakan MPMBS.
Sedangkan dokumentasi digunakan untuk mendukung data yang diperoleh dari observasi dan wawancara mendalam. Analisis data dilakukan dengan menggunakan model analisis interaktif yang didalamnya melibatkan kegiatan pengumpulan data, sajian data, reduksi data dan penarikan simpulan.
Temuan penelitian membuktikan bahwa implementasi kebijakan MPMBS di sekolah dasar sangat ditentukan oleh faktor-faktor di bawah ini diantaranya: (1) Kesiapan sumberdaya meliputi sumberdaya manusia, sarana, prasarana, pembiayaan yang dimiliki sekolah; (2) Proses implementasi kebijakan MPMBS tersebut meliputi: kelembagaan kebijakan MPMBS, pemahaman aktor/ stakeholders, sosialisasi, dan pelaksanaan kebijakan MPMBS tersebut; (3) Keterlibatan atau partisipasi masyarakat sebagai salah satu aktor/stakeholders penting dalam implementasi kebijakan MPMBS.
Hal-hal di atas, akan dapat diwujudkan apabila: (1) Diberikannya otonomi (kemandirian) yang lebih luas kepada pihak sekolah; (2) Kemampuan Kepala Sekolah dalam mengelola sekolah yang ia pimpin dan mendayagunakan potensi yang ada di sekolah dan lingkungannya; (3) Ketersediaan biaya yang memadai pada setiap sekolah; (4) Adanya dukungan dari semua kelompok/organisasi (koalisi) aktor/ stakeholders yang terkait lainnya meliputi warga sekolah (guru, siswa dan karyawan), masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat dan masyarakat umum lainnya, pemerhati pendidikan), pemerintah terkait (pejabat dinas pendidikan, pengawas dan lain-lain).


PENDAHULUAN



A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan kecuali dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi perubahan tersebut juga telah membawa manusia ke dalam era persaingan global yang semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka perlu mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi tersebut.
Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri.
Pendidikan adalah esensial bahkan merupakan salah satu elemen terpenting dari kehidupan seseorang. Harus diakui bahwa tingkat “pendidikan” dapat menjadi ukuran tingkat kemampuan berfikir seseorang. Berbicara masalah pendidikan bukanlah hal mudah dan sederhana, karena selain sifatnya yang kompleks, dinamis dan kontekstual, pendidikan merupakan wahana untuk pembentukan diri seseorang secara keseluruhan. Peranan pendidikan dalam pembentukan diri sebagai Sumber Daya Manusia (SDM) dibahas secara rinci oleh Fullan (1982) (lihat Rumtini, 1999) sebagai tujuan umum pendidikan yang meliputi aspek kognitif berupa keterampilan akademik (membaca dan matematika) dan keterampilan berfikir yang lebih tinggi (kemampuan memecahkan masalah).
Pendidikan dalam prosesnya juga mencakup tujuan pengembangan aspek pribadi dan sosial yang memungkinkan orang bekerja dan hidup dalam kelompok secara kreatif, inisiatif, empati dan yang memiliki keterampilan interpersonal yang memadai sebagai bekal bermasyarakat.
Sedangkan tugas pendidikan adalah memberikan bekal kepada peserta didik agar potensinya berkembang, wajar, optimal dan bersifat adaptif dalam menghadapi berbagai permasalahan kelak setelah menamatkan studinya. Sehingga sifat dasar manusia yang skeptis, eksploratif, dan juga kreatif, bisa berkembang dan menemukan artikulasinya dalam proses belajar mengajar sewaktu mengikuti suatu program pendidikan. Lulusan yang skeptis, inovatif, dedikatif, eksploratif, kreatif dan berkemampuan daya saing yang harus diupayakan serta menjadi bahan antisipasi sistem dan perencanaan pendidikan terutama di era otonomi daerah, yang diperkirakan kondisi ekonominya akan tumbuh dengan cepat (Salladien, 2001).


Pendidikan di Indonesia diharapkan melahirkan sosok manusia (SDM) sebagaimana dirumuskan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2, Tahun 1989 pasal 4 yaitu:

“Membentuk manusia Indonesia seutuhnya, yang cerdas, beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhurm memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian mantap dan mandiri, serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.


Nurkholis (2002) menyatakan bahwa: “Sementara itu rumusan tujuan pendidikan nasional berdasarkan Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Pendidikan Nasional (RUUPN) adalah mengembangkan manusia Indonesia sesuai fitrahnya menjadi pribadi yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, menguasai imu rohani, memiliki keterampilan hidup yang berharkat dan bermartabat, memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri serta memiliki tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan agar mampu mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas. Bidang pendidikan memang menjadi
tumpuan harapan bagi peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia untuk menghadapi proses globalisasi di hampir semua aspek kehidupan.
Kualitas SDM kita masih rendah, Data UNDP (Khomsan, 2000) tentang Human Development Index (HDI) menunjukkan dari 174 negara, Indonesia berada pada posisi yang sangat memprihatinkan hanya berada satu tingkat lebih baik dari Vietnam yaitu pada posisi 109. Selain itu International Association of Education Evaluation in Achievement (IEA) menerbitkan hasil survei prestasi belajar matematika dan IPA bagi siswa sekolah usia 13 tahun pada 42 negara, berdasarkan hasil survei tersebut Indonesia berada pada posisi 39 untuk kemampuan IPA, dan urutan ke 40 untuk prestasi belajar matematika (Suryadi, 2001). Ini menunjukkan bahwa mutu pendidikan kita memang sangat menghawatirkan, sehingga memerlukan penanganan serius dari berbagai pihak.

Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Salah satu indikator kekurangberhasilan ini ditunjukkan antara lain dengan NEM siswa untuk berbagai bidang studi pada jenjang SLTP dan SLTA yang tidak memperlihatkan kenaikan yang berarti bahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun, kecuali pada beberapa sekolah dengan jumah yang relatif sangat kecil.
Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan (sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa kompleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat (Umaedi, 1999).
Selanjutnya (Umaedi, 1999) berpendapat bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses pendidikan. Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas-batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient condition to improve student achievement). Di samping itu mengingat sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan. Hal ini akan dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan anak didiknya. Dengan kata lain perlu diberikan otonomi yang luas kepada sekolah untuk dapat mengurusi dirinya sendiri, tentunya melalui desentralisasi pendidikan.


Sejak digulirkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang berlaku 1 Januari 2001, wacana desentralisasi pemerintah ramai dikaji. Pendidikan termasuk bidang yang didesentralisasikan ke pemerintah kota/kabupaten. Melalui desentralisasi pendidikan diharapkan permasalahan pokok pendidikan yaitu masalah mutu, pemerataan, relevansi, efisiensi dan manajemen, dapat terpecahkan cukuplah desentralisasi pendidikan pada tingkat pemerintah kota/kabupaten. Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa desentralisasi pendidikan tidak cukup hanya pada tingkat kota/kabupaten. Desentralisasi pendidikan untuk mencapai otonomi pendidikan oleh sesungguhnya harus sampai pada tingkat sekolah secara individual (Nurkolis: 2001).
Sementara itu pasal 11 ayat 2 UU nomor 22 tahun 1999, dimana bidang pendidikan adalah merupakan kewenangan yang wajib dilaksanakan pemerintah daerah kabupaten/kota, maka diharapkan mutu pendidikan dapat ditingkatkan. Namun dalam pencapainnya tidaklah mudah, daerah akan mengalami masalah dan hambatan yang tidak sedikit, beberapa permasalahan pokok yang secara potensial menghambat pencapaian kualitas pendidikan terutama pendidikan dasar.
Permasalahan-permasalahan menjadi kendala dalam meningkatkan mutu pendidikan di era otonomi daerah, maka mantan Mendikbud Wardiman Djoyonegoro (lihat Budiyono, 2001) mengelompokkannya sebagai berikut:

Pertama, pendidikan akan menghadapi tantangan dalam hal pembiayaan pendidikan oleh daerah. Disebutkan bahwa hanya sekitar 10% daerah yang dapat menyediakan anggaran memadai untuk pendidikan, padahal pemerintah daerah harus menyediakan prasarana dan sarana pendidikan seperti gedung sekolah dan peralatan praktikum yang memadai. Pembiayaan pendidikan selama ini masih sangat tergantung pada pemerintah pusat.
Kedua, tantangan dalam hal pembiayaan pendidikan oleh masyarakat. Dalam kondisi krisis ekonomi dan banyaknya kerusuhan mengakibatkan banyaknya pengungsi angka partisipasi murni dan angka drop out yang dijadikan sebagai tolok ukur tantangan pembiayaan oleh masyarakat sangat beragam antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. Pada daerah yang kaya angka partisipasi murni (APM) akan tinggi dan angka drop out (ADO) akan rendah, sedangkan pada daerah yang masyarakatnya miskin akan terjadi yang sebaliknya.
Ketiga, rendahnya sumber daya manusia yang menangani pendidikan, baik tenaga pengajarnya (guru) maupun tenaga non teknis.
Sementara itu, Portz (1996) mengidentifikasikan beberapa permasalahan yang menjadi tantangan dan hambatan pendidikan di Boston, yang sangat relevan dengan permasalahan pendidikan di Indonesia antara lain adalah: 1) masalah Governance atau kepemerintahan, contohnya seperti adanya penekanan kepada dinamika politik di antara superintendent dan komite sekolah. Selain itu juga kurangnya kepemimpinan. 2) Masalah yang berkaitan dengan kegiatan sekolah, antara lain meliputi kegagalan didalam menyediakan program pendidikan yang memadai, prestasi siswa dan birokrasi pendidikan. 3) Masalah kurangnya dukungan pembiayaan dan hubungan dalam pemerintahan.4) Masalah kurangnya dukungan dari masyarakat atau warga negara yang disebabkan karena kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap sekolah dan terpisahnya sekolah dengan masyarakat. 5) Masalah yang terkait dengan permasalahan sosial secara umum dan kondisi eksternal di luar sekolah seperti misalnya kemiskinan, ras, kriminal, dan ekonomi.
Dipilihnya MBS atau MPMBS sebagai model desentralisasi pendidikan untuk pendidikan dasar dan menengah karena diyakini model ini akan mempermudah pencapaian tujuan pendidikan. Ciri-ciri MPMBS adalah adanya otonomi yang kuat pada tingkat sekolah, peranserta aktif masyarakat dalam pendidikan, proses pengambilan keputusan yang demokratis dan berkeadilan, serta menjunjung tinggi akuntabilitas dan trasnparansi dalam setiap keagiatan pendidikan. Program MPMBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan dan sumberdaya untuk meningkatkan mutu kinerja sekolah dan pendidikan terutama meningkatkan hasil belajar siswa (Depdikbud, 2000).


Selain itu (Edward, 1979) dalam Umaedi (1999), mengemukakan bahwa konsep MPMBS diperkenalkan oleh teori “Effective School” yang memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan. Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen ini antara lain sebagai berkut: (1) lingkungan sekolah yang aman dan tertib; (2) sekolah memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai; (3) sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat; (4) adanya harapan yang tinggi dari personil sekolah (kepala sekolah, guru dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi; (5) adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK; (6) adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif; (7) adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua murid/masyarakat.
Model MPMBS, dapat dikatakan bahwa sebagai model manajemen yang memberikan, otonomi yang lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas keluwesan-keluwesan kepada sekolah dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha dan lain-lain) yang merupakan bagian dari aktor-aktor atau stakeholders yang sangat berperan dalam pelaksanaan kebijakan MPMBS di suatu sekolah, di samping aktor-aktor lain seperti pemerintah (baik pemerintah pusat maupun daerah), lebih khusus lagi Dinas Pendidikan (Pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Kecamatan). Dengan kata lain koalisi aktor-aktor/stakeholders (keterlibatan aktor-aktor/stakeholders yang terkait), sangat menentukan tercapai atau tidak tercapainya peningkatan mutu pendidikan di sekolah, khususnya dalam pelaksanaan (implementasi) kebijakan MPMBS di Sekolah Dasar.
Pendidikan dasar merupakan pendidikan umum (general education), artinya pendidikan dasar merupakan pendidikan minimum yang berlaku untuk semua negara, tanpa kecuali. Dalam pasal 11 ayat (2) UUSPN dikemukakan bahwa pendidikan umum merupakan pendidikan yang mengutamakan perluasan pengetahuan dan peningkatan keterampilan peserta didik dengan pengkhususan yang diwujudkan pada tingkat-tingkat akhir pendidikan. Khusus mengenai sekolah dasar yang dijadikan sebagai tempat penelitian, hal ini mengingat peran pendidikan dasar khususnya sekolah dasar sebagai bentuk satuan pendidikan dasar yang menyelenggarakan program enam tahun dan pada tahap inilah keberhasilan murid ditentukan, anak memperoleh dasar-dasar pendidikan yang penting untuk pendidikan selanjutnya, dan diharapkan tahap ini akan membantu mengarahkan pendidikan lebih lanjut termasuk keberhasilan pendidikan di tingkat sekolah dasar akan sangat membantu satuan-satuan pendidikan berikutnya.

Kota Solok propinsi Sumatera Barat dipilih sebagai tempat penelitian karena pencanangan dan komitmen ingin menjadikan Kota Solok sebagai kota pendidikan sesuai dengan visi dan misi Kota Solok (Rencana Strategis 2000).
Persoalan-persoalan di atas, melatarbelakangi keinginan peneliti untuk mencermati dan mengkaji secara lebih mendalam mengenai pandangan dan sikap aktor/stakeholders dalam implementasi kebijakan MPMBS, keterlibatan atau partisipasi masyarakat sebagai salah satu aktor/stakeholders penting dalam implementasi kebijakan MPMBS, serta faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam implementasi kebijakan MPMBS, ini masih perlu dikaji dan diteliti secara seksama.



B. Rumusan Masalah
1 Bagaimana pandangan dan sikap aktor/stakeholders dalam implementasi kebijakan MPMBS di Sekolah Dasar Kota Solok?
2 Bagaimana keterlibatan masyarakat sebagai salah satu aktor/stakeholders penting dalam implementasi kebijakan MPMBS di Sekolah Dasar Kota Solok?
3 Faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam implementasi kebijakan MPMBS di Sekolah Dasar Kota Solok?


C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada perumusan masalah tersebut di atas, dalam penelitian ini ada beberapa hal yang ingin dicapai, secara umum yaitu untuk memberikan gambaran mendalam tentang segala hal yang berkaitan dengan implementasi kebijakan peningkatan mutu pendidikan di era desentralisasi dan otonomi daerah. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:



1. Mendeskripsikan, menganalisa dan menginteprestasikan pandangan dan sikap aktor/stakeholders dalam implementasi kebijakan MPMBS di sekolah dasar Kota Solok, meliputi kesiapan sumber daya, proses implementasi kebijakan MPMBS, dan lain-lain.
2. Mendeskripsikan, menganalisa dan menginterprestasikan keterlibatan atau partisipasi aktor/stakeholders dalam implementasi kebijakan MPMBS di Sekolah Dasar Kota Solok, meliputi organisasi sekolah (Komite Sekolah/BP3), dan organisasi masyarakat pemerhati pendidikan lainnya.
3. Mendeskripsikan, menganalisa dan menginterprestasikan faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam implementasi kebijakan MPMBS di Sekolah Dasar Kota Solok.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara akademis maupun praktis. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa konsep bagi pengembangan studi kebijakan publik yang berkaitan dengan proses kebijakan (formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan). Secara Praktis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan berupa informasi mengenai permasalahan implementasi kebijakan peningkatan mutu pendidikan, khususnya mengenai pandangan dan sikap aktor/stakeholders, keterlibatan atau partisipasi masyarakat sebagai salah satu aktor/stakeholders penting, serta faktor-faktor yang menjadi kendala, dalam implementasi kebijakan MPMBS di tingkat Sekolah Dasar, sehingga informasi ini dapat dijadikan sebagai umpan balik bagi perbaikan implementasi kebijakan MPMBS saat ini, dan masa datang.

KAJIAN PUSTAKA

A. Implementasi Kebijakan
1. Pengertian Implementasi Kebijakan
Van Meter dan Van Horn (1975) lihat Abdul Wahab (1997) merumuskan proses implementasi ini sebagai “those actions by public or private individuals (or groups) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy

decisions” (tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan).
Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1979) (lihat Abdul Wahab, 1997) menjelaskan makna implementasi dengan mengatakan bahwa:
“Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat-akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian kejadian”.
Berdasarkan pandangan tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa proses implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran (target group), melainkan pula menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat, dan pada akhirnya berpengaruh terhadap dampak baik yang diharapkan (intended) maupun yang tidak diharapkan (unintended/negative effects). Dengan demikian implementasi kebijakan dimaksudkan untuk memahami apa yang terjadi setelah suatu program dirumuskan, serta apa yang timbul dari program kebijakan itu. Di samping itu implementasi kebijakan tidak hanya terkait dengan persoalan administratif, melainkan juga mengkaji faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap proses implementasi kebijakan.



2. Model-Model Implementasi Kebijakan
Dengan memperhatikan beberapa pengertian implementasi yang telah dijelaskan di atas, maka kajian implementasi merupakan suatu proses mengubah gagasan atau program menjadi tindakan, dan bagaimana kemungkinan cara menjalankan perubahan tersebut. Untuk menganalisis bagaimana proses implementasi kebijakan itu berlangsung maka dapat dilihat dari berbagai model implementasi kebijakan. Pandangan mengenai model (teori) implementasi kebijakan banyak kita temukan dalam berbagai literatur, (Parsons, 1997) membagi garis besar model implementasi kebijakan menjadi empat yaitu: 1) The Analysis of failure (model analisis kegagalan), 2) Model Rasional (top down) untuk mengidentifikasi faktor-faktor mana yang membuat implementasi sukses, 3) Model pendekatan Bottom-up kritikan terhadap model pendekatan top-down dalam kaitannya dengan pentingnya faktor-faktor lain dan interaksi organisasi, 4) Teori-teori hasil sintesis (hybrid theories).


Untuk keperluan penelitian ini, akan diambil beberapa pandangan mengenai implementasi, masing-masing pandangan mewakili tiga dari empat perkembangan model yang dikemukakan Parsons dan menurut peneliti cocok dengan tema penelitian model tersebut diantaranya yaitu:
a. Model Pendekatan Top-Down
Van Meter dan Van Horn (1975) (lihat Abdul Wahab, 1997), memandang implementasi kebijakan sebagai “those actions by public or provide individual-individual (or group) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decision” (tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan).
Dalam teorinya, Van Meter dan Van Horn ini beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya keduanya menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan kebijakan dengan prestasi kerja (performance). Mereka menegaskan pendiriannya bahwa perubahan, kontrol, dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam prosedur-prosedur implementasi. Dengan memanfaatkan konsep-konsep tersebut, maka permasalahan yang perlu dikaji dalam hubungan ini adalah hambatan-hambatan apakah yang terjadi dalam mengenalkan perubahan dan organisasi? Seberapa jauhkah tingkat efektivitas mekanisme-mekanisme kontrol pada setiap jenjang struktur? (masalah ini menyangkut kekuasaan dari pihak yang paling rendah tingkatannya dalam organisasi yang bersangkutan). Seberapa pentingkah rasa keterkaitan masing-masing orang dalam organisasi? (hal ini menyangkut masalah kepatuhan).


Atas dasar pandangan tersebut di atas, Van Meter dan Van Horn kemudian berusaha untuk membuat tipologi kebijakan menurut:
(1) jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan dan, (2) jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan di antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi. Alasan dikemukakannya hal ini ialah bahwa proses implementasi itu akan dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijakan semacam itu, dalam artian bahwa implementasi kebanyakan akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan – terutama dari mereka yang mengoperasikan program di lapangan relatif tinggi.
Hal lain yang dikemukakan kedua ahli di atas ialah bahwa jalan yang menghubungkan antara kebijakan dan prestasi kerja dipisahkan oleh sejumlah variabel bebas (independent variable) yang saling berkaitan. Variabel-variabel tersebut adalah: (1) ukuran dan tujuan kebijakan; (2) sumber-sumber kebijakan; (3) ciri-ciri atau sifat badan/instansi pelaksana; (4) komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan; (5) sikap para pelaksana; dan (6) lingkungan ekonomi sosial dan politik. Model proses implementasi dari Van Meter dan Van Horn dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini.


b. Model Pendekatan Bottom-Up
Smith (1973) (lihat Quade, 1977; Islamy, 2001) memandang implementasi sebagai proses atau alur, melihat proses kebijakan dari perspektif perubahan sosial dan politik, dimana kebijakan yang dibuat pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan. Smith mengatakan bahwa ada empat variabel yang perlu diperhatikan dalam proses implementasi kebijakan yaitu:
(a) idealized policy adalah suatu pola interaksi yang diidealisasikan perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi, dan merangsang target group untuk melaksanakannya; (b) target group, yaitu bagian dari policy stakeholders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena target group ini banyak mendapat pengaruh dari kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola prilakunya dengan kebijakan yang dirumuskan;
(c) implementing organization, yaitu badan-badan pelaksana atau unit-unit birokrasi pemerintah yang bertanggungjawab dalam implementasi kebijakan; (d) environmental factors, yaitu unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan (seperti aspek budaya, sosial, ekonomi, dan politik).

c. Model Pendekatan Sintesis (Hybrid theories)
Sabatier (1986) (lihat Parsons, 1997) mengkaji implementasi menuju suatu sintesis mengatakan bahwa tahap-tahap kebijakan (policy-stages) tidaklah membantu memahami proses pengambilan kebijakan, karena memilah-milahnya menjadi serangkaian bagian (section) yang sifatnya tidak realistis dan artifisial. Karena itu dari sudut pandang ini, implementasi dan policy-making menjadi kesatuan proses yang sama. Kontribusi awalnya terhadap studi implementasi muncul bersamaan dengan pertimbangan model top-down yang ditulis bersama Mazmanian (1979). Frameworknya kemudian dimodifikasi sesuai dengan riset yang dilakukan Sabatier (1986) terhadap evaluasi kasus model bottom-up seperti yang dikembangkan oleh Hjern dan Porter yang mengatakan bahwa implementasi sebagai hubungan inter-organisasi. Sehubungan dengan hal ini, Sabatier mengemukakan bahwa sintesis dari dua posisi (model top-down dan bottom-up) tersebut dimungkinkan dengan mengambil wawasan dari Hjern dan Porter untuk dipakai pada dinamika implementasi inter-organisasi dalam bentuk network, model top-down memfokuskan perhatiannya pada institusi dan kondisi sosial ekonomi yang menekankan perilaku. Sintesis ini disempurnakan melalui pemakaian konteks policy subsystem, yaitu semua aktor terlibat secara interaktif satu sama lain dalam proses politik dan kebijakan. Dan dibatasi oleh parameter yang relatif stabil serta kejadian di luar subsystem. Secara lebih jelas (Islamy, 2001), menyatakan bahwa Policy Subsystem adalah aktor-aktor kebijakan yang berasal dari organisasi baik organisasi publik maupun privat secara aktif mengkaji dan mengkritisi suatu masalah kebijakan tertentu. Hal penting dari model implementasi kebijakan ini adalah kedudukannya sebagai bagian berkesinambungan dari pengambil kebijakan (engonging part of policy making) dalam Acs (Advocacy coalitions), atau pendampingan para aktor kebijakan dengan berbagai elemen yang ada di masyarakat.
Dengan kata lain Advocacy Coalitions, adalah aktor-aktor dari berbagai organisasi publik dan privat yang memiliki serangkaian sistem kepercayaan yang berusaha merealisasikan tujuan bersama sepanjang waktu (Islamy, 2001).

3. Faktor Penghambat dan Pendukung Proses Implementasi Kebijakan Publik
Kebijakan apapun bentuknya sebenarnya mengandung resiko untuk gagal. Hoogwood dan Gunn (1986) membagi pengertian kegagalan kebijakan (policy failure) ke dalam dua kategori yaitu non implementation (tidak terimplementasikan) dan unsuccesful implementation (implementasi yang tidak berhasil). Tidak terimplementasikan mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-pihak yang terlibat di dalam pelaksanaannya tidak mau berkerjasama, atau mereka telah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hati atau karena mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau permasalahan yang dibuat di luar jangkauan kekuasaannya, sehingga betapapun gigih usaha mereka, hambatan-hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya implementasi yang efektif sukar dipenuhi.
Implementasi yang tidak berhasil terjadi manakala suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan (misalnya tiba-tiba terjadi peristiwa penggantian kekuasaan, bencana alam, dan sebagainya), kebijaksanaan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki. Biasanya kebijakan yang memiliki resiko untuk gagal itu disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: pelaksanaannya jelek (bad execution), kebijakannya sendiri jelek (bad policy) atau kebijakan itu memang bernasib jelek (bad luck) (lihat Abdul Wahab, 1997).
Hogwood dan Gunn (lihat Hill, 1993) menyatakan bahwa: untuk dapat mengimplementasikan suatu kebijakan secara sempurna (perfect implementation) maka diperlukan beberapa kondisi atau persyaratan tertentu sebagai berikut:
1) The circumstances external to the implementing agency do not impose crippling constraints; 2) that adequate time and sufficient recources are made available to the programme; 3) that the required combination of resources is actually available; 4) that the policy tobe implemented is based upon a valid theory of cause and effect; 5) that the relationship between cause and effect is direct and that there are few, if any, intervening links; 6) that dependency relationships are minimal; 7) that there is understanding of, and agreement on, objectives; 8) that tasks are fully specified in correct
sequences; 9) that there is perfect communication and co-ordination; 10) that those in authority can demand and obtain perfect compliance. (1. kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius; 2. untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber yang cukup memadai; 3. perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia; 4. kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal; 5. hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya; 6. hubungan saling ketergantungan harus kecil; 7. pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan; 8. tugas-tugas dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat; 9. komunikasi dari koordinasi yang sempurna;
10. pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapat kepatuhan yang sempurna).


4. Landasan dan Mutu Implementasi
Menurut Islamy (2001), untuk bisa melihat apakah proses implementasi telah berjalan dengan baik, maka ada seperangkat kriteria yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Apakah strategi/pendekatan implementasi telah diidentifikasi, dipilih dan dirumuskan dengan jelas?
2. Apakah unit pelaksana teknis telah disiapkan?
3. Apakah aktor-aktor utama (policy subsystems) telah ditetapkan dan siap menerima tanggung jawab pelaksanaan kebijakan tersebut? Apakah prinsip “delivery mix” telah dilaksanakan?
4. Apakah prosedur operasi baku telah ada, jelas, dan difahami oleh pelaksana kebijakan?
5. Apakah koordinasi pelaksanaan telah dilakukan dengan baik?
6. Bagaimana, kapan, dan kepada siapa alokasi sumber-sumber hendak dilaksanakan?
7. Apakah hak dan kewajiban, kekuasaan dan tanggung jawab telah diberikan dan difahami serta dilaksanakan dengan baik oleh pelaksana kebijakan?
8. Apakah pelaksanaan kebijakan telah dikaitkan dengan rencana tujuan dan sasaran kebijakan?
9. Apakah teknik pengukuran dan kriteria penilaian keberhasilan pelaksanaan kebijakan telah ada, jelas, dan diterapkan dengan baik?

10. Apakah penilaian kinerja kebijakan telah menerapkan prinsip-prinsip efisiensi ekonomi dan politis serta sosial? Koalisi aktor dalam implementasi suatu
kebijakan, maka koalisi aktor-aktor dalam konteks ini, adalah suatu persatuan/kesatuan (orang/organisasi/badan) yang berperan sebagai pelaku utama dalam pelaksanaan (implementasi) suatu kebijakan.
Dalam konteks pendidikan, koalisi aktor-aktor dalam implementasi kebijakan pendidikan, dapat diartikan sebagai suatu bentuk persatuan/kesatuan (orang/organisasi /badan) yang berperan sebagai pelaku utama dalam pelaksanaan (implementasi) suatu kebijakan pendidikan, termasuk implementasi kebijakan MPMBS, disuatu tingkatan tidak terkecuali di Sekolah Dasar.


a. Advocacy Coalitions Framework (ACF)
Awal kemunculan ACF bermula dari tantangan Sabatier (1991) kepada para sarjana politik untuk meningkatkan kinerja teoritis mengenai proses kebijakan. Pengembangan logis dan empiris, serta didukung oleh teori-teori politik maka proses kebijakan publik, ternyata menyisakan masalah dalam pengetahuan politik. Banyak studi kasus yang menghasilkan wawasan yang bermanfat mengenai elemen-elemen, dimana teori tentang proses kebijakan harus diperhitungkan. Namun demikian, studi kasus bukanlah penjelasan teori umum mengenai bagaimana para aktor politik menciptakan, melaksanakan dan merubah kebijakan umum untuk meningkatkan tujuan dan respon mereka terhadap permasalahannya. Secara teoritis dan teliti sebenarnya teori politik dapat memberikan penjelasan yang memuaskan mengenai aktor-aktor khusus, seperti legislatif, penyetingan agenda, tetapi tidak mampu untuk menjelaskan proses kebijakan secara tuntas. Akhirnya Sabatier (1991), berusaha keras untuk menyumbangkan kemajuan dalam membangun teori proses kebijakan dengan menciptakan Advocacy Coalition Framework (ACF), sementara Moe (1990a. 1990b) menciptakan Structural Choice (SC) dengan inti bahasan adalah memberikan penjelasan tentang “mengapa kebijakan publik dan organisasi melakukan hal tersebut”, sedangkan Ellinor dan Ostrom melakukan pendekatan Institutional Rational Choice (IRC).
Cara kerja yang dipakai oleh ketiga ahli kebijakan tersebut adalah dengan menetapkan kerangka sebagai berikut: (a) pembahasan mengenai ruang lingkup, (b) pembahasan mengenai peran individu, (c) pembahasan mengenai peran informasi, (d) pembahasan mengenai sifat dan peran kelompok, (e) pembahasan mengenai level tindakan, (f) dan pembahasan mengenai proses kebijakan. (Widjajati, 2002).


Ketiga teori tersebut memiliki kerangka pokok yang sama namun dalam kerangka kerja memiliki perbedaan dan di bawah ini akan digambarkan kerangka kerja “Advocacy Coalition Framework (ACF) tersebut, yang dikemukakan oleh Schlager (lihat Tabel 1).
Penyelenggaraan pendidikan yang sangat sentralistik, menempatkan sekolah sebagai pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Dengan demikian sekolah kehilangan kemandirian, motivasi dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional.
Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya lebih banyak bersifat dukungan input (dana), bukan pada proses pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi dan akuntabilitas). Berkaitan dengan akuntabilitas, sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu pihak utama yang berkepentingan dengan pendidikan (stakeholders).
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut di atas, maka perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan, salah satunya adalah melakukan reorientasi penyelenggaraan pendidikan, yaitu dari manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menuju manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah.
b. Konsep Dasar Kebijakan MPMBS
(Depdikbud; 2000) secara umum mendefinisikan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) sebagai berikut :
MPMBS dapat diartikan sebagai pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah (stakeholders) secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.
Dari pengertian tersebut terlihat bahwa sekolah memiliki kewenangan (otonomi) atau kemandirian lebih besar dari sebelumnya untuk mengelola sekolahnya (menetapkan
sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana utama pengelolaan proses pendidikan, peningkatan mutu, melaksanakan rencana sedangkan unit-unit diatasnya (Kandep, peningkatan mutu dan melakukan evaluasi Kanwil, Depdiknas) merupakan pendukung-pelaksanaan peningkatan mutu), dan nya, khususnya dalam pengelolaanpengambilan keputusan partisipatif merupakan ciri peningkatan mutu. khas MPMBS. Jadi, sekolah merupakan unit
Tabel 1. Kerangka Kerja Advocacy Coalition Framework (ACF)

1. Ruang lingkup


- Aturan konstitusional
- Otoritas formal
- Aktor-aktor yang terlibat dalam proses kebijaksanaan 2. Peran individu



- Individu merupakan bagian dari kelompok
- Individu memiliki pikiran yang rasional prosedural
- Individu menyerap informasi yang masuk
- Individu dapat memiliki kepercayaan serta keyakinan atas suatuinformasi


3. Peran informasi


- Kepercayaan menjadi filter informasi
- Mengolah informasi yang relevan
- Informasi digunkan sebagai proses sosialisasi oleh anggota koalisi
4. Sifat dan peran

-Dalam ACF, suatu kelompok, aliansi, dan koalisi merupakan aktorkelompok utama kebijakan
- Menangani perubahan dalam formulasi kebijakan

5. Level tindakan


- Dalam formulasi, implementasi dan evaluasi selalu menekankankerja koalisi.
6. Proses kebijakan Sumber: Schlager, Edelke, University of Arizona 1996, Vol. 40 No. 3. A comparison of Three Emerging Theories of The Policy Process.


Caldwell dan Spinks (1993) menegaskan pelaksanaan MPMBS memerlukan kepemimpinan kepala sekolah yang transformasional, agar semua potensi yang ada di sekolah dapat berfungsi secara optimal
Davis dan Thomas (1989) menggambarkan kualitas kepala sekolah yang efektif dan berhasil memajukan sekolah, antara lain yaitu: 1) Memiliki visi dan misi tentang masa depan sekolahnya, serta mampu mendorong stafnya untuk bekerja merealisasikan visi tersebut, 2) Memiliki harapan yang tinggi baik terhadap prestasi siswa maupun kinerja guru. 3) Mengamati guru dalam kelas dan memberikan masukan yang positif dan konstruktif dalam menyelesaikan masalah peningkatan pengajaran, 4) Mendorong guru untuk dapat memanfaatkan waktu pengajaran yang efisien dan merancang prosedur untuk meminimalkan gangguan, 5) Mampu menggunakan dan memanfaatkan sumber daya (material dan tenaga) secara efektif dan 6) Memonitor prestasi siswa baik secara individual maupun kelompok serta dapat memanfaatkan informasi untuk perencanaan pengajaran.
c. Tujuan dan Alasan Diterapkannya
MPMBS
1) Tujuan MPMBS
MPMBS ditujukan untuk meningkatkan

efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui antara


lain keleluasaan pengelolaan sumber daya, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu dapat diperoleh antara lain melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesio-nalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya sistem insentif/disinsentif, dan lain-lain. (Rumtini, 1999) menegaskan bahwa peningkatan pemerataan dapat diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat. Di samping itu, MPMBS juga bertujuan untuk mempersiapkan kemandirian sekolah di era desentralisasi pendidikan. (Depdikbud; 2000) menegaskan bahwa MPMBS mempunyai tujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumberdaya untuk meningkatkan mutu sekolah.
2) Alasan Diterapkannya MPMBS
Depdikbud (2000) MPMBS diterapkan karena beberapa alasan berikut: a) Dengan pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah, maka sekolah akan lebih inisiatif/kreatif dalam meningkatkan mutu sekolah.
b) Dengan pemberian fleksibilitas/keluwesan-keluwesan yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdayanya, maka sekolah akan lebih luwes dan lincah dalam mengadakan dan memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal untuk meningkatkan mutu sekolah.
c) Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, pelung, dan ancaman bagi dirinya sehingga dia dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya.
d) Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
e) Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah karena pihak sekolahlah yang paling tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya.
f) Penggunaan sumberdaya pendidikan lebih efisien dan efektif bilamana dikontrol oleh masyarakat setempat.
g) Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat.
h) Sekolah dapat bertanggungjawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah, orang peserta didik, dan masyarakat pada umumnya, sehingga dia akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah direncanakan.
i) Sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orangtua peserta didik, masyarakat dan pemerintah daerah setempat, dan
j) Sekolah dapat secara cepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan yang berubah dengan cepat.


d. Mutu Pendidikan
Secara umum, yang dimaksud mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukan atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses, dan output pendidikan.
Input Pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud berupa sumberdaya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses.
Proses Pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input, sedangkan sesuatu dari hasil proses disebut output. Dalam pendidikan (tingkat sekolah) proses yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi, dengan catatan bahwa proses belajar mengajar memiliki tingkat kepentingan tinggi dibandingkan dengan proses-proses yang lain. Output Pendidikan. Sekolah sebagai sistem seharusnya menghasilkan output yang dapat dijamin kepastiannya. Output sekolah pada umumnya adalah merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses/perilaku sekolah (Slamet PH; 2000). Kinerja sekolah dapat diukur dari kualitasnya, efektifitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerja, dan moral kerjanya.

e Pola Baru Manajemen Pendidikan Masa Depan
Bukti-bukti empirik lemahnya pola lama manajemen pendidikan nasional dan digulirkannya otonomi daerah, telah mendorong dilakukannya penyesuaian diri dari pola lama manajemen pendidikan menuju pola baru manajemen pendidikan masa depan yang lebih bernuansa otonomi dan yang lebih demokratis. Tabel 3 berikut menunjukkan dimensi-dimensi perubahan pola manajemen, dari yang lama menuju yang baru.


METODE PENELITIAN


A. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif fenomenologis. Dikatakan demikian karena pendekatan kualitatif pada penelitian ini mempunyai ciri-ciri antara lain mempunyai setting yang aktual, peneliti adalah instrumen kunci, data biasanya bersifat deskriptif, menekankan kepada proses, analisis datanya bersifat induktif, dan meaning (pemaknaan) tiap even adalah merupakan perhatian yang esensial dalam penelitian kualitatif (Bogdan dan Biklen, 1998). Dikatakan fenomenologis, karena sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mendeskripsikan peristiwa sosial (Dimiyati, 1997), selain itu karena dapat mengungkapkan peristiwa-peristiwa riil di lapangan, juga dapat mengungkapkan nilai-nilai yang tersembunyi (hidden value), lebih peka terhadap informasi-informasi yang bersifat deskriptif dan berusaha mempertahankan keutuhan obyek yang diteliti (Strauss dan Corbin, 1987).


B. Fokus Penelitian
1. Pandangan dan sikap aktor/stakeholders dalam implementasi kebijakan MPMBS di Sekolah Dasar Kota Solok, meliputi kesiapan sumber daya, proses implementasi dan lain-lain. Dalam hal ini akan dilihat mengenai pandangan sikap aktor/stakeholders antara lain : a) Warga sekolah (Kepala Sekolah, guru, siswa dan karyawan), b) Masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat umum lainnya, pemerhati pendidikan), c) Pemerintah terkait (Pejabat Dinas Pendidikan, pengawas dan lain-lain). Aktor/stakeholders dimaksudkan adalah yang ada (berkoalisi) dalam Kelompok Kerja Guru (KKG), Kelompok Kerja MPMBS, Komite Sekolah/BP3, Tim Pelopor dan Penggerak Pelaksanaan Kebijakan MPMBS, dan organisasi lain yang terkait dalam implementasi kebijakan MPMBS di Sekolah Dasar Kota Solok.


1 Keterlibatan atau partisipasi masyarakat sebagai salah satu aktor/stakeholders penting, dalam implementasi kebijakan MPMBS di Sekolah Dasar Kota Solok. Di lihat dari organisasi sekolah yang ada (Komite Sekolah/BP3), masyarakat/organisasi masyarakat pemerhati pendidikan lainnya yang terlibat dalam kebijakan MPMBS ini.
2 Faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam implementasi kebijakan MPMBS di Sekolah Dasar Kota Solok. Hal ini dilihat dari indikator-indikator yang telah dikemukakan di atas tadi.

Tabel 2. Dimensi-diensi Perubahan Pola Manajemen Pendidikan
Pola lama Menuju Pola Baru
Subordinasi Pengambilan Keputusan terpusat Ruang gerak kaku Pendekatan birokratik Sentralistik Diatur Overregulasi Mengontrol Mengarahkan Menghindari resiko Gunakan barang Individualistis Organisasi herarkis Æ Æ Æ Æ Æ Æ Æ Æ Æ Æ Æ Æ Æ Otonomi Pengambilan Keputusan partisipatif Ruang gerak luwes Pendekatan professional Desentralistik Motivasi diri Deregulasi Mempengaruhi Memfasilitasi Mengelola resiko Gunakan uang Mengutamakan teamwork Organisasi datar


Sumber: Depdikbud (2000)



C. Penetapan Lokasi dan Situs Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Sekolah Dasar Kota Solok, Propinsi Sumatera Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive (sengaja), dengan pertimbangan:
1. Sekolah dasar sebagai bentuk satuan pendidikan dasar yang menyelenggarakan program enam tahun, dan pada tahap inilah keberhasilan murid ditentukan, anak memperoleh dasar-dasar pendidikan yang penting untuk pendidikan selanjutnya, dan diharapkan tahap ini akan membantu mengarahkan pendidikan lebih lanjut termasuk membangun “imajinasi” tentang kehidupannya kelak di kemudian hari. Di samping itu keberhasilan pendidikan di tingkat sekolah dasar akan sangat membantu satuan-satuan pendidikan berikutnya.


2. Keunikan yang dimiliki sekolah, antara lain ditunjukkan dengan keberhasilannya dalam mengimplementasikan kebijakan MPMBS dan kemampuan manajemen sekolah yang tinggi. Keunikan ini didasar kepada :

a. Kemampuan Kepala Sekolah dalam melaksanakan fungsi-fungsi manajemen, meliputi : perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan.
b. Kemampuan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar dan menerapkan strategi pembelajaran siswa di kelas yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada di sekolah, misalnya Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM).
c. Tingkatketerlibatan/partisipasi masyarakat, orang tua siswa, pemerintah terkait sebagai aktor/stakeholders, serta alokasi anggaran yang tersedia di sekolah.




Selain itu diambilnya sekolah yang memiliki kemampuan manajemen tinggi ini didasarkan pada asumsi bahwa pada sekolah dengan kemampuan manajemen tinggi akan dapat menyerap dengan baik sistem baru yang ditawarkan dalam kebijakan MPMBS, sehingga akan dapat digali data yang lebih banyak mengenai implementasi kebijakan MPMBS.
3. Kesesuaian dengan tema dan substansi penelitian. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka peneliti akan mengambil beberapa sekolah dasar di Kota Solok, Propinsi Sumatera Barat yang dianggap telah mengimplementasikan kebijakan MPMBS. Selanjutnya untuk memperkaya nuansa kualitatif, peneliti memilih situs-situs yang akan ditelusuri secara seksama, meliputi karakteristik lingkungan alam dan fisik daerah dimana sekolah dasar tersebut berada, ketersediaan sumber daya (sumber daya manusia, sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah, pembiayaan sekolah dan mengunjungi beberapa tokoh masyarakat, orang tua siswa, dan masyarakat lainnya yang terlibat maupun yang tidak terlibat di dalam organisasi Komite Sekolah/BP3 serta pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan kecamatan.
D. Sumber dan Jenis Data
1. Sumber Data
Lofland dan Lofland (lihat Moleong, 2000) mengemukakan bahwa : “Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan-tindakan, bisa juga berupa data tambahan seperti dokumentasi dan lain-lain. Selain itu sumber data adalah informan, kegiatan yang bisa diamati dan dokumen. Informan menurut Miles dan Huberman (1992) bisa dibedakan menjadi pelaku utama dan bukan pelaku utama. Sumber data dalam penelitian ini adalah :
a. Informan kunci (key informan), informan awal dipilih secara purposive (purposive sampling). Hal ini dimaksudkan untuk memilih informan yang benar-benar relevan dan kompeten dengan masalah penelitian sehingga data yang diperoleh dapat digunakan untuk membangun teori. Sedangkan informan selanjutnya diminta kepada informan awal untuk menunjuk orang lain yang dapat memberikan informasi, dan kemudian informan ini diminta pula untuk menunjuk orang lain yang dapat memberikan informasi, dan seterusnya sampai menunjukkan tingkat kejenuhan informasi. Artinya, bila dengan menambah informan hanya diperoleh informasi yang sama, berarti jumlah informan sudah cukup (sebagai informan terakhir) karena informasinya sudah jenuh (Muhajir, 1996). Cara serupa ini lazim disebut “snowball sampling”, yaitu informan dipilih secara bergilir sampai menunjukkan tingkat kejenuhan informasi. Dalam penelitian ini yang dipandang sebagai informan awal (sumber informasi) adalah Kepala Sekolah Dasar di lingkungan Kota Solok Sedangkan informan selanjutnya antara lain adalah Kepala Sekolah, Guru, Karyawan, Siswa, Orang Tua Siswa, masyarakat lainnya yang terlibat di dalam organisasi dewan sekolah/BP3 maupun masyarakat pemerhati pendidikan, serta pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Kecamatan.


b. Tempat dan Peristiwa, yaitu berbagai peristiwa atau kejadian dan situasi sosial yang berkaitan dengan masalah atau fokus penelitian yang akan diobservasi, antara lain meliputi keberadaan sumber daya, proses belajar mengajar, proses pengambilan keputusan, rapat-rapat dewan guru, rapat-rapat Komite Sekolah/BP3, sosialisasi dan pengelolaan program, serta proses pengelolaan kelembagaan dan jaringan kerja, dan lain-lain.
c. Dokumen, sebagai sumber data lainnya yang bersifat melengkapi data utama yang relevan dengan masalah dan fokus penelitian, antara lain meliputi hasil-hasil rapat, hasil belajar siswa, kondisi sarana prasarana. Data ini dipergunakan untuk melengkapi hasil wawancara dan pengamatan terhadap tempat dan peristiwa.

2. Jenis Data
Moleong (2000) menegaskan bahwa sesuai dengan data yang dipilih, maka jenis data dalam penelitian kualitatif dibagi ke dalam kata-kata dan tindakan, tulisan, foto dan statistik. Jenis-jenis data tersebut di atas semuanya dapat digunakan sebagai informasi yang diperlukan. Perlu ditegaskan bahwa keterangan berupa kata-kata atau cerita dari informan penelitian yang diwawancarai dan tindakan yang diamati, dalam penelitian kualitatif dijadikan sebagai data utama (primer), sedangkan tulisan, foto dan data statistik dari berbagai dokumen yang relevan dengan fokus penelitian dijadikan sebagai data pelengkap (sekunder).
E. Proses Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif, proses pengumpulan data meliputi 3 (tiga) kegiatan yang dilakukan oleh peneliti. Lofland dan Lofland (1984) menegaskan bahwa dalam rangka pengumpulan data ada tiga kegiatan yaitu : Proses memasuki lokasi penelitian (getting in), Ketika berada di lokasi penelitian (getting along) dan tahap pengumpulan data (logging the data).

1. Prosesmemasuki lokasi penelitian (getting in)
Dalam tahap ini peneliti, dengan membawa izin formal sebagai bukti bahwa peneliti benar-benar akan mengadakan penelitian memasuki lokasi penelitian yaitu sekolah dasar negeri di Kota Solok. Sebagai seorang calon peneliti, peneliti memperkenalkan diri pada pimpinan/kepala sekolah dan staf pengajar, hal ini dilakukan dengan tujuan agar dapat melebur diri dan membaur dengan latar penelitian secara baik. Selain itu dimaksudkan untuk melakukan adaptasi dan proses belajar dengan informan yang dilandasi hubungan etik dan simpatik sehingga dapat mengurangi jarak sosial antara peneliti dengan informan.
2. Ketika berada di lokasi penelitian (getting along)
Ketika tanpa ini peneliti berusaha menjalin hubungan secara pribadi yang lebih akrab dengan subjek penelitian, mencari informasi yang dibutuhkan secara lengkap dan berupaya menangkap makna dari informasi dan pengamatan yang diperoleh.
3. Mengumpulkan data (logging the data)
Pada tahap ini peneliti menggunakan tiga macam teknik pengumpulan data yaitu :
a. Observasi (pengamatan). Teknik observasi baik yang “partisipatif” maupun “non partisipatif” digunakan untuk mengamati tentang pandangan dan sikap aktor/stakeholders, keterlibatan atau partisipasi masyarakat sebagai salah satu aktor/stakeholders penting, dan faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam implementasi kebijakan MPMBS. Secara rinci akan diamati : a) Ketersediaan atau kesiapan sumber daya (sumber daya manusia, sarana, prasarana dan anggaran sekolah), b) Proses implementasi (kelembagaan MPMBS, pemahaman konsep dan tujuan MPMBS, sosialisasi, dan pelaksanaan kebijakan (manajemen sekolah, strategi pembelajaran dalam proses belajar mengajar, dan transparansi dalam pengelolaan sekolah).
Selain itu juga akan diobservasi keterlibatan masyarakat (aktor/ stakeholders) penting, dan faktor-faktor yang menjadi kendala dalam implementasi kebijakan MPMBS ini. Adapun aktor/stakeholders yang dimaksudkan disini adalah : a) Warga sekolah (Kepala Sekolah, guru, siswa dan karyawan), b) Masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat dan masyarakat umum lainnya pemerhati pendidikan), c) Pemerintah terkait (Pejabat Dinas Pendidikan, pengawas dan lain-lain).
Dalam konteks ini adalah mereka yang ada (berkoalisi) dalam Kelompok Kerja Guru (KKG), Kelompok Kerja MPMBS, Komite Sekolah/BP3, Pelopor Penggerak Pelaksanaan Kebijakan MPMBS, dan organisasi terkait lainnya.


b. Wawancara mendalam (in depth-interview). Teknik ini dilakukan atau digunakan untuk mendapatkan dan mengungkat informasi (data empiris) yang berhubungan dengan: pandangan dan sikap aktor/stakeholders dalam implementasi kebijakan MPMBS, keterlibatan atau partisipasi masyarakat sebagai salah satu aktor/stakeholders penting dalam implementasi kebijakan MPMBS, faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala terkait dengan hal-hal dalam implementasi kebijakan MPMBS yang disebutkan di atas. Mengingat keterbatasan peneliti dalam merekam dan mengingat, serta agar data hasil wawancara ini dapat terekam dengan baik, tidak ada terlewatkan maka dalam melakukan wawancara peneliti menggunakan alat bantu berupa pedoman wawancara dan radio kaset.
c. Dokumentasi.Digunakan untuk menghimpun berbagai informasi dan data yang diambil dari dokumen, berupa surat-surat keputusan, hasil rapat dan dokumen lain yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan MPMBS.
F. Analisis Data

Analisis dilakukan untuk menemukan pola. Caranya dengan melakukan pengujian sistematik untuk menetapkan bagian-bagian, hubungan antar kajian, dan hubungan terhadap keseluruhannya. Untuk dapat menemukan pola tersebut peneliti akan melakukan penelusuran melalui catatan-catatan lapangan, hasil wawancara dan bahan-bahan yang dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap semua hal yang dikumpulkan dan memungkinkan menyajikan apa yang ditemukan.
Proses analisis data ini peneliti lakukan vsecara terus menerus, bersamaan dengan pengumpulan data dan kemudian dilanjutkan setelah pengumpulan data selesai dilakukan. Di dalam melakukan analisis data peneliti mengacu kepada tahapan yang dijelaskan Miles dan Huberman (1987) yang terdiri dari tiga tahapan yaitu: reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (conclusion drawing verivication). Ketiga tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :


1. Reduksi Data
Pada tahap ini, data yang diperoleh dari lokasi penelitian (data lapangan) dituangkan dalam uraian atau laporan yang lengkap dan terinci. Laporan lapangan oleh peneliti akan direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting kemudian dicari tema atau polanya (melalui proses penyuntingan, pemberian kode, dan pentabelan). Reduksi data ini dilakukan secara terus menerus selama proses penelitian berlangsung.
2. Penyajian Data
Penyajian data atau display data dimasudkan untuk memudahkan peneliti dalam melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari penelitian. Dengan kata lain merupakan pengorganisasian data ke dalam bentuk tertentu sehingga kelihatan dengan sosoknya lebih utuh.
3. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi
Dalam penelitian kualitatif, penarikan data dilakukan secara terus menerus sepanjang proses penelitian berlangsung. Sejak awal memasuki lapangan dan selama proses pengumpulan data, peneliti berusaha untuk menganalisis dan mencari makna dari data yang dikumpulkan yaitu dengan cara mencari pola, tema, hubungan persamaan, hal-hal yang sering timbul, hipotesis dan sebagainya yang dituangkan dalam kesimpulan yang masih bersifat tentatif, akan tetapi dengan bertambahnya data melalui proses verifikasi secara terus menerus, maka akan diperoleh kesimpulan yang bersifat “grounded”. Dengan kata lain setiap kesimpulan senantiasa terus dilakukan verifikasi selama penelitian berlangsung yang melibatkan interprestasi peneliti.
G. Keabsahan Data
Moleong (2000) dan Nasution (1998) mengemukakan bahwa ada 4 kriteria yang dapat digunakan untuk memeriksa keabsahan data, yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability). Untuk memeriksa keabsahan data hasil penelitian ini, akan dilakukan kegiatan sebagai berikut:


1. Derajat kepercayaan (credibility)
Penerapan konsep kriteria dapat kepercayaan ini berfungsi untuk melaksanakan inquiry sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai. Selain itu berfungsi untuk mempertunjukkan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti. Kegiatan yang akan dilakukan untuk memeriksa kredibilitas hasil penelitian adalah sebagai berikut:
a. Memperpanjang masa observasi Dengan cara ini peneliti berharap mempunyai cukup waktu untuk betul-betul mengenal situasi lingkungan, untuk melakukan hubungan baik dengan para informan di lokasi penelitian. Dengan demikian peneliti dapat mengecek kebenaran berbagai informasi dan data yang diperoleh sampai sudah dirasa benar.
b. Melakukan peer debriefing Hasil kajian dari peneliti didiskusikan dengan orang lain yang mempunyai pengetahuan tentang pokok penelitian dan juga tentang metode penelitian yang diterapkan. Pembicaraan ini bertujuan antara lain untuk memperoleh kritik, saran dan pertanyaan-pertanyaan yang tajam dan yang menantang tingkat kepercayaan akan kebenaran hasil penelitian.
c. Triangulasi Triangulasi ini peneliti lakukan dengan maksud untuk mengecek kebenaran data tertentu dan membandingkannya dengan data yang diperoleh dari sumber lain, pada berbagai fase penelitian lapangan, pada waktu yang berlainan, dan sering dengan menggunakan metode yang berlainan. Triangulasi akan dilakukan dengan tiga cara yaitu dengan data, sumber data dan teknik pengumpulan data.
d. Mengadakan “member check” “Member check” akan peneliti lakukan pada setiap akhir wawancara dengan cara mengecek ulang garis besar berbagai hal yang telah disampaikan informan berdasarkan catatan lapangan, hal ini dilakukan dengan maksud agar informasi yang diperoleh dan digunakan dalam penulisan laporan penelitian sesuai dengan apa yang dimaksud oleh informan.

2. Keteralihan (transferability)
Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada kesamaan antara konteks pengirim dan penerima. Untuk melakukan keteralihan tersebut peneliti berusaha mencari dan mengumpulkan data kejadian empiris dalam konteks yang sama.

3. Kebergantungan dan Kepastian
Untuk mengetahui, mengecek serta memastikan apakah hasil penelitian ini benar atau salah, peneliti akan mendiskusikannya dengan pembimbing, secara setahap demi setahap, mengenai konsep-konsep yang dihasilkan di lapangan, setelah hasil penelitian dianggap benar, diadakan seminar tertutup dan terbuka dengan mengundang teman sejawat dan pembimbing.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Kondisi Umum Pendidikan
Kota Solok memiliki berbagai sarana dan prasarana pendidikan yakni Taman Kanak-kanak (TK) sebanyak 14 sekolah, Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) 43 sekolah, SLTP dan MTs 9 sekolah, SLTA (SMU/SMK/ MA) 14 sekolah, serta 4 Perguruan Tinggi.
Untuk tingkat Taman Kanak-kanak (TK) terdiri dari 982 orang siswa dan 20 orang guru, termasuk Kepala Sekolah. Sedangkan untuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) memiliki 7.321 orang siswa dan guru sebanyak 318 orang, dengan rasio guru dan siswa adalah 1 : 21. Angka Partisipasi Kasar (APK) 116,34% dan Angka Partisipasi Murni 95,45%, berarti semua anak usia sekolah (7-12 tahun) telah dapat dilayani untuk memperoleh pendidikan tingkat dasar.
Pada tingkat SLTP/MTs memiliki siswa sebanyak 4.096 orang, dan guru sebanyak 283 orang, dengan rasio guru dan siswa 1 : 14. Angka Partisipasi Kasar (APK) 121,02% dan Angka Partisipasi Murni (APM) 105,47%. Hal ini mewujudkan bahwa anak-anak usia 13 – 15 tahun telah mendapat kesempatan belajar secara keseluruhan.
Sedangkan untuk tingkat SLTA (SMU, SMK, MA), terdapat sebanyak 6.154 orang siswa dengan jumlah guru sebanyak 317 orang, yang berarti rasio guru dan siswa 1 : 20. Angka Partisipasi Kasar (APK) 124,13% dan Angka Partisipasi Murni (APM) 101,80%. Perguruan Tinggi (Akademi, Sekolah Tinggi dan Universitas) berjumlah 4 (empat) yakni : 2 (dua) Akademi Perawat, 1 (satu) Sekolah Tinggi Agam Islam (STAI), dan 1 (satu) Universitas Muhammad Yamin. Secara keseluruhan memiliki 1.450 orang mahasiswa dan 231 orang tenaga pengajar/dosen
Khusus pada tingkat pendidikan dasar (SD/MI) dari 318 orang guru yang ada, memiliki kualifikasi sebagai berikut : Diploma II (D-2) 210 orang (66,67%), Diploma III (D-3) sebanyak 6 orang (1,88%) dan Strata 1 (S-1) sebanyak 102 orang (31,45%).


Didukung oleh pengawas TK/SD berjumlah 6 orang, yakni 3 orang di Kecamatan Tanjung Harapan, dan 3 orang di Kecamatan Lubuk Sikarah.
B. Informasi Umum Mengenai Kebijakan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) di Sekolah Dasar
Sesuai dengan visi Kota Solok tahun 2000 – 2204 adalah “Terdepan dalam Pelayanan, Terbaik dalam Pembangunan”. Untuk mewujudkan visi, dirumuskan berbagai misi, salah satu diantaranya misi dibidang pendidikan, yakni “Membangun sarana, prasarana dan meningkatkan mutu serta iklilm pendidikan yang konduksif, pendidikan umum, kejuruan, maupun pendidikan agama di semua jenjang pendidikan”.
Makna yang terkandung dari visi dan misi bidang pendidikan Kota Solok tersebut adalah ingin mewujudkan Kota Solok menjadi “Kota Pendidikan” dengan mutu yang dapat dibanggakan dan diandalkan.
Untuk mewujudkan visi dan misi di atas Pemerintah Kota Solok, dalam hal ini Dinas Pendidikan Daerah Kota Solok, termotivasi untuk mencoba melakukan hal yang sama yakni dengan menerapkan/melaksanakan kegiatan “Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar, melalui Manajemen Berbasis Sekolah dan Peran Serta Masyarakat” atau lebih dikenal dengan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Kegiatan telah dirintis sejak tahun 2002, dengan dibentuknya Tim Pelopor dan Penggerak Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) di Sekolah Dasar Kota Solok.
Susunan keanggotaan tim sebagaimana terlihat pada Tabel 4.
Tim pelopor dan penggerak MPMBS tersebut bertugas untuk mempelopori dan menggerakkan serta mensosialisasikan MPMBS ke seluruh Sekolah Dasar (SD/MI) yang ada di Kota Solok, secara berkelanjutan.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Pandangan dan Sikap Aktor/
Stakeholders dalam Implemen-tasi
Kebijakan MPMBS di Sekolah Dasar
Kota Solok
a. Kesiapan Sumber Daya dalam
Mengimplementasikan Kebijakan
MPMBS


Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) harus dilaksanakan oleh Kepala Sekolah dan guru yang profesional dan efektif, yakni Kepala Sekolah yang harus memiliki kepemimpinan transformasional dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1) Mengidentifikasi dirinya sebagai agen pembahasan (perubahan); 2) Memiliki sikap pemberani; 3) Mempercayai orang lain; 4) Bertindak atas dasar nilai (bukan atas dasar kepentingan individu atau kepentingan/desakan kroninya); 5) Mening-katkan kemampuan secara kontinyu (terus menerus); 6) Memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi yang rumit/ tidak menentu; 7) Memiliki visi ke depan.
Sedangkan guru yang profesional dan efektif, adalah guru yang memiliki kemampuan yang terkait dengan Proses Belajar Mengajar, strategi manajemen pembelajaran, pemberian umpan balik (feed back) dan penguatan (reinforcement) dan peningkatan diri.


Beare dan Coldwell (1992) (lihat, Hasri, 2001) mengemukakan bahwa dasar kepemimpinan transformasional mempunyai 6 (enam) ciri khas, dimana seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan: 1) Bekerja dengan orang lain; 2) Merumuskan visi sekolah; 3) Mampu mengkomunikasikan visinya kepada stakeholders sekolah; 4) Memiliki flatform kependidikan; 5) Memiliki sifat manusiawi, teknis, simbul dan budaya; 6) Memberdayakan orang lain.
Di samping hal-hal di atas, keberhasilan pelaksanaan kebijakan MPMBS juga dipengaruhi oleh roda organisasi (sekolah) dan kreatifitas para pelaksana atau personil dalam organisasi tersebut.
Tabel 3. Susunan Keanggotaan Tim Pelopor dan Penggerak Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah di Sekolah Dasar Dinas P dan K Kota Solok
No. Nama Jabatan dalam Dinas dan Instansi Jabatan dalam Kelompok Kerja Tim
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Drs. Busrimal Drs. Arwis Suin Ridwan, S.Pd. Zurdi Arifin, S.Ag. Drs. Siswanto Amal Abbas Effendi Janahar M. Yonhormaison, S.Pd. Apriman Kepala Dinas P & K Kota Solok Plt. Kasubdin Prasekolah/Dikdas Kacabdin P & K Kecamatan Tanjung Harapan Kacabdin P & K Kecamatan Lubuk Sikarah Kepala Tata Usaha Dinas P & K Kota Solok Pengawas TK/SD Pengawas TK/SD Pengawas TK/SD Kepala SDN 07 Kampung Jawa Kelaa SDN 06 Tanah Garam Penanggung Jawab Ketua Wakil Ketua I Wakil Ketua II Sekretaris Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota

Sumber : Kantor Dinas Pendidikan Daerah Kota Solok, 2003.

Dalam konteks roda organisasi sekolah, Kepala Sekolah harus bertindak sebagai manajer atau pemimpin yang efektif. Sebagai manajer ia harus mampu mengatur semua potensi agar sekolah dapat berfungsi secara optimal. Hal ini dapat dilakukan kalau Kepala Sekolah mampu melakukan fungsi-fungsi manajemen dengan baik meliputi: 1) perencanaan, 2) pengorganisasian, 3) pengarahan dan 4) pengawasan. Sebagai pemimpin Kepala Sekolah juga harus mampu mengambil keputusan terbaik, menghargai perbedaan pendapat, kemampuan menghargai perbedaan pendapat, kemampuan untuk memobilisasi sumber-sumber, mampu memilih cara pelaksanaan terbaik, mampu berkomunikasi dengan cara yang efektif, adaptif, bersinergi dan mampu memecahkan persoalan sekolah. (Umeidi, 2000) untuk mampu memecahkan persoalan diperlukan kreativitas. Kreativitas dicirikan oleh suatu produk yang dilahirkan atas dasar, pemikian yang orisinil, baru, menarik perhatian, diiringi oleh kualitas yang memadai (Stenberg dan Lubart, 1995). Suatu kinerja dinilai kreatif apabila kinerja/produk tersebut memenuhi kriteria tersebut. Demikian juga seorang Kepala Sekolah dinilai kreatif, apabila ia mampu melahirkan pemikiran kreatif. Ini berarti bahwa pemikiran kreatif terletak pada flucuacy, originality dan significancy (Lusiana, 1999).


Berkaitan dengan kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM), terutama Kepala Sekolah, guru, temuan hasil penelitian menunjukkan bahwa:
Secara kuantitas (dilihat dari jumlah ijazah, ruang/golongan/kepangkatan yang dimiliki Kepala Sekolah dan guru maka dapat dikatakan bahwa “Kepala Sekolah dan guru” di Sekolah Dasar Kota Solok, telah mencukupi dan memenuhi standar persyaratan mengajar. Sehingga seharusnya mereka sudah siap menerima inovasi/ perubahan atau pembaharuan, seperti penerapan kebijakan MPMBS ini.

Tetapi secara kualitas, dilihat dari profesionalisme Kepala Sekolah dan guru (sesuai pendapat Suyanto), dan Kepala Sekolah sebagai manajer dan pemimpin yang efektif (sesuai pendapat Umedi) serta Kepala Sekolah yang punya kreatifitas (sesuai pendapat Lusiana), maka merujuk pendapat di atas sesuai dengan temuan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat dikatakan bahwa mereka belum siap untuk melaksanakan kebijakan MPMBS tersebut.
Karena tidak didukung oleh kepemimpinan tranformasional, profesio-nalisme dan kreatifitas Kepala Sekolah yang tinggi, serta tidak didukung pula sikap profesionalisme, kreatifitas guru yang baik dan memadai.
Kondisi sarana dan prasarana fisik, secara umum cukup memadai dan cukup kondusif untuk mendukung pelaksanaan kebijakan MPMBS. Sedangkan yang dirasa kurang adalah pengadaan buku-buku bacaan penunjang, alat peraga untuk menunjang strategi pembelajaran dalam proses belajar yang mengarah kepada PAKEM serta biaya, dimana biaya yang bersumber dari Komite Sekolah hanya berkisar antara Rp. 10.000 – Rp. 15.000 dari BOP bervariasi antara Rp. 2.000.000 – Rp. 4.500.000 sedang DOP rata-rata Rp. 1.000.000 per sekolah, padahal pembiayaan ini sangat berpengaruh terhadap kesuksesan pelaksanaan kebijakan MPMBS di sekolah.
Menurut Islamy (1998) kesiapan agen pelaksanaan dalam pelaksanaan suatu kebijakan tidak terlepas dari sumber daya yang memadai dari sumber daya yang harus disuplai dengan resources yang cukup, seperti: 1) Human Resources (staf dalam jumlah dan kualifikasi yang memadai dengan hak dan kewajibannya sesuai dengan kewenangan dan tanggungjawabnya), financial resources, technological resources, maupun phsicological resources.
Mencermati pendapat di atas, maka pada implementasi kebijakan MPMBS di Sekolah Dasar di Kota Solok dapat dikatakan bahwa Kepala Sekolah dan guru baru disuplai dengan human resources, tetapi belum disuplai finacial resources, technological resources dan pshychological resources. Hal ini dibuktikan dengan temuan hasil penelitian (yang relevan) diantaranya yakni : 1) Keluhan guru, mengenai belum adanya tambahan penghasilan yang memadai, sedangkan perhatian dan waktu mereka lebih banyak dihabiskan di sekolah, sehingga sering pulang terlambat terutama selama pelaksanaan kebijakan MPMBS. Kecuali SDN 03 Kampung Jawa (Sekolah Hibrid), yang mendapat bantuan dan Gebu Minang dan Pemda Kota Solok. 2) Adanya kekurangan alat-alat peraga dalam menunjang untuk menerapkan strategi pembelajaran siswa, dalam proses belajar di kelas dan lain-lain.


Sedangkan Thoha (1992) berpendapat bahwa penyebab atau hambatan kesiapan masyarakat dalam menerima perubahan ada tiga macam yakni: a) Hambatan internal, hambatan yang timbul dari masyarakat itu sendiri, atau kultur dan budaya (Socio-Cultural Constraineds); b) Hambatan eksternal, (birokrasi/pemerintah); c) Tingkat kesadaran yang masih rendah (pendidikan rendah atau kurang informasi).
Mengacu kepada pendapat di atas, dikaitkan dengan implementasi kebijakan MPMBS, maka ketidaksiapan Kepala Sekolah dan guru adalah adanya suatu sikap atau kebiasaan Kepala Sekolah/guru selama ini selalu berdasarkan atau selalu menunggu petunjuk pelaksanaan (teknis) yang ada. Sehingga hal ini menyebabkan mereka tidak kreatif, sukar menerima perubahan seperti hal dalam hal melaksanakan kebijakan MPMBS.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, usaha-usaha yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesiapan sumber daya (sumber daya manusia, sarana dan prasarana serta pembiayaan (anggaran) adalah sebagai berikut: 1) Meningkatkan intensitas pelatihan/ penataran terutama teori motivasi, kepemimpinan transformasional dan kemandirian, 2) Memberikan kemandirian kepada sekolah (Kepala Sekolah dan guru) secara lebih luas dan nyata, tidak hanya semboyan, 3) Pengadaan buku-buku bacaan penunjang seperti dimensi, pintar, dan lain-lain serta alat peraga dengan memanfaatkan lingkungan (jaringan kerja), 4) Memberikan tambahan insentif atau kesejahteraan yang telah sukses melaksanakan MPMBS.
b. Proses Implementasi Kebijakan MPMBS
Dari 4 (empat) Sekolah Dasar di Kota Solok yang peneliti observasi, berkaitan dengan pandangan dan sikap aktor/stakeholders terhadap implementasi kebijakan, terutama menyangkut proses implementesi kebijakan MPMBS, maka temuan hasil observasi akan di kemukakan pada uraian-uraian berikut ini. Data yang peneliti peroleh di lapangan menunjukkan implementasi kebijakan MPMBS dilaksanakan dengan member-dayakan organisasi/Kelompok Kerja Guru (KKG) Kelompok Kerja MPMBS di masing-masing sekolah dan Komite Sekolah, termasuk sosialisasi kebijakan MPMBS ini. Kelompok Kerja Guru (KKG) berfungsi sebagai koordinatif dan informatif, Kelompok Kerja MPMBS sebagai operasional (pelaksanaan) dan Komite Sekolah sebagai konsultatif, yang terus menerus berhubungan dengan Kepala Sekolah.

Berkenaan dengan sosialisasi, di samping dilakukan oleh Tim Pelopor dan Penggerak Program MPMBS, Dinas Pendidikan Daerah juga dilakukan oleh Kelompok Kerja Guru (KKG) kepada seluruh Sekolah Dasar anggotanya (imbas). Namun kenyataannya konsep dan tujuan kebijakan MPMBS oleh aktor/ stakeholders (warga sekolah dan masyarakat), terlihat dari adanya kesenjangan antara acuan formal dan persepsi (pemahaman) aktor/stakeholders (pelaku kebijakan) terhadap MPMBS. Hal ini sesuai dengan apa yang disebut Densire (lihat Abdul Wahab, 1997) menyebut dengan istilah “Implementation Gap” salah satu bukti di lapangan adalah tidak dilaksanakannya kebijakan MPMBS, sesuai tahap-tahap pelaksanaannya yang ada pedoman umum pelaksanaan yakni dimulai dari sosialisasi konsep dan tujuan kebijakan MPMBS sampai dengan evaluasi dan merumuskan kembali sasaran mutu baru.
Konsep dan tujuan kebijakan MPMBS tidak dipahami oleh pelaku kebijakan (aktor/stakeholders) disebabkan karena informasi yang disampaikan dan diterima melalui penataran pelatihan dan rapat-rapat/pertemuan sebatas pengenalan belum menyeluruh dan tidak dilakukan secara berkesinambungan atau dilakukan secara temporer. Hal ini menunjukkan masih kurangnya frekuensi komunikasi (pengkomunikasian) langsung kepada pelaku kebjiakan dan masyarakat sebagai target group.
Menurut Hogwood dan Gunn (lihat Hill, 1993) atau (lihat Abdul Wahab, 1997), menyatakan bahwa untuk dapat mengimplementasikan suatu kebijakan secara sempurna (perfect implementation) maka diperlukan beberapa kondisi atau persyaratan tertentu, salah satu diantaranya adalah komunikasi dari koordinasi yang sempurna.
Edward III (1980), mensinyalir bahwa dalam komunikasi ada beberapa hal yang mempengaruhi efektifitas dari komunikasi dan akan berpengaruh pula terhadap keberhasilan implementasian kebijakan antara lain adalah transmission (akurasi penerimaan panjang dan pendeknya rantai komunikasi) atau penyaluran komunikasi, konsistensi, dan rincian tujuan komunikasi.


Selain itu Van Meter dan Van Haru (lihat Wibawa, 1994) mengemukakan bahwa pentingnya komunikasi dan koordinasi, yang ditujukan untuk membangun suatu kerjasama adalah merupakan salah satu syarat penting dalam kebijakan publik dimana salah satu variabel model implementasi kebijakan itu adalah komunikasi antar organisasi yang saling berkaitan dengan variabel-variabel lainnya dalam menghasilkan kinerja kebijakan yang tinggi dan baik.
Mengacu kepada beragamnya persepsinya (pemahaman) tentang konsep dan tujuan kebijakan MPMBS, yang dikarenakan kurangnya intensitas sosialisasi atau kurang tepatnya sosialisasi kebijakan MPMBS, maka sangat diperlukan peningkatan intensitas dan mengkaji ulang kembali model sosialisasi yang sesuai (tepat) bagi implementasi kebijakan MPMBS. Persepsi (pemahaman) yang keliru, dapat menyebabkan pengelolaan sekolah yang keliru pula dalam memahami MPMBS, sehingga akan dapat menjerumuskan sekolah dan warganya ke dalam situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan (yang tidak diharapkan).
Dalam hal menerapkan strategi pembelajaran pada proses belajar mengajar, misalnya model PAKEM belum diterapkan sepenuhnya. Peneliti melihat ada guru pada suatu sekolah telah memulai menerapkan strategi Pembelajaran Aktif, Kreatif dan Menyenangkan (PAKEM), tetapi mereka sendiri tidak tahu bahwa yang dilakukan itu sebenarnya adalah merupakan termasuk salah satu strategi yang sudah mengarah pada PAKEM, tetapi belum seutuhnya. Hal ini disebabkan karena ketidakpahaman guru terhadap konsep dan karakteristik dari PAKEM tersebut. Di samping itu yang menjadi persoalan juga adalah terlalu beratnya beban tugas yang harus di tanggung guru karena sistem guru kelas, dimana di samping harus menguasai seluruh materi pelajaran juga harus melaksanakan PAKEM, yang membutuhkan waktu yang banyak, persiapan yang matang dan waktu yang cukup.
Berkaitan dengan transparansi, kebijakan MPMBS merupakan salah satu model manajemen yang menuntut atau mengedepankan adanya transparansi, dengan kata lain transparansi merupakan kunci pelaksanaan kebijakan MPMBS. Dan di lapangan telah di temukan adanya transparansi, tapi masih terbatas pada transparansi manajemen keuangan, bidang kesiswaan, bidang personalia, tetapi yang menjadi perhatian utama peneliti hanya transparansi keuangan, dengan pertimbangan bahwa bidang keuanganlah yang paling sensitif dan menjadi sorotan utama dari publik.

Fakta di lapangan peneliti temukan bahwa pelaksana (aktor/stakeholders) yang terlibat belum melaksanakan tugasnya dengan baik, sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan. Misalnya dalam hal sosialisasi, belum dilakukan secara kontinyu dan menyeluruh (bersifat temporer) sehingga konsep dan tujuan kebijakan MPMBS belum dipahami oleh target group atau aktor/stakeholders secara baik, bahkan yang tidak mengerti sama sekali apa itu MPMBS. Di samping itu masih ada ditemukan sekolah yang belum memiliki visi dan misi sekolah.
Fenomena-fenomena di atas, sejalan dengan pendapat dari Long (lihat Abdul Wahab, 1999) yang mengatakan bahwa dalam banyak kasus, proses implementasi kebijakan akan selalu terbuka peluang adanya “re orientasi” atau transformasi kebijakan, praktis tiak ada garis lurus yang membentang serta menghubungkan antara kebijakan dan hasil akhir kebijakan. Pendapat Long ini benar-benar terbukti/terjadi pada implementasi kebijakan MPMBS.
Untuk menambah wacana, dalam melakukan analisis terhadap implementasi kebijakan MPMBS, selain teori Top-down dan Buttom-up, maka dalam pembahasan ini juga akan dipaparkan teori model pendekatan sintesis (Hybried Theories). Yakni suatu model kombinasi atau sintesis dari dua posisi (Model Top-Down dan Buttom-Up). Sabatier (lihat Parson, 1997) mengkaji implementasi menuju suatu sintesis, mengatakan bahwa tahap-tahap kebijakan (Policy-Stages) tidaklah membantu proses pengambilan kebijakan karena memilah-milahnya menjadi serangkaian bagian (section) yang sifatnya tidak realistis dan artifisial. Karena itu dari sudut pandang ini, implementasi dan policy-making menjadi kesatuan proses yang sama. Disini juga diungkapkan sintesa dua posisi (Top-Down dan Buttom-Up) dapat dipakai pada dinamika implementasi inter-organisasi dan net work (jaringan kerja), dimana model top-down memfokuskan perhatiannya pada institusi dan kondisi sosial ekonomi, yang menekankan perilaku.
Sintesa ini disempurnakan melalui pemakaian konteks sub system, yaitu semua aktor yang terlibat secara interaktif satu sama lain dalam proses politik dan kebijakan dibatasi oleh parameter yang relatif stabil serta kejadian di luar sub system.


Secara lebih jelas (Islamy, 2001) mengatakan bahwa Policy Sub System adalah aktor-aktor kebijakan yang berasal dari organisasi, baik organisasi publik maupun privat, secara aktif mengkaji dan mengkritisi suatu masalah kebijakan tertentu. Hal yang penting dari model implementasi ini adalah kedudukannya sebagai bagian yang berkesinambungan dari pengambil kebijakan (engonging part of policy making) dalam “Advocacy Coalitions” atau pendampingan para aktor kebijakan dengan berbagai elemen yang ada di masyarakat, atau aktor-aktor dari berbagai organisasi publik dan privat yang memiliki serangkaian kepercayaan, yang berusaha merealisasikan tujuan bersama sepanjang waktu (Islamy, 2001).
Sedangkan dari model buttom-up yang dipertimbangkan adalah implementasi dikonseptualkan proses pembelajaran (learning-process), tujuannya adalah untuk menganalisis proses terjadinya pembelajaran terhadap kebijakan kalangan “Advocacy Coalitions”, dan memperkenalkan kondisi institusional yang paling cocok atau kondusif bagi proses belajar, dalam melakukan perubahan atau penyesuaian. Dari uraian-uraian yang dipaparkan di atas, makna yang dapat diungkap adalah bahwa model sintesis/Hybried, adalah suatu model implementasi kebijakan yang perwujudannya diawali oleh terbentuknya suatu jaringan kerja (net-work), berupa “Policy Sub System” dalam kerangka kerja “Koalisi Advocacy” yang dilandasi oleh konsep pembelajaran (learning process) yang kondusif (adanya keterkaitan, keteraturan dan kerjasama atau sistem kepercayaan), dilakukan secara berkesinambungan, agar terjadinya suatu perubahan (revisi), penyesuaian (adaptasi) dalam praktek/pelaksanaannya (implementasi), sehingga tujuan suatu kebijakan dapat direalisasikan sebagaimana mestinya.
Merujuk kepada pendapat Sabatier dan Islamy di atas, realitas di lapangan menunjukkan bahwa dalam proses implementasi kebijakan MPMBS, mengharuskan pihak sekolah (Kepala Sekolah) sebagai pelaku kebijakan (aktor/ stakeholders) utama kebijakan untuk mengedepankan metode implementasi yang melibatkan aktor/stakeholders lain seperti: guru, siswa, orang tua siswa, tokoh masyarakat atau Komite Sekolah/BP3 dan masyarakat/organisasi masyarakat lainnya, dalam suatu hubungan kerjasama antar subjek (aktor/stakeholders) sebagai suatu jaringan kerja (net-work) kebijakan dengan organisasi. Guna memperhatikan secara sungguh-sungguh pentingnya kebijakan MPMBS, problema kebijakan, dan cara mengatasinya. Dalam hal ini Hjern dan Porter (1988) (lihat Hill, 1993) menyebut dengan istilah “Policy Net-Work” atau “Implementation Structure”.

Metode jaringan kerja (net-work) belum diterapkan secara optimal, masih terbatas pada jaringan kerja dengan lembaga/instansi pemerintah dan orang tua siswa atau Komite Sekolah/BP3 saja, belum ada usaha untuk menjalin kerjasama dengan kelompok pengusaha, Organisasi Cendikiawan Perantau Daerah, Ikatan Alumni dan lain-lain.
Dari beberapa indikator-indikator yang ada, hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan-perubahan sebagai akibat dari pelaksanaan atau implementasi kebijakan MPMBS. Adapun salah satu diantara perubahan dimaksud diindikasikan dengan adanya pernyataan dari orang tua siswa dan siswa, dimana mereka merasa senang dan antusias menyambut implementasi kebijakan MPMBS ini. Khusus bagi siswa mereka merasa sangat senang, karena mereka menjadi lebih pintar bahasa Inggris, bahasa Arab dan baca/tulis Al-Quran dan lain-lain. Sedangkan terkait dengan model implementasi peneliti berpendapat bahwa model kebijakan MPMBS ini cukup memberikan harapan/menjanjikan, dengan kata lain bahwa model program MPMBS ini lebih baik, dibandingkan dengan program yang telah dilaksanakan selama ini yang lebih bersifat sentralistik, kaku (tidak demokratif), tidak adaptif tapi represif, tidak partisipatif dan tidak berorientasi pada pemberdayaan sumber daya, dan lain sebagainya. Indikator-indikator tersebut meliputi antara lain:
a. Model kebijakan MPMBS, menuntut peran serta orang tua siswa dan masyarakat tidak terbatas hanya pada pembayaran/iuran/sumbangan biaya pendidikan atau iuran PB3/komite semata. Tetapi mereka dituntut untuk ikut berperan serta, terlibat, dan berpartisipasi secara aktif dan maksimal dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di sekolah serta memantau proses pembelajaran anak-anak mereka di sekolah atau di rumah. Di samping itu juga mereka dilibatkan/diikutsertakan dan diharapkan mampu secara bersama-sama dengan pihak sekolah dalam menyusun RAPBS.
b. Merubah sistem/modal pembelajaran yang selama ini berpusat pada guru menjadi sistem/model pembelajaran dan pembelajaran yang berorientasi/ berpusat kepada siswa (Student-centered) misalnya

model Pembelajaran Aktif Kreatif dan Menyenangkan (PAKEM). Pendekatan yang digunakan terhadap siswa, adalah keramah tamahan, inovatif, terbuka, sesuai dengan karakteristik siswa. Belajar itu tidak hanya di kelas saja, tetapi lingkungan sekolah lainnya juga dapat dijadikan sumber-sumber pembelajaran siswa.


c. Kegiatan administratif maupun proses pembelajaran, dalam program/ kebijakan MPMBS dilakukan secara transparansi. Kepala Sekolah, guru, Komite Sekolah/BP3, secara bersama-sama terlibat dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran belanja sekolah. Dan secara terbuka disampaikan sumber besarnya dana yang akan didapatkan dan dipergunakan untuk apa saja.
d. Dalam implementasi kebijakan MPMBS dituntut kiat (kepemimpinan transformasional, profesionalisme, dan kreatifitas) dalam mendayagunakan/ pemberdayaan sumber daya yang ada di sekolah maupun di lingkungan sekolah. Hal di atas akan tercapai bila diberikan otonomi (tentu dalam kerangka kebijakan MPMBS) kepada sekolah untuk mengoptimalkan potensi-potensi yang ada di lingkungan sekolah mereka.

Keempat hal tersebut daitas, dalam implementasi kebijakan MPMBS hendaklah diakomodatif secara baik, agar terjadi atau kelihatan suatu perubahan kearah yang lebih baik, setelah kebijakan ini diimplementasikan.
2. Keterlibatanatau Partisipasi Aktif Masyarakat sebagai Salah Satu Aktor/Stakeholder Penting dalam Implementasi Kebijakan MPMBS di Sekolah Dasar Kota Solok
Hasil temuan di lapangan menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan/pelaksanaan kebijakan MPMBS adalah jenis partisipasi ekstensif, karena hanya sebatas menganggapi suatu isu, misal kekurangan kursi, meja dan lain-lain. Tetapi pada dasarnya partisipasi sudah meningkat.
Peningkatan partisipasi masyarakat dalam membantu sekolah masih didominasi atau berorientasi kepada pembiayaan, pembangunan fisik/gedung dan peralatan-peralatan. Mestinya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, tidak hanya terfokus kepada pembiayaan dan pembangunan fisik saja, melainkan juga berpartisipasi dalam proses kebijakan atau implementasi kebijakan, misalnya dalam hal perencanaan program sekolah, pengambilan keputusan, pelaksanaan proses belajar mengajar anak, dan dalam mengevaluasi pelaksanaan program sekolah.
Hasil pengamatan peneliti di lapangan menunjukkan bahwa di tiga dari empat sekolah yang diobservasi menunjukkan bahwa tingkat partisipasi sudah mulai meningkat, terutama di SDN 06 Tanah Garam, SDN 07 Kampung Jawa dan SDN 03 Kampung Jawa (Sekolah Hibrid), namun belum optimal.
Bila mengacu kepada pendapat Graham dan Philip, mengenai bentuk partisipasi, ditemukan maish belum optimalnya partisipasi masyarakat terutama dalam proses kebijakan, hal ini disebabkan memang bentuk partisipasi masih bersifat partisipasi ekstensif. Untuk dapat meningkatkan partisipasi intensif (yang dapat mengembangkan solusi, inovatif dan konsensus), dapat dilakukan dengan memberdayakan Komite Sekolah/BP3 secara optimal yang dilandasi kebersamaan, keterbukaan, dan akuntabilitas terhadap peningkatan mutu pendidikan melalui kebijakan MPMBS.
Selama ini karena sistem pendidikan yang sentralistik seakan-akan ada pembatas antara sekolah dengan orang tua/masyarakat. Orang tua siswa/ masyarakat, hanya dapat menerima apa yang telah dilaksanakan atau diputuskan sekolah. Dengan kata lain dapat diistilahkan bahwa sekolah sebagai pemain, orang tua siswa/masyarakat hanya sebagai penonton.
Sekarang, di era desentralisasi pendidikan, paradigma tersebut berubah, sekolah (Kepala Sekolah, guru siswa) dan orang tua/masyarakat secara bersama bertindak sebagai pemain, wasit, dan sekaligus jadi penonton.
Artinya, keikutsertaan masyarakat secara aktif dalam proses pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan serta pengendalian terhadap kebijakan pendidikan merupakan salah wujud atau kunci keberhasilan dalam meningkatkan pendidikan, oleh karena itu pendekatan untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan dan yang dapat memberi ruang bagi kepentingan dan inisiatif masyarakat perlu dikembangkan dan dibina secara sungguh-sungguh dan kontinyu.
Menurut Mubyarto (1995) mengatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan (termasuk pendidikan) dipengaruhi oleh modernisasi dan komersialisasi. Dijelaskan juga bahwa modernisasi dan komersialisasi selalu cenderung menimbulkan dua akibat negatif yaitu: 1) Semakin berkurang keperluan akan keputusan-keputusan kolektif; 2) Kecenderungan bertambah besarnya pikiran dan perilaku yang bersifat antisipatif.


Selain itu, bagaimana meningkatkan dan mengembangkan partisipasi masyarakat, di bawah ini dijelaskan sebagai berikut: 1) Desentralisasi pengambilan keputusan di tingkat pemerintah yang lebih rendah. 2) Melibatkan masyarakat secara langsung sebagai target group. 3) Mengembangkan demokrasi dalam pengambilan keputusan dengan cara menyalurkan aspirasi dari masyarakat.
Kenyataan di lapangan, peneliti temukan bahwa intensitas partisipasi masyarakat sudah mulai meningkat, hal tersebut dibuktikan dengan 1) Kedatangan orang tua siswa ke sekolah, untuk mengusulkan penambahan buku-buku bacaan penunjang seperti: taktis, pintar, dimensi dan lain-lain. 2) Adanya bantuan mukena, Al-Quran/dan dana bagi menunjang sekolah Hibrid. 3) Pengadaan sekolah Hibrid, dengan bantuan dari Gebu Minang dan Universitas Negeri Padang. 4) Pemberian beasiswa kepada siswa berprestasi (mengangkat nama baik sekolah di SDN 07 Kampung Jawa. 5) Ketua Komite/BP3 SDN 07 Kampung Jawa, mengangkat tiga orang anak asuh dari keluarga tidak mampu. 6) Keterlibatan orang tua siswa dan masyarakat lingkungan sekolah dalam membantu pendirian sanggar kesenian di SDN 07 Kampung Jawa. 7) Keterlibatan atau partisipasi Komite Sekolah/BP3, pemuda-pemudi, dan tokoh masyarakat dalam persiapan dan penyambutan Tim Studi Banding SDN Kecamatan Banuhampa Bukittingi ke SDN 06 Tanah Garam tamu disungguhkan tarian gelombang dan hidangan makanan, yang disediakan oleh sekolah dan masyarakat sekitar sekolah.
Dari bukti-bukti yang diuraikan di atas hal tersebut sudah merupakan suatu langkah maju, yang harus dibudayakan dan lebih ditingkatkan secara lebih optimal oleh pihak sekolah.
Partisipasi masyarakat yang efektif memang sulit direalisasikan atau didapatkan, sungguhpun berbagai upaya kearah itu tetap sangat perlu ditingkatkan dan dikembangkan di sekolah termasuk dalam implementasi kebijakan MPMBS. Sebab bagaimanapun (seperti telah diungkapkan terdahulu) partisipasi masyarakat merupakan faktor kunci terhadap keberhasilan yang dicapai, dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Sebagai komparasi, Rumtini (1999) mengungkapkan bahwa ada tiga upaya peningkatan partisipasi masyarakat yang pernah dilakukan di Depdiknas, diantaranya:

1 Community Participation in Planning and Management Resources (COPLANER) Kegiatan untuk mengembangkan suatu kerangka kerja administrasi, yang mengikutsertakan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan sumber daya pendidikan di SD, SLTP, SLTA baik negeri maupun swasta.
2 Community Participation in Strategic Education Planning for School Improvement (COPSEP) Kegiatan yang ditujukan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan pendidikan pada program peningkatan sekolah. Kegiatan diarahkan pada pembentukan Komite Sekolah, dan di komite inilah peranan masyarakat diharapkan.
3 Primary Education Quality Improvement Project (PEQIP) Kegiatan yang berorientasi pada peningkatan mutu Sekolah Dasar melalui proses belajar mengajar, melalui pembinaan-pembinaan, salah satunya pembinaan partisipasi masyarakat yang dituang dalam wadah yang dinamakan

Information Education and Communication
(IEC).
Dari ketiga upaya peningkatan partisipasi ini telah dapat diidentifikasi beberapa partisipasi masyarakat dapat dilaksanakan dalam penyelenggaraan pendidikan, meliputi: a) Pelayanan, b) Sumbangan (kewajiban) akan biaya, sarana, perlengkapan dan ketenagakerjaan, c) Kehadiran ke sekolah (biasanya hanya sebagai pihak yang pasif dan menerima keputusan yang disampaikan pihak lain), d) Tempat konsultasi terhadap masalah-masalah tertentu, e) Keterlibatan dalam pengiriman-pengiriman jasa, f) Pelaksana kewenangan yang didelegasikan, g) Partisipasi dalam pengambilan keputusan sekolah


3. Kendala dalam Implementasi Kebijakan MPMBS di Sekolah Dasar Kota Solok
Dari berbagai kenyataan yang peneliti peroleh di lapangan, membuktikan bahwa implementasi kebijakan MPMBS di Sekolah Dasar Kota Solok terkendala pada hal-hal sebagai berikut: 1) Kesiapan sumber daya masih rendah, misalnya: a) Kurangnya buku-buku bacaan penunjang di pustaka sekolah, b) Tinggi tingkat ketergantungan sekolah terhadap bantuan (seperti: dana, dan lain-lain) dari pemerintah, sehingga mengakibatkan pihak sekolah kurang kreatif/inisiatif, menggali potensi di sekolah bersangkutan. c) Rendahnya/kurang profesionalnya Kepala Sekolah dan guru dalam mengelola dan melaksanakan pendidikan di sekolah. 2) Sosialisasi kebijakan MPMBS intensitasnya masih kurang, temporer, dan dilakukan tidak secara menyeluruh (komprehensif), sehingga tidak dipahaminya konsep dan tujuan MPMBS tersebut secara baik oleh aktor/ stakeholders. 3) Kemandirian (otonomi) Kepala Sekolah dalam mengelola atau manajemen sekolah masih rendah. Terkesan ragu-ragu, takut salah, dan ketergantungan terhadap petunjuk pelaksanaan dan bantuan pemerintah masih tinggi, sehingga Kepala Sekolah dan jajarannya terkesan statis serta kurang kreatif. 4) Adanya kebijakan MPMBS dengan pengimplemen-tasiannya, dipandang oleh sebagian pihak sekolah sebagai suatu beban (meliputi waktu, administrasi dan persyaratan tertentu lainnya) karena semua ini tidak diimbangi oleh kontribusi yang memadai, yang mereka terima sebagai dampak dari program MPMBS ini. Terkecuali di SDN 03 Kampung Jawa (Sekolah Hibrid).


Menurut Presman dan Wildausky (1973) (lihat Abdul Wahab, 1997) faktor-faktor yang dikemukakan di atas, untuk menghindari kegagalan dalam implementasi perlu mendapat perhatian secara seksama.
Sementara Parson (1997) mengatakan bahwa kegagalan implementasi suatu kebijakan cenderung karena faktor ulah manusia, dimana pengambilan keputusan yang gagal memperhitungkan kenyataan adanya persoalan manusia yang sangat komplek dan bervariasi. Adapun yang dimaksudkan disini adalah baik pemerintah sebagai pembuat kebijakan maupun sekolah beserta warganya sebagai pelaku kebijakan dan target group.
Merujuk kepada berbagai kendala atau hambatan yang telah diidentifikasi dari hasil penelitian, dan dikaitkan dengan pandangan atau pendapat ahli mengenai faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan implementasi suatu kebijakan, maka peneliti berpendapat bahwa: “kegagalan implementasi suatu kebijakan, belum tentu sepenuhnya dikarenakan ketidakmampuan pelaksana (aktor/stakeholders pelaksana), tetapi juga disebabkan karena pembentukan kebijakan itu sendiri yang kurang sempurna atau kebijakan tersebut memang jelek (bad policy). Disinilah dituntut kepiawaian dari para pelaksana kebijakan (aktor/ stakeholderss) atau pelaku utama kebijakan, supaya mampu melakukan penyesuaian-penyesuaian atau adaptasi, sehingga proses implementasi dapat berjalan efektif dan tujuan/pokok kebijakan dapat direalisasikan.

Berkenaan juga dengan kegagalan implementasi MBS, Wohlsteter dan Mohrman (1996) (lihat Nurkolis, 2001) dalam hasil penelitian mengungkapkan empat macam kegagalan implementasi MBS, yaitu Pertama, sekedar mengadopsi model apa adanya ada upaya kreatif. Kedua, Kepala Sekolah bekerja berdasarkan agenda kerja sendiri tanpa memperhatikan aspirasi warga sekolah. Ketiga, kekuasaan pengambilan keputusan terpusat pada satu pihak. Keempat, menganggap MBS adalah hal yang biasa dengan tanpa usaha yang serius akan berhasil dengan sendirinya, padahal pada kenyataannya implementasi MBS memakan waktu, tenaga, pikiran secara besar-besaran.
Keempat indikator yang telah dipaparkan di atas, mengisyaratkan bahwa guna menghindari kegagalan implementasi kebijakan MBS atau kebijakan MPMBS tersebut, maka diperlukan keterlibatan atau partisipasi aktif semua pelaku kebijakan (koalisi aktor/stakeholderss) untuk mengkaji, melakukan penyesuaian dan adaptasi (reformulasi).
Kebijakan yang dilandasi azas kerjasama, keterkaitan, kebersamaan dan akuntabilitas yang didukung oleh semangat demokrasi dan transparansi menuju suatu komitmen/ konsensus, agar pelaksanaan program MPMBS (implementasi kebijakan MPMBS) berjalan dengan baik, dan tujuan kebijakan (yakni meningkatkan mutu pendidikan) tercapai. Koalisi aktor/stakeholderss tersebut, meliputi: Kepala Sekolah, guru, siswa, orang tua siswa, masyarakat, Komite Sekolah/BP3, pejabat pemerintah terkait, dan organisasi masyarakat lainnya yang peduli terhadap kegiatan pendidikan di sekolah, khususnya di Sekolah Dasar.
PENUTUP


A. Kesimpulan
1. Dilihat dari jumlah personil yang ada (Kepala Sekolah dan Guru), rasio jumlah guru dan murid, kualifikasi pendidikan dan kepangkatan (ruang/golongan) yang dimiliki, maka Kepala Sekolah dan guru sebagai aktor/stakeholders utama kebijakan MPMBS, dapat dikatakan telah siap mengemban tugas untuk mengimplemen-tasikan kebijakan MPMBS ini. Sebab, mereka memenuhi syarat/standar kelayakan untuk mengajar (melaksanakan tugas dalam proses belajar mengajar) di sekolah. Dengan kata lain secara kuantitas, Kepala Sekolah dan guru yang ada di Sekolah Dasar Kota Solok, seharusnya siap untuk mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan MPMBS secara lebih dan optimal. Akan tetapi dilihat secara kualitas, meliputi sikap dan kemampuan profesionalisme, kepemimpinan transformasional, kreatifitas yang dimiliki Kepala Sekolah dan guru, maka dapat dikatakan bahwa Kepala Sekolah dan guru, belum siap untuk mengimplementasikan kebijakan MPMBS ini, karena mereka belum memiliki sikap dan kemampuan tersebut. Dan diperparah lagi dengan adanya budaya menunggu petunjuk dari atas, takut salah, sehingga membuat Kepala Sekolah dan guru menjadi bersikap pasif dan tidak kreatif. Dan ketidaksiapan dari orang tua murid (masyarakat), disebabkan oleh karena kurang dipahaminya konsep MPMBS karena masih kurangnya informasi yang didapat oleh mereka.


1 Mengenaisarana, prasarana dan pembiayaan, dilihat dari kondisi fisik sekolah-sekolah dan lingkungan sekolah pada dasarnya cukup kondusif untuk melaksanakan dan mengembangkan (mengimplementasikan) kebijakan MPMBS, baik ruang kelas, ruang pustaka, ruang KKG, ruang guru/Kepala Sekolah, WC, halaman sekolah dan lain-lain cukup menunjang. Namun, yang masih kurang adalah buku bacaan penunjang bagi siswa, dan alat peraga untuk menerapkan strategi pembelajaran dalam proses belajar mengajar, yang sesuai seperti untuk metode Pembalajaran Aktif Kreatif dan Menyenangkan (PAKEM), serta minim atau kurangnya biaya untuk menopang penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
2 Dilihat dari aspek kelembagaan, yakni organisasi sekolah seperti: Kelompok Kerja Guru (KKG), Kelompok Kerja MPMBS, dan Komite Sekolah/BP3 dan organisasi masyarakat pemerhati pendidikan lainnya cukup tersedia. Yang menjadi persoalan adalah pemberdayaan organisasi-organisasi tersebut masih kurang. Hal ini disebabkan kurang informasi yang didapatkan atau diberikan kepada organisasi tersebut sehingga konsep dan tujuan kebijakan MPMBS tidak dipahami secara baik oleh semua aktor/stakeholders yang terlibat dalam organisasi sekolah ini (kepala sekolah, guru, siswa, orang tua murid, masyarakat umum lainnya). Dengan kata lain masih kurangnya komunikasi dan koordinasi diantara pelaku kebijakan, dikarenakan intensitas sosialisasi kebijakan masih bersifat temporer, dan tidak menyeluruh serta tidak kontinyu. Selain itu aspek yang cukup mempengaruhi adalah pemberdayaan Kepala Sekolah masih kurang dan belum diberikan otonomi (kewenangan dan kekuasaan) secara penuh


untuk mengelola dan menerapkan kebijakan MPMBS kepada Kepala Sekolah, sebagai aktor/stakeholders utama kebijakan ini. Dampak lain yang timbul adalah ketidakmampuan Kepala Sekolah membentuk jaringan kerja dengan organisasi masyarakat lainnya yang peduli pendidikan, kecuali hanya kerjasama dengan orang tua murid (Komite Sekolah/BP3) dan pemerintah terkait yang selama ini telah dilakukan.
1 Dalam manajemen sekolah, arti pentingnya transparansi (keterbukaan) sudah disadari oleh Kepala Sekolah dan telah dilaksanakan, karena metode inilah yang dijadikan salah satu cara untuk menarik perhatian, guna meningkatkan peran serta orang tua murid/masyarakat. Hal ini diindikasikan dengan semakin baiknya perhatian (kepedulian) orang tua/masyarakat terhadap kegiatan pendidikan anak di sekolah.
2 Strategi pembelajaran dilaksanakan melalui metode belajar mengajar yang disesuaikan situasi dan kondisi yang ada di sekolah, misalnya model Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan (PAKEM). Tetapi model ini belum diterapkan sepenuhnya karena pemahaman guru terhadap konsep PAKEM tersebut, masih kurang. Memang ada guru yang mencoba menerapkannya, tapi mereka sendiri tidak tahu bahwa model yang diterapkan adalah konsep yang sudah mengarah kepada PAKEM. Dampak positif dari pelaksanaan model pembelajaran di atas, telah didapatkan dimana ditanggapi secara antusias oleh murid dan orang tua murid. Dengan kata lain siswa dan orang tua mereka merasa sangat senang, padahal metode yang diterapkan baru sebatas mengarah kepada PAKEM, belum PAKEM yang sebenarnya atau seutuhnya.
3 Keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam implementasi kebijakan MPMBS masih bersifat eksentif (mengutip pendapat Graham dan Philip) yakni partisipasi yang masih berorientasi pada pembiayaan dan pembangunan fisik. Secara umum inisiatif masih datang dari pihak sekolah. Akan tetapi walaupun bersifat ekstensif, tapi kontribusinya cukup berarti dan cukup signifikan. Terbukti dengan adanya kritik dan saran dari orang tua murid, misalnya pengadaan buku bacaan penunjang bagi murid dan anjuran pembentukan sanggar kesenian di suatu sekolah, serta keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam acara penyambutan kunjungan (studi banding) sekolah lain ke sekolah mereka. Bentuk keterlibatan atau partisipasi masyarakat yang lain adalah adanya pemberian beasiswa

kepada murid yang mengangkat nama baik sekolah melalui dana komite sekolah, mengangkat anak asuh (oleh Ketua Komite/BP3) pada salah satu sekolah. Dan yang agak spesifik adalah pendirian Sekolah Hibrid (Hibrid School) yang dipelopori oleh organisasi masyarakat perantau Minang yang berpusat di Jakarta yang dikenal dengan nama Gerakan Ekonomi Budaya (Gebu Minang) sedangkan dulu bernama Gerakan Seribu Minang. Dalam keterlibatan atau partisipasi masyarakat secara intensif, misalnya peran serta dalam perencanaan program dan penyusunan anggaran biaya sekolah masih belum terlibat orang tua/masyarakat (Komite Sekolah/BP3) masih bersifat menunggu, dan agresifitas masih didominasi oleh pihak sekolah.


B. Saran-saran
1. Diperlukan : a. Komitmen yang kuat dari seluruh aktor (stakeholders) yang terlibat dan terkait yang dilandasi oleh kerjasama, kebersamaan, keterkaitan dan akuntabilitas.

b. Peningkatan intensitas sosialisasi dan pembinaan yang berkesinambungan baik melalui pelatihan/penataran program, rapat rutin/rapat dinas dan lain-lain, dengan mengikut sertakan seluruh aktor/stakeholders yang terkait, misalnya Kepala Sekolah, Guru, Pengurus Komite Sekolah/BP3, tokoh masyarakat dan masyarakat umum lainnya (pemerhati pendidikan) dengan materi:
- Segala sesuatu yang berkaitan dengan materi konsep, tujuan dan ciri-ciri MPMBS dan lain-lain.
-Kepemimpinan transformasional, profesionalisme, manajemen sekolah, manajemen siswa, dan manajemen kepegawaian atau teori motivasi kerja pegawai.


2. Dalam tahap implementasi kebijakan MPMBS, sebaiknya dipopulerkan dengan menggunakan model pendekatan sintesis (Hybried Theorities) oleh Sabatier dan Islamy, karena model pendekatan ini merupakan kombinasi atau sintesis dari dua posisi (top down dan buttom up), dan model pendekatan tersebut memiliki ciri-ciri sebagai berikut:


a. Berorientasi pada pembentukan jaringan kerja (Net work) inter-organisasi.
b. Pendampinganaktor/stakeholders dengan elemen masyarakat sebagai suatu sub system dalam kerangka kerja advocacy coalitions.
c. Terjadinya interaksi proses pembelajaran secara kontinyu (terus menerus) dalam kerangka kerja advocacy coalitions yang dilandasi keterkaitan, keteraturan, kerjasama atau sistem kepercayaan.




d. Adanya perubahan/penyesuaian atau adaptasi terhadap praktek pelaksanaan (implementasi) kebijakan sesuai situasi dan kondisi yang ada.
e. Perbedaan-perbedaan yang timbul adalah merupakan akibat dari proses pembelajaran, untuk mendapat suatu konsensus atau komitmen aktor/ stakeholders kebijakan.

Hal-hal di atas sangat relevan dengan keadaan di era otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan yang diberlakukan saat ini. Dalam rangka pemberdayaan potensi-potensi yang ada dan sebagai salah satu upaya mengatasi berbagai keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh Pemda Kabupaten/Kota saat ini.
1 Implementasi kebijakan MPMBS, hendaklah benar-benar diikuti oleh pemberian otonomi (kewenangan) secara lebih luas kepada Kepala Sekolah untuk dapat menggali, mendayagunakan potensi-potensi yang ada di sekolah dan lingkungan sekolah, tentunya tetap dalam kerangka kebijakan MPMBS dan monitoring dari pejabat/dinas instansi yang berwenang (Dinas Pendidikan dan jajarannya). Tujuannya adalah a) Untuk mengurangi ketergantungan pihak sekolah terhadap pemerintah, sebab selama ini tingkat ketergantungan sekolah terhadap pemerintah sangat tinggi, sehingga menjadikan sekolah dan jajaran terkesan pasif (tidak kreatif). Karena sudah terbiasa dengan budaya menunggu, baik berupa petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis, atau perintah langsung dari pejabat (dinas/instansi) berwenang yang lebih tinggi (atasan), b) Membantu pihak sekolah dalam mengatasi persoalan kurang dana (biaya), guna menopang penyelenggaraan pendidikan di sekolah, termasuk dalam implementasi kebijakan MPMBS di Sekolah Dasar Kota Solok.
2 Transparansi (keterbukaan) sudah waktunya untuk dibudayakan, seperti apa yang telah mulai dilakukan oleh pihak sekolah meliputi manajemen keuangan, hendaknya diikuti manajemen yang lain (manajemen perlengkapan, kepegawaian, manajemen kesiswaan dan lain-lain) sehingga secara perlahan-lahan sekolah mendapat simpati, dukungan dari warganya, masyarakat/orang tua siswa secara lebih baik.
3 Diperlukan: a. Sosialisasi model/metode pembelajaran PAKEM ini, secara intensif dan kontinyu terhadap semua sekolah atau semua guru termasuk kepada Kepala Sekolah agar model, konsep dan karakteristik model PAKEM ini dipahami

oleh semua warga sekolah baik dilakukan melalui penataran, pelatihan, dan lain-lain.
b. Pengadaan sekolah rintisan atau percontohan dengan menerapkan metode pembelajaran aktif kreatif efektif dan menyenangkan (PAKEM) secara utuh yang ditunjang oleh guru yang memiliki keterampilan dan profesionalisme yang tinggi. c. Pemberian penghargaan materi atau intensif yang memadai, bagi sekolah yang telah sukses menerapkan strategi/metode pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM). Sehingga hal ini dapat memotivasi guru-guru di sekolah lain untuk mecoba menerapkan di sekolah yang mereka pimpin.


1 Di era otonomi daerah dan desentralisasi pengelolaan pendidikan, dalam proses kebijakan (formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan) penggunaan konsep Advocacy Coalition Framework (ACF) adalah merupakan sesuatu yang relevan (sesuai) untuk diterapkan termasuk pada kebijakan MPMBS dan pengimplementasiannya. Sebab, dengan adanya koalisi aktor/stakeholders (berkoalisi), akan menumbuhkan kerjasama, kebersamaan, kepercayaan dan tanggung jawab bersama antara pihak sekolah, orang tua siswa, masyarakat, pejabat pemerintah terkait atau kelompok/organisasi masyarakat umum lainnya, sehingga tujuan kebijakan MPMBS tersebut dapat dicapai sebagaimana mestinya. Di samping itu, konsep ACF ini juga sejalan dengan model pendekatan implementasi kebijakan yang telah peneliti sarankan sebelum ini, yakni Model Pendekatan Sitesis (Hybrid Theories) dari Sabatier dan Islamy (lihat saran poin 2).
2 Pemerintah Daerah dan DPRD sudah waktunya untuk lebih mendorong, dan memfasilitasi Sekolah Dasar, untuk membentuk jaringan kerja secara lebih luas dengan pihak-pihak lain : alumni, pengusaha, LSM, perantau Minang, BUMD, Cendikiawan, perguruan tinggi dan lain-lain. Hal tersebut dapat diwujudkan melalui pembentukan wadah atau organisasi, peduli (pemerhati) pendidikan, misalnya Organisasi Gerakan Peduli Pendidikan Anak Usia Sekolah Kota Solok. Diharapkan keberadaan wadah/organisasi tersebut di atas dapat membantu menanggulangi berbagai permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh Sekolah Dasar di Kota Solok, termasuk persoalan keterbatasan dana (biaya), beberapa buku-buku bacaan penunjang bagi siswa, dan lain-lain.


DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abdul Wahab, S. 1997. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi. Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Aksara.
Abdul Wahab, S. 1999. Analisis Kebijakan Publik Teori dan Aplikasinya. Malang: PT Danar Wijaya.
Caldwell, BJ dan Spinks, J. 1992. Leading the Self – Managing School. Washington,
D.C: The Falmer Press.
Depdiknas, 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
Gunn, W. N. 1981. Public Policy Analysis: An Introduction. New Jersey: Prentice Hall.
Islamy, M Irfan. 2001. Seri Policy Analysis. Malang: Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang.
Klingemann, H.D. dan Fuchs, D. 1995. Citizens and The State: Beliefs In Government. New York: Oxford University Press.
Miles, M. B. dan Huberman, M. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi. 1992. Jakarta: UI Press.
Miles, M. B. dan Huberman, M. Qualitative Data Analisysis A Sourcebook of New Method. Beverly Hills London: Sage Publication.
Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda karya.
Parsons, Wayne. 1997. Public Policy: An Introduction to the Theory and Practise of Policy Analysis. Edward Elgar, Cheltenham, UK Lyme. US.
Sabatier, Paul A. & Mazmanian, Daniel A. 1987. Implementation and Public Policy. Scott Foresman and Company, University of California, Al Davis.
Wibawa, S. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Widjajati, H. 2002. Anak Jalanan : Studi Kasus tentang Fenomena Pengamen Lampu Merah dan Kebijakan Penanggulangannya di Kota Malang. Tesis. Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang.
World Bank Study. 1998. Education in Indonesia: From Crisis to Recovery, Education Sector Unit, East Asia and Fasifict Regional Office.



Jurnal Ilmiah:
Ellison. 1998. The Advocacy Coalition Framework and Implementation of the Endangered Species Act : A Case Study in Western Water Politics. Journal Policy Studies, Vol. 26 No. 1, page 11-29.
Hasri, Salfen. 2002. “Ilmu Pengetahuan Sosial”. Kepemimpinan Kepala Sekolah dari Kerangka Desentralisasi dan Otonomi Sekolah. Edisi Khusus-HUT-FE-UM. Oktober. Hal. 10.
Nurkolis. 2001. “Manajemen Berbasis Sekolah” Hakekat Desentralisasi Model MBS. Article Pendidikan Network (English), Juni. Page 1 – 2 of
2.
Nurkolis. 2002. “Manajemen Berbasis Sekolah” Strategi Sukses Implementasi MBS, Article Pendidikan Network (English), Januari, Page 1 of 4.
Portz, John. 1996. “Problem Definitions and Policy Agendas: Shaping the Educational Agenda in Boston”. Journal Policy Studies, Vol. 24. No. , pp 371-386.
Rumtini dan Jiyono. 1999. “Manajemen Berbasis Sekolah”. Konsep dan Kemungkinan Strategi Pelaksanaannya di Indonesia”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni Tahun Ke 5 No. 017. Hal. 77-101.
Sabatier, Paul A. 1986.Top Down and Bottom-up Approaches to Implementation Research: a Critical Analyis and Suggested Syinthesis”. Journal of Public Policy, Vol, pp. 197-
209.



Salladien. 2002. “Ilmu Pengetahuan Sosial”. Alternatif Model Pendidikan Berorientasi Dunia Kerja. Edisi Khusus-HUT-FE-UM. Oktober. Hal 10.
Umaedi, April. 1999. “Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah”. Depdikbud.


Majalah dan Harian Umum:
Budiyono. 13 Februari 2001. “Otoda dan Ruwetnya Problem Pendidikan”. Jawa Pos.
Nurkholis, 15 Januari 2001. “Hakekat Desentralisasi Model MBS.” Kompas. Hal 9.
Nurkholis, 27 Juli 2000. “Strategi Sukses Implementasi MBS.” Kompas. hlm 9.
Khomsan. 29 September 2000. “Peringkat Sumber Daya Manusia Kita”. Kompas, hlm. 4.
Dokumen Resmi Pemerintah:
Rencana Strategik Pemerintah Daerah Kota Solok Tahun 2000 – 2004.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 1990. Jakarta: PT. Armas Duta Jaya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. 1999. Bandung: Kuraiko Pratama.