Friday 21 March 2008

MOBILISASI SUMBER-SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DALAM RANGKA PEMBANGUNAN DAERAH (STUDI DI KABUPATEN MUARA ENIM)

MOBILISASI SUMBER-SUMBER
PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DALAM
RANGKA PEMBANGUNAN DAERAH (STUDI
DI KABUPATEN MUARA ENIM)

The Mobilization of source of district original revenue (PAD) in order to district development (Study in the District of Muara Enim)

Ahmad Sofwani
Institut Pertanian Malang
Solichin Abdul Wahab
Fakultas Ilmu Administrasi Unibraw Malang
A.B. Barrul Fuad
Fakultas Ilmu Administrasi Unibraw Malang
ABSTRACT
This research aim to (1) describe factors influencing policy of PAD mobilization in district of Muara Enim; (2) describe efforts of Muara Enim District government in mobilization of the district original revenue: (3) describe impacts of policy on source of PAD in Muara District.
Method of this research was descriptive qualitative method. While sample was taken from snowball sampling that conducted serial respectively. In order to gathering data, the research technical applied observation, interviewing, and document.
Keywords:Mobilization, PAD District development



PENDAHULUAN



Latar Belakang Masalah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sumber yang mendukungnya selalu menjadi isu yang problematik, tidak saja di masa lampau, tetapi juga di masa sekarang tatkala otonomi daerah menjadi tuntutan untuk dikembangkan secara optimal.
Sementara itu menurut Emmerson (2001) sejak awal orde Baru, kekerasan melandasi langkah-langkah sentralisasi.
Kurangnya perlawanan terbuka di daerah terhadap usaha rezim tersebut guna memaksakan penguasaan pusat mencerminkan kemauan Jakarta untuk menjalankan kebijakannya.
Sehingga selama masa pemerintahan orde baru telah terbangun sistem pemerintahan tersentral, dimana pemerintah pusat memegang kendali penuh terhadap pemerintah daerah. Ruang yang diberikan bagi aparat didaerah untuk mengurus kepentingan daerahnya sangat sempit, bahkan kerap kali potensi yang ada didaerah tersentral kepusat, sehingga yang terjadi adalah eksploitasi pusat terhadap daerah tanpa mempertimbangkan kemajuan dan perkembangan daerah itu sendiri. Akibatnya terjadi kesenjangan antara pusat dan daerah, baik dari segi pembangunan, akses informasi dan terutama kemakmuran masyarakatnya.
Disahkannya UU No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah merupakan respon positif atas krisis ekonomi dan krisis kepercayaan yang terjadi sekarang ini. Undang-Undang no. 22 tahun 1999 pada dasarnya merupakan ikhtiar untuk memperluas otonomi daerah, sehingga arus desentralisasi dan dekonsentrasi dapat berjalan dengan baik. Dengan demikian, diharapkan bukan saja UU No. 22 Tahun 1999 dapat menciptakan demokratisasi ekonomi, khususnya persamaan, menggali dan memanfaatkan potensi daerah bagi daerah itu sendiri, namun secara ekonomis, otonomi daerah dapat dipandang sebagai upaya untuk melakukan liberasilisasi ekonomi.
Liberalisasi ekonomi yang dimaksud oleh UU No. 22 1999 dapat terealisir bila Pemerintah Daerah mampu mengembangkan dan mendayagunakan potensi daerahnya secara optimal, artinya Pemerintah Daerah dengan segala daya upayanya harus terus menggali dan mengembangkan potensi daerah dengan sungguh-sungguh, baik sumberdaya manusianya maupun sumberdaya alamnya.



Sehingga untuk mendukung realisasi tersebut diperlukan kebijakan pemerintah dalam mengoptimalisasikan peran daerah, utamanya dalam penetapan sumber-sumber penerimaan daerah.
Dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No 25 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka struktur pemerintahan mengenal adanya daerah otonomi Propinsi dan Kabupaten/Kota dengan titik berat otonomi terletak pada Kabupaten/Kota. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah pada dasarnya untuk memungkinkan daerah mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri agar berdayaguna dan berhasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat, dan pelaksanaan pembangunan.
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara penulis serta studi pustaka yang penulis lakukan menunjukkan bahwa permasalahan umum yang dihadapi daerah dalam pembiayaan pembangunan adalah kecilnya proporsi dana pembangunan yang berasal dari kewenangan otonomi daerah. Pemerintah Kabupaten Muara Enim pada tahun 1995/1996, dari proyek pembangunan yang berhasil dibiayai oleh dana daerah hanya 2,49%, selebihnya 0,35% dari propinsi dan 97% berasal dari pemerintah pusat. Sedangkan pada tahun 1997/1998, dari proyek pembangunan yang berhasil dibiayai oleh dana daerah proporsinya meningkat menjadi 30%, selebihnya 1,92% dari provinsi dan 70% dari pemerintah pusat.
Ditinjau dari sumber pembiayaan yang berasal dari Pemerintah Kabupaten Muara Enim, maka besarnya realisasi APBD untuk tahun anggaran 1996/1997 adalah Rp. 68.383.430.000,00 yang didukung oleh realisasi penerimaan sebesar Rp. 70.354.770.000,00. Dari sisi penerimaan, dimana sebagian besar 58,24% berasal dari tabungan daerah, dan 32,14% berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), selebihnya berasal dari sisa anggaran tahun 1995/1996, urusan kas dan perhitungan serta pinjaman.
Dari paparan latar belakang dan permasalahan di atas, maka Penelitian ini ingin melihat lebih lanjut fakta dilapangan mengenai peran yang strategis dari Pemerintah Kabupaten Muara Enim dalam meningkatkan keberhasilan pembangunan terutama dari segi sumber daya manusia dan ekonomi. Studi ini juga mengasumsikan bahwa dalam peranannya, Pemerintah Kabupaten sebagai pembuat/perumus dan pelaksana kebijakan memberi corak atau bentuk interaksi antara peran pemerintah dan swasta.


Perumusan masalah
Bertolak dari uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : (1) Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi kebijakan mobilisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemerintah Kabupaten Muara Enim.? (2) Bagaimana upaya Pemerintah Kabupaten Muara Enim dalam memobilisasi Pendapatan Asli Daerah.? (3) Bagaimana Dampak kebijakan tersebut terhadap penerimaan Daerah.?
Tujuan penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) Untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan mobilisasi PAD di Kabupaten Muara Enim.
(2) Untuk mendiskripsikan bagaimana upaya Pemerintah Kabupaten Muara Enim dalam memobilisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
(3) Mendeskripsikan dampak kebijakan mobilisasi sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Muara Enim.

Manfaat penelitian
Sedangkan manfaat Penelitian ini adalah : (1) Bagi peneliti sebagai bahan informasi ilmiah dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kebijakan publik. (2) Bagi pemerintah sebagai informasi tambahan dalam upaya meningkatkan peranan Pemerintah Kabupaten dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). (3) Bagi Lembaga Perguruan Tinggi sebagai masukan dan tambahan informasi utamanya dalam memobilisasi sumber-sumber PAD.


METODE PENELITIAN
Fokus utama penelitian ini adalah deskripsi kebijakan publik mengenair peran pemerintah kabupaten Muara Enim dalam pembangunan Perekonomian Daerah untuk keibukana pengelolaan PAD dan mobilisasi PAD Kabupaten Muara Enim. Dalam peranannya, pemerintah Kabupaten Muara Enim sebagai pembuat/perumus dan pelaksana kebijakan memberi corak atau bentuk interaksi antara peran pemerintah dan swata. Di sisi lain penelitian ini mengkaji lebih mendalam PAD Pemerintah Kabupaten Muara Enim sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan otonomi daerah.



Penentual lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Muara Enim. Beberapa alasan dan peritimbangan penentuan lokasi penelitian adalah sebagai berikut: (1). Selain Kabupaten Muara Enim sebagai salah satu Kabupaten terbesar PAD-nya di Propinsi Sumatera Selatan. Kabupaten Muara Enim juga sebagai tempat tujuan wisata para wisatawan domestik dan internasional. Dismaping itu Menteri Dalam Neger Nomor 105 Tahun 1994 tentang proyek percontahan daerah dan daerah tingkat II. (2). Kabupaten Muara Enim adalah salah satu Kabupaten yang merupakan sumber perekonomian bagi propinsi Sumatera Selatan, dimana pertumbuhan ekonominya pada than 2000 cukup tinggi, yakni 8,2 persen, atau lebih tinggi dibanding pertumbuhan tahun 1999 sebesar 6,1 persen. Secara sektoral, pertumbuhan terjadi d hampir semua sektor. Meski belum pada jalur pertumbuhan cepat seperti sebelum masa krisis, namun pertumbuhan yang dicapai pada tahun 2000 sudah cukup berarti bagi suatu proses economic revoery menuju tahap pertumbuhan. (3) Kabupaten Muara Enim secara struktural organisasi pemerintahan menurut Peraturan Pemerintah daerah Dinas Daerah Kabupaten Muar Enim Bab II pasal 2 mempunyai 14 Dinas/Unit kerja yakni: a) Dinas Pertanian Tanaman Pangan, b). Dinas
Peternakan dan Perikanan, c) Dinas
Pertambangan dan energi, d) Dinas
Perkebunan dan Kehutanan, e) Dinas

Perindustrian, Perdaganan dan Koperasi, f) Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, g) Dinas Kesehatan, h) Dinas Pendidikan Nasional, i), Dinas Pertanahan, j) Dinas Cipta Karya dan Pengairan, k) Dinas Bina Marga, l) Dinas Perhubungan, m) Dinas Pendapatan Daerah, n) Dinas Lingkungan Hidup.
Sesuai dengan masalah dan fokus dalam penelitian ini, maka sumber data dalam penelitian ini adalah : (1) Key informan, informan awal dalam peneliti ini adalah Ketua Bapeda Kabupaten Muara Enim. Sedangkan informan selanjutnya berdasarkan informasi informan awal berturut-turut adalah Sekretariat Pemerintah Kabupaten Muara Enim, Dinas pendapatan Daerah Kabupaten Muara Enim, dan Bagian Hukum Kabupaten Muara Enim. (2) Peristiwa; Berbagai peristiwa atau situasi sosial yang diobservasi dan berkaitan dengan masalah atau fokus penelitian. Peristiwa-peristiwa yang diobservasi dikemukakan pada teknik pengumpulan data. (3) Dokumen yang relevan dengan masalah dan fokus penelitian, seperti Peraturan Daerah tentang PAD, peta lokasi penelitian, data statistik APBD, dan PAD Kabupaten Muara Enim. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara “snowball sampling” yang dilakukan secara serial atau berurutan.
Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Selanjutnya untuk mengumpulkan informasi dan data yang diperlukan, maka peneliti menggunakan tiga teknik pengumpulan data, yang terdiri dari : (1) Observasi atau Pengamatan yang dilaksanakan di Kabupaten Muara Enim; (2) Wawancara secara mendalam (in-dept interview) dengan aparatur pemerintah Kabupaten Muara Enim (Bapeda, Bagian Hukum, Dinas Pendapatan Daerah); dan (3) Dokumentasi berupa gambar/foto-foto lokasi penelitian, dan data sekunder (Muara Enim Dalam Angka Tahun 2000, Data Sosial Ekonomi Kabupaten Muara Enim Tahun 2000, PDRB Kabupaten Muara Enim, dan Himpunan Lembaran Daerah Kabupaten Muara Enim Tahun 1997, 1998, 1999, 2000, 2001), sehingga thick description didapatkan. Sedangkan pencatatan data dan penulisannya dilakukan dengan memanfaatkan bentuk-bentuk instrumen penelitian, yaitu field notes, interview write-ups, mapping, photographic.
Analisis Data Penelitian
Penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif dari Miles dan Huberman, (1992) dengan prosedur “Reduksi data, Penyajian data, menarik kesimpulan/verifikasi”. Komponen-komponen analisis data tersebut di atas oleh Miles dan Huberman disebut sebagai “model interaktif”.


HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan mobilisasi pendapatan asli daerah di kabupaten Muara Enim



Jenis-jenis pendapatan asli daerah
Jenis Pendapatan asli daerah terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Bagian Laba Perusahaan Daerah, Penerimaan Lain-lain. Adapun Pajak Daerah yang dikelola oleh Pemda Kabupaten Muara Enim beserta potensinya antara lain: Pajak Hotel dan Restoran, merupakan pajak yang potensial untuk dikembangkan seiring dengan berkembangnya Pembangunan Kabupaten Muara Enim. Disamping itu Kabupaten Muara Enim merupakan daerah andalan wisata dan daerah industri, tentu saja restoran dan hotel-hotel akan terus berkembang seiring dengan kebutuhan yang ada. Sehingga sektor ini mempunyai prospek yang cukup bagus bagi penerimaan daerah. Disisi lain, jenis pajak ini pemungutannya relatif tidak sulit, hal ini dikarenakan tempat obyek pajak jelas, dan tempat pemungutannya biasanya sama dengan tempat beban pajak sehingga biaya pengelolannya tidak mahal. Pajak Hiburan, Pajak ini sangat potensial untuk dikembangkan karena umumnya di kota-kota besar tempat-tempat hiburan cenderung menjamur. Disamping itu penarikan pajak ini mudah dan biaya penarikannya rendah hal ini dikarenakan selain obyeknya mudah diketahui penarikannya juga dapat dilakukan langsung oleh pemilik tempat hiburan melalui karcis.



Pajak Reklame, adalah pajak yang dipungut berdasarkan pemasangan iklan tertentu yang bertujuan untuk promosi. Jenis pajak ini relatif mudah dilaksanakan dan cocok sebagai sumber penerimaan daerah, karena obyek pajak mudah diketahui. Kekurangan dari jenis pajak daerah ini terletak pada perumitan menetapkan klasifikasi pungutan, sehingga menjadikan biaya pungutan relatif tinggi.
Pajak Penerangan Jalan, merupakan jenis pajak akibat adanya peningkatan layanan fasilitas listrik di Kabupaten Muara Enim. Sehingga meningkat pula pendapatan dari sektor pajak ini. Pajak ini sangat potensial karena selain penerimannya cukup besar pemungutan serta obyek pajaknya jelas.
Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan galian Golongan C, yang dimaksud dengan bahan galian C adalah unsur-unsur kimia, mineral-mineral, biji dan segala macam batuan, batubara dan gambut yang merupakan endapan alam selain minyak dan gas. Sedangkan eksploitasi adalah segala kegiatan usaha pertambangan dengan maksud untuk menghasilkan/memproduksi bahan galian dan memanfaatkannya (Perda Kabupaten Muara Enim No. 30 Tahun 2001 Bab I Pasal 1), Dalam kegiatan tersebut Bupati berwenang dan bertanggung jawab terhadap usaha pertambangan umum di daerah yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Dinas (Perda Kabupaten Muara Enim No. 30 Tahun 2001 Bab III pasal 3). mengacu pada pengertian tersebut segala jenis kegiatan pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan C Bupati berwenang untuk mengatur dan menata termasuk menarik pajak. Dengan potensi kekayaan alam yang berlimpah potensi pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan galian Golongan C masih dapat ditingkatkan.
Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah, seiring dengan perkembangan industri di Kabupaten Muara Enim, maka kebutuhan akan air sangat dibutuhkan. Umumnya pajak ini dikenakan pada industri-industri yang memanfaatkan air bawah tanah, disamping itu penarikan pada industri relatif lebih mudah. Sedangkan masyarakat yang memanfaatkan air bawah tanah jarang dikenai pajak, karena memang kebutuhannya relatif kecil, dan umumnya taraf ekonominya rendah sehingga kalaupun ditarik pajak, penarikannya akan sulit.
Jenis Pendapatan Asli Daerah lain adalah Retribusi Daerah. Dalam rangka memudahkan penerapan prinsip dasar retribusi sehingga mencerminkan hubungan yang jelas antara tarif retribusi dengan pelayanan yang diberikan Pemerintah Daerah, maka jenis-jenis retribusi diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu Retribusi Jasa Umum, Jasa usaha dan Retribusi perijinan Tertentu.
Retribusi Jasa Umum adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh Kabupaten untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang atau badan usaha.
Jenis-jenis retribusi jasa umum meliputi : (1) Retribusi pelayanan kesehatan,
(2) Retribusi Pelayanan Persampahan/ Kebersihan, (3) Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akte Catatan Sipil. (4) Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum, (5) Retribusi Pasar, (6), Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (7) Retribusi kendaraan tidak bermotor, (8) Retribusi Dokumen Pelelangan.
Retribusi Jasa Usaha adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Jenis retribusi jasa ini terdiri dari : (1) Retribusi pemakaian kekayaan daerah, (2) Retribusi pasar grosir dan atau pertokoan, (3) Retribusi terminal, (4) Retribusi penyedotan tinja, (5) Retribusi rumah potong hewan, (6) Retribusi Penggilingan Padi, (7) Retribusi Leges.



Retribusi Perijinan Tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu Pemerintah Kabupaten dalam rangka pemberian ijin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas umum guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis retribusi perijinan ini yaitu : (1) Retribusi ijin peruntukan penggunaan tanah, (2) Retribusi ijin mendirikan bangunan, (3) Retribusi ijin gangguan, (4) Retribusi ijin trayek, (5) Retribusi Rumah Bola.
Retribusi di Kabupaten Muara Enim jenisnya cukup banyak. Namun demikian, tidak semua jenis retribusi yang telah menjadi wewenang Daerah cukup potensial untuk dikembangkan sebagai sumber penerimaan daerah. Hal ini disebabkan potensi obyeknya masih kecil atau tarifnya yang tidak dapat tinggi, sehingga sebagai akibatnya nilai penerimaannya menjadi kecil jika dikurangi dengan biaya operasionalnya, misalnya Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran, Retribusi penggantian Biaya Cetak Peta, Retribusi Pengujian Kapal Perikanan. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan pengabuan mayat, Retribusi tempat khusus parkir, Retribusi tempat penitipan anak, Retribusi tempat penginapan/ pesanggrahan/villa, Retribusi pengolahan limbah cair, Retribusi penjualan produksi usaha daerah Retribusi penyeberangan di atas air, Retribusi ijin pengambilan hasil hutan ikutan, dan Retribusi ijin tempat penjualan minuman beralkohol. Namun dengan semakin berkembangnya pembangun-an Kabupaten Muara Enim maka retribusi tersebut perlu dipersiapkan dan ditata.


Sumbangan pajak daerah terhadap pendapatan asli daerah
Pajak daerah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah dari sektor pendapatan asli daerah diharapkan mampu menjadi pendukung utama dalam pembiayaan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan. Sesuai dengan data yang telah dikemukakan bahwa penerimaan dari sektor pajak daerah Kabupaten Muara Enim dari sisi jumlah besarannya mengalami peningkatan. Pada tahun 1998 penerimaan pajak daerah sebesar Rp. 2.359.974.209. Kemudian tahun 1999 naik menjadi sebesar Rp. 2.845.799.528. Pada Tahun 2000 pajak daerah mengalami penurunan Rp. 2.780.438.342. Namun pada tahun 2001 pajak daerah naik empat kali lipat menjadi Rp. 10.642.288.410
Sedangkan pajak daerah dilihat dari sisi kontribusi terhadap PAD, pada 1998 mencapai 43 % dari total PAD Rp. 5.435.570.772, tahun 1999 pajak daerah naik menjadi 51 % dari total PAD sebesar Rp. 5.601.300.115, tahun 2000 turun sebesar 42 % dari total PAD sebesar Rp. 6.661.396.018, dan pada tahun 2001 mengalami peningkatan menjadi 53 % dari total PAD sebesar Rp.20.024.267.676.
Dari data tersebut jelas dari tahun ke tahun penerimaan pajak daerah di Kabupaten Muara Enim selalu mengalami peningkatan. Kontribusi pajak daerah terhadap PAD yang rata-rata 47 % memperlihatkan bahwa pajak daerah cukup nyata terhadap kenaikan PAD, sehingga pajak ini cukup potensial untuk dikembangkan lebih lanjut. Apa lagi pajak ini dari sisi operasionalnya mudah dan tidak memerlukan biaya tinggi.
Disamping itu secara keseluruhan pencapaian target yang telah ditetapkan dapat terealisasi dengan baik dalam arti penerimaan pajak daerah secara keseluruhan melebihi target yang dicanangkan. Dari target penerimaan pajak daerah untuk tahun 1998 sebesar Rp. 2.406.998.500, terealisasi sebesar Rp. 2.359.974.209, pada tahun 1999 realisasi penerimaan pajak daerah mencapai Rp.
2.845.799.528 dan target yang ditentukan untuk tahun yang sama yaitu sebesar Rp.2.690198.500. Namun untuk tahun 2000 dari target Rp.3.050.198.500, realisasinya justru menurun menjadi Rp. 2.780.438.342. Sedangkan pada tahun 2001 realisasi penerimaannya sebesar Rp. 10.642.288.410 dari target sebesar Rp. 7.230.000.000.
Dari data-data di atas nampak bahwa penerimaan pajak daerah di Kabupaten Muara Enim telah menunjukkan peningkatan secara kuantitas, serta tercapainya target yang telah dicanangkan. Ini berarti bahwa upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Muara Enim sebagian besar telah menampakkan hasil sesuai dengan harapan.
Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pos pajak daerah terdiri dari 6 Jenis pajak. Dari ke 6 jenis pajak tersebut penerimaan tertinggi adalah penerimaan dari pajak penerangan jalan yaitu sebesar Rp.



1.801.246.646 untuk tahun 1998, pada tahun 1999 Rp. 1.899.795.788, dan tahun 2000 penerimaannya mencapai Rp. 2.001.496.423, sedangkan pada tahun 2001 penerimaannya cukup drastis yaitu sebesar Rp. 8.213.153.726.
Untuk penerimaan dari pos pajak daerah yang terendah pajak hiburan, dimana pada tahun 1998 sebesar Rp. 20.692.623, tahun 1999 sebesar Rp.20.127.930, untuk tahun 2000 Rp.19.570.200, dan pada tahun 2001 Rp. 8.854.175. Menurunnya pajak ini lebih disebabkan adanya dampak krisis yang mengakibatkan daya beli masyarakat menurun, sehingga masyarakat melakukan penghematan. Namun pajak ini masih potensial untuk dikembangkan seiring perkembangan pembangunan Kabupaten Muara Enim.


Sumbangan Pendapatan Asli Daerah terhadap Penerimaan Pendapatan Daerah
Salah satu bagian terpenting dari sumber penerimaan daerah adalah penerimaan dari Pendapatan Asli Daerah. Hal ini disebabkan karena Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan yang dikelola dan diperoleh melalui usaha-usaha sendiri oleh Pemerintah Kabupaten dengan memanfaatkan segala potensi yang ada di daerah tersebut. Di samping itu Pendapatan Asli Daerah juga merupakan salah satu syarat utama keberhasilan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan UU No. 5 tahun 1974. Sehingga kepada daerah diharapkan agar mampu mengoptimalkan penerimaan dari sektor ini dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan maupun pembangunan tanpa adanya ketergantungan yang berlebihan terhadap pemerintah pusat.
Pemerintah Kabupaten Muara Enim menerima penerimaan dari sektor ini masih relatif kecil dilihat dari prosentase sumbangan terhadap penerimaan daerah yang pada tahun 1998 sekitar 21 % dari total pendapatan daerah, pada tahun anggaran 1999 menurun menjadi 13 %, dan pada tahun 2000 terjadi kenaikan menjadi sebesar 14 % dari total pendapatan. tahun 2001 kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap pendapatan daerah naik menjadi 31 %.
Berdasarkan data-data tersebut di atas nampak bahwa penerimaan dari Pendapatan Asli daerah belum mampu memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penerimaan daerah yaitu rata-rata hanya 19,75% dalam empat tahun. Selain itu dari segi jumlah penerimaannya juga belum mampu menunjukkan peningkatan yang berarti.
Kondisi tersebut di atas menunjukkan kecilnya pendapatan yang dapat diusahakan sendiri oleh Pemerintah Kabupaten Muara Enim (tidak termasuk pos bagi hasil) dibandingkan dengan subsidi (sumbangan dan bantuan) dari pemerintah pusat atau pemerintah tingkat atasnya. Dengan demikian dilihat dari indikator desentralisasi keuangan (yaitu rasio antara PAD terhadap total penerimaan daerah) Pemerintah Kabupaten Muara Enim mempunyai tingkat kemandirian yang masih rendah.



Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mobilisasi Pendapatan Asli Daerah
Kendati titik berat otonomi daerah terletak pada Kabupaten/Kota namun kenyataan yang ada pada Kabupaten Muara Enim menunjukkan bahwa dari segi keuangan kemandiriannya masih rendah yaitu kurang dari 19,75% dalam 4 (empat) tahun.
Disisi lain rendahnya penerimaan daerah dari Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu penyebab utama tingginya ketergantungan daerah terhadap Pemerintah Pusat sedikitnya terhadap empat penyebab rendahnya penerimaan Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Muara Enim yaitu : 1) Tingginya derajat sentralisasi di bidang
perpajakan, dimana pajak-pajak yang potensial dikelola oleh Pemerintah Pusat (pajak penghasilan badan, pajak penghasilan perseorangan, pajak pertambahan nilai, PBB, royalti IHH/IHPH atas minyak dan pertambangan serta kehutanan) sedangkan Pemerintah Kabupaten Muara Enim memperoleh Pajak-pajak yang kurang potensial.
2) Kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber penerimaan daerah, dimana usaha-usaha yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Muara Enim relatif kecil
3) Adanya aturan-aturan yang sangat membatasi kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten Muara Enim dalam mengoptimalkan Pendapatan Asli daerah.
4) Kurangnya kesungguhan Pemerintah Pusat dalam memberikan sumber-sumber penerimaan kepada daerah agar tercipta kemandirian keuangan karena adanya kekhawatiran akan terjadi disintegrasi dan ketidakadilan distribusi penerimaan pendapatan pada tiap-tiap daerah di



Indonesia.
Sementara itu pelaksanaan kebijakan pemungutan (pajak dan retribusi) akan sukses atau gagal tergantung pada mutu adminitrasi Pemerintah Kabupaten dan seberapa realistis kebijakan tersebut diformulasikan berdasarkan sumber-sumber yang tersedia, serta semangat dan jiwa aparatnya, terutama pimpinannya. Kualitas adminitrasi Pemerintah Kabupaten dapat ditingkatkan dengan pembekalan-pembekalan melalui training-training baik didalam maupun diluar negeri agar lebih mampu membaca arti kebijakan itu sendiri dan dampaknya terhadap perekonomian serta responsif terhadap tuntutn masyarakat.
Penelitian ini menunjukkan bahwa di Kabupaten Muara Enim kemampuan aparatur dibidang perpajakan (tax profisionalism) masih sangat tergantung pada kreatifitas aparatur pemerintah daerah untuk mampun mengkoordinasi lembaga-lembaga penghasil sumber-sumber PAD. Sedangkan kreatifitas aparatur sangat dipengaruhi oleh kualitas aparaturnya.
Semantara itu Dinas Pendapatan Daerah yang merupakan instansi sentral pemegang kendali dalam melakukan kebijakan peningkatan pendapatan asli daearah. Dari 66 jumlah aparatur dinas perpajakan. Sehingga minimnya pengetahuan ini mempengaruhi proses mobilisasi kebijakan peningkatan pendapatan asli daerah. Sedangkan proses mobilisasi kebijakan yang mereka lakukan biasanya didasarkan pada pengalaman selama ini tanpa didukung oleh kemampuan akademis yang cukup dibidang perpajakan. Keadaan ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Abdul Wahab tahun 1997 bahwa kebijakan apapun sebenarnya menanggung resiko untuk gagal (policy failure) yang biasanya tergolong dua kategor yaitu nonimplmentation (tidak terimplementasikan) dan unsuccesssful implementation (implementasi yang tidak berhasil). Dalam melakukan upaya peningkatan asli daerah di kabupaten muara enim, kegagalan tersebut sesuai dengan penelitian ini.
Faktor yang berpengaruh selanjutnya adalah pengelolaan BUMD kurang profesiona.. Ketidak pastian profesionala pengelolaanBUMD ini dapat dilihat dari kecilnya kontribusi BUMD terhadap total pendapatn asli daerah, keadaan ini lebih disebabkan SDM pengelola BUMD tidak memiliki kemampuan yang profesional sebagai pengelola sebuah perusahaan yang berorientasi pada keuntungan. Sehingga tidak mengherankan apabila keberadaan BUMD selalu mengalami kerugian dan bahkan menjadi beban pemerintah daerah, walaupun BUMD sebenarnya memiliki power yang cukup kuat dalam melakukan kegiatan usaha karena secara langsung mendapat dukungan dari pemerintah daearh kabupaten Muara Enim. Disamping BUMD cenderung melakukan monopoli, misalnya Perusahaan Air Minum Daerah. Namun karena pengeloaanya tidak profesional kekuatan – kekuatan akhirnay tidak mampu dimanfaatkan oleh BUMD.
Faktor lain yang mempengaruhi PAD adalah kondisi geografis daerah Kabupaten Muara Enim yang cukup luas dan tidak semua daerah memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk dapat dijangkau secara mudah. Sehingga, walaupun memiliki potensi yang cukup akan tetapi tidak bisa digali secara optimal. Pengaruhi kondisi geografis ini, menurut peneliti sebenarnya dapat diminimalisasikan dengan kecanggihan teknologi dan inovasi baru, misalnya mendirikan kantor cabang pajak di daerah tertentu diwilayah terpencil (seperti apa yang dilakukan BRI menarik dana masyarakat di tingkat bawah). Dan kenyataanya apa yang dilakukan BRI cukup sukses.
Faktor lain yang termasuk faktor eksternal adalah adanya intervensi pemerintah pusat yang tercermin pada waktu implementasi kebijakan.dimana Sebelum diberlakukan Undang-undang Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun 1999, dari aspek kebijakan terdapat kendala menyangkut waktu implementasi kebijakan berbentuk Peraturan Daerah, berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 masih harus menunggu pengesahan dari pemerintah pusat dan membutuhkan waktu paling lama 3 bulan barulah sebuah kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah daerah dapat diimplementasikan. Intervensi pemerintah pusat yang begitu besar bukan saja terbatas pada apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh daerah tetapi juga berhubungan hal-hal detail pelaksanaan teknis ditingkat daerah sehingga dokumen kebijakan berbentuk Peraturan Daerah pun harus mendapat pengesahan pemerintah pusat. Bentuk intervensi seperti ini jelas kendala bagi Pemerintah Kabupaten Muara Enim untuk secara leluasa mewujudkan kreatifitasnya memobilisasi dan mengoptimalkan sumber-sumber keuangan daerah yang ada.



Kendala lain adalah ternyata masih adanya lembaga-lembaga dekonsentrasi di Kabupaten Muara Enim sehingga sering kali juga membatasi kewenangan Pemerintah Kabupaten dalam melakukan penggalian sumber-sumber keuangan secara optimal karena adanya tumpang tindih dalam penggalian sumber-sumber keuangan daerah, seperti Departemen Perdagangan dan Perindustrian, yang juga berwenang menarik retribusi izin usaha sedangkan pemerintah Kabupaten hanya menarik retribusi izin tempat usaha. Jika kedua retribusi yang sebenarnya sama maknanya disatukan dan disesuaikan tarifnya, serta dikelola langsung oleh Pemerintah Kabupaten Muara Enim tentunya akan memberikan kontribusi yang berarti bagi Pendapatan Asli Daerah.
Bentuk intervensi pemerintah pusat ini terus berlanjut dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang pajak dan retribusi daerah beserta peraturan pelaksanaanya yang telah membatasi sumber penerimaan daerah dalam memaksimalkan upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa intervensi ini masih terlihat, hanya saja tidak seketat pada masa berlakunya Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997, karena didalam undang-undang pajak dan retribusi daerah yang baru kendati telah menetapkan jenis pajak retribusi daerah, namun memberikan peluang kepada daerah untuk dapat menetapkan jenis pajak maupun retribusi lain sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Selain itu dalam menetapkan peraturan daerah tidak perlu lagi pengesahan dari pemerintah pusat.
Faktor terakhir yang mempengaruhi mobilisasi PAD adalah kurangnya sosialisasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Muara Enim. Sehingga target PAD yang ditetapkan tidak tercapai. Sosialisasi kebijakan perlu dilakukan karena setiap kebijakan pemerintah menyangkut Pendapatan Asli Daerah merupakan kebijakan publik yang berdampak luas dan kompleks bagi masyarakat. Kebijakan yang dikeluarkan dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah tentunya mengharap adanya kepatuhan dari mereka-mereka yang menjadi sasaran kebijakan (policy target). Dengan kepatuhan yang dimiliki kelompok sasaran, maka tujuan kebijakan akan lebih mudah untuk dicapai, untuk itu sosialisasi kebijakan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Muara Enim harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan merata kepada segenap masyarakat yang menjadi target kebijakan, agar tidak menimbulkan dampak negatif, karena kepatuhan wajib pajak pada dasarnya tidak harus dengan kekuatan, namun yang lebih penting adalah bagaimana menimbulkan sadar pajak pada masyarakat.


Analisis Upaya Pemerintah Kabupaten Muara Enim Dalam Memobilisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kebijakan-kebijakan mobilisasi Pendapatan Asli Daerah pada dasarnya merupakan manifetasi adanya otonomi daerah yang memberikan kewenangan terhadap pemerintah daerah untuk mengatur dan menata daerahnya. Dalam pengaturan dan penataan ini dibutuhkan biaya-biaya yang tidak sedikit, dimana sementara itu Pemerintah pusat mengurangi bantuannya terhadap daerah. Dalam rangka mengatasi hal tersebut pemerintah Kabupaten diberi kewenangan untuk mengeluarkan peraturan daerah dalam upaya menggali potensi-potensi PAD yang ada di daerahnya.



Kebijakan Pemerintah Kabupaten Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
Pemerintah Kabupaten Muara Enim dalam rangka menerapkan peraturan retribusi daerahnya, memiliki struktur tersendiri dengan cara mengelompokkan berbagai golongan dan jenis retribusi ke dalam bidang-bidang yang relevan dengan tugas pokok setiap unit pemberian pelayanan. Sedangkan ruang lingkup tiap jenis retribusi dikembangkan sedemikian rupa sehingga jenis retribusi pemakaian kekayaan daerah memiliki ruang lingkup yang begitu luas.
Prinsip pengenaan retribusi pada dasarnya dalam rangka cost recovery. Namun dalam pelaksanaannya dapat bersifat untuk menutup seluruh biaya yang dikeluarkan dalam penyediaan jasa, mencari keuntungan dan menutupi sebagian biaya penyelenggaraan pelayanan.
Pemerintah Kabupaten Muara Enim dalam mengaktualisasikan adanya UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Muara Enim No.16 Tahun 2000 dan No.19 Tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah Kabupaten Muara Enim, dan pembentukan organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Muara Enim, yang bertujuan mempermudah mobilisasi. Dengan kewenangan yang dimiliki, Pemerintah Kabupaten Muara Enim mempunyai landasan hukum yang kuat untuk mengatur dan menata potensi serta menarik penerimaan PAD, sedangkan dengan organisasi dan tata kerja yang baik, pengaturan tersebut menjadi lebih efektif.





Upaya Pemerintah Kabupaten Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Muara Enim untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dilakukan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi.
Secara intensifikasi usaha yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Muara Enim adalah (1) Memberlakukan/ melaksanakan sistem pungutan sesuai dengan petunjuk yang ada dalam Mapatda. (2) Diadakan penyempurnaan administrasi sarana/prasarana kerja dengan menggunakan sistem komputerisasi. (3) Diadakan pendekatan kepada masyarakat/wajib retribusi melalui penyuluhan-penyuluhan. (4) meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dengan membentuk Tim Penagihan Retribusi melalui penyuluhan-penyuluhan. (5) Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dengan membentuk Tim Penagihan Retribusi, sehingga Wajib Retribusi dapat membayar kepada petugas penagih yang ditunjuk dengan Surat Perintah Tugas. (6) Terus menerus/secara berkesinambungan diadakan pencairan tunggakan, (7) Peningkatan koordinasi dengan instansi terkait terutama yang berkenaan dengan perubahan data. 8) Penyampaian Surat Ketetapan Retribusi tepat pada waktunya. (9) Mengadakan monitoring terhadap pelaksanaan pemungutan di lapangan. (10) Meningkatkan kualitas aparatur dengan mengikut sertakan karyawan untuk mengikuti kursus-kursus/penataran mengenai Pendapatan Daerah.
Sedangkan secara ekstensifikasi adalah (1) Mendata ulang obyek-obyek Retribusi yang ada dengan cara menertibkan administrasi. (2) penyesuaian Tarif Retribusi melalui perubahan Peraturan Daerah.
Upaya Pemerintah Kabupaten dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang selalu meningkat dan memperbaiki, pelayanan masyarakat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain mengundang investor untuk turut menyediakan pelayanan masyarakat tersebut. Pada sisi yang lain, dari kalangan dunia usaha dalam era globalisasi saat ini yang dicirikan oleh derajat kompetisi yang tinggi diperlukan adanya daya saing yang semakin tangguh. Oleh karena itu pengusaha dituntut untuk semakin profesional dan berproduksi secara lebih efisien. Akan tetapi tuntutan diatas dalam prakteknya menghadapi dilema yaitu disatu pihak Pemerintah Kabupaten harus dapat menarik minat pengusaha dengan memberikan berbagai perangsang dan kemudahan bagi investor, sementara dilain pihak Pemerintah Kabupaten melakukan berbagai macam pungutan yang sering dikeluhkan oleh kalangan dunia usaha. Pada gilirannya kondisi tersebut menyebabkan rendahnya minat investor di daerah guna meningkatkan efisiensi usaha. Untuk memecahkan permasalahan tersebut, diperlukan upaya yang serius melalui rasionalisasi pungutan di daerah.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Pemerintah telah mengambil langkah deregulasi pada tanggal 7 Juli 1997, yaitu dikeluarkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta peraturan pelaksanaannya yang diatur dalam Peraturan pemerintah no. 19 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Peraturan pemerintah No. 20 tahun 1997 tentang Retribusi Daerah. Berdasarkan ketentuan ini, pungutan pajak daerah dan retribusi daerah lebih disederhanakan, yang berorientasi pada perampingan jenis proses pungutan, penyempurnaan struktur tarif dan penyederhanaan prosedur Retribusi Daerah dengan menciutkan dari 130 menjadi 30 jenis.
Melalui berbagai upaya yang terus menerus, Pemerintah Kabupaten Muara Enim


TABEL 1
Ratio Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap APBD Kabupaten Muara Enim Tahun 1997 – 2001
No Tahun PAD (Rp.) APBD (Rp.) % PAD Thd APBD
1. 1997 5.191.518.634 74.948.232.128 6,93
2. 1998 6.040.608.065 94.017.931.705 6,42
3. 1999 5.601.360.115 101.967.461.710 5,49
4. 2000 6.661.726.429 140.296.262.206 4,75
5. 2001 20.024.267.677 9 333.488.632.600 6,00


Sumber: Data Diolah dari Laporan Dispenda sebelum krisis yaitu tahun 1997 proporsi PAD terhadap jumlah penerimaan APBD adalah sebesar 6,93 %, pada saat krisis tahun 1998 mengalami penurunan menjadi 6,42 %, hal ini terus berlanjut sampai tahun 2000 yang mencapai 4,75 %. Setelah mulai diberlakukan otonomi daerah maka dalam tahun 2001 proporsi tersebut mengalami peningkatan mencapai 6,00 % Persen (tabel 1).
Keadaan ini menunjukkan upaya pemerintah Kabupaten mengalami peningkatan yang cukup nyata. Namun demikian upaya ini belumlah optimal, karena potensi-potensi PAD diwilayah Kabupaten Muara Enim belum seluruhnya tergali. Tetapi menurut peneliti yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah secara administratif melakukan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber-sumber PAD yang sudah ada, hal ini perlu dilakukan untuk mencegah kebocoran-kebocoran yang terjadi selama proses mobilisasi PAD.


Analisis Dampak Kebijakan Mobilisasi Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah Di Kabupaten Muara Enim
Deregulasi Juli 1997 berdampak pada dihapuskannya sumber-sumber penerimaan dari pos retribusi daerah di Kabupaten Muara Enim, antara lain Retribusi : a) Leges, b) Penggilingan padi, c) Ijin Usaha, d) Pedagang Obat Eceran, e) Dokumen Pelelangan Proyek, f) Penyimpanan Barang Dagangan, g) Ijin Lalu lintas Hewan Ternak, h) Ijin Usaha Kepariwisataan, i) Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan/Kesepakatan Kerja, j) usaha kesejahteraan pekerja, k) Ijin Penggunaan Jalan, l) Ijin Usaha Industri, m) Bahan Galian Golongan C, n) Pengambilan Air Bawah Tanah, o) Ijin Usaha Bengkel Kendaraan. Namun implementasi dari deregulasi tersebut baru dapat dijalankan pada tahun 2000, hal ini lebih disebabkan Pemerintah Kabupaten Muara Enim, harus melakukan sosialisasi terlebih dahulu. Sehingga pada tahun 1998 dan 1999 retribusi ini masih ditarik oleh Pemerintah Kabupaten Muara Enim. Nilai penerimaan retribusi yang dihapuskan tahun 1998 dan 1999 dapat dilihat pada lampiran 6.
Dari sumber-sumber penerimaan di atas, retribusi Bahan galian Golongan C dan Retribusi Pengambilan Air Bawah Tanah pada dasarnya hanya berubah fungsi menjadi pajak daerah, sehingga secara prinsip tidak mengurangi PAD. Di luar kedua jenis retribusi tersebut, yang nilainya terbesar adalah Retribusi Dokumen Pelelangan dimana pada tahun 1998 memberikan kontribusi sebesar Rp.195.049.870. selanjutnya menyusul Retribusi Leges (Rp. 115.749.329), Retribusi Penggilingan Padi (Rp. 2.143.000), Retribusi Rumah Bola Rp. 1.077.000, dan Retribusi Kendaraan Tidak Bermotor Rp. 552.750. Dengan mengacu kepada realisasi penerimaan tahun 1998, maka total penerimaan yang dihapus adalah sebesar Rp. 314.571.949. Sehingga dengan berkurangnya sumber-sumber penerimaan yang berasal dari retribusi PAD, maka penerimaan dari retribusi PAD Kabupaten Muara Enim mengalami penurunan dari tahun ke tahun, dimana pada tahun 1998 retribusi PAD Kabupaten Muara Enim sebesar Rp. 2.249.467.216 turun menjadi Rp. 1.437.765.464 di tahun 1999. Sedangkan pada tahun 2000 retribusi PAD mengalami kenaikan menjadi Rp.
1.595.325.777 akibat adanya penambahan retribusi pemakaian kekayaan daerah, kenaikan ini terus berlanjut menjadi sebesar Rp. 2.023.150.838 di tahun 2001 dengan adanya penambahan retribusi pasar grosir dan pertokoan.
Sedangkan UU. No. 22 Tahun 1999 dan UU. No. 25 Tahun 1999, serta UU. No. 34 tahun 2000 tentang perubahan atas UU RI No. 18 Tahun 1997 memberikan pedoman kepada daerah untuk memobilisasi potensi PAD. Dampak bagi Pemerintah Kabupaten Muara Enim adalah diberinya kewenangan oleh pemerintah pusat dalam rangka mengatur, menata, dan melaksanakan otonomi daerah secara mandiri.
Sejalan dengan hal tersebut Pemerintah Kabupaten Muara Enim mengeluarkan Perda No. 16 Tahun 2000 dan Perda 19 Tahun 2000. Dampak dari pembenahan organisasi dan tata kerja tersebut, Kabupaten Muara Enim melakukan perampingan organisasi dari 18 Dinas menjadi 14 Dinas, yaitu : (1). Pertanian Tanaman Pangan, (2). Peternakan dan Perikanan, (3). Pertambangan dan Energi, (4). Perkebunan dan Kehutanan, (5). Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi, (6). Tenaga Kerja, (7). Kesehatan, (8). Pendidikan Nasional, (9). Pertanahan, (10). Cipta Karya dan Pengairan, (11). Bina Marga, (12). Perhubungan, (13). Pendapatan Daerah, (14). Lingkungan Hidup.
Dari 18 dinas, 4 dinas dilebur/bergabung dengan dinas lain, antara lain : 1) Dinas Perikanan di gabung dengan Dinas Peternakan, 2) Dinas Kehutanan digabung dengan Dinas Perkebunan, 3) Perdagangan dan Koperasi di gabung dengan Dinas Perindustrian, 4) Dinas Pengairan digabung dengan Cipta karya. Penggabungan ini adalah semata-mata untuk melakukan efisiensi dan efektifitas kinerja organisasi dalam upaya memobilisasi Sumber-sumber PAD.



Dampak dari penggabungan tersebut adalah dipotongnya beberapa jalur perijinan yang terlalu birokratis menjadi satu atap/meja, sehingga orang/ pengusaha atau badan/lembaga yang melakukan pengurusan ijin/pajak menjadi lebih mudah dan tidak berbelit-belit. Dari sisi wajib pajak hal ini mempersingkat waktu pengurusan dan mengurangi biaya-biaya siluman. Sedangkan dari sisi pemerintah sebagai pelayan masyarakat, hal ini akan meningkatkan kredibilitas pemerintah di mata rakyatnya, sehingga diharapkan rakyat percaya terhadap pemerintahannya termasuk program-program yang dibuat oleh pemerintah.
Kepercayaan oleh masyarakat sangat diperlukan oleh pemerintah Kabupaten Muara Enim untuk menjalankan roda pembangunan di wilayahnya. Sehingga Perda-Perda yang dibuat oleh pemerintah dengan sungguh-sungguh dapat dimengerti dan dipahami oleh masyarakat sebagai upaya pemerintah untuk membiayai pembangunan di wilayah Kabupaten Muara Enim. Terutama Perda-perda tentang retribusi dan pajak daerah sebagai penyumbang utama dari penerimaan PAD.


KESIMPULAN DAN SARAN



Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1 Faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi sumber-sumber PAD di Kabupaten Muara Enim antara lain : a) UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, b) Kebijakan/peraturan daerah tentang PAD, c) Terbatasnya Pengetahuan Perpajakan Aparatur pengelola PAD, d) Pengelolaan BUMD kurang Profesional, e) Hambatan Geografis, f) Intervensi Pemerintah Pusat, g) Kurangnya Sosialisasi.
2 Usaha yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Muara Enim adalah (1) Memberlakukan/melaksanakan

sistem pungutan sesuai dengan petunjuk perda yang ada, (2) Penyempurnaan administrasi sarana/prasarana kerja dengan menggunakan sistem komputerisasi. (3) Pendekatan kepada masyarakat/wajib retribusi melalui penyuluhan-penyuluhan. 4) Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dengan membentuk Tim Penagihan Retribusi melalui penyuluhan-penyuluhan. (5) Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dengan membentuk Tim Penagihan Retribusi. (6) Terus menerus/secara berkesinambungan diadakan pencairan tunggakan, (7) Peningkatan koordinasi dengan instansi terkait terutama yang berkenaan dengan perubahan data. (8) Penyampaian Surat Ketetapan Retribusi tepat pada waktunya.
(9) Mengadakan monitoring terhadap pelaksanaan pemungutan di lapangan. 10) Meningkatkan kualitas aparatur dengan mengikut sertakan karyawan untuk mengikuti kursus-kursus/penataran mengenai Pendapatan Daerah. Sedangkan secara ekstensifikasi adalah (1) Mendata ulang obyek-obyek Retribusi yang ada dengan cara menertibkan administrasi. (2) penyesuaian Tarif Retribusi melalui perubahan Peraturan Daerah. Melalui berbagai upaya yang terus menerus.
3. Dampak kebijakan mobilisasi sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Muara Enim dimulai dari adanya deregulasi Juli 1997 (UU No. 18 Tahun 1997) dengan dihapuskannya beberapa sumber penerimaan dari pos retribusi daerah di Kabupaten Muara Enim. Sehingga dengan berkurangnya sumber-sumber penerimaan yang berasal dari retribusi PAD, maka penerimaan dari retribusi PAD Kabupaten Muara Enim mengalami penurunan. Namun dengan adanya UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 Pemerintah Kabupaten Muara Enim mengeluarkan beberapa Peraturan Daerah Kabupaten Muara Enim No.16 Tahun 2000 dan No.19 Tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah Kabupaten Muara Enim, dan pembentukan organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Muara Enim, serta mengeluarkan 15 perda tentang retribusi daerah dan 23 perda tentang penataan sumber-sumber PAD (perizinan, aturan, dan pengawasan kegiatan usaha), yang bertujuan untuk mempermudah mobilisasi sumber-sumber PAD yang ada di Kabupaten Muara Enim. Secara riil dampak mobilisasi sumber-sumber PAD di Kabupaten Muara Enim dilihat dari kontribusi pajak daerah terhadap PAD rata-rata sebesar 47% dalam empat tahun (tahun 1998, 1999, 2000, 2001), namun penerimaan dari sektor PAD ini masih relatif kecil bila dilihat dari persentase sumbangan terhadap penerimaan daerah yang rata-rata hanya 19,75 % dalam empat tahun (1998, 1999, 2000 2001).





Saran-saran
Kebijakan dari sisi penerimaan meliputi: (1) Memperluas basis pajak dan retribusi daerah. (2) Memperkuat proses pemungutan. (3) Meningkatkan mutu pengawasan. (4) Meningkatkan efisiensi administrasi untuk mengurangi biaya pemungutan. (5) Mendirikan Perusahaan Daerah yang profesional. (6) Menjalin kerjasama dengan pihak lain.
Kebijakan dari sisi pengeluaran meliputi: (1) Melakukan efisiensi anggaran. (2) Melakukan reformasi administrasi. (3) Melakukan Analisis Standar Belanja atau Standart Spending Assesment. (4) Perlunya reformasi pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.


DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, Solichin, 1997. Evaluasi Kebijakan Publik. Penerbit FIA UNIBRAW dan IKIP Malang.
⎯⎯, 2002. “Perkembangan Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan Keagamaan” dalam Bakri, 2002.
Metodologi Penelitian Kualitatif. Tinjauan Teoritis dan Praktis. Lembaga Penelitian Universitas Islam Malang kerjasama dengan VISIPRESS. Malang.
Abdul Wahab, Solichin; Putra, Fadillah; Arif, Saiful, 2002. Masa Depan Otonomi Daerah (Kajian Sosial. Ekonomi. dan Politik untuk Menciptakan Sinergi dalam Pembangunan Daerah). Penerbit SIC. Suarabaya.
Anderson, J.E., 1979. Public Police Making. Holt. Rinehart and Wiston. New York.
Anonim, 1974. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Aksaran Baru. Jakarta.
⎯⎯⎯, 2001. Undang-Undang Otonomi Daerah 1999 (UU. No. 22, 25 dan 28 Tahun 1999) dilengkapi Juklak Otonomi Daerah 2001. Citra Umbaran. Bandung.
⎯⎯⎯, 2001. Undang-Undang Republik Indopnesia Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan Undang-undang No. 18 Tahun1997 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Mutiara Sumber Widya. Jakarta.
Bird, Richard M., and Vaillancourt Francois (2000). Fiscal Decentralization in Developing Countries. (Desentralisasi Fiskal di Negara-negara Berkembang). PT. Gramedia Pustaka. Jakarta.
Data Sosial Ekonomi Kabupaten Muara Enim, 2000. Bapeda Kabupaten Muara Enim.
Devas, Nick, 1989. Financing Local Government in Indonesia. Planning and Administration (Asia and Pasific Special) IULA. OHIO University.
Dunn. William M., 1995. Analisis Kebijakan Publik. Terjemahan Muhadjin Darwin. Harminodita. Yogyakarta.
Emmerson Donald K., 2001. Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. PT. Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan The Asia Foundation Indonesia. Jakarta.
Fredlaender dan Due, 1994. Keuangan Negara Perekonomian Sektor Publik. Terjemahan dari Sitompul. Erlangga. Jakarta.
Ichsan, Moch., dkk., 1997. Administrasi Keuangan Daerah: Pengelolaan dan Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Cetakan I. PT. Danar Wijaya. Malang.
Islamy, Irfan, 2000. “Profesionalisasi Pelayanan Publik”. Jurnal Agritek. Edisi Khusus Desember 2000. Institut Pertanian Malang. Halaman 108-117.
Kurasawa Aiko, 1993. Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942 – 1945. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Lembaran Daerah Kabupaten Muara Enim Tahun 2001. Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Muara Enim. Muara Enim.
Miles B. Mathew and A. Michaell Huberman, 1992. Analisa Data Kualitatif. Penerbit Universitas Indonesia (UI Press). Jakarta.
Moleong, L.J., 1996. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung



Muara Enim Dalam Angka, 2000. Badan Pusat Statistik Kabupaten Muara Enim
Osborne, David; Geabler, Ted, 1995. Mewirausahakan Birokrasi. Terjemahan Abdul Rasyid. Pustaka Binamon. Persindo. Jakarta.
Peraturan Daerah Kabupaten Muara Enim Nomor 19 Tahun 2000. Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Muara Enim. Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Muara Enim. Muara Enim.
Peraturan Daerah Kabupaten Muara Enim Nomor 2 Tahun 2002. Tentang Pendirian Perusahaan Daerah Pertambangan Mineral Utama. Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Muara Enim. Muara Enim.
Rasyid, M. R. 2000. Kebijakan Penyiapan Sumberdaya Aparatur yang Profesional dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jurnal Ilmu Pemerintahan. MIPI. Jakarta.
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Muara Enim Tahun 1998/1999. Pemerintah Daerah Dati II Muara Enim
Safi’i, M. 2001. Analisis Tingkat Kemampuan Otonomi Daerah Kabupaten di Kalimantan Selatan (Studi Kasus di Kabupaten Tabalong). Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial th 35 Nomor 2 Desember 2001 : 390-402.
Santoso, A., Somartono, Zauhar, S. 2002. Reformasi Administrasi Pemerintah Daerah. Kajian Tentang Kelembagaan, Personil, Keuangan Daerah, serta Persepsi dan Sikap Aparatur Pemerintah Daerah Kabupaten Nganjuk Terhadap Undang-Undang Nonor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah. Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial. Wacana Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya. Volume 4 No. 2 Januari 2002 : 150-165
Taryana, D. 2002. Pemberdayaan Masyarakat Di Era Reformasi Melalui Pelaksanaan Otonomi Daerah (OTODA). Jurnal Ilmu-Ilmu Pengetahuan Sosial. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Edisi Khusus. Februari 2002: 84-94
Widjaja A.W. 1999. Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia Penerbit Cipta. Jakarta.

0 comments: