Saturday 22 March 2008

DPRD DALAM MASA TRANSISI MENUJU DEMOKRASI

DPRD DALAM MASA TRANSISI MENUJU DEMOKRASI

A.B.Barrul Fuad
Drs.A.B.Barrul Fuad, MSi, adalah Staf Pengajar pada Jurusan Administrasi Negara dan Program Pascasarjana Unibraw. Memperoleh gelar Sarjana (dalam bidang Ilmu Pemerintahan) dan Magister (Ilmu Politik) dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.


Pendahuluan
Dalam masa transisi otoritarian menuju demokrasi terjadi suatu perubahan–peru-bahan dalam sistem politik yang sangat penting. Perubahan yang dimaksud khusus-nya yang menyangkut struktur kekuasaan. Dari kekuasaan yang sentralistik/terkon-sentrasi pada seseorang atau sekelompok orang berubah menjadi kekuasaan yang ter-pencar dan terdesentralisasi. Dari kekuasaan yang serba tertutup berubah menjadi trans-paran, dari yang serba negara (state center) berubah menjadi serba masyarakat. Pendek kata dalam masa transisi ini terjadi reduksi kekuasaan negara.
Perubahan-perubahan di atas tidak mu-ngkin terjadi secara instan begitu saja, ar-tinya dari sistem politik yang otoriter langsung berubah menjadi sistem politik yang demo-kratis, namun melalui proses transisi. Oleh karena itu tidak mengheran-kan dalam masa proses transisi tersebut seringkali terjadi ke-rentanan dalam sistem politik.
Di samping itu perubahan-perubahan ter-sebut juga menyangkut masalah nilai-nilai, yaitu nilai yang bersifat konservatif/otoriter yang ingin tetap dipertahankan –karena me-mang menguntungkan bagi sekelompok orang- berbenturan dengan nilai pembaha-ruan/demokrasi yang merupakan tuntutan yang tidak bisa dihindari dari sebuah proses perubahan menuju demokrasi.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem politik, tentu me-ngalami perubahan dalam peranannya dari masa sebelumnya. Ia bukan lagi lembaga yang bertugas memberi “stempel” dari apa yang dimaui eksekutif, tapi menjadi lem-baga yang kritis terhadap eksekutif. Selan-jutnya, tulisan ini diarahkan untuk memaha-mi perubahan-perubahan dalam masa tran-sisi, dan kedudukan DPRD dalam masa tersebut.



Dinamika Hubungan Negara-Masyarakat
Bentuk rezim yang diterapkan dalam suatu negara pada dasarnya dapat dilihat se-bagai pencerminan dari hubungan antara negara dan masyarakat, lebih spesifik lagi hubungan timbal balik antara kekuatan ne-gara dan kekuatan masyarakat sipil. Secara umum terdapat tiga kemungkinan pola hu-bungan antara negara dan masyarakat (Stepan, 1985). Pola yang pertama adalah yang ber-corak zero sum. Dalam pola ini kekuatan negara berbanding terbalik dengan kekuatan masyarakat. Meningkatnya keku-atan negara akan diikuti oleh berkurangnya kekuatan masyarakat sipil. Atau sebaliknya, hubungan bisa terjadi dalam bentuk mengu-atnya kekuatan masyarakat sementara keku-atan negara menurun. Hubungan antara negara dan ma-syarakat dapat juga memiliki pola kedua yang berkarakter positive sum. Hubungan timbal balik antara kedua faktor tersebut memberikan peningkatan kepada keduanya. Pola yang ketiga adalah yang memiliki karakter negative sum. Dalam pola ini, kemampuan negara untuk menentukan pola hubungannya dengan masyarakat me-nurun ataupun menentukan struktur hubu-ngan dalam masyarakat menurun, sementara kekuatan masyarakat terpecah-pecah dan mengimplikasikan lemahnya kemampuan masyarakat untuk melakukan bargaining meng-hadapi negara.



Demokrasi sebagai suatu rezim dapat pula dilihat dalam kaitannya dengan hubu-ngan antara negara dan masyarakat. Tatanan yang demokratis sebenarnya menggambar-kan adanya suatu bentuk hubungan yang memiliki karakter positive sum antara ne-gara dan masyarakat sipil. Kekuatan antara keduanya relatif seimbang dalam artian bahwa masyarakat memiliki bargaining position yang cukup kuat dan dapat “memaksa” negara mempertimbangkannya dalam suatu proses politik.
Posisi masyarakat yang sangat kuat ini tidak berarti mengorbankan negara. Negara yang kuat dalam arti mampu menjalankan fungsi-fungsinya secara efektif mutlak di-perlukan. Suatu tatanan yang ditandai oleh menguatnya peranan masyarakat tanpa di-ikuti oleh menguatnya peran negara tidak akan dapat berlangsung secara efektif dan hanya akan menimbulkan suatu bentuk tata-nan yang anarkhis, yang ditandai oleh disorder bahkan disintergrasi. Sementara pada kutub ekstrem yang lain, menguatnya negara tanpa diimbangi tanpa diimbangi oleh menguatnya peran masyarakat akan memunculkan bentuk-bentuk hubungan seperti otoritarian, diktator, tiran dan sema-camnya.
Negara hanya dapat menjalankan otoritas dan fungsi-fungsinya jika memiliki kekuat-an. Negara yang lemah tidak akan cukup mampu menjalankan fungsi ekstraktif, se-perti misalnya, menarik pajak dari masya-rakat untuk membiayai kegiatan-kegiatan-nya ataupun fungsi-fungsi yang lain. Negara yang lemah juga tidak akan mampu mem-berikan jaminan hukum dan keamanan mau-pun menyelenggarakan pelayanan publik yang baik bagi warga negaranya (fungsi regulatif dan distributif). Sebaiknya kuatnya peran negara harus diimbangi oleh kuatnya posisi masyarakat. Masyarakat harus mam-pu mempe-ngaruhi jalannya pembuatan kebijaksanaan yang menyangkut hidupnya. Peran ini tidak akan dapat dijalankan jika masyarakat me-miliki bargaining position yang memadai untuk menyatakan penda-patnya hingga dipertimbangkan oleh nega-ra. Menguatnya posisi masyarakat disini juga dapat diartikan bahwa masyarakat menjadi subyek, dan bukan obyek, dengan ikut menentukan dalam setiap kegiatan yang menyangkut dirinya, baik dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial. (Dewanta, 1998).
Transisi ke arah demokrasi sebenarnya mengandung pengertian pergeseran dari suatu sistem non-demokratis (apapun ben-tuknya) ke arah sistem yang demokratis. Na-mun dalam banyak pembahasan, transisi ke arah demokrasi seringkali dikaitkan dengan perubahan dari hubungan yang memiliki sifat zero sum dalam artian negara sangat kuat dan masyarakat sipil sangat lemah menjadi hubungan yang positive sum. Dengan pengertian seperti ini maka diper-lukan strategi dan taktik untuk mening-katkan kekuatan masyarakat sipil sehingga memiliki posisi tawar menawar yang lebih kuat. Upaya untuk mencapai masyarakat sipil yang lebih kuat, dilakukanlah apa yang disebut liberalisasi dan demokratisasi. (O’Donnell, 1988).



Liberalisasi merupakan proses untuk mendefinisikan kembali, memperluas dan menjamin hak-hak individu dan kelompok-kelompok sosial dari kesewenang-wenangan dan tindakan-tindakan ilegal baik yang dila-kukan oleh negara maupun oleh pihak ketiga. Dalam tingkat individu jaminan-ja-minan ini meliputi elemen-elemen klasik tradisi liberal seperti diperiksa di depan pengadilan, hak untuk didampingi pembela dalam suatu perkara pengadilan sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan, kebe-basan untuk mengadakan suatu pergerakan, berbicara dan petisi dan semacamnya. Pada tingkat kelompok meliputi misalnya bebas dari hukuman untuk mentakan ketidakpuas-an kelompok terhadap kebijaksanaan peme-rintah, bebas dari penyensoran terhadap sarana-sarana komunikasi sera kebebasan untuk berserikat secara sukarela dengan warga negara lain.
Sementara itu, demokratisasi menunjuk pada proses untuk menerapkan aturan-aturan dan prosedur kewarganegaraan dalam lem-baga-lembaga politik. Sebelum proses ter-sebut, prinsip-prinsip pendukung (seperti pengawasan yang koersif, tradisi sosial, penilaian para ahli ataupun praktek-praktek administrasi) perlu dilakukan. Prinsip-prin-sip pendukung tersebut diperluas hingga mencakup orang-orang yang sebelum mem-peroleh hak dan kewajiban semacam itu (misalnya warga negara yang tidak mem-bayar pajak, yang buta huruf, wanita pemu-da, etnis minoritas dan lain-lain), dan juga mencakup isu dan lembaga-lembaga yang sebelumnya memperoleh partisipasi warga negara (misalnya badan-badan negara, mili-ter, organisasi-organisasi partisan, asosiasi-asosiasi kepentingan, perusahaan-perusa-haan produsen, lembaga-lembaga pendidik-an dan sebagainya).
Kedua proses ke arah demokrasi tersebut mengasumsikan adanya polarisasi orientasi ke tingkat negara (elit) dalam kaitannya dengan usaha mempertahankan kekuasaan, maupun di tingkat masyarakat dalam kaitan-nya dengan cara-cara pencapaian demokrasi. Di tingkat negara, elit terpolarisasi menjadi dua kelompok yakni kelompok reformis (yang menghendaki terbukanya akses menu-ju kekuasaan) dan kelompok garis keras (yang menghendaki status quo). Sedangkan dalam tingkat masyarakat, polarisasi yang ada menghasilkan kelompok radikal (yang menghendaki perubahan radikal dalam suatu sistem ke arah sistem yang lebih demokra-tis) dan kelompok moderat (yang meskipun me-nginginkan perubahan tetapi dengan cara yang ikremental dan juga secara konstitusional).


Liberalisasi dan Demokratisasi
Dalam liberalisasi peran elit sangat pen-ting, karena prosesi ni merupakan suatu pro-yek yang diluncurkan oleh elit dalam peme-rintahan. Proses ini diawali dengan terjadi-nya polaritas dalam tubuh elit menjadi dua kelompok di atas (kelompok reformis dan kelompok garis keras) dan ditandai dengan kemenangan kelompok reformis. Pada da-sarnya liberalisasi diluncurkan untuk kepen-tingan elit sendiri, yakni melanggengkan kekuasaannya. Liberalisasi mencerminkan kemenangan kelompok reformis atas kelom-pok garis keras. Dalam upayanya untuk memperkokoh kekuasaannya, kelompok reformis berupaya untuk menciptakan duku-ngan diluar sistem politik sambil terus me-yakinkan kelompok garis keras bahwa sis-tem secara keseluruhan akan tetap terkendali walaupun proses keterbukaan berlangsung. Untuk memperoleh dukungan yang lebih luas, kelompok reformis berusaha untuk me-ngurangi tekanan dalam masyarakat dengan memberikan keleluasaan kepada organisasi-organisasi otonom dalam masyarakat serta sedikit membuka keran akses menuju ke kekuasaan bagi masyarakat, dengan demi-kian berarti memperkuat basis sosial elit tersebut. Hal tersebut dilakukan untuk ke-pentingan status quo elit sendiri, maka libe-ralisasi sebenarnya lebih mengacu pada reformasi dalam artian yang terbatas dalam bentuk-bentuk keterbukaan, de-compres-sion, pembaharuan ataupun restrukturisasi (Przeworski, 1991).



Akan tetapi tindakan liberalisasi ini tidaklah selalu berakhir dengan suatu sistem yang demokratis. Terdapat beberapa faktor yang akan sangat berpengaruh terhadap akhir proses liberalisasi ini. Faktor-faktor yang dimaksudkan ialah (a) kelompok garis keras dalam tubuh elit, dan (b) sikap masya-rakat dalam menanggapi liberasasi yang dilancar-kan oleh elit tersebut.
Yang pertama harus dihadapi oleh ke-lompok reformis adalah kelompok garis keras. Kelompok ini akan selalu mengingin-kan dipertahankannya status quo dan selalu kwatir akan munculnya balas dendam poli-tik dari kalangan oposisi jika mereka mem-biarkan kebijaksanaan keterbukaan. Reaksi awal kelompok ini biasanya berupa peri-ngatan bahwa mereka tetap mengandalkan sarana-sarana koersi negara serta dapat mengguna-kannya sewaktu-waktu. Negoi-sasi dan bar-gaining antara kelompok dalam tubuh elit ini merupakan tahap yang penting dalam penen-tuan hasil liberalisasi. Jika kelompok reformis gagal untuk meyakin-kan kelompok garis keras tentang penting-nya liberalisasi maka proyek tersebut dapat berhenti dan bahkan bukannya tidak mung-kin menimbulkan set back ke arah otorita-rianisme. Sebaliknya jika kelompok refor-mis berhasil meyakinkan kelompok garis keras, maka proses tersebut akan dapat berlanjut.
Namun kemenangan kelompok reformis tersebut baru sebagian saja dari seluruh per-jalanan menuju demokrasi. Setelah berhasil meyakinkan kelompok garis keras, kelom-pok reformis harus menghadapi reaksi dari masyarakat terhadap liberalisasi ter-sebut. Ada dua kemungkinan reaksi masya-rakat. Pertama, kekuatan-kekuatan yang terorga-nisir dalam organisasi-organisasi masyara-kat bersedia masuk ke dalam bentuk-bentuk organisasi-organisasi baru yang diciptakan oleh elit serta tidak brusaha menuntut libe-ralisasi lebih lanjut, maka tujuan liberalisasi yang diinginkan oleh kelompok reformis tercapai. Elit berhasil melipatkan partisipasi masyarakat dalam proses politiknya meski-pun terbatas dan tetap memegang kekuasa-an, yang oleh Przeworski diistilahkan seba-gai Broardened Dictatorship (BDIC).
Kemungkinan yang kedua ialah timbul-nya tahap krisis dalam periode liberalisasi, yaitu apabila masyarakat menanggapi kebi-jaksanaan elit tersebut dengan menuntut liberalisasi lebih lanjut dengan mengorga-nisir kekuatan-kekuatan di dalamnya. Ke-mungkinan ini bukannya mengada-ada. Selama berada dalam sistem yang tidak de-mokratis, kekuatan-kekuatan dalam masya-rakat seakan-akan membeku oleh berbagai aturan-aturan represif. Oleh karena itu sekali represi itu dikurangi maka akan muncul ledakan organisasi otonom dalam masyara-kat-indi-vidu, kelompok-kelompok kepenti-ngan, atau masyarakat umum- yang telah menemukan kembali kebebasannya untuk berpendapat, berkumpul, dan bersaing. Selain itu, kelom-pok oposisi dan masya-rakat umum kembali diajak berunding oleh penguasa. Dalam tahap ini, berbagai kekuat-an yang terlibat akan berusaha mengambil keputusan nasional tentang liberalisasi lebih lanjut. Akibatnya dimensi gerakan pro-demokrasi yang semakin komplek itu akan semakin besar pengaruhnya terhadap libe-ralisasi. Komplek-sitas dan luasnya gerakan prodemokrasi akan menghadapkan kelom-pok elit reformis pada dua pilihan. Pilihan pertama adalah membiarkan terus laju liberalisasi dengan memenuhi tuntutan-tun-tutan dari kelompok otonom dalam masya-rakat. Pilihan kedua adalah menekan tun-tutan-tuntutan kelom-pok-kelompok ter-sebut.



Pilihan yang diambil akan memiliki kon-sekuensi yang sangat berbeda. Jika diambil pilihan pertama, berarti kelompok reformis memberikan jalan bagi munculnya sistem yang demokratis. Liberalisasi akan berlanjut dengan demokratis. Tetapi jika kelompok reformis mengambil pilihan yang kedua, terdapat dua kemungkinan yang mun-cul. Pertama jika kelompok elit cukup kuat, maka elit tersebut akan mampu menekan kelompok-kelompok otonom dalam masya-rakat dan mengembalikan pada sistem sebe-lumnya. Tetapi jika ternyata kelompok ma-syarakat cukup kuat, maka besar kemung-kinan akan terjadi pemberontakan, kekacau-an dan semacamnya. Kelompok-kelompok otonom dalam masyarakat yang tidak memi-liki akses ke kekuasaan tersebut akan turun ke jalan dalam bentuk demonstrasi, kerusuh-an dan protes yang bersifat massal. Inilah yang seringkali menjelaskan mengapa suatu kebijaksanaan liberalisasi ternyata harus ber-akhir dengan kembalinya pemerintah yang otoriter setelah sebelumnya didahului oleh bentrok fisik antara massa dengan aparat keamanan. Keadaan ini dapat ber-langsung sangat lama dan seringkali mema-kan korban yang besar baik nyawa maupun kerusakan material.
Jika proses pencapaian demokrasi mela-lui liberasasi lebih banyak ditentukan oleh inisiatif elit, sekalipun hasil akhir proses tersebut juga sangat ditentukan oleh reaksi dari kekuatan-kekuatan otonom dalam ma-syarakat, maka pencapaian demokrasi mela-lui demokratisasi sangat ditentukan oleh bar-gaining antara berbagai kekuatan, baik dari kalangan elit yang berkuasa maupun oposisi. Divisi internal dan manuver yang berlang-sung di kalangan elit juga memiliki konse-kuensi besar. Dalam hal ini, elit yang meme-rintah dan oposisi terlibat dalam negoisasi yang kemungkinan besar akan berlangsung penuh kesulitan, tapi kedua belah pihak tetap berusaha menghindari benturan-benturan keras.
Demokratisasi juga merupakan suatu kebijaksanaan yang dilancarkan setelah me-lalui proses negoisasi tersebut. Dengan de-mikian ada dua kemungkinan kenapa kebi-jaksanaan tersebut diambil. Yang pertama adalah demokratisasi sebagai kebijakan yang diambil oleh rezim yang sedang ber-kuasa. Dalam dua dekade terakhir, kebi-jakan ini paling banyak diambil oleh negara-negara demokrasi baru. Yang kedua adalah demokratisasi sebagai kebijakan yang mun-cul sebagai desakan kekuatan sosial politik dari masyarakat. Dengan kata lain, jika yang pertama dimulai oleh rezim, yang kedua dipimpin oleh masyarakat. Cara yang kedua ini sering melibatkan gerakan-gerakan massa seperti pemogokan, demonstrasi, dan protes jalanan.
Perjuangan ke arah demokratisasi secara sepintas tampak sebagai suatu pertentangan antara masyarakat melawan elit yang ber-kuasa yang ingin mempertahankan kekuasa-annya. Padahal pertentangan yang terjadi ternyata cukup kompleks dan bukan saja antara dua tingkat tersebut, melainkan juga di tiap-tiap tingkat. Dalam tingkat elit, jelas terdapat dua kelompok yakni yang ingin mempertahankan tatanan yang ada dan ke-lompok yang ingin tetap mempertahankan kekuasaannya tetapi dengan membuka pelu-ang bagi kekuatan dalam masyarakat untuk masuk dan terlibat di dalamnya. Dalam ting-kat masyarakat, sekalipun tampak tunggal, sebenarnya terpecah dengan cukup tajam, dengan demokratisasi sebagai slogan pemer-satu. Dengan perpecahan tersebut, sebenar-nya dalam masyarakat terdapat dua perju-angan yakni, pertama, melawan elit yang berkuasa untuk mencapai demokrasi, dan kedua, menghadapi kelompok lain dalam masyarakat untuk memperebutkan tempat paling strategis dalam tatanan yang demo-kratis. Kelompok reformis dalam tubuh elit memiliki dua pilihan untuk tetap berkuasa. Pilihan yang pertama adalah beraliansi dengan kelompok garis keras dan menekan setiap indikasi ke arah demokrasi yang mun-cul dalam masyarakat atau, sebagai pilihan yang kedua, melakukan aliansi dengan kelompok-kelompok moderat yang diang-gap dapat bicara “baik-baik” mengenai de-mokratisasi. Sementara itu dalam masya-rakat, kelompok radikal hanya memilik satu tuntutan yakni perubahan dari sistem yang ada. Kelompok moderat sekali-pun menun-tut demokrasi, meiliki dua pilihan strategi yakni ber-aliansi dengan kelompok radikal dan meng-hasilkan tuntutan radikal ke arah demokrasi atau melakukan negoisasi dengan kelompok reformis di tingkat elit dengan kemungkinan hasil yang berupa demokrati-sasi secara inkremental.



Dalam nuansa yang agak berbeda, Huntington (1983) menjelaskan bahwa proses transisi menuju demokrasi (dalam konteks modernisasi) melahir-kan gerakan/ partisipasi politik masyarakat yang semakin tinggi, namun bila meningkatnya partisipasi politik masyarakat tidak diimbangi oleh proses pelembagaan politik, maka yang sering terjadi adalah ketidakstabilan politik.
Bila ketidakstabilan politik terjadi secara terus menerus, tentu akan melahirkan keter-purukan di bidang ekonomi karena, para investor baik dari dalam maupun luar negeri akan mengurungkan niatnya untuk melaku-kan investasi. Hal ini berarti lapangan kerja akan semakin sedikit yang mengakibatkan jumlah pengangguran akan semakin meningkat.



Kedudukan DPRD
Secara ringkas persoalan-persoalan di masa pemerintahan yang lalu (orde baru) DPRD secara struktural tidak bisa berperan sebagaimana seperti yang diharapkan oleh masyarakat, karena :
1 Pemerintah daerah adalah DPRD dan kepala daerah
2 Adanya lembaga oligarki di dalam DPRD
3 Tata-tertib DPRD yang memasung hakhak Dewan
4 Rekrutmen anggota DPRD yang diten-tukan oleh eksekutif
5 Ketidakjelasan status hukummengenai fungsi pengawasan Dewan
6 Pengendalian keuangan DPRD oleh eksekutif.

Persoalan di atas membawa implikasi :
1. a. Tidak adanya pemisahan fungsi dan wewenang
b. Pengawasan DPRD yang sangat lemah
2. a. Munculnya struktur oligarki dalam DPRD berupa lembaga pimpinan dan rapat pimpinan Dewan
b. Keputusan-keputusan politik di daerah ditentukan oleh sekelompok kecil orang
1 Ketidakmampuan Dewan dalam men-jalankan hak-haknya guna mewu-judkan fungsi-fungsinya.
2 Ketergantungan anggota Dewan pada eksekutif
3 Tidak berjalannya fungsi pengawasan Dewan secara maksimal
4 Ketiadaan otonomi DPRD dalam bidang penganggaran.

DPRD dalam konteks hubungan antara negara dan masyarakat, merupakan salah satu cermin kekuatan masyarakat. Hal ini berarti DPRD memiliki posisi yang sangat strategis dalam upaya mewujudkan sistem politik yang lebih demokratis di daerah. Ia tidak lagi berada pada posisi yang sub-ordinatif terhadap eksekutif, melainkan sejajar. Sehingga DPRD bisa lebih kritis terhadap eksekutif.
DPRD merupakan institusi yang menjadi tumpuan untuk memperjuangkan kepenting-an masyarakat secara luas. Oleh karena itu, dalam posisinya yang demikian DPRD dituntut lebih peka, lebih proaktif, dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat di daerah.



Dalam konteks penyelenggaraan peme-rintahan yang demokratis di daerah, DPRD harus memiliki peran yang besar dalam proses perencanaan dan evaluasi terhadap kelangsungan pembangunan, termasuk ki-nerja eksekutif di daerah.
Untuk mewujudkan seperti apa yang di atas, maka perlu :
1 Memisahkan DPRD dari pemerintah daerah;
2. a. Pengaturan kembali lembaga oligarki dalam DPRD, seperti lembaga pim-pinan dewan dan rapat dewan;
b. Lembaga pimpinan dewan dan rapat pimpinan dewan, hanya menjalankan tugas koordinasi dan tidak berhak mengambil keputusan politik;
2 Penghapusan tata tertib DPRD yang dipandang membelenggu anggota dewan;
3 Semua bentuk keterlibatan eksekutif dalam rekrutmen anggota dewan ditiada-kan;
4 Pembiayaan DPRD melalui APBD dan dilepaskan dari eksekutif.

Dalam Undang-undang yang baru (UU 22/1999), DPRD sebagai lembaga perwa-kilan rakyat Daerah merupakan untuk me-laksanakan demokrasi, sebagai Badan Legis-lative Daerah DPRD berkedudukan “sejajar” dan menjadi “mitra” dari Peme-rintah Daerah.
Kedudukan kesejajaran dan kemitraan antara DPRD dan Pemerintah Daerah, di-maksudkan untuk terciptanya hubungan kerja yang harmonis, stabil dan demokratis. Untuk mencapai tujuan tersebut, merupakan kewajiban bagi DPRD dan Kepala Daerah untuk mewujudkan kerjasam yang saling menghargai.
Pemberdayaan DPRD melalui pemberian tugas dan wewenang kepada DPRD cukup luas, meliputi :
a. Memilih Gubernur/Bupati/Walikota be-serta wakil-wakilnya.
b. Memilih anggota MPR untuk Utusan Daerah
c. Mengajukan pengesahan dan mengusul-kan pemberhentian pejabat
d. Membentuk Peraturan Daerah
e. Menetapkan APBD
f. Melakukan pengawasan
g. Memberikan pendapat dan pertimbang-an kepada pemerintah terhadap rencana perjanjian internasional yang menyang-kut kepetingan Daerah
h. Menampung dan menindaklanjuti aspira-si Daerah dan masyarakat.

Untuk melengkapi pemberdayaan DPRD, mereka diberi hak sebagai berikut:
a. Meminta pertanggungjawaban Gubernur, Bupati dan Walikota
b. Meminta keterangan kepada Pemerintah Daerah
c. Mengadakan penyelidikan
d. Mengadakan perubahan atas rancangan peraturan daerah
e. Mengajukan pernyataan pendapat
f. Mengajukan rancangan peraturan daerah
g. Menentukan Anggaran Belanja DPRD
h. Menetapkan peraturan tata tertib DPRD

0 comments: