Saturday 22 March 2008

PERAN INSTITUSI LOKAL DALAM PEMBANGUNAN DESA

Publikasi Ilmiah
PERAN INSTITUSI LOKAL DALAM PEMBANGUNAN DESA

(Suatu Kajian Tentang Peran Lembaga Tahlil Dalam Pembangunan Desa di Desa Simorejo Kecamatan Kanor Kabupaten Bojonegoro)
The Role of Local Institution in Developing The Rural Area ( A Study about The Role of Tahlil Organization in Developing The Countryside in Simorejo Subdistrict ofBojonegoro)
OLEH:M. ALI IMRON H.R. RIYADI SOEPRAPTOSUWONDO

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA KEKHUSUSAN ADMINISTRASI PEMBANGUNANPROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS BRAWIJAYAMALANG 2002

RINGKASAN


M. ALI IMRON, Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, 17 April 2002, Peran Institusi Lokal Dalam Pembangunan Desa (Suatu Kajian Tentang Peran Lembaga Tahlil Dalam Pembangunan Desa di Desa Simorejo Kecamatan Kanor Kabupaten Bojonegoro). Komisi Pembimbing, Ketua: Dr. H.R. Riyadi Soeprapto, MS., Anggota : Drs. Suwondo, MS.
Menguatnya institusi lokal tradisional keagamaan semisal Lembaga Tahlil dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat akhir-akhir ini adalah merupakan sebuah fenomena yang sangat menarik untuk di cermati. Institusi lokal keagamaan yang banyak berkembang dalam masyarakat desa yang terkesan tradisional ini ternyata dalam tataran realita mampu berperan sebagai sarana yang sangat potensial dan efektif dalam pelaksanaan pembangunan desa. Hal ini dibuktikan dengan berbagai aktifitas pembangunan yang telah dilakukan baik berupa pembangunan sarana maupun prasarana fisik desa secara mandiri. Disisi lain LKMD sebagai lembaga formal yang notabenenya lembaga buatan pemerintah sebagai wadah kegiatan pembangunan desa justru mengalami kemunduran dan tidak mampu untuk berbuat banyak dalam pembangunan desa.
Sehubungan dengan hal tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah realitas dari keberadaan institusi lokal tradisional didalam kehidupan masyarakat desa, (2) Peran apa saja yang telah diambil institusi lokal dalam pembangunan desa.
Tujuan dari penelitian ini adalah antara lain untuk mendeskripsikan persepsi masyarakat desa terhadap hadirnya institusi lokal. Kemudian mengidentifikasi dan mendeskripsikan peran Lembaga Tahlil sebagai Institusi lokal tradisional keagamaan dalam menggalang partisipasi masayarakat dalam pembangunan desa, serta mengidentifikasi dan mendeskripsikan kontribusi Lembaga Tahlil dalam pembangunan desa.
Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kualitatif dengan langkah-langkah pengumpulan data dilakukan melalui observasi, dokumentasi, dan wawancara yang mendalam dengan informan lapangan yang diperoleh melalui Key Informan. Untuk mengukur validitas keabsahan data dilakukan suatu teknik pemeriksaan didasarkan atas sifat dan kriteria yang digunakan yaitu dengan cara mengukur derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), ketergantungan (dependability), dan kepastian (conformability) atas obyek penelitian. Dari langkah itu dilakukan analisis data kualitatif dengan menggunakan model analisa data interaktif yang dikembang oleh Miles dan Huberman (1984), yang meliputi proses reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi.
Dari hasil penelitian yang ada akhirnya dapat ditarik beberapa indikasi pokok, yaitu: (1) Keberadaan sebuah institusi lokal ditentukan oleh kesesuaian dengan nilai-nilai agama dan budaya setempat serta seberapa besar institusi tersebut mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, (2) Partisipasi masyarakat akan semakin meningkat bila pembangunan menggunakan media lembaga tradisional yang ada,

(3) Institusi/lembaga yang berlandaskan pada adat istiadat setempat adalah sarana yang potensial bagi pembangunan masyarakat.



SUMMARY
M. ALI IMRON, Post Graduate Program of Brawijaya University, April 17, 2002. The Role of Local Institution in Developing The Rural Area ( A Study about The Role of Tahlil Organization in Developing The Countryside in Simorejo Subdistrict of Bojonegoro), Supervisor: Dr. H.R. Riyadi Soeprapto, MS., Co-Supervisor : Drs. Suwondo, MS.
The efficacy of Traditional Local Institutions of Religion such as Tahlil Organization in many aspects of social life in recent times indicated the existence of new enticing phenomenon to be scrutinized. There are so many Traditional Local Institutions of Religion in practicing to the real life can be develop in many rural areas or countryside by placing this Traditional Local Institutions of Religion’s role as a potential medium and effective in developing the countryside and rural areas. This could be proven with the increases of many kind of activities in order to develop the rural area whether it was conducted in the form of physical structure or even infrastructure possessed by the internal countryside. While in another hand, LKMD as a formal institution which is notably as a government institution have a function to raise many kind of activities are getting decline and have limited scope in developing the countryside and rural areas.
In line with the facts above, then the research problems in this study are (1) How is the existence of Traditional Local Institutions of Religion in the real life of rural areas. (2) How many role have played by the Traditional Local Institutions of Religion in developing the rural areas.
The first purpose of this study is describing the perceptions of rural area society toward the arising of local institutions in their environment. Then the next purpose of this study is identifying and describing the roles of Tahlil Organization as a Traditional Local Institutions of Religion in the hope to enhance the participation of rural area society in developing their own environment.
In this study, the method used is qualitative method by applying some steps in collecting the data, such as observation, documentation, and conducting some interviews to the field informant, wich is obtained through Key Informant. In measuring the data, this study was using technique of cross-checking based on the nature and criterion used in this research such as the way to measure the credibility, transferability, dependability and conformability to the object of this research. From those steps above than the qualitative data analysis was conducted by applying interactive model of data analysis wich have developed by Miles and Huberman (1984), comprises of reduction of the data, displaying the data and conclusion or verification.


The results of this study, finally can be drawn some main indications such as (1) The existence of the Local Institution principally depend on the conformity of the religion values and local customs and also how much the need can be fulfilled by the institution for the society. (2) Participation of the society could be increased if the development of the rural area are combined with such traditional organizations as a medium. (3) Institutions or Organizations based on the local customs are the potential means to develop the rural area.


PENDAHULUAN Latar Belakang


Sejak awal kegiatan pembangunan di Indonesia, pembangunan pedesaan baik di Jawa maupun diluar pulau Jawa telah banyak mendapat perhatian. Hal ini merupakan sebuah konsekwensi logis bagi bangsa Indonesia yang memang sebagian besar penduduknya hidup di daerah pedesaan yang mencapai 70 % dari keseluruhan penduduk di Indonesia. Sehingga titik sentral pembangunan adalah daerah pedesaan.
Arti penting pembangunan pedesaan adalah bahwa dengan menempatkan desa sebagai sasaran pembangunan, usaha untuk mengurangi berbagai kesenjangan pendapatan, kesenjangan kaya dan miskin, kesenjangan desa dan kota akan dapat lebih diwujudkan. Hal ini dipertegas lagi oleh GBHN 1999 tentang pembangunan pedesaan yang intensitasnya ditingkatkan guna mempercepat pembangunan pedesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat terutama petani dan nelayan melalui penyediaan prasarana, pembangunan sistem agribisnis, industri kecil dan kerajinan rakyat. Pengembangan kelembagaan, penguasaan teknologi, dan pemanfaatan sumber daya alam (GBHN: 1999).
Sebelum di bentuk berbagai institusi lokal atau lembaga kemasyarakatan oleh Pemerintah semisal LKMD, PKK, Klompencapir, Kelompok Tani dan lembaga kemasyarakatan lainnya, sebagai akibat dari masuknya program pembangunan ke pedesaan demi percepatan pelaksanaan pembangunan pedesaan, serta di berlakukannya sistem birokrasi modern secara nasional (Suyanto:1996). Selama ini di desa telah ada seperangkat lembaga-lembaga yang muncul dan timbul dari inisiatif masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidup yang harus dipenuhinya. Umumnya lembaga-lembaga lokal ini masih bersifat sangat tradisional dengan berbagai kekurangankekurangan yang ada dari segi organisasi/kelembagaan modern. Padahal disisi lain pemerintah sebagai Stakeholder dari program pembangunan sangat memerlukan lembaga yang sangat mumpuni untuk menjadi wadah/saluran pembangunan bahkan sarana paling tepat untuk percepatan pembangunan pedesaan. Dengan berpijak pada realita semacam inilah maka pemerintahpun mengeluarkan kebijakan mengenai perlunya pembentukan lembaga kemasyarakatan modern dalam rangka pelaksanaan pembangunan di pedesaan dengan pertimbangan, bahwa lembaga kemasyarakatan modern yang dibikin pemerintah yang memang dirancang secara khusus untuk kegiatan pembangunan akan lebih memberikan peluang besar guna keberhasilan pembangunan itu sendiri dari pada pemerintah menggunakan lembaga kemasyarakatan yang sudah ada yang umumnya bercorak kultural, agamis dan tradisional.


Fenomena tentang keberadaan lembaga kemasyarakatan tradisional yang demikian ini adalah bukan hanya merupakan sebuah kebetulan saja, akan tetapi sudah menjadi realita umum di dalam masyarakat. Dimana masyarakat desa ternyata lebih memilih bergabung dan aktif menjadi anggota lembaga kemasyarakatan tradisional semisal Lembaga Tahlil yang notabenenya adalah lembaga tradisional keagamaan dibanding untuk ikut dan aktif di dalam lembaga formal semisal LKMD. Kecenderungan masyarakat untuk menentukan pilihan yang demikian ini tentunya bukan karena tanpa sebab. Namun tentunya hal ini sudah melalui proses yang matang bagi masyarakat desa untuk menentukan pilihan seperti ini.
Dalam pembangunan desa, hal yang perlu diketahui, dipahami dan diperhatikan adalah berbagai kekhususan yang ada dalam masyarakat pedesaan. Tanpa memperhatikan adanya kekhususan tersebut mungkin program pembangunan yang dilaksanakan tidak akan berjalan seperti yang diharapkan. Kekhususan pedesaan yang dimaksud antara lain adalah bahwa masyarakat desa relatif sangat kuat keterikatannya pada nilai-nilai lama seperti budaya / adat istiadat maupun agama. Nilai-nilai lama atau biasa disebut dengan budaya tradisional itu sendiri menurut Dove (1985) sangat dan selalu terkait dengan proses perubahan ekonomi, sosial dan politik dari masyarakat pada tempat di mana budaya tradisional tersebut melekat.
Dari fenomena yang terlihat dalam masyarakat desa nampak sekali bahwa ternyata institusi lokal yang notabenenya adalah institusi / lembaga bikinan masyarakat sendiri pada kurun waktu terakhir semakin menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan dalam perkembangannya. Kita dapat menjumpai banyak sekali institusi-institusi lokal baik yang sudah lama tumbuh ataupun modifikasi bahkan yang baru dibentuk oleh masyarakat sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhannya dan umumnya institusi lokal tersebut adalah bermuatan agama. Penguatan institusi lokal tradisional seperti ini sebenarnya adalah merupakan refleksi dari budaya, agama dan adat istiadat setempat yang diselaraskan dengan kebutuhan masyarakat. Namun walaupun demikian adanya, ternyata institusi-institusi lokal keagamaan tersebut mampu berkiprah dalam kehidupan masyarakat desa, khususnya dalam pembangunan masyarakat desa itu sendiri bila dibandingkan dengan institusi-institusi buatan pemerintah. Hal ini merupakan sebuah fenomena yang unik dimana keberadaan institusi lokal yang masih begitu tradisional dengan berbagai keterbatasan yang ada bila dibandingkan dengan lembaga modern ternyata masih bisa bertahan di tengah proses modernisasi pedesaan dan bahkan mampu untuk berkiprah.


Dalam hal ini, Lembaga Tahlil yang merupakan salah satu institusi lokal yang ada di daerah penelitian merupakan bukti nyata dari apa yang telah terpapar diatas. Lembaga tradisional keagamaan ini ternyata mampu menunjukkan dirinya sebagai wadah sekaligus pendorong bagi terlaksananya pembangunan di desa. Lembaga Tahlil yang pada awalnya mempunyai kekhususan diri bergerak dalam bidang keagamaan yang berupa kegiatan ritual apa yang disebut dengan “tahlilan”, ternyata juga sangat efektif sebagai wadah dan sarana masyarakat setempat dalam memenuhi berbagai macam kebutuhan baik sosial ekonomi maupun budaya. Dalam satu sisi bergerak di bidang religi keagamaan dan budaya yang bertujuan untuk kegiatan keagamaan agar masyarakat senantiasa mendekatkan diri kepada sang pencipta serta melestarikan budaya yang ada. Namun disisi lain juga bergerak di bidang sosial ekonomi yang bertujuan untuk memperbaiki perekonomian dan tingkat taraf hidup masyarakat. Dengan kata lain, bahwa lembaga ini berusaha memenuhi segala aspek kebutuhan masyarakat.
Peran Lembaga Tahlil dalam pembangunan desa, sangatlah tampak pada berbagai kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh lembaga ini melalui kswadayaan yang mereka miliki. Seperti pada pembangunan sarana dan prasarana fisik yang berupa jalan, jembatan, tempat tinggal, tempat ibadah serta berbagai macam kegiatan yang bersifat ekonomis yang mereka lakukan. Kesemua kegiatan pembangunan ini di lakukan sendiri oleh masyarakat baik dalam segi pembiayaan dan pelaksanaan dengan menggunakan kemampuan sendiri sesuai dengan batasan kemampuan yang dimilikinya tanpa ada sedikitpun intervensi bantuan dari pihak luar.

Setelah rezim Orde Baru tumbang dan dikeluarkannya UU No. 22 Th 1999 tentang Pemerintahan Daerah, ada perubahan pola pikir pembangunan di banding dengan UU No. 5 Th. 1979 yang berpola top-down. Maka di dalam UU No.22 Th. 1999 adalah bersifat buttom–up, nafas dari pola pendekatan ini adalah adanya otonomi daerah, dimana dalam hal ini kreativitas masyarakat serta peran sertanya dalam pelaksanaan pembangunan menjadi landasan dasar dalam Undang-Undang ini (Widjaja: 2001).
Pembangunan yang berpusat pada rakyat atau people centered development (Korten: 1988), intinya adalah dimana segala prakarsa inisiatif pembangunan semuanya di serahkan kepada masyarakat akan berakibat kepada timbulnya keswadayaan masyarakat dalam membangun dirinya sendiri. Masyarakatlah yang mengetahui sendiri tentang apa yang dibutuhkan dan menjadi kepentingan dalam hidupnya, dengan demikian maka ia sangat berhak untuk menentukan tindakan–tindakan yang perlu dilakukannya dalam rangka pemenuhan dari segala kebutuhannya. Sedangkan orang lain dalam hal ini berarti juga negara hanyalah sebagai fasilitator bagi masyarakat untuk memenuhi akan kebutuhannya tersebut. Sehingga masyarakat benar-benar mandiri tanpa lagi tergantung kepada pemerintah. Keswadayaan yang demikian inilah yang diharapkan.



Rumusan Masalah
Dari berbagai uraian latar belakang diatas maka dapatlah diambil suatu rumusan masalah, yaitu: 1) Bagaimanakah realitas dari keberadaan institusi
lokal tradisional keagamaan didalam kehidupan
masyarakat desa. 2) Peran apa saja yang telah diambil institusi lokal
dalam pembangunan desa.



Tujuan Penelitian
Studi ini bertujuan untuk mengungkapkan dan mendeskripsikan hal-hal sebagai berikut: 1). Persepsi masyarakat desa terhadap keberadaan institusi lokal tradisional keagamaan yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. 2). Peran serta upaya Lembaga Tahlil sebagai institusi lokal tradisional keagamaan dalam menggalang partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan.


3). Kontribusi Lembaga Tahlil sebagai Institusi Lokal tradisional keagamaan dalam pembangunan desa.


Manfaat Penelitian


1). Secara akademis, penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi kajian pembangunan desa. 2). Secara praktis, penelitian ini di harapkan berguna
untuk memberikan masukan bagi perencanaan dan pelaksanaan program-program pembangunan pedesaan, terutama bagi pejabat berwenang dalam hal pembuat kebijakan.



METODE PENELITIAN Jenis Penelitian


Penelitian ini pada dasarnya dimaksudkan untuk memahami secara kontekstual dan memperoleh gambaran yang mendalam dari peran institusi lokal dalam pembangunan desa. Penelitian ini termasuk jenis kualitatif, dengan maksud agar dalam proses pencarian makna dibalik fenomena dapat dilakukan pengkajian secara komprehensif, mendalam, alamiah dan apa adanya serta tanpa banyak campur tangan dari peneliti. Adapun pertimbangan lain adalah bahwa peran institusi lokal dalam pembangunan tidak hanya mengungkapkan peristiwa riil yang bisa dikuantitatifkan, tetapi lebih dari itu hasilnya diharapkan dapat mengungkapkan hal-hal yang tersembunyi Melalui penelitian kualitatif diharapkan dapat menjelaskan secara terperinci apa yang ada dilapangan.


Fokus Penelitian


Dengan mengacu pada permasalahan yang ada, maka fokus penelitian yang ada adalah sebagai berikut:
1. Keberadaan Lembaga Tahlil sebagai institusi lokal dalam masyarakat yang didasarkan pada: a.Respon masyarakat terhadap keberadaan Lembaga Tahlil.
b.Kegiatan-Kegiatan Lembaga Tahlil.

2. Peran Lembaga Tahlil dalam pembangunan desa yang meliputi: a.Sebagai Fasilitator komunikasi dua arah. b.Sebagai wadah partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan.

1 Kesejahteraan Masyarakat.



Lokasi dan Situs Penelitian


Lokasi dari penelitian ini adalah di Desa Simorejo yang berada di Kecamatan Kanor Kabupaten Bojonegoro. Sedangkan Situs yang dipilih adalah Lembaga Tahlil. Pemilihan ini didasarkan pada: 1.Penilaian bahwa di desa Simorejo banyak berkembang institusi lokal yang notabenenya adalah lembaga adat/tradisional yang mampu memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam pelaksanaan pembangunan desa

2.Lembaga Tahlil sebagai satu-satunya institusi lokal tradisional keagamaan yang sudah lama berdiri dan tetap eksis di tengah-tengah kehidupan masyarakat serta mempunyai peranan yang cukup besar dalam pembangunan desa Simorejo.
3.Lembaga ini tergolong masih tradisional dan bahkan belum pernah sama sekali mendapatkan pembinaan dari pemerintah ataupun LSM. Namun lembaga ini telah membuktikan dirinya bahwa dengan berbagai sumber daya yang ada padanya mampu untuk berdaya dan berkiprah didalam pembangunan desa.


Sumber Data
Informan awal dipilih secara purposif (porposive sampling) yang didasarkan atas subyek yang menguasai permasalahan, memiliki data dan bersedia memberikan data. Dalam penelitian ini yang menjadi informan kunci adalah Kepala Desa dan Ketua Lembaga Tahlil beserta Kyai serta pemuka masyarakat. Kemudian informan berikutnya adalah berdasarkan tehnik snow ball sampling sampai terdapat suatu kejenuhan informasi data, sehingga bergulirnya tehnik snow ball ini baru akan selesai atau terhenti setelah menemui titik kejenuhan data.
Jenis Data
Menurut Moleong (1990), sesuai dengan sumber data yang dipilih, maka jenis-jenis data dalam penelitian kualitatif dibagi kedalam kata-kata dan tindakan, tulisan, foto dan statistik. Keterangan berupa kata-kata atau cerita dari informasi penelitian dijadikan sebagai data utama (data primer), sedangkan tulisan dan statistik dari berbagai dokumen yang relevan, serta aktivitas warga dalam proses penentuan program pembangunan dijadikan sebagai data pelengkap (data skunder).
Proses Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi 3 tahap, yaitu: Proses memasuki lokasi penelitian (getting in), ketika berada di lokasi penelitian (getting along), dan mengumpulkan data (longing data).


Tehnik Analisis
Analisis data yang dilakukan adalah seperti yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman(1992). Analisis ini menggunakan model interaktif yang mempunyai 3 komponen analisis, yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan.


Keabsahan Data


Guna menjamin keabsahan data yang akan diperoleh dalam penelitian ini, maka digunakan keabsahan kontruksi yaitu menentukan rencana operasional yang memadai demi konsep-konsep yang sedang dikaji. Untuk menetapkan keabsahan data diperlukan tehnik pemeriksaan (Lincoln dan Guba: 1985, Moleong: 1990). Pelaksanaan tehnik pemeriksaan didasarkan atas sifat kriteria yang digunakan yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralian (Transferability), ketergantungan (dependability), dan kepastian (convormability).

HASIL PENELI TIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian


Desa Simorejo, adalah merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Kanor Kabupaten Bojonegoro yang mempunyai luas ±390.6995 Ha yang terbagi menjadi dua bagian yaitu ± 351.2314 Ha untuk lahan persawahan dan ± 37.3537 Ha untuk lahan pemukiman. Jumlah penduduk Desa Simorejo sampai dengan bulan Desember 2001 adalah sebanyak 3.113 jiwa dengan komposisi laki-laki sebanyak 1.580 jiwa dan wanita sebanyak 1.533 jiwa. Secara geografis Desa Simorejo ini terletak diantara 6° 59’-3° 37’ LS dan 111° 25’- 112° 09’ BT.
Topografi daerahnya adalah landai dengan curah hujan rata-rata tiap tahun 203 mm dan rata-rata banyaknya hujan setiap tahun adalah 101 hari. Dengan di pengaruhi iklim tropis, maka Desa Simorejo ini mempunyai dua musim, yaitu musim kemarau yang terjadi pada bulan Juni sampai dengan September dan musim penghujan dari bulan Desember sampai dengan Maret. Di musim kemarau, dimana curah hujan sangat jarang mengakibatkan tanah di desa ini menjadi kering. Pada saat-saat seperti inilah merupakan saat yang tepat bagi masyarakat untuk menanam tembakau. Desa Simorejo adalah merupakan salah satu dari sentra penghasil tembakau di Kabupaten Bojonegoro. Sebagaimana diketahui bahwa Kabupaten Bojonegoro adalah sebagai salah satu daerah penghasil tembakau berjenis Virginia terbesar di Jawa Timur yang mampu menembus pasaran luar negeri. Tembakau telah menjadi salah satu komoditi non migas yang dapat diandalkan oleh Kabupaten Bojonegoro.

Keberadaan Lembaga Tahlil Sebagai Institusi Lokal Dalam Masyarakat Desa
Dalam masyarakat Desa Simorejo saat ini, secara garis besar dapat ditemukan dua bentuk institusi atau lembaga. Pertama adalah institusi yang memang tumbuh dan berkembang secara spontan dalam masyarakat sendiri, kemudian yang kedua adalah institusi yang di bentuk oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan program-program pembangunan.

Lembaga Tahlil yang terbentuk pada tahun 1979, dalam hal ini adalah termasuk pada bentuk yang pertama. Lembaga ini adalah sebuah institusi lokal yang terbentuk atas dasar adanya kebutuhan masyarakat desa setempat dalam ritualitas keagamaan yang disebut dengan “tahlilan”, sehingga lembaga ini pertama kali muncul mengkhususkan diri pada kegiatan ritual keagamaan bagi para anggota khususnya dan masyarakat desa penelitian pada umumnya.
Selain Lembaga Tahlil sebagai sarana pemenuhan kebutuhan masyarakat setempat lembaga ini juga sebagai sarana identitas diri bagi yang mengikutinya. Dimana orang yang mengikuti lembaga ini dianggap sebagai seorang muslim yang baik dan taat, sedangkan orang yang tidak mau masuk atau enggan untuk menjadi anggota lembaga ini dianggap sebagai golongan orang abangan atau golongan orang yang tidak agamis. Dalam kehidupan masyarakat yang relegius seperti di desa Simorejo, identitas diri semacam ini adalah merupakan sesuatu yang mutlak dalam kehidupan sehari-hari. Dengan identitas yang ada, masyarakat setempat selanjutnya akan menentukan sikap mereka dalam berinteraksi dengan sesama.
Dari segi keanggotan, Lembaga Tahlil mempergunakan level keluarga sebagai satuan keanggotaan, jadi keanggotaan yang ada didalam Lembaga Tahlil bukanlah keanggotaan individual yang didasarkan pada diri masing-masing individu. Namun keanggotaan yang ada adalah berdasarkan satuan kepala keluarga, dimana masing-masing kepala keluarga adalah mewakili dari keluarga yang bersangkutan itu sendiri.
Dalam Perjalanannya, Lembaga Tahlil telah mengalami berbagai perubahan yang mendasar. Perubahan yang dimaksudkan adalah orientasi keberadaannya yang semula bergerak dalam bidang ritual keagamaan, namun selaras dengan tuntutan perkembangan zaman serta semakin kompleknya kebutuhan masyarakat mengakibatkan lembaga ini juga bergerak dalam bidang sosial ekonomi, seperti kegiatan simpan pinjam, usaha bersama serta berbagai kegiatan pembangunan sarana dan prasana fisik.
Seperti dalam kegiatan simpan pinjam, sampai saat ini dana yang berkembang selama kurun 10 tahun adalah sebesar Rp. 40.200.000,00-. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memberikan kepada anggota Lembaga Tahlil secara khusus, dan masyarakat desa setempat untuk memperoleh kemudahan akses memperoleh modal dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup ataupun kemajuan perekonomian. Sifat dari kegiatan ini adalah rolling atau bergilir. Hal ini lebih dikarenakan terbatasnya dana yang ada sedangkan orang yang membutuhkan sangat banyak.


Adapun kegiatan usaha bersama yang sampai saat ini telah dilakukan oleh Lembaga Tahlil adalah dibidang jasa. Bidang jasa yang diterjuni adalah penyewaan alatalat upacara adat atau hajatan, yang berupa sound system, kursi, terop dan perlengkapan lainnya. Usahausaha inilah yang sampai saat ini dikembangkan oleh Lembaga Tahlil.
Dengan dinamika kebutuhan masyarakat yang begitu bervariasi dan selalu berkembang akan membawa sebuah konsekwensi bagi lembaga kemasyarakatan untuk tetap tanggap dan sanggup menawarkan fungsi serta program ataupun kegiatan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Persoalan mendasar yang demikian inilah yang menjadi tolak ukur masyarakat dalam memberikan persepsi serta apresiasi dalam merespon keberadaan sebuah lembaga di tengah-tengah kehidupan mereka, yang selanjutnya akan mereka tolak ataupun terima, dan ternyata Lembaga Tahlil mampu untuk menawarkan program-program kegiatan yang selaras dengan kebutuhan masyarakat yang ada. Dengan demikian. Lembaga Tahlil telah mampu menempatkan dirinya sebagai Lembaga yang telah mencapai taraf pelembagaan, atau jika meminjam istilah Esman, maka Lembaga Tahlil dengan keberadaanya yang sedemikian rupa telah mampu mencapai taraf institusionalitas (Esman: 1972).
Keberadaan lembaga tradisional keagamaan yang demikian pada umumnya telah berurat akar dalam kehidupan masyarakat desa secara nyata. Oleh karena itu Lembaga Tahlil telah internalized dalam kehidupan masyarakat sehingga keberadaannya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaan masyarakat desa tersebut secara keseluruhan. Pada tingkat tertentu, Lembaga Tahlil telah menjadi bagian dari sistem sosial masyarakat. Melalui lembaga tersebut, pemenuhan kebutuhan masyarakat disekitar lembaga dapat dipenuhi. Dengan demikian keberadaan lembaga ini telah mencapai suatu titik dimana posisi individu, sanksi sosial, aturan main ( rule of the game) serta posisi kelompok dapat dipetakan dalam sistem sosial.
Kehadiran suatu lembaga di tengah-tengah masyarakat atau yang biasa disebut dengan proses pelembagaan dapat dilihat sebagai proses yang semula tidak dalam pengendalian kesadaran manusia dan sebagian lagi usaha sadar manusia. Proses pelembagaan adalah berarti bahwa suatu lembaga itu tidak dalam keadaan yang statis. Maka eksistensi suatu lembaga dalam kehidupannya sangat ditentukan oleh kemampuan lembaga tersebut. Jika suatu lembaga sudah tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang selalu berkembang dan berubah, maka lembaga tersebut dapat menjadi usang dan bahkan lenyap / mati dan akan diganti dengan lembaga lain yang lebih mampu memenuhi kebutuhan masyarakat (Raharjo dalam Usman dkk: 1996).

Tidak menutup kemungkinan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan anggotanya serta untuk tetap hidup, suatu lembaga akan melakukan multi fungsi, bisa jadi dalam hal ini suatu fungsi yang dimiliki oleh suatu lembaga beralih kepada lembaga lain tanpa harus mengubah lembaga itu sendiri. Kondisi seperti ini terjadi jika (a) lembaga yang ada tidak mampu memberikan apa yang dibutuhkan masyarakat; (b) dua atau lebih dari lembaga mampu memberikan/memenuhi kebutuhan tersebut, akan tetapi jelas ada salah satu diantara lembaga yang memiliki kemampuan yan paling tinggi (Cohen dalam Usman: 1993).
Kaitannya dengan Lembaga Tahlil, apa yang di ungkapkan oleh Buntoro (1988) dan Manyambeang (1988) adalah sesuai dengan realita dilapangan bahwa, Lembaga kemasyarakatan tradisional dalam tataran realita justru yang sangat eksis dalam kehidupan masyarakat di pedesaan. Kemudian yang menjadi pertanyaan mendasar dalam hal ini untuk menjelaskan fenomena di lapangan adalah mengapa masyarakat desa Simorejo justru memilih Lembaga Tahlil yang notabenenya adalah lembaga tradisional keagamaan sebagai wadah dan tempat mereka untuk menyalurkan aspirasi dan apresiasinya dalam pembangunan daripada didalam lembaga masyarakat formal yang notabenenya bikinan pemerintah.
Ada hal menarik yang ditemukan oleh peneliti di lapangan mengenai fenomena tersebut diatas, bahwa masyarakat desa Simorejo cenderung memilih institusi atau lembaga keagamaan dibandingkan dengan lembaga non keagamaan adalah dikarenakan faktor agama Islam yang dipercayainya. Masyarakat memilih aktif dalam institusi keagamaan dikarenakan ingin memperjuangkan agama lewat media institusi ataupun organisasi yang ada, juga dikarenakan ingin mendapatkan reward (ganjaran) di kemudian hari.
Kepercayaan akan hari kemudian (akhirat) menjadikan masyarakat tidak saja harus bekerja keras untuk kebahagiaan di dunia namun mereka juga harus berusaha keras lewat perbuatanperbuatan kebajikan untuk kebahagiaan kehidupannya diakhirat kelak. Semangat untuk memperoleh kebahagiaan baik didunia maupun akhirat adalah timbul dari ajaran agama Islam itu sendiri baik melalui Alqur’an maupun Hadits. Dalam Alqur’an banyak sekali ayat-ayat yang mengandung ajaran demikian, seperti terlihat pada


Q.S. Al-Qoshosh: 77: “Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Alloh kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari keni’matan duniawimu dan berbuatlah kebajikan (kepada Orang lain) sebagaimana Alloh telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi, sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Lembaga Tahlil sebagai lembaga keagamaan di desa penelitian adalah merupakan lembaga yang selaras dengan dengan nilai-nilai kepercayaan yang ada dalam masyarakat setempat. Lembaga ini tumbuh dari adanya kristalisasi budaya agama setempat yang tidak saja menawarkan sebagai mediasi untuk berda’wah tapi juga merupakan sarana yang sangat tepat untuk melakukan amal kebajikan melalui berbagai kegiatan yang dilakukannya. Semisal memperbaiki jalan, membangun tempat tinggal secara gotong royong adalah merupakan perbuatan kebajikan yang akan mendapatkan pahala.
Dalam hal ini jika kita tilik dan kita bandingkan dengan tesis Weber tentang etika Protestan dalam pembangunan sedikitnya dapat diambil benang merahnya. Weber (2000) dengan “Etic Protestan” telah memberikan sebuah nuansa baru dalam memahami kultur masyarakat. Menurut Weber, Etika Protestan telah menjadikan sipirit manusia untuk melakukan pembangunan.Weber mengemukakan bahwa kerja adalah “Beruf atau Calling” (panggilan) agama.
Demikian pula dengan Dove dalam Suwarsono (1994) yang melakukan penelitian antropologis tentang budaya lokal dan pembangunan di Indonesia, antara lain suku Punan di pedalaman Kalimantan, suku Samin di pedalaman Jawa Tengah, suku Wana di Sulawesi Tengah, penduduk Bima dan masyarakat Ngada di Flores. Hasil penelitian dove ini menyatakan bahwa budaya lokal dan agama tradisional di beberapa suku tersebut ternyata sangat berperan dalam proses pembangunan dan dinamika sosial perkembangan masyarakat. Karena bagaimanapun juga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tidak bisa dilepaskan dari agama dan budaya, bahkan nilai-nilai budaya tersebut adalah merupakan faktor mental yang menentukan perbuatan ataupun aktifitas seseorang maupun kelompok orang masyarakat (Kuntjaraningrat: 1971).
Lepas dari adanya perdebatan apakah sebuah budaya merupakan komponen agama ataukah sebaliknya, atau apakah suatu budaya dan agama merupakan yang parsial. Dalam kenyataannya agama, budaya dan nilainilai kemasyarakatan yang terkandung dalam kehidupan masyarakat itu sendiri merupakan sebuah Energi Masyarakat atau menurut Hirschman (1984) menyebutnya sebagai “Social Energy” yang mampu menggerakkan masyarakat untuk beraktifitas. Nilai-lai dan ajaran-ajaran yang terkandung dalam agama, budaya ataupun dogma yang terdapat dalam masyarakat itulah yang selama ini menjadi motivasi dan bahkan motor penggerak masyarakat untuk beraktifitas.


Peran Lembaga Tahlil Dalam Pembangunan Desa
Keberadaan Lembaga Tahlil di tengah-tengah kehidupan masyarakat desa Simorejo tidak saja memberikan manfaat di bidang keagamaan dan tradisi belaka. Lebih dari itu, kehadiran Lembaga Tahlil sebagai institusi yang bersifat grassroot sangat efektif pula sebagai pelaksana pembangunan desa. Lewat lembaga inipula berbagai komunikasi seputar pembangunan diterima masyarakat.
Selama ini, Lembaga Tahlil adalah merupakan pusat komunikasi dan informasi bagi masyarakat desa setempat dalam segala hal. Lewat Lembaga ini mereka dapat memperoleh berbagai informasi dan pula dapat menyampaikan informasi. Keunggulan yang bisa menjadikan Lembaga Tahlil sebagai pusat komunikasi dan informasi adalah tersedianya forum komunikasi para anggotanya yang dilaksanakan setiap hari kamis malam jum,at setelah acara ritual tahlilan selesai dilakukan. Dalam forum yang santai dan penuh dengan keakraban dengan diselingi gurauan-gurauan kecil sambil menikmati hidangan ala kadarnya mereka merasa bebas untuk mengutarakan segala hal dalam pikirannya.Dalam forum ngobrol-ngobrol seperti inilah masyarakat mendapatkan berbagai informasi yang mengalir deras, baik yang disampaikan oleh para patron mereka ataupun dari individu-individu yang saat itu berkumpul yang merupakan informasi yang didapat diluar komunitas, dan merekapun bisa mengutarakan segala uneg-uneg kepada pemimpinnya untuk disampaikan kepada pemerintah. Forum ini juga menjadi pusat informasi yang akurat tentang komoditi pertanian mereka, semisal tembakau. Lewat forum ini pula harga tembakau disebarkan sehingga sedikit banyak bisa menekan tingkat permainan harga oleh para tengkulak. Bahkan tidak menutup kemungkinan pula didalam forum ngobrol-ngobrol yang terkesan sangat santai ini terjadi kesepakatan-kesepakatan diantara anggota yang ada mengenai berbagai hal semisal jual beli ataupun kesepakatan untuk berbagi mengerjakan sawah mereka masing-masing.
Dengan posisi yang demikian ini menjadikan Lembaga Tahlil sebagai wadah yang efektif bagi masyarakat setempat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Umumnya para masyarakat setempat berpartisipasi dalam pembangunan sangat variatif. Dari data yang dapat dikumpulkan oleh peneliti dilapangan menunjukkan, bahwa bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa di wujudkan melalui berbagai bentuk yang meliputi: sumbangan tenaga, sumbangan material yang meliputi bahan bangunan dan uang serta sumbangan ide.


Partisipasi dalam bentuk tenaga dalam hal ini diwujudkan lewat keikut sertaan masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilaksanakan. Mereka menyumbangkan tenaga untuk pembangunan seperti ikut serta membuat jalan, membuat jembatan, membangun rumah dan yang lainnya secara ikhlas tanpa upah. Bahkan tak jarang demi keikut sertaannya mereka rela untuk tidak pergi kesawah. Bentuk partisipasi semacam ini adalah merupakan bentuk partisipasi yang paling tinggi. Kontribusi mereka lewat sumbangan tenaga dalam hal ini juga bisa dikatakan sebagai aspek dominan dalam keberhasilan pembangunan. Umumnya mereka semuanya ikut terlibat dalam pelaksanaan pembangunan tanpa kecuali. Secara teknis sumbangan tenaga demikian ini biasanya dilakukan secara gradual ataupun terjadwal sehingga tidak ada satupun anggota masyarakat yang tertinggal dalam menyumbangkan tenaganya. Andaikata ada udzur ataupun tidak bisa menyumbangkan tenaganya, biasanya masyarakat memberikan ganti rugi yang berwujud pemberian makan ataupun uang sesuai dengan kesepakatan yang ada.
Dari sisi partisipasi yang lain, adalah partisipasi masyarakat dalam pembangunan dengan bentuk uang ataupun material (bahan bangunan). Selama ini danadana pembangunan yang ada adalah murni dari anggota Lembaga Tahlil sendiri yang dikelola secara swadaya. Mereka umumnya menggunakan model iuran untuk mengumpulkan dana dari suatu program pembangunan yang ada, kemudian untuk pembiayaannya adalah merupakan beban bersama.
Sedangkan untuk partisipasi dalam wujud bahan material, adalah dilakukan oleh orang-orang yang notabenenya adalah yang berkemampuan cukup dalam segi finansial. Seperti perangkat desa ataupun orang-orang yang dipandang kaya dalam masyarakat desa setempat. Mereka umumnya dimintai atau dengan suka rela menyumbangkan material bahan bangunan.
Bentuk partisipasi yang terakhir adalah partisipasi masyarakat dalam bentuk ide. Yang dimaksud dengan partisipasi dalam bentuk ide ini adalah sumbangansumbangan masyarakat dalam pembangunan yang berupa usul-usul, ide-ide ataupun pemikiran yang disampaikan. Model dari pembangunan yang dilakukan oleh Lembaga Tahlil adalah didasarkan pada usulanusulan anggota. Apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan yang dirasa para anggota ataupun masyarakat itulah yang kemudian dimusyawarahkan dalam pertemuan. Dari hasil musyawarah, kemudian dijadikan project pembangunan yang ada.

Alasan individu-individu untuk berpartisipasi dalam pembangunan melalui institusi-institusi semisal Lembaga Tahlil adalah dikarenakan adanya dorongan motivasi seperti personal attraction group prestige and task performance. Didalam sebuah institusi atau organisasi para individu juga dimungkinkan untuk bekerjasama satu dengan yang lain dalam rangka pemenuhan kebutuhan, kerjasama itu sendiri juga didasarkan atas faktor saling suka satu sama lain serta bersedia untuk bekerjasama. Alasan lain individu berpartisipasi dalam institusi-institusi adalah adanya kebanggaan dari seseorang untuk menjadi bagian dari suatu institusi serta juga harapan bahwa keterlibatannnya melalui institusi akan memberikan kemudahan baginya untuk mencapai tujuan pribadinya.
Seperti yang diutarakan Esman dan Uphoff (1988) bahwa, Lembaga/Organisasi lokal adalah merupakan salah satu elemen penting dalam pembangunan desa. Hal ini menunjukkan, bahwa tanpa adanya institusi lokal, birokrasi serta partisipan, maka infra struktur tidak akan dapat dibangun atau dipertahankan. Jasa pelayanan masyarakat tidak dapat dilakukan sementara itu teknologi yang sesuai tidak akan dapat ditempatkan secara maximal dan pemerintah tidak akan dapat memelihara atau mempertahankan arus informasi yang dibutuhkan masyarakat.
Jika dikaji secara detail, seharusnya yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini adalah pemberian informasi yang tepat guna, serta bimbingan yang tepat dan standart dengan pola kehidupan yang ada dalam masyarakat. Sehingga nantinya masyarakat dengan dibekali pengetahuan dan informasi yang tepat mampu berbuat banyak dalam mengatasi kehidupannya.
Selama ini, sering terjadi discomunication antara pemerintah dengan masyarakat tentang berbagai informasi pembangunan yang ada. Sehingga yang terjadi adalah pemerintah tidak mengerti dengan kondisi dan keinginan masyarakat, begitu pula sebaliknya, masyarakat juga tidak mengerti betul apa sebetulnya kemauan pemerintah. Kondisi seperti ini bisa terjadi karena selama ini komunikasi yang terjadi antara pemerintah dan masyarakat desa adalah cenderung berlangsung satu arah. Dampak dari pola komunikasi semacam ini masih terjadi hingga sekarang (Rogers: 1982; Alwi Dahlan: 1980; Rondinelli: 1985). Pada tingkat lokal nampak terjadi penyempitan aksesibilitas antara komunikator dan audience terutama pihak audience akan mengalami hambatan mengekspresikan ataupun memahami keinginan yang ada. Apabila kondisi semacam ini yang terjadi, maka peranan institusi lokal terutama dalam menjembatani dan mengembangkan komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah dan ataupun sebaliknya akan sangat ditekan.


Apa yang terjadi di desa penelitian, bahwa selama ini masyarakat desa setempat cenderung menggunakan sumber komunikasi pada perkumpulan-perkumpulan yang ada yaitu Lembaga Tahlil sebagai pusat komunikasi antar pribadi, sehingga perkumpulan-perkumpulan tersebut menduduki peranan yang vital bagi masyarakat dalam berkomunikasi.Dengan model komunikasi antar pribadi atau gethok tular yang diterapkan dalam Lembaga Tahlil, maka arus komunikasi tidak akan tersumbat. Sehingga informasi-informasi yang ada akan mudah sampai. Dengan demikian lembaga ini diharapkan mampu menjadi media komunikasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat sehingga discomunication dan misunderstanding yang kerap terjadi antara pemerintah dan masyarakat kelompok bawah bisa ditekan seminimal mungkin. Dalam hal ini kedudukan pemimpin Lembaga Tahlil yaitu para Kyai ataupun sesepuh desa adalah sebagai opinion leaders yang merupakan unsur pokok yang berperan sebagai saluran komunikasi dalam pembangunan desa. Lewat opinion leaders inilah pesan dari tingkat atas diterjemahkan untuk selanjutnya disampaikan kepada masyarakat bawah, apakah itu berupa inovasi-inovasi ataupun pesan-pesan pembangunan.Sebaliknya.masyarakat bawah pun akan menyampaikan informasi sepontan mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan kebutuhan hidup masyarakat lewat komunikasi antar pribadi yang biasa terjalin antar sesama anggota lembaga untuk selanjutnya disampaikan kepada opinion leaders untuk diteruskan kepada Pemerintah. Dalam hal Institusi lokal merupakan titik sentral dalam mengembangkan komunikasi dua arah, dengan kata lain institusi lokal adalah sebagai lembaga yang diandalkan untuk proses “exchange of massage” atau sebagai “reference organizational”.
Dengan demikian institusi lokal adalah merupakan faktor dominan dalam menggerakkan partisipasi. Sungguhpun aktifitas partisipasi masyarakat itu dapat didorong atau dirangsang oleh prakarsa pemerintah atau karena prakarsa sendiri. Tetapi partisipasi mereka cenderung tidak efektif bila berada diluar konteks organisasi. Dan didaerah pedesaan organisasi lokal merupakan faktor yang sangat penting dalam usahausaha pembangunan desa (Uphoff dan Esman: 1977).
Lebih lanjut Hubungan antara organisasi tradisional, partisipasi, dan pembangunan desa dengan jelas dapat kita lihat dari catatan Darling (1977) bahwa: Faktor penduduk asli adalah penentu utama pembangunan. Apa yang dikemukakan Steive (1977) dalam pelaksanaan program Minimum Package Project (MPP) oleh Bank Dunia, USAID dan SIDA di Etopia yang lebih memilih menciptakan organisasi baru dari pada memanfaatkan organisasi tradisional yang ada yang akhirnya mengalami kegagalan adalah merupakan contoh betapa sangat pentingnya kedudukan organisasi asli dalam keberhasilan pembangunan itu sendiri.

Dari penemuan di setting penelitian, terjadi pula hal yang sama, bahwa partisipasi masyarakat adalah dilakukan lewat jalur kelembagaan bukan secara pribadi. Lembaga Tahlil, adalah sarana bagi mereka untuk melakukan partisipasi masyarakat. Walaupun didapati bahwa lembaga ini merupakan lembaga tradisional dan non formal tapi tidak menutup kemungkinan masyarakat untuk berpartisipasi. Karena pada dasarnya partisipasi masyarakat juga dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya yang ada.
Apa Yang ditemukan Hartati (1999), bahwa terdapat kecenderungan masyarakat untuk berpartisipasi dalam bentuk tenaga, uang dan material, adalah pararel dengan temuan peneliti. Masyarakat dalam hal ini lewat Lembaga Tahlil cenderung berpartisipasi dalam bentuk tenaga, uang dan material bahkan juga berupa ide-ide. Lewat lembaga tradisional dimungkinkan bentuk partisipasi masyarakat lebih ragam, tidak saja berbentuk tenaga, uang dan material namun juga berbentuk ide-ide.
Terdapat tiga alasan utama mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat yang sangat penting; pertama partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh suatu informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sifat masyarakat yang tanpa kehadirannya, program pembangunan serta proyekproyek akan gagal. Kedua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut. Ketiga, yang mendorong adanya partisipasi umum di banyak negara karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat itu sendiri (Conyer: 1994).
Dengan adanya partisipasi masyarakat maka keberhasilan pembangunan akan tercapai. Jika dirinci maka keuntungan partisipasi bagi pemerintah adalah sebagai berikut:(a) Meningkatkan efesiensi pengadaan fasilitas;(b) mengurangi beban kelembagaan dan pembiayaan pemerintah;(c)masyarakat dapat berperan sebagai pelaksana pembangunan;(d)meningkatkan kepercayaan diri masyarakat;(e) membuka kemungkinan keputusan yang diambil didasarkan kepada kebutuhan, prioritas, manfaat dan kepentingan masyarakat. Sedangkan bagi masyarakat adalah sebagai berikut: (a) dapat menikmati pembangunan yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhannya;(b) secara moral masyarakat merasa memiliki dan merupakan bagian dari pembangunan yang selanjutnya akan memelihara dengan suka rela.


Kesejahteraan Masyarakat


Dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Simorejo, berbagai macam pembangunan telah dilakukan oleh Lembaga Tahlil mulai dari pembangunan spiritual sampai pembangunan fisik. Pembangunan sarana fisik sejauh ini yang telah dilakukan oleh Lembaga Tahlil adalah membangun jalan, Jembatan, Musholla, MCK sampai pada tempat tinggal.
Dari segi sarana transportasi yang selama ini telah di bangun oleh Lembaga Tahlil adalah sekitar 75% dari jalan yang ada di desa, sedangkan sisanya 25% adalah dibangun oleh pemerintah desa. Hal ini menunjukkan tingkat kemandirian dan keswadayaan masyarakat yang tinggi.
Pembangunan sarana fisik lain yang berhasil di bangun oleh Lembaga Tahlil adalah pembangunan sarana Kesehatan yaitu berupa MCK ditiap-tiap Rumah dan Pembangunan tempat tinggal. Model dari kedua jenis pembangunan fisik ini sifatnya adalah bergulir. Dimana masing-masing anggota akan mendapatkan urutan pembangunan sesuai dengan kesepakatan bersama. Ide dari pembangunan model seperti ini adalah beban yang ditanggung masyarakat selama ini dirasa semakin berat. Padahal disatu sisi kebutuhan akan tempat tinggal yang memenuhi sarat kesehatan dan fasilitas MCK sangat diperlukan masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut secara pasti masyarakat sangat berat untuk menanggungnya. Dengan adanya program pembangunan bergulir ini masyarakat akan mampu memenuhi kebutuhannya dilihat dari realita keadaan masyarakat desa dengan penghasilan yang serba pas-pasan bahkan kadangkala merasa serba kekurangan di tengah himpitan beban ekonomi yang semakin tinggi. Namun mereka tetap menginginkan sebuah perbaikan kondisi kehidupan yang mereka jalani. Berbagai macam strategi mereka gunakan untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup yang mereka rasakan.
Dalam pelaksanaan pembangunan tersebut masalah tenaga kerja bukanlah masalah yang rumit karena masyarakat sendirilah yang melakukan kegiatan tersebut mulai dari tenaga tukang sampai tenaga kasar. Masyarakat dalam hal ini menerapkan sistem gotong royong, jadi anggota Lembaga Tahlil yang ada kesemuanya akan secara suka rela untuk membantu sesuai dengan waktu yang mereka bisa. Dengan demikian penjadwalan perlu dilakukan agar setiap anggota secara merata dapat menyumbangkan tenaganya.


Pembangunan masyarakat diartikan sebagai suatu metode yang menekankan adanya keterlibatan langsung penduduk dalam proses pembangunan. Partisipasi dalam hal ini dapat dipahami sebagai kesediaan masyarakat untuk ikut ambil bagian dalam kegiatan bersama untuk membantu keberhasilan proses pembangunan, tanpa mengorbankan kepentingan mereka. Pada prosesnya, keterlibatan masyarakat inilah yang menentukan keberhasilan suatu program pembangunan, karena bagaimanapun pembangunan ini ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Kegiatan Lembaga Tahlil dalam pembangunan sarana dan prasarana fisik sepeti jalan, jembatan, Musholla, tempat tinggal bahkan program simpan pinjam dan usaha bersama adalah merupakan sebuah refleksi dari keberdayaan masyarakat. Pada dasarnya masyarakat mempunyai potensi dan kekuatan untuk membangun dirinya sendiri untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang ada. Masyarakat mengerti betul apa yang perlu dilakukan demi memperbaiki kondisi kehidupannya.
Dalam kasus pembangunan jalan dan jembatan, masyarakat mengerti bahwa sarana jalan merupakan sebuah keniscayaan kebutuhan yang harus dipenuhi dalam rangka mobilitas masyarakat sendiri. Dengan demikian sebenarnya yang harus dilakukan oleh pemerintah bukanlah kebijakan pembangunan yang sifatnya model “Sinterklas”, masyarakat tinggal terima jadi. Atau model pembangunan yang memakai logika yang susah sekali dimengerti oleh kalangan masyarakat bersangkutan. Karena akibat dari pembangunan semacam ini hanyalah kebingungankebingungan dan ketergantungan masyarakat pada pemerintah.
Apa yang ditemukan oleh Setiowati dan Yuwono (1994) bahwa intitusi lokal yang mempunyai akar sangat kuat dalam kehidupan masyarakat akan mampu menggerakkan sumber daya lokal dan merupakan sarana yang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan adalah selaras dengan temuan peneliti. Namun yang perlu ditambahkan dalam penemuan Setiowati ini adalah tidak hanya institusi lokal sosial ekonomi belaka yang mampu menggerakkan sumberdaya lokal namun juga termasuk institusi lokal keagamaan semisal Lembaga Tahlil. Oleh karenanya penulis tidak sependapat dengan asumsi yang mengatakan bahwa institusi lokal keagamaan tidak bisa untuk digunakan sebagai sarana pembangunan dengan alasan akan merusak kekerabatan sosial yang mereka miliki. Bahkan yang terjadi adalah lewat institusi lokal keagamaan yang sudah mengakar itulah masyarakat justru mampu mempergunakan sumber daya yang ada untuk memperbaiki kesejahteraan mereka. Selain itu dengan kegiatan-kegiatan lewat lembaga keagamaan ikatan sosial dan etos sebuah lembaga bahkan semakin meningkat. Lembaga keagamaan yang didalamnya terdapat nilai-nilai serta dogma itulah yang justru mampu mensinergikan kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat untuk arah pencapaian kesejahteraan.


Anggota yang aktif berpartisipasi dalam sebuah institusi lokal yang diakui keberadaannya akan mempunyai tanggung jawab, sifat antuisme dan sikap kerja sama yang tinggi atas nama kepentingan bersama (Evans dan Boyte dalam Sirigne: 1999). Faktor psikologis ini mempunyai makna yang sama kuatnya dengan adanya pemberian penghargaan, dimana Verhelst (1990) menyebutkan bahwa nilai-nilai psikologi adalah sebagai “driving force” bagi masyarakat untuk melakukan perubahan.
Sebuah institusi lokal sebenarnya telah membuat dampak yang besar dalam lokalitas pembangunan daerah mereka sendiri. Organisasi-organisasi grass root semacam ini khususnya bertujuan untuk dapat membantu melakukan mobilisasi masyarakat atas dasar pemerataan pembagian kepentingan, dan memperkuat solidaritas mereka. Mereka berusaha untuk dapat meningkatkan kapasitas dengan menyediakan sebuah ruang lingkup dimana masyarakat dapat mendapatkan rasa harga diri yang baru, mereka juga tidak menutup kemungkinan akan mendapatkan identitas kelompok yang lebih tinggi derajatnya, berbagai ketrampilan publik, nilai-nilai penting dari kerjasama (Evans dan Boyte dalam Sirigne: 2001).
Lebih lanjut Colletta (dalam Suyanto:1996) mengatakan bahwa unsur kebudayaan merupakan media yang memungkinkan pembangunan berlangsung dengan sukses karena paling kurang tiga alasan sebagai berikut:
(1) Unsur-unsur budaya mempunyai legitimasi tradisional dimata orang-orang yang menjadi sasaran program pembangunan. (2) Unsur-unsur budaya secara simbolis merupakan bentuk komunikasi yang paling berharga dari penduduk setempat, dan (3). Unsur-unsur budaya mempunyai aneka-ragam fungsi baik yang berwujud maupun yang terpendam, yang sering menjadikannya sebagai sarana paling berharga untuk perubahan dibandingkan dengan yang tampak dipermukaan jika hanya dilihat dalam kaitannya dengan fungsinya yang berwujud saja.
Pada kasus Lembaga Tahlil, dengan segala sifat tradisionalnya serta segala nilai-nilai yang ada padanya, ternyata mampu untuk menjadi sarana yang potensial bagi masyarakat dalam memperbaiki kesejahteraan hidupnya. Kesejahteraan itu sendiri diwujudkan lewat perbaikan sarana dan prasarana fisik yang memadai dan juga tempat tinggal yang memadai. Dengan demikian tingkat kesejahteraan yang diusahakan masyarakat desa ini barulah sampai pada tataran tersebut.

Kesejahteraan itu sendiri sifatnya adalah relatif, artinya bahwa peningkatan kesejahteraan dalam kurun waktu tertentu akan berbeda kualitas dan coraknya di banding dengan peningkatan yang akan terjadi dikurun waktu yang lain. Bahkan tingkat kesejahteraan dari sesuatu masyarakat di wilayah tertentu, akan dapat berbeda dengan tingkat kesejahteraan masyarakat lain, diwilayah yang lain (Maskun: 1994).
Dengan demikian yang terpenting dalam pembangunan adalah keberhasilan yang dapat memberikan perbedaan keadaan yang dinilai lebih baik, sempurna, lebih sehat, lebih manusiawi dan sebagainya, dari sebelum dilakukan program-program pembangunan atas sesuatu masyarakat.


PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan terhadap fokus masalah yang ada dalam penelitian ini, maka selanjutnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1 Program pembangunan hanya akan dapat berjalan jikalau masyarakat merasa ikut dilibatkan dalam pembangunan itu sendiri. Dalam hal ini, keterlibatan masyarakat tidak saja pada keikutsertaan dalam pekerjaan proyek pembangunan, tetapi lebih dari itu, yaitu keterlibatan/partisipsi secara totalitas.
2 Pemerintah menganggap dirinya lebih tahu dan faham akan kebutuhan rakyat, sehingga semua program pembangunan Pemerintahlah yang menentukan, akibatnya, ketika di implementasikan di masyarakat, ternyata program tersebut tidak selaras dengan kebutuhan masyarakat yang ada.
3 Tidak semua tradisi ataupun adat istiadat dan budaya yang berbau lokal dan tradisional akan menghambat pembangunan desa. Bisa jadi tradisi, adat istiadat serta budaya masyarakat yang ada justru sangat membantu dan mendukung terlaksananya pembangunan desa.
4 Kurangnya pemerintah memanfaatkan institusiinstitusi lokal semisal Lembaga Tahlil yang banyak tumbuh di dalam masyarakat desa sebagai lembaga tingkat grassroot bagi pembangunan desa, akibatnya pemerintah sangat kesulitan dalam membaca keinginan dan kemauan rakyat.



1 Lembaga Tahlil sebagai institusi lokal tradisional mempunyai kekuatan yang tidak dimiliki oleh institusi formal yang ada, yaitu berupa kedekatannya dengan masyarakat tingkat bawah, dan lebih peka dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga keberadaannya sangat menentukan sekali akan keberhasilan sebuah pembangunan.
2 Lembaga Tahlil sebagai institusi lokal adalah sarana yang efektif untuk terjalinnya komunikasi dua arah antara pemerintah dan masyarakat. Sehingga misunderstanding antara pemerintah dn masyarakat bisa terhindari.
3 Lembaga Tahlil adalah sarana yang paling efektif untuk menumbuh kembangkan keswadayaan masyarakat dalam pembangunan. Sehingga ketergantungan masyarakat akan peran pemerintah dalam pembangunan akan semakin berkurang dan akan mampu menciptakan kemandirian masyarakat.
4 Dengan memberikan ruang gerak yang demokratis dan otonomi yang tinggi/luas kepada institusiinstitusi lokal yang ada, maka masyarakat akan mampu untuk mengenali permasalahan serta kebutuhan yang harus mereka penuhi, sehingga mereka akan mampu untuk mencari alternatif pemecahannya.


Saran


1 Institusi lokal tradisional semisal Lembaga Tahlil yang selama ini kurang mendapat simpati dari pemerintah dan bahkan dipinggirkan, seringkali tidak dapat berbuat apa-apa (powerless), akibatnya lembaga-lembaga ini kurang memiliki posisi tawar dengan dunia luar. Padahal disisi lain institusi lokal memiliki potensi yang besar dalam pembangunan desa. Oleh karenanya pemerintah setidaknya lebih memperhatikan serta memberikan ruang gerak yang otonom serta memberikan pembinaan yang cukup berarti kepada institusi-institusi lokal tersebut, agar mampu secara maksimal untuk melakukan fungsi keberadaannya bagi kemakmuran dan kesejahteran masyarakat desa.
2 Dalam rangka pembangunan desa hendaknya pemerintah benar-benar memanfaatkan institusi lokal sebagai ujung tombak pembangunan yang melaksanakan berbagai program pembangunan yang ada. Sehingga pemerintah tidak perlu lagi membentuk lembaga ataupun kelompok pelaksana baru, karena institusi lokal yang sudah ada jauh lebih mengerti tentang kehidupan masyarakat setempat.
3 Hendaknya pemerintah lebih mengedepankan pola pembangunan yang bertumpu kepada kekuatan atau kswadayaan masyarakat dengan menjadikan institusi lokal tradisional yang sudah mengakar


dalam kehidupan masyarakat sebagai basic pelaksanaannya.
4. Perlu dilakukannya modernisasi keorganisasian pada Lembaga Tahlil sebagai institusi lokal tradisional yang ada sehingga akan semakin menambah efektifitas dari institusi dalam melaksanakan program pembangunan.


DAFTAR PUSTAKA
Cohen, John M dan Uphoff, Norman T, 1977, Rural Development Participation: Concepts and Measures for Project Design, Implementation and Evaluation, Cornell University, Ithaca, New York.
Conyers, Diana, 1994, Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Darling, Roger, 1977, A Return to Valid Development Priciples, International Development Review.
Dove, Michael R., 1985, Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Djatmiko, Edhie dan Dwiatmoko, H Prasetyo, 1992, Kemiskinan dan Kswadayaan di Desa Jenar, dalam Mubyarto, 1992, Ksewadayaan Masyarakat Desa Tertinggal, Aditya Media,Yogyakarta.
Esman, Milton. J., 1972, dalam Eaton, Joseph. W.,
Institution Building and Development From Concep to Aplication, Sage Publication, London.
Esman, Milton J., and Uphoff, Norman T., 1988, Local Organizations: Intermediaries in Rural Development, Cornell University Press, Itacha and London.
Hartati, (1999), Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Pemukiman Kumuh: Studi Kasus Kelurahan Karang Anyar, Tesis, PPS UGM, Yogyakarta.
Hirschman, A., 1984, Getting a Head Collectively: Grassroots Experiences in Latin America, Pergamon Press, New York.


Korten, David, dan Sjahrir, 1988, Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Kuntjaraningrat, 1971, Rintangan-Rintangan Mental Dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia, Bharata, Jakarta.
Lincoln, Yvona dan Egon G. Guba, 1985: Naturalistc Inqury, Beverly Hills, Sage Publications, London.
Maskun, Sumitro, 1993, Pembangunan Masyarakat Desa, Media Widya Mandala, Yogyakarta.
Miles, Matthew B., & Huberman, A. Michael, 1992, Analisis Data Kualitatif, UI Press, Jakarta.
MPR-RI, 1999, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999, CV. Kurnia, Jakarta.
Moleong, Lexy J., 1990, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Rogers, Everett M & Soemaker, F.Floy, 1981, Memasyarakatkan Ide Baru, Usaha Nasional, Surabaya.
Sirigne, M. Ndiaye, 1999, Promoting Rural Community Development in Africa: States Versus Grassroots Organizations, Centres for Disease Control and Prevention, Atlanta.
Soetomo, 1990, Pembangunan Masyarakat: Beberapa Tinjauan Kasus, Liberty, Yogyakarta.
Stieve, Benedict, 1977, Social Soundness Analysis of Ethopia’s Minimum People Program II, Paper Prapares for USAID, Washington DC.
Suwarsono & Alvin Y So, 1994, Perubahan Sosial dan Pembangunan, LP3ES, Jakarta.
Suyanto, Bagong, 1996, Perangkap Kemiskinan: Problem dan Strategi Pengentasannya Dalam Pembangunan Desa, Aditya Media, Yogyakarta.
Usman, Sunyoto, 1993, Konsep Dasar Sosiologi, Laporan Penelitian FISIPOL, UGM, Yogyakarta.
Undang-Undang No. 5 Th. 1979, Pemerintahan Desa, Departemen Dalam Negeri, Jakarta.
Undang-Undang No. 22 Th. 1999, Pemerintahan Daerah, PT. Kuraiko Pratama, Bandung.
Verhelst, Thierry G., 1990, No Life Without Roots: Culture and Development, Zed Books Ltd, London, New Jersey.
Weber, Max, 2000, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Terjemahan, Pustaka Promethea, Surabaya.
Widjaja, HAW., 2001, Pemerintahan Desa Marga, PT Grafindo Persada, Jakarta.

0 comments: