Saturday 22 March 2008

PENATAAN LEMBAGA MUKIM DALAM OTONOMI KHUSUSPROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

PENATAAN LEMBAGA MUKIM DALAM OTONOMI KHUSUSPROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
(Studi di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam)
Muklir,
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi Publik Pascasarjana Univetsitas Brawijaya


M.Akmal
Dosen Program Studi Ilmu Sosial dan Politik 'Universitas Malikussaleh Lhokseumawe
Aiyub
Dosen Program Studi Ilmu Sosial dan Politik 'Universitas Malikussaleh Lhokseumawe
SUMMARY
This research is conducted on the basis of Act of Number 18 year 2001 about Special Autonomy to Province ofNanggroe Aceh Darussalam that had given wide authority to government and society in Province of Nanggroe Aceh Darussalam to arrange his governance as according to culture of local society,what is the inclusive of in it is Mukim Governance in Regency of Aceh Besar.
Probdem Wed in this research is how structuring process of Lembaga Mukim conducted by Aceh Besar Regency Govemment in Special Autonomy and any kind of becoming sunplementay and resistor factor These Research targets are : 1). Qescrrbe and analyze structuring process of Lembaga Mukim and; 2). Knowing factors becoming resistor and supporter of structuring process of Lemhaga Mukim executed by Regency Govemment of Aceh Besar in Special Autonomy. This Research use descriptive method with qualitative approach conducted with technique interview, documentation and observation. Data obtained to be analyzed by using interactive analysis
Result of research depvd that structuring of Lembaga Mukim in Aceh Besar Regency be executed in order to sppciat autonomous execution which is passed to Nanggroe Aceh Darussalam Province, with inviting Tenitoriat Ajustment (Qanun) Narx, fgnae Aceh Darussalam Province Number 4 year 2003 about Mukim Govemarx:e in Province Nanggroe Aceh Darussalam. Lembaga Mukim Structure consisted of the head element, executor and staff and also the supervisor element As for structuring mechanism of Lembaga Mukim daim adive role of soaety. Societyproposing forming, development and atfibation of a Mukim through fmeum Lembaga Mukim and Sub-Regency chief to Regent and ratified by Regent after getting pemxssion of DPRD. Result of Lembaga Mukim structuring have legalized and functioned again 68 of Lembaga 119 mukim in Aceh Besar Regency Supptementary factor of Lembaga Mukim Structuring is strong support existence from society and available of legislation that arrange it. Asfrx resistor factor is Factor of safety, some legislation not yet been published, ,political factor and quality of human resources being which not yet adequate.
On Me basis of result of above research, suggested by the importance of re-darifiect authority between Mukim and Gampong, the farrung of some legislation as supporter of Lembaga Mukim structuring, communications of Lembaqa Mukim structuring to society emboldened and trairwrg forapparatus of Mukim is speaa Uy to lmuom Mukim as head of custom at one blow as head a instute becoming bridge between Sub Disfrict and Gampong.
Key Word: Structuring, Lembaga Mukim, Spesial Autonomy, Aceh Besar Regency
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lembaga Pemerintahan Adat Mukim merupakan salah satu bentuk keragaman sistem Pemerintahan Desa di tanah air yang masih diakui oleh masyarakat Aceh, oleh karena itu Pemerintah Daerah lstimewa Aceh mengeluarkan Peraturan Daerah Tentanq Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat beserta Lembaga Adat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Dalam Pasal 5 Perda Nomor 2 Tahun 1990 ditentukan bahwa "Kedudukan Imeum Mukim diakui dan diberikan kedudukan sebagai koordinator Kepala Desa dan Kepala Kelurahan dan Lembaga Adat sepanjang yang menyangkut hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat". Kemudian diperkuat lagi dengan dikeluarkannya Peraturan daerah Nomor 5 Tahun 1996 Tentang Mukim sebagai Kesatuan masyarakat adat dalam Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Pada saat dilaksanakannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, Pemerintah Daerah Istimewa Aceh harus menentukan pilihan terhadap dua strata pemerintahan lokal yang berada dibawah Kecamatan untuk dijadikan Desa, yang merupakan akibat dari undang-undang tersebut. Kedua strata Pemerintahan tersebut adalah Kemukiman dan Gampong. Gampong diputuskan untuk menjadi Desa yang langsung berada dibawah Camat, sehingga Kemukiman tidak lagi diakui sebagai salah satu strata pemerintahan yang ada di daerah. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri, karena sebagai strata pemerintahan yang merupakan warisan sejarah dan representasi dan nilai-nilai budaya masayarakat Aceh, lembaga ini telah mengakar dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat setempat, sehingga keberadaannya sangat dibutuhkan karena ada beberapa hal yang tidak dapat ditangani oleh pihak-pihak lain.
Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh dianggap Mukim mampu untuk mengakomodir sepenuhnya hak asal usul keistimewaan Aceh, terutama substansi keistimewaan yang belum dapat terealisasi, baik menyangkut masalah keadilan maupun kesejahteraan dan pembangunan daerah. Permasalahan tersebut semakin komplek dengan munculnya konflik di Aceh dan juga masalah sosial politik lainnya. Munculnya berbagai persoalan tersebut direspon oleh pemerintah dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang penyelenggaraan Keistimewaan bagi Aceh.
Melihat perkembangan di Aceh yang begitu kompleks maka diharapkan ada suatu solusi yang benar-benar dapat menyentuh akar persoalan, dan dapat menjadi solusi yang adil, komprehensif dan berwawasan kedepan sebagai suatu upaya untuk mengakomodir kepentingan dan aspirasi yangbervariatif yang berkembang saat itu diAceh. Maka oleh pemerintah dikeluarkanlagi undang-undang selanjutnya yang bersifat khusus yang mengatur dan mengakomodir berbagai hal yang ada,Undang-Undang tersebut adalah Undang undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi ProvinsiDaerah Istimewa Aceh yang selanjutnya disebut dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Keberadaan Lembaga Mukim yang selama ini masih memiliki ketidakjelasan mengenai kedudukan dan fungsinya serta berbagai kelemahan yang mengakibatkan belum dapat berfungsinya lembaga ini secara optimal,sehingga menyebabkan Lembaga Mukim ini seperti tidak memiliki kewenangan dan kekuatan hukum yang jelas dalam menjalankan tugasnya .
Rumusan Masatah
Untuk menjawab tuntutan kebutuhan dan aspirasi yang berkembang ditengah-tengah masyarakat serta sekaligus merespons tidak jelasnya kedudukan dan fungsi Lembaga Mukim dibutuhkan sistem kelembagaan yang mampu untuk menjalankan roda pemerintahan atau organisasi secara optimal, efektif, efisien dan bertanggungjawab, dimana fokus utama dalam penataan ini adalah Lembaga Mukim, untuk membatasi kajian ini lebih mendalam dan terfokus. Dengan melihat permasalahan tersebut diatas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1 Bagaimana proses penataan Lembaga Mukim yang dilalukan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dalam Otonomi Khusus ?
2 Faktor-faktor apa yang menjadi pendukung dan penghambat dalam proses penataan Lembaga Mukim di Kabupaten Aceh Besar?

Tujuan Penelitian
Berpedoman pada perumusanmasalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk :
1 Mendeskripsikan dan menganalisis proses penataan Lembaga Mukim yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dalam Otonomi Khusus.
2 Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat pada proses penataan Lembaga Mukim yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dalam Otonomi Khusus.

Kegunaan Penelitian
Dengan dilaksanakannya penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :
1 Sebagai suatu kontribusi akademis bagi Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dalam mengembangkan konsep penataan Lembaga Mukim dan menjadibahan komparasi bagi para peneliti lainnya yang berminat .
2 Secara praktis, untukmeningkatkan pengetahuan dan pemahaman peneliti dalam bidang penelitian sebagai sarana pemecahan masalah secara ilmiah, terutama berkaitan dengan masalahmasalah sosial kemasyarakatan.

METODE PENELITtAN
Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif karena penulis bermaksud memperoleh gambaran yang mendalam mengenai proses penataan terhadap suatu lembaga pemerintahan lokal, yaitu Lembaga Mukim di Kabupaten Aceh besar dalam Otonomy Khusus.
Fokus Penelitian
Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan,maka yang menjadi fokus atau pusat perhatian dalam penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut :
1. Prosas penataan Lembaga Mukim yang dilaksanakan oleh PemerintahKabupaten Aceh Besar, yang meliputi :
a. Pola dan struktur organisasi termasuk kedudukan dan fungsi Lembaga Mukim
b. Mekanisme dalam penataan Lembaga Mukim
c. Hasil penataan Lembaga Mukim

2. Faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat proses penataan Lembaga Mukim dalam otonomi khusus di Kabupaten Aceh Besar.
a. Faktor yang mendukung dalam penataan Lembaga Mukim b. Faktor yang menghambat dalam penataan Lembaga Mukim.
Lokasi Fenelitian
Penelitian ini mengambil 'lokasi di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dipilihnya lokasi penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa : "Peneliti sudah mengenal lokasi tersebut dan adanya fenomena atau data yang diperlukan dalam penelitian, sehingga diharapkan akan mempermudah dan memperlancar dalam proses penelitian (pengumpulan data)."
Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian kualitatif, jenis data yang akan dicari bila dibedakan menurut jenisnya ada dua yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer akan diperoleh langsung dan sumbernya melalui wawancara (interview) langsung dengan responden serta pengamatan (observasi) di lokasi penelitian. Sedangkan data sekunder diperoleh; melalui studi kepustakaan, dokumen-dokumen, monografi dan data statistik
Untuk memperoleh data yang sesuai dengan fokus penelitian yang menjadi batasan dalam penelitian maka sumber datanya adalah informan, peristiwa dan dokumentasi.
Instrumen Penelitian
Keberhasilan dalam pengumpulan data sangat dipenganahi oleh pemilihan alat (instrumen) penelitian yang digunakan. Dalam penelitian kualitatif instrumen utama ialah peneliti sendiri. Nasution (1998), mengemukakan'pada awal penelitian, peneliti merupakan alat satu-satunya". Keterlibatan peneliti secara langsung ini sangat penting karena peneliti bertugas menyusun atau merekonstruksi alat (instrumen) yang harus memahami segala hal yang terkait dengan penelitian
Di samping itu, dalam penelitian ini instrumen penelitian yang digunakan adalah menggunakan pedoman wawancara (interview guide) tidak terstruktur, dokumentasi atau pencatatan kronologis dan pencatatan secara sistematik dengan beberapa alat bantu seperti telepon dan alat-alat tulis lainnya. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis peneltian deskriptif dengan pendekatan kualitatif karena penulis bermaksud memperoleh gambaran yang mendalam mengenai proses penataan terhadap suatu lembaga pemerintahan lokal, yaitu Lembaga Mukim di Kabupaten Aceh Besar dalam otonomi khusus.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini meliputi :
a. Wawancara, yaitu bertanya langsung kepada informan untuk mendapatkan informasi yang diperlukan sesuai masalah penelitian, yang dilakukan secara tidak terstruktur atau sering disebut sebagai wawancara secara mendalam.
b. Observasi, yaitu dilakukan melalui pengamatan terhadap "fenornena dan permasalahan yang terjadi di lapangan dengan menggunakan panca indra dan analisis pikiran.
c. Dokumentasi, yaitu pengumpulan data melalui bahanbahan tertulis berupa undangudang, peraturan daerah, bahanbatian laporan clan arsip-arsip yangtersedia

Analisis Data
Metode analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisa interaktif (interactive model of analysis) yang dikembangkan oleh oleh Miles dan Hubeman. Milles (1992) yang terdiri dari tiga kegiatan, yaitu: reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verfikasi.
Keabsahan Data
Untuk menetapkan keabsahan data diperlukan tehnik pemeriksaan yang pelaksanaannya menurut Moleong (2000), didasarkan pada empat macam kriteria, yaitu . Derajat kepercayaan (credibility), Keterkaitan/ keteralihan(transferability), ketergantungan (dependenbility), dan kepastian (confirmability).
HASIL PENELJIIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Luas daerah Kabupaten Aceh Besar adalah 2.974,12 Kmz, sebagian besar berada di daratan dan sebagian kecil berada di kepulauan. Kabupaten Aceh Besar terdiri dari 22 kecamatan, 68 Mukim, 5 kelurahan, 596 desa.
Kabupaten Aceh Besar terletak pada garis; 5,2 ° - 5,8° LU dan 95,0 ° -95,8 ° BT. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Kota Banda Aceh, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Jaya, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Pidie dan sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia. Kabupaten Aceh Besar terletak dekat dengan garis khatulistiwa, sehingga daerah ini tergolong daerah beriklim tropis. Suhu udara rata-rafa berkisar antara 25 °C - 28°C.
Jumlah penduduk di Kabupaten Aceh Besar berdasarkan registrasi penduduk tahun 2003 sebanyak
285.498 orang , kesemuanyamerupakan WNI yang terrliri dari laki-laki
142.661 jiwa dan 142.837 jiwa adalah perempuan dengan jumlah kepala keluarga 63.256 keluarga dan kepadatan penduduknya 96 orang per kmZ, adapun rata-rata pertumbuhan penduduk 2,13 % di tahun 2002/2003.
Penyelenggaraan Pemerintahan di Nanggroe Aceh Darussalam
Propinsi Daerah Istimewa Aceh pada awalnya dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 1956, kemudian akibat perjuangan gigih rakyat Aceh yang dikenal dengan DITII yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Daud Beuneueh ditetapkanlah Aceh sebagai Daerah Istimewa dalam Keputusan Perdana Menteri Nomor 1/MISU1959. Berdasarkan keputusan ini terhitung sejak tanggal 26 Mei 1959 Aceh ditetapkan sebagai Daerah Istimewa dengan tiga keistimewaan, yaitu keistimewaan dalam bidang agama, keistimewaan dalam bidang peradatan dan keistimewaan dalam bidang pendidikan. Namun, keputusan tersebut tidak diikuti dengan petunjuk pelaksanaannya, sehingga keputusan tersebut tidak memiliki makna apa-apa bagi masyarakat Aceh.
Penyelenggaraan keistimewaan Aceh pada pemerintahan Habibie dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 yang mulai berlaku pada tanggal 4 Oktober 1999. Keistimewaan tersebut meliputi penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan dan peranan ulama dalam menetapkan kebijakan daerah, namun implementasinya baru ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 4,5,6, dan 7 tahun 2000. Selanjutnya dengan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 ditetapkan Propinsi Daerah Istimewa Aceh berganti nama menjadi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan otonomi khusus.
Salah satu dasar pemikiran ditetapkannya undang undang otonomi khusus bagi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah karena Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 belum mampu menampung asal-usul dan keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, karena masih terdapat sejumlah kewenangan Pemerintah Pusat yang belum diserahkan kepada Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam agar dapat menyelenggarakan keistimewaan secara optimal. Dengan kondisi tersebut maka dipandang perlu diselaraskan dengan Undang Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh. otonomi khusus yang dikembangkan di Aceh adalah perluasan kewenangan di luar yang diatur dalam UndangUndang Nomor 22 dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999.
Kewenangan Pemerintah Pusat yang diserahkan sebagian kepada Pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam meliputi : Bidang agama, Bidang pertahanan dan keamanan, Bidang peradilan dan bidang keuangan. Di Iuar ketentuan tersebut di atas, masih terdapat berbagai ketentuan dan kebijakan khusus bagi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Misalnya tentang pembagian wilayah. Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam berwenang untuk menentukan kedudukan, penjenjangan dan sebutan wilayah yang ada di wilayahnya di luar ketentuan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang ditetapkan dengan Qanun (pasal 22 ayat (1) dan ayat (5)). Hal ini bertujuan sebagai upaya penyesuaian dengan ciri khas Aceh dan meningkatkan pelayanan kepada masyasakat "akar rumput' atau masyarakat bawah (grass root)
Proses Penataan Lembaga Mukim di Kabupaten Aceh Besar
Pola dan Struktur Organisasi Lembaga Mukim
Setelah kemerdekaan, di Daerah Istimewa Aceh, Lembaga Mukim tetapdipertahankan dalam struktur Pemerintahan yang didasarkan pada Peraturan Keresidenan Aceh Nomor 2 dan 3 Tahun 1946 Lembaga Mukim. Berdasarkan peraturan tersebut, Pemerintahan Kemukiman diberlakukan di seluruh Aceh dengan kedudukan berada di bawah Camat dan mambawahi beberapa desa (Gampong).
Khususnya di Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar, pada tahun 1977kedudukan Imeum Mukim dipertegas lagi dengan Surat Keputusan BupatiKepala Daerah Nomor 1 tahun 1977 tentang Susunan Pemerintahan di Daerah Pedesaan Aceh Besar. Sistem pemerintahan adat Mukim tersebur tetap berlaku sampai tahun 1979 saat dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 56 tahun 1979) tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang ini mengupayakan adanya penyeragaman kedudukan . Pemerintahan Desa di seluruh Indonesia.
Pada saat diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, maka Gampong sebagai unit pemerintahan terendah di Aceh diubah menjadi DesaKelurahan dan seluruh alat perlengkapan dan penyelenggaraanpemerintahan desa disesuaikan sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979. Imbasnya juga adalah bahwa LembagaMukim dihilangkan. Dengan tidak lagidiakuinya Lembaga Mukim sebagaipemerintahan formal, maka paraImeum Mukim kembali ke lingkunganmasyarakatnya. Mereka hidupsederhana dan sama-sama menderita serta sama-sama membangun lingkungannya. Pendapat, tindakan dankeputusan mereka masih tetapmempunyai pengaruh yang penting danmenentukan bagi kebanyakan wargamasyarakat Masih adanya pengaruhdan pengakuan kepada para Imeum Mukim juga disebabkan karena mereka memiliki karisma di mata masyarakat Aceh. hal ini berkaitan dengan agama yang dianut oleh masyarakat Aceh,yaitu Islam, dimana Lembaga Imeum Mukim ini dahulunya timbul karena pengaruh kaum ulama, sehingga yangdiangkat dan dipilih menjadi ImeumMukim adalah para ulama.
Dengan adanya perubahan mendasar di Pemerintahan Desa, maka kedudukan Kepala Desa (Keuchik) semakin bertambah penting, ditambah lagi dengan adanya sumbangan dan bantuan dalam rangka pembangunan desa. Merasa kedudukannya yang kuat menyebabkan Kepala Desa (Keuchik) bersikap acuh tak acuh terhadap keputusan Imeum Mukim. Fenomena yang demikian menyebabkan kebanyakan warga masyarakat menerima kepemimpinan Kepala Desa dengan sikap curiga, terutama mengenai perilakunya dalam menggunakan dana bantuan pembangunan desa.
Untuk mencegah agar tidak terjadi dualisme kepemimpinan, maka Pemerintah Daerah Istimewa Aceh mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 tahun 1990 tentangPembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat beserta Lembaga Adat di Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Menurut Perda tersebut, eksistensi Imeum Mukim diakui kembali dan diberikan kedudukan sebagai koordinator Kepala DesalKelurahan danlembaga-lembaga adat sepanjang yangmenyangkut hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan kebiasaan masyarakaiPerda tersebut telah mempersatukan kedua sistem pemerintahan desa diAceh yang menyebabkan unit pemerintahan di bawah Camat terdiri dan unit pemerintahan Mukim dan Gampong. Unit pemerintahan Gampong merupakan unit pemerintahan terendah dan di atasnya terdapat unit pemerintahan Mukim yang langsung berada di bawah Camat
Seiring dengan perjalanan waktu, otonomi khusus yang diberikan kepada Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dimana Lembaga Mukim dikembalikan lagi kepada kedudukan semula, yaitu berada diantara Kecamatan dan Desa/Kelurahan (Gampong). Dengan berpedoman pada undang-undang otonomi khusus tersebut, Pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam bersama Dewan Perwakilan Daerah menetapkan Peraturan Daerah (Qanun) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Propinsi Nanggnoe Aceh Darussalam, yang ditetapkan dan diberlakukan sejak 15 Juli 2003. Qanun ini telah memperkuat kembali Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Aceh Besar Nomor 1 Tahun 1977, tentang Susunan Pemerintahan di Daerah Pedesaan Aceh Besar dan Peraturan Daerah (Perda) Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 2 tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasaan Masyarakatbeserta Lembaga Adat di Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang merupakan inisiatif Pemerintah Daerah Istimewa
Aceh dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang terjadi di masyarakat tentang fenomena Lembaga Mukim yang sudah mengakardalam kehidupan masyarakat Daerah Istimewa Aceh. Walaupun Perda tersebut bertentangan dengan Undangundang Nomor 5 tahun 1979, namunkehadirannya dapat meredam konfliksosial yang terjadi di masyarakatberkenan dengan dualisme kepemimpinan formal dan informal. ' Dalam Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 disebutkan bahwa Mukim dipimpin oleh seorang Imeum Mukim yangberkedudukan sebagai unit pemerintahan yang membawahi beberapa Gampong yang berada langsung dibawah dan bertanggungjawab kepada Camat, yangbertugas menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaanpembangunan, pembinaankemasyarakatan dan peningkatanpelaksanaan Syariat Islam.
Alat-alat kelengkapan Mukim terdiri dari : Sekretariat Mukim., Majelis Musyawarah Mukim, Majelis adat Mukim dan Imeum Chiek. Pola dan struktur organisasi Iembaga Mukim di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, khususnya di Kabupaten Aceh Besar berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Aceh Besar Nomor 1 Tahun 1977 maupun Peraturan Daerah (Qanun) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 tidak ada perbedaan, baik dari segi alat kelengkapannya maupun pola dan struktur organisasinya.
Mekanisme dalam Penataan Lembaga Mukim
Untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, pelaksanaan keistimewaan Aceh dan pemberdayaan perempuan serta peningkatan pelayanan kepada masyarakat, dimungkinkan untuk dilakukan pembentukan, pemekaran dan penggabungan Mukim, dimana menurut Peraturan Daerah (Qanun) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 pada pasal 15 ayat
(2) disebutkan bahwa tata cara pembentukan, pemekaran dan penggabungan atau penghapusan Mukim diatur lebih lanjut dengan Qanun Kabupaten atau Qanun Kota. Lebih Ianjut pada pasal 5 ayat (3) disebutkan bahwa substansi materi yang perlu diatur memuat antara lain:
a. Penegasan mengenai pengertianpembentukan Mukim;
b. Syarat-syarat Pembentukanmukim;

c Penegasan mengenai batas wilayah Mukim dalam setiap pembentukan Mukim;
d. Mekanisme pelaksanaan pembentukan, penghapusan dan atau penggabungan Mukim;
e. Pembagian wifayah Mukim, clan;
f. Perincian tentang kewenangan Mukim (pasal 15)

Perubahan batas Mukim dapat dilakukan berdasarkan kesepakatanmusyawarah Mukim dan Mukim-Mukim yang berbatasan dan perubahan batasMukim ditetapkan dengan KeputusanBupati atau Walikota yang bersangkutan (pasal 16). Untuk pusat PemerintahanMukim berkedudukan di salah satu Gampong yang dipandang strategisyang dapat meningkatkan kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaankemasyarakatan, pelaksanaankeistimewaan Aceh dan peningkatanpelayanan kepada masyarakat, yangditetapkan dengan keputusan Bupati atau Walikota (pasal 17).
Dalam bidang keuangan,kekayaan Mukim adalah harta kekayaan yang telah ada, atau yangkemudian di kuasai Mukim, berupa hutan, tanah, batang air, kuala, danau,laut, gunung, rawa, paya dan lain-lain yang menjadi ulayat Mukim sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jenis dan jumlah kekayaan Mukim harus diinventarisasikan dan didaftarkan serta pemanfaatannya diatur oleh Bupatiatau Walikota berdasarkan atas kesepakatan Musyawarah mukim. adapun pengawasan terhadap harta kekayaan Mukim di dilakukan oleh Tuha Peuet Mukim yang merupakan alat kelengkapan Lembaga Mukim yang terdiri dari unsur ulama, tokoh adat, pemuka masyarakat dan cerdik pandai (pasal 18).
Pendapatan Mukim terdiri dari pendapatan sendiri, hasil-hasil dari tanah Meusara, bantuan pemerintah, uang adat dan bantuan serta sumbangan dari pihak lain yang sifatnya tidak mengikat. Pendapatan tersebut dikelola melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Mukim (APBM) yang disusun Imeum Mukim dengan persetujuan Tuha Peuet Mukim (pasal 19). Pendapatan tersebut dipergunakan untuk kepentingan kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, pelaksanaan keistimswaan Aceh dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat yang ditetapkan dalam Musyawarah Mukim (pasal 20).
Dalam ketentuan peralihan disebutkan Mukim yang telah ada sekarang dinyatakan sebagai Mukim untuk menyelenggarakan tugas dan fungsinya. Adapun dalam ketentuan penutup disebutkan bahwa hal-hal yang belum diatur dalam Qanun ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubemur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan dengan berlakunya Qanun ini, maka segala ketentuan yang mengatur tentang Mukim yangbertentangan dengan Qanun ini dinyatakan tidak berlaku lagi.
Hasil Penataan Lembaga Mukim di Kabupaten Aceh Besar
Diundangkannya Undang-Undarg Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah mengembalikan Lembaga Mukim kepada kedudukan semula, yaitu sebagai lembaga perantara antara Kecamatan dan Desa/Kelurahan (Gampong). Dengan berpedoman pada undang-undang otonomi khusus tersebut, Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam bersama Dewan Pewvakilan Daerah menetapkan Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 yang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang ditetapkan dan diberlakukan sejak 15 Juli 2003. Dalam pasal 21 peraturan daerah tersebut disebutkan bahwa Mukim yang telah ada sekarang dinyatakan sebagai Mukim untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud pasal 3 dan 4 Qanun ini.
Dengan ketentuan tersebut, makadi Kabupaten Aceh Besar khususnya terdapat 68 Lembaga Mukim yang telahdilegalkan keberadaannya dan diaktifkankembali sejak diundangkannya Undangundang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Faktor Pendukung dan Penghambat Penataan Lembaga Muklm di Kabupaten Aceh Besar
Faktor Pendukung Penataan Lembaga Mukim di Kabupaten Aceh Sesar
a.Dukungan hlasyarakat Aceh yang Kuat
Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa Lembaga Mukim telah ada sejak jaman Kesultanan Aceh, bahkan ketika keberadaannya tidak diakui dengan diundangkannya Undangundang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, masyarakat Aceh pada umumnya dan masyarakat Kabupaten Aceh Besar pada ' khususnya, tetap mengakui keberadaan dan fungsi dan Lembaga Mukim ini. Hal ini disebabkan karena masyarakat Aceh telah merasakan akan keberadaan dan manfaat Lembaga Mukim dalam menyelesaikan permasalahan adat. Di samping itu, Pemerintah Kecamatan juga; merasak.an manfaatnya karena Lembaga Mukim ini merupakan koordinator desa/kelurahan dalam wilayah Kemukiman yang tersebar luas, sehingga koordinasi kecamatan dengan desa/kelurahan cukup dengan Imeum Mukim.
Dan beberapa hasil wawancara menunjukkan bahwa antusiasme dan dukungan masyarakat terhadap tetap eksisnya Lembaga Mukim sangat kuat. Bukan hanya karena keberadaannya yang sejak jaman Kesultanan Aceh, tetapi juga karena Lembaga Mukim ini telah terbukti merupakan media bagi masyarakat Aceh pada umumnya dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.
b. Peraturan Perundang-undangan
Dengan diundangkannya Undangundang Nomor 18 Tahun 2001 tentangOtonomi Khusus bagi Propinsi DaerahIstimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah menjadi tonggak baru bagi dikembalikannya Lembaga Mukim dalam susunan pemerintahan di ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam, dengan posisi di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Camat dan merupakankoordinator desa/kelurahan (Gampong) dalam wilayah Mukimnya.
Berdasarkan beberapa hasil wawancara menunjukkan bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi DaerahIstimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Peraturan Daerah (Qanun) PropinsiNanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Propinsi Nanggroe AcehDarussalam telah melegal formalkan kembali Iembaga Mukim yang pemah ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Faktor Penyhambat Penataan Lembaya Mukim di Kabupaten Aceh Besar
a. Kondisi Keamanan Dalam perjalanan kehidupan di PropinsiNanggroe Aceh Darussalam pada umumnya, dan di Kabupaten Aceh Besar pada khususnya, dan jaman Ode Baru sampai saat ini, dimana status darurat militer dan darurat sipil silih berganti disandangkan kepada PropinsiNanggroe Aceh Darussalam. Hal ini dikarenakan keamanan yang tidak kunjung aman dengan belum adanya kesepakatan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menginginkankemerdekaan bagi Provinsi NanggroeAceh Danassalam karena ketidakpuasan perlakuan yang diberikan selama ini, sedangkan Pemerintah Republik Indonesia masih menginginkan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam masih menjadi bagian dariNegara Kesatuan Republik Indonesia. Kondisi tersebut telah menyulutketegangan dan ketakutan pada setiappenduduk setiap saat, bahkan terkadang setiap penduduk sendiri tidak tahu siapa sebenamya yang menjadi musuhnya. Disatu pihak yang menjadi anggotaGAM adalah keluarga atau tetangganya, dipihak yang lain masyarakat hanyamenginginkan keadaan aman sehingga dapat menjalankan kehidupan sehariharinya dengan rasa nyaman dan tentram tanpa permusuhan.
Berdasarkan beberapa hasil wawancara menunjukkan bahwa statusDaerah Operasi Militer (DOM) yangpernah ada dan status Darurat Militer (DM) yang sedang terjadi saat ini, walaupun kondisi keamanan dapat lebih dikendalikan, tetapi keadaan ini tetapmembekaskan trauma dan ketakutanketakutan pada diri masyarakat Aceh pada umumnya dan masyarakat Kabupaten Aceh Besar pada khususnya.
b. Peraturan Penundang-undangan
Selain sebagai faktor pendukung, peraturan perundang-undangan juga merupakan faktor Penghambat dalam penataan Lembaga Mukim khususnya di Kabupaten Aceh Besar. Perundangundangan yang dimaksudkan yang menjadi faktor Penghambat penataan Lembaga Mukim, khususnya di Kabupaten Aceh Besar, adalah belum adanya peraturan daerah (Qanun) ataupun keputusan Bupati Kabupaten Aceh Besar sebagai aturan pelaksanaan dad Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalarn. Keberadaan peraturan daerah (Qanun) ataupun keputusan Bupati Kabupaten Aceh Besar sebagai aturan pelaksanaan dan Peraturan Daerah (Qanun) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 adalah mutlak, sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 bahwa :
1). Tata cara pembentukan, pemekarandan penggabungan atau penghapusan Mukim diatur lebih lanjut dengan Qanun Kabupaten atau Qanun Kota (pasal 15 ayat (2)).
2). Mekanisme pelaksanaan pembentukan, pemekaran dan penggabungan atau penghapusan Mukim (pasal 15 ayat (3) poin (d)).
3). Perubahan batas Mukim dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan musyawarah Mukim dan Mukim-mukim yang berbatasan dan perubahan batas Mukim ditetapkan dengan Keputusan Bupati / Walikota yang bersangkutan (pasal 16).
4). Pusat Pemerintahan Mukim sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) pasal ini, ditetapkan dengan Keputusan Bupati / lWali Kota (pasa117). Berbagai pereturan perundang
undangan sebagai aturan pelaksanaan dan Peraturan Daerah (Qanun) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 sampai dengan penelitian ini dilaksanakan belum dibuat, padahal keberadaannya adalah muklak
Dari beberapa hasil wawancara menunjukkan bahwa salah satu faktor Penghambat penataan Lembaga Mukim khususnya di Kabupaten Aceh Besar adalah belum dibuatnya Keputusan Bupati dan atau peraturan daerah (Qanun) yang mengatur Lembaga Mukim seperti yang diamanatkan oleh Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang mengatumya, yaitu Nomor 4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
C. Hambatan Politis
Salah satu hambatan lainnya yangada dalam penataan Lembaga Mukim diAceh Besar adalah adanya hambatan politis. Salah satunya adalah penetapan status Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai daerah dengan status darurat militer telah menjadikan Provinsi Nanggroe Aceh Darussslam pada umumnya sepertinya tidak pemahkondusif untuk terlaksananya roda pemerintahan. Kondisi ini diperparah lagidengan konflik internal yang tejadi dimasyarakat yang telah mengubah pola hidup bermasyarakat juga berubah, mulaidari kepemimpinan tingkat atas sampaike tingkat bawah. Berlarut-larutnya statusdarurat militer tersebut membuat masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam masih trauma dengan status terdahulu yang disandangnya, DaerahOperasi Militer (DOM).
Konflik internal juga terjadi khususnya di Kabupaten Aceh Besar adalah ada beberapa Keuchik (KepalaDesa) yang tidak setuju jika Lembaga Mukim difungsikan kembali kanena mereka sudah merasa "nyaman" dengan kondisi seperti yang diatur dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Hal ini karena dengan tidak difungsikannyakembali Lembaga Mukim, segalabantuan dan urusan dilaksanakan penuh oleh Kepala Desa. Ketika Lembaga Mukim ini difungsikan kembali, pada Keuchik merasa kewenangannya diambil kembali dan masyarakat tentunya lebih memperhatikan keputusan yang dibuat oleh Imeum Mukim.
d. Hambatan Kualitas Sumber Daya Manusia.
Di Kabupaten Aceh Besar terdiri dad 22 kecamatan dan 63 Mukim. sebagian besar Imeum Mukim di Kabupaten Aceh Besar mempunyai tingkat pendidikan SMA sederajat ke bawah. Berdasarkan data yang diperolehselama penelitian (tabel), dari 68 oranglmeum Mukim di Kabupaten Aceh Besar26 orang (38,24%) berpendidikan SLTASederajat, 19 orang (27,94%)berpendidikan SLTP Sederajat, 17 orang(25%) berpendidikan SD Sederajat, 6 orang (8,82%) berpendidikan Sarjana dan Sarjana Muda.
Adapun tingkat pendidikanSekretaris Mukim (tabel 5) menunjukkansebanyak 31 orang (45,59%)berpendidikan SLTA Sederajat, 20 orang(29,41%) berpendidikan Sarjana dan Sarjana Muda, 9 orang (13,24%) berpendidikan SLTP Sederajat, 6 orang (8,82%) berpendidikan SD Sederajat dan 2 orang (2,84%) berpendidikan Pasca Sarjana.
Dari data di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan para ImeurnMukim sebagian besar (91,18%) berpendidikan SLTA Sederajat kebawah. Kondisi ini tentunnya kontras dengan tingkat pendidikan yang dimilikioleh para Sekretaris Mukim yang sebagian besar (77,84%) mempunyai tingkat pendidikan SLTA/Sederajat ke atas. Kondisi ini tentunya menjadikendala dalam rangka menterjemahkansetiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah tingkat atasnya, karena biasanya kebijakan tersebut hanya bersifat umum.
Pembahasan Hasil Penelitian
Proses Penataan Lembaga Mukim di Kabupaten Aceh Besar.
Dewasa ini bangsa Indonesia sedang mengalami perubahan sistem pemerintahan daerah dari sentralistik ke desentralistik Perubahan ini sebenamya sebagai dampak dari proses globalisasi di bidang politik, ekonomi dan teknologi. Bahkan ada kecenderungan baru dari penganjur kapitalis mutakhir untuk meniadakan pemerintah dengan slogan yang sangat radikal yaitu goveming without govemment (Putra, 1999). Slogan tersebut memberikan dimensi akan pelepasan fungsi-fungsi negara dan pendesentralisasian sistem pemerintahan negara, namun di Indonesia proses beriangsungnya tidak seradikal slogan tersebut. Menurut Ismani (1996) bahwa: "Penyelenggaraan administrasi negara di suatu negara pada dasarnya tidak terlepas dari kebudayaan bangsa yang bersangkutan". Demikian juga penyelenggaraan administrasi negara di Indonesia yang sedang berlangsung selalu mengikuti perkembangan sosial bangsa, ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk perkembangan politiknya. Sejalan dengan perkembangan kebudayaan bangsa, administrasi negara pun telah mengalami kemajuan setungga tuntutan masyarakat akan desentralisasi dan otonomi daerah telah dituangkan dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemeritahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Kebijakan desentralisasi sebagaimana tertuang dalam Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 telah memperluas kewenangan pelaksanaan otonomi daerah dengan menyerahkan sepenuhnya beberapa bidang urusan pemerintahan kepada Daerah Kabupaten dan Kota, meliputi: Pekerjaan Umum, Kesehatan, Pendidikan dan Kebudayaan, Pertanian, Perhubungan, Industri dan Perdagangan, Penanaman Modal, Lingkungan Hidup, Pertanahan, Koperasi dan Tenaga Kerja. Di lain pihak kewenangan pemerintah Pusat terbatas pada penanganan bidang Politik Luar Negeri, Hankam, Peradilan, Moneter Fiskal dan Agama, serta bidang tertentu seperti Kebijakan Perencanaan Nasional, dana Perimbangan, Sistem Administrasi Negara, Pembinaan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia dan Pemberdayaan Sumber Daya Alam dan Teknologi Tinggi yang strategis, Konservasi dan Standarisasi Nasional. Perluasan kewenangan tersebut membawa konsekuensi kepada pemerintah daerah untuk menerima peningkatan tugas dan tanggungjawab yang harus diembannya.
Lebih lanjut Ryaas Rasyid sebagaimana dikutip Dwidjowijoto (2000) mengungkapkan bahwa: "inti pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasaan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas, dan peran serta aktif masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya". Untuk melaksanakan otonomi daerah Kaho -(1997) mengidentiflkasi paling tidak ada 4 (empat) faktor yang perlu dipersiapkan yaitu: manusia pelaksananya harus baik, keuangan harus cukup dan baik peralatan harus cukup dan baik, serta organisasi dan manajemen harus cukup baik
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai salah satu daerah otonomi dan mempunyai keistimewaan dalam otonomi tersebut juga telah memiliki beberapa kewenangan yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah di tambah dengan Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Salah satu kewenangan, khususnya yang datur dalam Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 adalah tentang pembagian wilayah. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berwenang untuk menentukan kedudukan, penjenjangan dan sebutan wilayah yang ada di wilayahnya d luar ketentuan Undangundang Nomor 22 tahun 1999 yang ditetapkan dengan Qanun (pasal 22 ayat
(1) clan ayat P). Hal ini bertujuan sebagai upaya penyesuaian dengan ciri khas Aceh dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat "akar rumput atau masyarakat bawah (grass 1oot).
Berkenaan dengan hal tersebut, maka Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mengundangkan Peraturan Daerah (Qanun) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang ditetapkan dan diberlakukan sejak 15 Juli 2003. Qanun tersebut merupakan tonggak awal dari ditatanya kembali Lembaga Mukim yang pernah menjadi lembaga formal dalam tata pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang merupakan warisan leluhur Aceh sampai diundangkannya Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Pola dan Struktur Organisasi Lembaga Mukim
Struktur organisasi menunjukkan bagaimana norma-norma khususnya norma komunikasi dan tugas-tugas dijalankan dalam sebuah lembaga. Dangan struktur organisasi, setiap orang dapat dengan jelas mengetahui bagaimana seorang pimpinan membangun komunikasi dan bagaimana seorang pimpinan menetapkan kebijakan dan menginformasikan kepada para bawahannya. Yang penting di sini adalah pembagian peranan-peranan dalam organisasi, pola wewenang, sistem komunikasi, komitmen personal dari doktrin dan program lembaga (Sugiyanto, 2002). Dalam kaitannya dengan Lembaga Mukim yang menrupakan warisan leluhur masyarakat Aceh, adanya perubahan-perubahan dalam perjalanan sejarahnya juga terjadi. Dimana proses perubahan dan pengembangan organisasi dalam masyarakat Aceh menggunakan pendekatan struktural, yang menurut Leavit sebagaimana dikutip oleh Indriwijaya (1989) merupakan p°ndekatan yang paling banyak digunakan. Langkah perubahan dilakukan secara deduktif dengan analisa tugas dan tujuan untuk kemudian dirumuskan struktur organisasi dan manajemen yang dianggap sesuai dan tepat untuk melaksanakannya. Atau dapat juga dilakukan dengan usaha modifikasi prilaku manusia melalui penyesuaian struktur tugas dan lalu lintas pekerjaan. Semuanya itu dimaksudkan untuk tercapainya efisiensi yang paling optimal.
Sebelum kemerdekaan, dalam tata pemerintahan Kesultanan Aceh, Lembaga Mukim menapakan koordinator Gampong dan berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Uleebalang dengan struktur organisasi yang belum jelas. Setelah kemerdekaan lembaga tersebut tetap ada dengan fungsi yang sama, yaitu koordinator gampong dalam wilayah Kemukiman sesuai dengan Peraturan Karesidenan Aceh Nomor 2 clan 3 Tahun 1946 Lembaga Mukim. Khususnya di Kabupaten Aceh Besar, aturan pelaksanaannya adalah Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Nomor 1 tahun 1991 tentang Susunan Pemerintahan di Daerah Pedesaan Aceh Besar. Sempat tidak diakui dengan Undang-undang nomor 5 tahun 1979, tetapi dilegalformalkan kembali dengan Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam perjalanan sejarah tersebut, Lembaga Mukim temyata tetap ada dan diakui serta didukung keberadaannya oleh masyarakat Aceh pada umumnya dan masyarakat Kabupaten Aceh Besar pada khususnya.
Dengan memperhatikan tugas danfungsi dari Lembaga Mukim dalam tata pemerintahan di Propinsi Nanggroe AcehDarussalam sesuai dengan Peraturan Daerah (Qanun) Propinsi Nanggroe AcehDarussalam Nomor 4 tahun 2003, desentralisasi (otonomi) dalam ha! pelayanan kepada masyarakat telah dijabarkan dan dilakukan. Masyarakatpada tingkat mukim dan gampong telahmempunyai peran aktif dalam merencanakan program-program pembangunan di wilayahnya. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikanHilhorst sebagaimana dikutip Femandez(1992) bahwa dalam hubungannya dengan proses pembangunan, tujuanotonomi adalah agar kegiatan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat dapat lebih efektif dan efisien serta memperluas partisipasi pada tingkat lokal sampai di tingkat desa. Selain itu dengan telah diberikannya otonomi khusus kepada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan diundangkannya Peraturan Daerah(Qanun) Provinsi Nanggme Aceh Darussalam Nomor 4 lahun 2003 te!ah sesuai dengan konsep otonomi lokal dimana pemerintah daerah memegang kendali terhadap beberapa aktiv'itas, yang menurut Lemieuz sebagaimana dikutip Hoessein (1998) meliputi: (1)aktivitas untuk mengatur organisasi danlingkungan; (2) pengangkatan pemimpindan pejabatnya; dan (3) penarikan sumber daya.
Proses pengakumulasian kepentingan antara pemerintah dengan pemerintah daerah dengan kebijakan otonomi daerah telah membawa dampak tidak hanya pada proses pemandirian daerah saja, tetapi juga telah mengakomodir kepentingan adat. Kepentingan publik (mendapatkan akses dan pelayanan yang baik) dalam kerangka otonomi daerah tidak hanya dapat dilakukan oleh pemarintah saja, tetapi harus adanya peran serta aktif masyarakat seperb telah disampaikan di atas. Khususnya di Kabupaten Aceh Besar, peran aktif masyarakat tersebut dimotori oleh aktor yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, yaitu para pemimpin informal (elit adat dan khususnya elit agama). Dalam rangka penataan Lembaga Mukim diperlukan pengorganisasian secara permanen dalam Kelembagaan Mukim sesuai dengan Undang undang Nomar 18 tahun 2001 dan Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003, dimana Lembaga Mukim terdliri dari Imeum Mukim dan perangkat Mukirn lainnya.
Da!am struktur organisasi Lembaga Mukim berdasarkan pasal 9 Peraturan Daerah (Qanun) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 disebutkan bahwa untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan mukim, maka dibentuk kelengkapan Mukim, yang terdiri dari : Sekretaris Mukim; Majelis Musyawarah Mukim Majelis Adat Mukim, dan; Imeum Chiek.
Dalam sistem KelembagaanMukim yang asli, unsur staf tidak ada, sehingga fungsi-fungsi staf tersebut langsung dijalankan oleh imeum Mukim. Adapun unsur pelaksana teknis dijalankan oleh lembaga adat yang ada pada Mukim. Pembentukan lembagalembaga adat tersebut disesuaikan menurut kebutuhan dan disesuaikan dengan potensi Mukim yang bersangkutan serta mata pencaharian masyarakat setempat. Lembagalembaga adat tersebut diperlukan untukmenjalankan fungsi pemerintahan agardapat memenuhi standart pelayanan, yaitu sederhana, tepat, sesuai dan tepatwaktu. Tentunya hal ini berkorelasi dengan pendapat Kurt Levin sebagaimana dikutip oleh Indrajaya (1989 bahwa setiap usaha perubahan sosial berencana selalu harus mempertimbangkan berbagai macam factor yang mewarnai kasus tertentu tersebut. Ada perubahan yang menuntutberbagai macam kombinasi dari tindakan pendidikan dan organisasional, juga dapat ditentukan oleh berbagai macam perlakuan terhadap cita atau, harapan dan organisasi. Tetapi semuanya tetap perlu mempertimbangkan adanya Prinsi- Prinsip yang bersifat formal dari umum.
Sesuai dengan Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003, dalam kelengkapan Mukim tendapat Sekretaris Mukim yang merupakan, pengembangan dari struktur Mukim asli. Keberadaan Sekretaris Mukim ini diharapkan sebagai perryeimbang dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas Imeum Mukim. Sebagaimana telah disebutkan bahwa seorang Imeum Mukim dipilih dan diangkat bukan karena kemampuannya dalam bidang pemerintahan, tetapi lebih pada kemampuannya dalarn pengetahuan dan pengamalan Syariat Islam. Adanya Sekretaris Mukim diharapkan dapat membantu pelaksanaan tugas-tugas Imeum Mukim dalam bidang tata usaha, pemerintahan, perekonomian dari pembangunan, keistimewaan Aceh dan pemberdayaan perempuan. Untuk kepentingan tersebut, maka orang yang menduduki jabatan Sekretaris Mukim dan perangkatnya dipilih dari orang-orang yang mempunyai pengetahuan di bidang tersebut. Jika dilihat data pada tabel :, menunjukkan bahwa sebagian besar (77,84%) Sekretaris Mukim 'berpendidikan SLTA /Sederajat ke atas, bahkan 32,25% berpendidikan Sarjana dan Pascasarjana.
Sebagai bagian dari warisan leluhur Aceh, Lembega Mukim tidak mengalami perubahan mendasar seperti pada Lembaga Gampong. Alatperlengkapan Lembaga Mukim sedikitpun tidak menghi!angkan peranan dari para elit adat dan elit agama dan unsur kepemudaan. Semuanya ditampung pada Majelis Musyawarah Mukim dan Majelis Adat Mukim. Majelis Musyawarah Mukim merupakan badan yang memberikanmasukan dan saran kepada lmeum Mukim dalam menjalankan tugastugasnya. Selanjutnya Majelis Adat Mukim yang berfungsi sebagai badan yang memelihara dan mengembangkan adat, menyelenggarakan perdiamaian adat, menyelesaikan dan memberikan keputusan-keputusan adat terhadap perselisihan dan pelanggaran adat, memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnyamenurut adat. Keputusan-keputusan danketetapan-ketetapan Majelis Adat Mukim tersebut menjadi pedoman bagi pada para Keuchik dalam menjalankan rodapemerintahan Gampong sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (pasal 12 Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003).
Majelis Musyawarah Mukim merupakan sebuah badan yang merupakan mitra Imeum Mukim dalam menjalankan tugasnya dengan memberikan masukan, saran dan pertimbangan. Akan tetapi walaupun kedudukannya sejajar, Majelis Musyawarah Mukim bukanlah sebagai sebuah badan yang dapat meminta pertanggungjawaban kepada Imeum Mukim atas pelaksanaan tugasnya atas permintaan masyarakat Mukim. Menurut penulis, keberadaan lembaga legislatif tingkat Mukim ini juga diperlukan sebagai pengontrol dan pengawas dan sekaligus sebagai mitra terhadap pelaksanaan tugas Imeum Mukim. Di samping itu diperiukan juga sebuah lembaga yudikatif yang akan membantu dan berfungsi dalam mendamaikan perselisihan warga dan menetapkan sanksinya. Jika diperhatikan, maka dalam tata Pemerintahan Mukim, lembaga yudikatif ini adalah Majelis Adat mukim yang diketuai oleh Imeum Mukim.
Dari kenyataan dimana LembagaMukim ini merupakan murni lembaga yang bersifat asal usul yang ditetapkan kembali dengan undang-undang, sehingga kewenangan yang dijalankannya merupakan kewenangan asal-usul dan berdasarkan undangundang. Unsur-unsur kelengkapan Mukim terdiri dari:
a. Unsur pimpinan, yaitu Imeum Mukim;
b. Unsur staf, yaitu Sekretaris Mukim;
c. Unsur pelaksana, yaitu pelaksana teknis berdasartcan fungsirrya masing-masing yang jumlahnya disesuaikan dengan potensi dart adat Mukim yang bersangkutan.
d. Unsur wilayah, yaitu sebagai pelaksana fungsi Imeum Mukim berdasarkan vvilayah, yaitu

Keuchik,
e. Unsur pengawas, yaitu Majelis Musyawarah Mukim yang keanggotaannya terdiri dari Imeum Chiek, para Keuchik, Tuha Peuet Mukim, Sekretaris Mukim dan para pimpinan Lembaga Adat yang ada di Mukim bersangkutan;
Unsur peradilan, yaitu Majelis Adat Mukim yang diketuai oleh Imeum Mukim.
Mekanisme dalam Penataan Lembaga Mukim
Pembangunan lembaga merupakan suatu perspektif tentang pe;ubahan sosial yang direncanakan dan dibina. la menyangkut inovasiinovasi yang menyiratkan perubahanpenubahan kuafitatif dalam norma, pola kelakuan, hubungan perorangan, hubungan kelompok dalam persepsipersepsi baru mengenai tujuan-tujuan maupun cara-cara. la tidak bersangkutan dengan pengulangan pola yang sudah ada, penyimpanganpenyimpangan marjinal dengan praktek yang telah lalu atau dengan perbaikanperbaikan yang sedikit saja dalam efisiensi, tema yang dominan adalah inovasi. Namun menurut Gupta (2003) pembangunan lembaga mengambil obyek organisasi sebagai sebuah totalitas untuk ditingkatkan kemampuannya yang dalam konteks ini diorientasikan pada kemampuan internal organisasi. Mengingat organisasi dipandang sebagai sebuah totalitas yang kompleks maka proses pengembangan institusi juga dilakukan secara menyeluruh tidak sekedar pada kemampuan teknis organisasi tetapi juga mengenai pengembangan serta pelembagaan nilai dan norma yang sebelumnya telah disesuaikan dengan tujuan-tujuan organisasi.
Dalam kaitannya dengan penataan Lembaga Mukim di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sesuai dengan Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 dan Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sepertinya totalitas pengembangan organisasi ini belum dilaksanakan. Penataan yang sedang berjalan masih pada taraf penggalian dan pemunculan kembali nilai-nilai adat yang pemah ada dalam tata pemerintahan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu Lembaga Mukim. Adapun pengembangan kemampuan teknis onganisasi dan juga mengenai pengembangan serta pelembagaan nilai dan norma yang sebelumnya telah disesuaikan dengan tujuan-tujuan organisasi belum dijalankan. Tentunya hal ini berkait dengan pendapat Leavit sebagaimana dikutip oleh Indrajaya (1989) bahwa dari tiga pendekatan dalam proses perubahan dan pengembangan organisasi, pendekatan struktural lebih banyak digunakan.
Selain itu, jika memperhatikan proses perubahan sosial berencana menurut Indrawijaya (1989), proses dan mekanisme penataan Lembaga Mukim di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam lebih cenderung berkaitan dengan langkah ketiga yaitu Diagnosis of the client systems problems, dimana kegiatan penataan Lembaga Mukim di Kabupaten Aceh Besar dimulai dengan tahap mendiagnosa berbagai persoalan yang dihadapi oleh sistem dalam perubahan dan pengembangan yang akan dilaksanakan. Persoalan tersebut berupa persoalan pada latar belakang di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dimana Lembaga Mukim lebih dipercaya oleh masyarakat dalam memecahkan permasalahan dalam bemasyarakat daripada lembaga lainnya yang setingkat, sehingga adanya pertimbangan khususnya oleh Pemerintah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk memformalkan kembali Lembaga Mukim yang pemah ada dalam tatanan pemerintahan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Dalam Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 pada pasal 15 disebutkan bahwa Untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, pelaksanaan keistimewaan Aceh dan pemberdayaan perempuan serta peningkatan pelayanan kepada masyarakat, dimungkinkan untuk dilakukan pembentukan, pemekaran dan penggabungan Mukim, dimana tata cara pembentukan, pemekaran dan penggabungan atau penghapusan Mukim diatur lebil) lanjut dengan Qanun Kabupaten atau Qanun Kota. Sayangnya sampai dengan penelitian ini dilakukan Qanun Kabupaten Aceh Besar tersebut tidak ada yang menyebabkan pelaksanaan Qanun provinsi tersebut menjadi tidak lancar. Terbukti dengan adanya kecemburuan dari sebagian Keuchik karena merasa kewenangannya dipangkas kembali. Seharusnya pihak Pemda bersama DPRD Kabupaten Aceh cepat merespon kondisi tersebut sehingga konflik internal antara Imeum Mukim dan Keuchik tidak melebar dan bahkan menjadi "api dalam sekam".
Dalam pasal 15 ayat (3) poin (b) Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 disebutkan bahwa Pembentukan Mukim antara lain memperhatikan syarat jumlah penduduk, luas wilayah, jumlah Gampong, kondisi sosial budaya,, kondisi ketenteraman dan ketertiban, potensi ekonomi dan sumber daya alam, sarana dan prasarana pemerintah. Lebih lanjut pada poin (d) disebutkan bahwa mekanisme pelaksanaan pembentukan, penghapusan dan atau penggabungan Mukim, mulai dari usul lmeum Mukim melalui Camat atas prakarsa masyarakat setelah mendapatkan persetujuan Camat sampai dengan penetapannya dengan Keputusan Bupati atau Walikota setelah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten atau Kota. Dari pernyataan tersebut menunjukkan bahwa mekanisme penataan Lembaga Mukim dimulai dengan usulan masyarakat yang disampaikan kepada Imeum Mukim. dengan usulan tersebut Imeum Mukim bersama Camat mengusulkan kepada Bupati. Setelah mempelajari dengan seksama, maka Bupati setelah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menetapkan Lembaga Mukim tersebut.
Hasil Penataan Lembaga Mukim di Kabupaten Aceh Besar
Proses penataan organisasi yang meliputi beberapa komponen yakni diagnosis terhadap masalah, pelaksanaan dan proses pemeliharaan, French (1990), seharusnya dapat menjadi acuan bagi penataan organisasi pemerintahan, sehingga dalam pelaksanaan dapat mendukung pencapaian tujuan organisasi dan perbaikan terhadap kekurangan, ketidaksempurnaan sistem dan prosedur organisasi, termasuk bagi Lembaga Mukim yang mempunyai tugas untuk menjalankan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Proses penataan organisasi yang tidak dimulai dengan diagnosis masalah yang obyektif dan realistis akan membawa dampak terhadap pelaksanaannya, karena tidak ada kesesuaian antara solusi dan masalah yang ada, sehingga diagnosis masalah menjadi fokus utama dalam proses penataan. Disamping orientasi masalah dalam penataan dan pengembangan organisasi juga harus mampu untuk mencari solusi terbaik untuk merancang usaha-usaha penyempumaan organisasi, dalam arti bahwa dengan penataan dan pengembangan diharapkan kinerja organisasi akan Iebih baik daripada sebelumnya.
Dalam penataan Lembaga Mukim proses penataan sebagaimana disampaikan oleh French tersebut telah dilaksanakan. Seperti telah disebutkan bahwa Lembaga Mukim di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam bukanlah 10 lembaga yang baru, tetapi Lembaga Mukim telah ada sejak jaman Kesultanan Aceh, dimana Lembaga Mukim termasuk dalam lima posisi pokok dalam jenjang struktur pemerintahan Kesultanan Aceh, yaitu secara berturut-turut Sultan, Panglima Sagoe,Uleebalang, Imeum Mukim dan Keuchik. Lembaga Pemerintahan Mukim ini tetap diperhatikan dan dipertahankan sampai saat ini. Dengan telah dilaksanakannya proses penataan lembaga seperti disarankan oleh French, diharapkan Lembaga Mukim menjadi sebuah lembaga yang mempunyai kinerja organisasi akan lebih baik daripada sebelumnya, atau menurut Finn dan Checksoway (1998) sebagaimana dikutip oleh Edyar (2003) dapat menunjukkan kontribusi yang nyala terhadap pengembangan personal, pengembangan organisasi dan pengembangan masyarakat. Tujuan ini tentunya juga menjadi tujuan dad penataan Lembaga Mukim pada umumnya di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana disebutkan dalam pasal 3 Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam bahwa Lembaga Mukim mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan; pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan Syari'at Islam.
Seperti telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa dalam tulisan ini penataan Lembaga Mukim sebagai proses pembangunan lembaga dan pembangunan organisasi mengambil obyek organisasi Mukim sebagai sebuah totalitas untuk ditingkatkan kemampuannya. Kegiatannya memiliki pengertian menyusun kembali organisasi atau menghidupkan kembali organisasi yang dirumuskan dalam hal perencanaan serta penataan untuk mewujudkan perubahan-perubahan tendama dalam hal struktur organisasi yang akan membawa dampakperubahan pada nilai-nilai, fungsi-fungsi, teknologi teknologi fisik dan sosiai. Hasildari penataan Lembaga Mukim khususnya di Kabupaten Aceh Besar sesuai dengan pasal 21 Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disebutkan bahwa Mukim yang telah ada sekarang dinyatakan sebagai Mukim untuk menyelenggarakan tugas dan fungsinya. Berdasarkan padaperaturan tersebut terdapat 68 LembagaMukim yang ditata kembali yangtersebar pada 22 kecamatan di Kabupaten Aceh Besar. Dengan ditatanya kembali Lembaga Mukim ini telah membawa dampak pada perwujudan perubahan-perubahanterutama dalam hal struktur organisasipemerintahan yang akan membawa dampak perubahan pula pada nilai-nilai, fungsi-fungsi, teknology teknologi fisik dan sosial masyarakat Kabupaten AcehBesar pada khususnya dan masyarakatProvinsi Nanggroe Aoeh Darussalam pada umumnya.
Hasil wavwancara yang penulis lakukan juga menunjukkan bahwa dengan ditatanya kembali Lembaga Mukim khususnya di Kabupaten Aceh Besar telah memberikan peluang dapat terselenggaranya koordinasi dalam pelaksanaan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan khususnya antara kecamatan dan desa/gampong sebagai ujung tombak dari pelaksanaan tugas-tugas tersebut yang dijembatani oleh Lembaga Mukim diharapkan menjadi Iebih efektif, dimanaseperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada umumnya desa-desa di Aceh, khususnya di Aceh Besar mempunyai wilayah yang relatif luas,dengan penduduk yang jarang dan bekas pemukiman yang terpencarpencar. Faktor wilayah ini akan menimbulkan kesulitan dalam berkomunikasi, apalagi jika tidak didukung oleh prasarana dan sarana komunikasi yang memadai untuk tersalumya informasi yang cepat dan lancar. Faktor Pendukung dan Penghambat Penataan Lembaga Mukim di FCabupaten Aceh Besar
Faktor Pendukung Penataan Lembaga Mukim di .Kabupaten Aceh Besar
Otonomi daerah tidak akan berjalan dengan lancar tanpa adanya kemauan baik dari pemerintah untuk melaksanakannya dan tanpa dukungan dari masyarakat daerah. Dimana dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan daerah otonom, selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dikatakan pula bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah dipandang perlu untuk lebih menekankan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keragaman daerah. Menurut Hilhorsti sebagaimana dikutip Femandez (1992), otonomi daerah sebagai adanya kewenangan untuk menentukan prioritas pembangunan yang memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat. Artinya bahwa dalam perencanaan pembangunan diperlukan adanya desentralisasi (otonomi) sampai di tingkat desa. Dari uraian tersebut, maka dalam otonomi dituntut adanya proses artikulasi kepentingan (aspirasi) dari bawah. Mengenai proses aspirasi dari bawah ini, dapat ditemukan prinsip-prinsip utamanya dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang baru, yaitu prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Dalam penataan Lembaga Mukim sebagai bagian dari otonomi khusus. yang diberikan kepada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, khususnyadi Kabupaten Aceh Besar, kuatnyadukungan dari masyarakat tersebut telahmenjadi salah satu faktor pendukung, yang menurut Kjellberg (1995) dalam local self-govemment nya merupakan konsep partisipasi demokratis, yang berarti adanya partisipasi aktif masyarakat lokal, baik sebagai tujuan maupun alat untuk memperkuat demokrasi dalam masyarakat secara luas. Selain karena kuatnya masyarakat Aceh pada umumnya dalam menjalankan adat yang berlaku, Lembaga Mukim juga merupakan sebuah lembaga yang turun temurun telah terbukti dapat menyelesaikan permasalahan dalam kehidupanbermasyarakat yang ada di Aceh. Selainitu, kehidupan masyarakat Aceh yang memegang teguh Syariat Islam telah menjadikan ulama (dalam hal ini Imeum Mukim) merupakan sosok yang dipanuti dalam kehidupannya, sehingga setiap petuah dan keputusannya diikuti dan dijalankan oleh masyarakat. Kondisi ini yang menyebabkan eksistensi dad Imeum Mukim sampai saat ini tetap dipercaya dapat memecahkan masalahmasalah dalam kehidupan bermasyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada umumnya.Dengan adanya kharisma yang melekat pada dirinya, Imeum Mukim juga telah dapat menggerakkan dan mengarahkanmasyarakat untuk dapat mensukseskanprogram-pembangunan dan kemasyarakatan. Kondisi ini tentunya dapat dimanfaatkan oleh pemerintah daerah dalam rangka mensukseskan program-program tersebut. Hal ini sesuaidengan pendapat Sugiyanto (2002), bahwa untuk mencapai derajat pembangunan lembaga, salah satu faktor atau unsur yang mempengaruhi keberhasilan pembangian lembaga itu sendiri adalah kepemimpinan dan doktrin.
Kepemimpinan menunjuk pada kelompok orang yang secara aktif berkejimpung dalam perumusan doktrin dan program serta mengarahkan operasi operasi yang hubungannya dengan lingkungan tersebut. Unsur kepemimpinan dianggap sebagai unsur yang paling kritis dalam pembangunan lembaga karena proses perubahan yang dilakukan dengan sengaja itu memerlukan manajemen yang intensif, terampil dan telah mengikat dirinya secara mendalam baik dalam hubunganintern maupun dengan lingkungan yangberhubungan. Doktrin merupakan spesifikasi dari nilai-nilai, tiujuan dan metode metode operasional yang mendasari tindakan sosial. Doktrin harus dipandang sebagai sederetan tema yangmemproyeksi di dalam organisasi dan lingkungan eksternya. Seperangkat atra dan harapan mengenai tujuan pembangunan lembaga dan gaya tindakan harus tercermin di dalamnya.Adapun Imeum Mukim merupakan seorang pemimpin yang memiliki kharisma yang kuat pada masyarakat kanena pemahaman terhadap dan perilakunya sesuai dengan Syariat Islam yang dianut oleh masyarakat Aceh. Kondisi inilah yang memudahkan seorang Imeum Mukim untuk membuatsebuah doktrin (petuah) yang akan dengan mudah diikuti oleh masyarakatnya. Penelitian ini mendukung terhadap penelitian Syahbandir (1995) bahwa secara faktual Lembaga Mukim sampai saat ini masih tetap diakui dan dibutuhkan oleh masyarakat Aceh Besar. Lembaga Mukim bertugas sebagai pemangku adatistiadat, sebagai hakim perdamaian. Dan juga lembaga ini sebagai mitra kerja kecamatan dan kepala desa secara fungsional. Dengan fungsi itu Imeum Mukim telah meningkatkan dinamika kehidupan dan kepentingan sosial ekonomi masyarakat serta mendukung pembangunan regional dan nasional.Hai ini terlihat dalam peranannya, bahwasetiap masalah yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat Gampong mampu diselesaikan pada tingkat Mukim. Organisasi Mukim pada umumnya terdiri dari orang-orang berpengaruh dan sekaligus diakui oleh warga masyarakatnya sebagai pemimpinmereka dalam berbagai kegiatan. Adanya peranan kunci dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Aceh yang memikili oleh elitnya dalam Pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menginginkan adanya otonomi yangseluas-luasnya guna menumbuhkan partisipasi yang berakar pada masyarakat lokal. Kondisi ini mendukung hasil penelitian Ya,cub (1998) yang menunjukkan bahwa pada tataran desentralisasi dan otonomi daerah respon elit Bugis mengharapkan otonomi yang seluas-!uasnya gunamenumbuhkan partisipasi yang berakarpada masyarakat lokal dan perlunya pluralitas budaya yang dikembangkan untuk membangun kesetaraan dan solidaritas yang berarti bahwa budaya lokal diberi tempat yang layak guna dijadikan perekat integrasi nasional.
Faktor pendukung lainnya dalam penataan Lembaga Mukim adalah adanya peraturan perundang undangan yang menjadi dasar penataan Lembaga Mukim. Peraturan perundang-undangan tersebut, khususnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, adalah Undang undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang memberikan keistimewaan dan kewenangan kepada Provinsi Nanggrce Aceh Darussalam - dalam hal mengatur kehidupan beragama, adat, pendidikan, serta peranan ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Undang-undang tersebut kemudian dijabarkan salah satunya dengan diundangkannya Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 15 Juli 2003. Peranan ulama, dalam hal ini Imeum Mukim, telah diberikan tempat dalam tata pemerintahan Aceh yang merupakan warisan leluhur Aceh. Hal ini tentunya tetah menyadarkan kembali para penyelenggara negara bahwa dalam UUD 1945 eksistensi dari adat ini diakui sehingga peraturan perundangundangan di bawahnya tidak dapat menyimpang. Kenyataan ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Syahbandir (1995) dimana disebutkan bahwa secara analisis yuridis eksistensi Lembaga Mukim dijamin oleh pasal 18 UUD 1945, yang pada intinya memberikan amanat kepada pembentuk undang-undang agar dalam menyusun undang-undang tentang pemerintahan desa, supaya menghormati hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa. Selama berpedoman kepada Voksgemeenschappen, berarti menunjuk kepada desa asli yaitu suatu susunan pemerintahan bentukan asli. Selain itu, dengan adanya beberapa peraturan perundang-undangan tersebut telah sesuai dengan pendapat Kurt Levin sebagaimana dikutip oleh Indrajaya (1989) bahwa dalam usaha perubahan sosial rencana selalu harus mempertimbangkan berbagai macam faktor dan semuanya tetap perlu mempertimbangkan adanya prinsipprinsip yang bersifat formal dan umum.
Faktor Fenghambat Penataan Lernbaga Mukim di Kabupaten AcehBesar.
Reformasi administrasi pemerintahan daerah dengan bergulirnya otonomi daerah dan otonorni khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah membawa konsekwensi-konsekwensi yang tidak sedikit bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dengan adanya konsekwensi-konsekwensi tersebut juga diikuti oleh kendala kendala yang menyertainya. Dalam kaitannya dengan penataan Lembaga Mukim, salah satu kendalanya adalah kendala keamanan, dimana pergolakan dari keinginan sebagian masyarakat Aceh yang ingin melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keberatan Pemerintah Republik Indonesia terhadap keinginan sebagian orang tersebut telah menyebabkan kebijakan Pemerintah Pusat menjadikan Provinsi Istimewa Aceh saat itu dengan status Daerah Operasi Militer (DOM). Walaupun saat ini konsep dari DOM yang dikemas dalam Darurat Militer (DM) ada perbaikan (!ebih lunak), namun trauma masyarakat terhadap kondisi ini tetap ada dan sulit dihilangkan. Kondisi ini telah menjadi kendala yang sepertinya lebih bersifat politis daripada keamanan semata. Konflik-konflik yang terjadi juga telah menyebabkan sendi-sendi kehidupan masyarakat Aceh mengalami perubahan, pola hidup masyarakat dan pola kepemimpinan dari tingkat atas sampai tingkat bawah tidak luput dari perubahan tersebut. Dengan kebijakan Pemerintah Pusat yang memberiakukan Darurat Militer (DM) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam membuat kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah (pusat dan daerah) menjadi sulit untuk diimplementasikan. Hal ini disebabkan kondisi ketidakpastian yang tinggi dalam kehidupan masyarakat Aceh. Selain itu, kondisi pemberian otonomi daerah, apalagi otonomi khusus kepada Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, telah memberikan konsekwensi berkurangnya kewenangan pusat dan pengurangan ketergantungan daerah terhadap pusat. Konsekwensi tersebut menurut Indria (1998) berubah menjadi sumber konflik kepentingan antara pernerintah pusat dan daerah di sejumlah negara, termasuk di Indonesia.
Sejak diundangkannya Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada 15 Juli2003, sampai dengan penelitian ini dilakukan, khususnya di Kabupaten AcehBesar, belum ada aturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003, baik dalam bentuk Keputusan Bupati ataupun Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Besar sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 pasal 15, 16 dan 17). Akibatdari belum adanya aturan pelaksanaan ini, para lmeum Mukim berinisiatif untuk mempergunakan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II AcehBesar Nomor 1 Tahun 1977, tentang Susunan Pemerintahan di Daerah Pedesaan Aceh Besar dengan alasan isinya tidak bertentangan dengan Qanun Propinsi. Padahal Surat KeputusanBupati Kepala Daerah Tingkat II AcehBesar Nomor 1 Tahun 1977 tersebut telah batal demi hukum sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 5 7ahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, dimana Lembaga Mukim tidak diakui. Keadaan ini tentunya akan menjadi kendaia bagi khususnya Pemerintah Kabupaten Aceh Besar kanena unsur-unsur penting dalam pembangunan lembaga, yaitu program yang menapakan kebijakan operasional sebagai tindak lanjut dari doktrin yaitu pedoman bertindak di lapangan menurutSugiyanto (2002) tidak ada.
Jika ditelaah lebih lanjut pada Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Aceh Besar Nomor 1 Tahun 1977, mengatur tentang tata pemerintahan pedesaan khususnya di Aceh Besar yang di dalamnya disebutkan bahwa Lembaga Mukim merupakan perangkat daerah yang berkedudukan di bawah dan berianggungjawab jawab langsung kepada Camat (pasal 2). IX dalamnya juga diatur tentang struktur serta tugas pokok dan fungsi Lembaga Mukim dan perangkat perangkatnya. Akan tetapi di dalamnya tidak ditemukan bagaimana tata cara dan mekanisme pembentukan, pemekaran dan penggabungan atau penghapusan Mukim serta bagaimana tata cara dan mekanisme perubahan batas mukim. Jadi kalau dilihat dari segi kedudukan, tugas pokok dan fungsi Lembaga Mukim, antara Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Aceh Besar Nomor 1 Tahun 1977 dengan Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 memang tidak ada perbedaan, tetapi hal-hal yang harus diatur seperti diamanatkan dalam pasal 15, 16 dan 17 Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 tidak ada. Sehingga menurut hemat penulis, untuk mengantisipasi kerancuan atau kesimpangsiuran dalam penataan Lembaga Mukim, Bupati Aceh Besar seharusnya membuat Surat Keputusan yang mengesahkan kembali Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat It Aceh Besar Nomor 1 Tahun 1977 sampai adanya peraturan baru yang mengatur tentang Lembaga Mukim sesuai Amanat Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003, setelah itu Bupati Aceh Besar membuat rancangan surat keputusan atau rancangan peraturan daerah yang lebih Iengkap dan lebih sesuai dengan Qanun provinsi. Di samping itu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Aceh Besar seharusnya juga mampunyai inisiatif dan proaktif untuk mengajukan rancangan peraturan daerah khususnya berkenaan dengan Lembaga Mukim karena hal tersebut. merupakan hak dan kewajiban dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seperti diatur dalam Undangundang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada pasal 19 ayat (1) point 1 yaitu mengajukan rancangan peraturan daerah. Hal ini juga menunjukkan bahwa dengan diberikannya otonomi khusus kepada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam belum meningkatkan peranan dan fungsi dari lembaga legislatif, khususnya di Kabupaten Aceh Besar, sebagaimana disampaikan oleh Juliantara (2000) bahwa salah satu prinsip otonomi daerah adalah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Hambatan politis yang ada bersifat intern dan ekstem jika dilihat dari kacamatan Kabupaten Aceh Besar. Hambatan politis yang bersifat ekstem ini berupa kebijakan Pemerintah Pusat yang sampai saat ini tetap memberiakukan status Darurat Militer (DM) bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kondisi ini telah menjadikan masyarakat merasa tetap tidak aman karena tingkatketidakpastian situasi dan kondisi sosialmasyarakat yang cukup tinggi, yangmengakibatkan setiap program-programpembangunan pemerintah dan pemerintah daerah sulit untuk dikomunikasikan kepada masyarakat. Adapun hambatan internal khusus berkenaan dengan dilegalformalkannya kembali Lembaga Mukim ini khususnya adalah adanya sebagian kepala desa (Keuchik) yang keberatan dengan alasan kewenangannya akan terkurangi. Walaupun sebenarnya alasan tersebut merupakan alasan klasik, tetapi hal tersebut tidak dapat disepelekan olehpemerintah daerah. Untuk itu komunikasiformal dan terutama komunikasi informal harus dikembangkan oleh semua pihakyarng terkait dalam rangka menetralisir keadaan ini. Jangan sampai kondisi "kecemburuan sosial" para Keuchik tersebut malah menjadi "api dalam sekam" yang mengakibatkan kehidupan bermasyarakat menjadi tidak harmonis dan paling tidak imbasnya adalah tidak jalannya program-program pemerintah dan pemerintah daerah yang telah dicanangkan. Untuk itu hal yang dapat dilakukan adalah dalam pembuatan Surat Keputusan Bupati atau PeraturanDaerah yang mengatur Lembaga Mukim ini, kewenangan dad Mukirn dan desa/kelurahan harus dipertegas kembali sehingga batas batas apa yangmenjadi kewenangan Mukim dan desa/kelurahan menjadi jelas.Disamping itu, yang perlu diingat adalahbahwa Lembaga Mukim merupakan koordinator desa/kelurahan dalam lingkup Kemukiman. Adapun pelaksanaan tugas-tugas pembangunan dan kemasyarakatan tetap berada di pundak kepala desa/kelurahan.
Selain itu, yang perlu disadari adalah bahwa pembangunan sebuah lembaga sebagai perubahan sosial yang direncanakan sebaiknya mewakili kekuatan-kekuatan pembaharuan di dalam masyarakat. Tetapi pada akhimya supaya perubahan itu mempuryai kemampuan berkembang yang dinamis menurut Tjokroamidjojo (1987) perlulah proses tersebut didukung oleh kekuatankekuatan. Jadi pembangunan lembaga merupakan kegiatan yang beriaras ganda. Para pengantar perubahan harus membangun organisasi yang secara teknis dapat hidup terus dan efektif secara sosial dan dapat menjadi wahana bagi inovasi serta mengelola hubunganhubungan dengan organisasi dan kelompok lain yang mengandalkan dirinya untuk kelengkapan dan dukungan perilaku yang berusaha dipengaruhinya. Untuk kepentingan tersebut, dalam rangka penataan kembaga Lembaga Mukim, maka peran serta kepala desa/kelurahan (Keuchik) dalam proses penataan Lembaga Mukim harus mendapat perhatian disamping harus adanya kewenangan yang jelas antara Lembaga Mukim dan Gampong.
Kendala lainnya berupa masih rendahnya tingkat pendidikan lmeum Mukim. Jika diperhatikan data pada tabel 4 menunjukkan bahwa 62 orang (91,18%) Imeum Mukim berpendidikan SLTA Sederajat ke bawah, bahkan 17 (25%) berpendidikan SD Sederajat. Kondisi ini menunjukkan kualitas sumber daya aparatur Lembaga Mukim di Kabupaten Aceh Besar masih kurang, padahal menurut Sugiyanta (2002) untuk mencapai derajat pembangunan lembaga, salah satu faktor yang periu diperhatikan adalah faktor sumbedaya yang didalamnya termasuk sumberdaya manusia harus dapat diandalkan. Hal ini tentunya akan menjadi kendala dalam hal menterjemahkan instruksi maupun kebijakan-kebijakan lainnya yang datang daripemerintah tingkat atasnya, sehingga kesalahan dalam implementasi kebijakan tersebut kemungkinan besar terjadi. Akan tetapi jika dilihat dari tingkat pendidikan Sekretaris Mukim (tabel 5) menunjukkan keadaan yang sebaliknya, yaitu sebagian besar (TI,84%) berpendidikan SLTA Sederajat ke atas, bahkan 32,25% berpendidikan sarjana dan pascasarjana. Kondisi ini tentunya akan menjadi penyeimbang dari tingkat pendidikan lmeum Mukim yang rendah. Akan tetapi peningkatan kualitas dari para Imeum Mukim ini harus dilakukan dengan lebih mengintensifkan program diklat yang langsung berhubungan dengan tugas dan wewenang dari para Imeum Mukim dengan tidak mengesampingkan keikutsertaan dari Sekretaris Mukim. Penelitian ini mendukunq penelitiarr Ibrahim (1994) yang menemukan bahwa rendahnya pendidikan Imeum Mukim telah menjadi kendala dalam menjalankan fungsi Lembaga Mukim. Kemudian untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang tinggi terhadap pembangunan desa, perlu perhatian pemerintah untuk meningkatkan sarana dan fasilitas pemerintahan desa termasuk Lembaga Mukim serta membekali mereka dengan berbagai pengetahuan tentang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan dengan mengadakan suatu diklat yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah. Sehingga diharapkan dalam menjalankan tugas dan fungsinya mereka secara optimal.
Hal lain yang dapat dianalisis dari tingkat pendidikan Imeum Mukim adalah bahwa sebanyak 17 orang (25%) berperpendidikan SD Sederajat. Hal ini tentunya bertentangan dengan Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 tetang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam khususnya pasal 7 ayat (c) yang menyebutkan bahwa "berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat pertama (SLTP) atau berpengetahuan yang sederajat'. Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah bahwa seseorang yang dipilih dan diangkat sebagai Imeum Mukim adalah mereka-mereka yang mengerti dan memahami serta menjalankan Syariat Islam. Ketentuan ini bertaku sejak Waktunya tata pemerintahan Mukim sejak jaman Kesultanan Aceh sehingga masyarakat sendiri tidak berani mengubahnya. Hal berkaitan dengan adat dan semboyan yang dipegang teguh oleh masyarakat Aceh bahwa "adat bak po teu meureuhom, hukom bak syiah kuala, Qanun bak patroe phang, reusam bak laksamana, hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut" (adat dari sultan (pemerintah), hukum (Syariat Islam) dari ulama, Qanun dari putri pahang, reusam dari laksamana, hukum dan adat seperti zat dengan sifat). Jadi menurut penulis wajar jika dalam pemilihan Imeum Mukim, masyarakat tidak terlalu memperhatikan tingkat pendidikan Imeum Mukim, yang menjadi perhatian utama masyarakat adalah tingkat pemahaman dan pengamalan dari Syariat Islam itu sendiri yang menjadi ukuran utama.
Penutup. Kesimpulan
Berangkat dari keseluruhan pembahasan pada bab sebelumnya, maka pada bab ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
a. Proses penataan Lembaga Mukim berdasarkan Peraturan Daerah (Qanun) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 telah mengikuti proses penataan sebagaimana disampaikan oleh French, yang meliputi beberapa komponen yakni diagnosis terhadap masalah, pelaksanaan dan proses pemeliharaan, dimana menuntut peran aktif dad masyarakat. Mekanisme pelaksanaan pembentukan, penghapusan dan atau penggabungan Mukim, mulai dari usul Imeum Mukim melalui Camat atas prakarsa masyarakat setelah mendapatkan persetujuan Camat sampai dengan penetapannya dengan Keputusan Bupati setelah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten.
b. Mekanisme penataan Lembaga Mukim sesuai dengan Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003, menuntut peran aktif dari masyarakat. Mekanisme pelaksanaan pembentukan, penghapusan dan atau

penggabungan Mukim, mulai dari usul Imeum Mukim melalui Camat atas prakarsa masyarakat setelah mendapatkan persetujuan Camat sampai dengan penetapannya dengan Keputusan Bupati setelah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten.
c. Hasil penataan Lembaga Mukim khususnya di Kabupaten Aceh Besar telah melegalkan dan memfungsikan kembali 68 Lembaga Mukim yang tersebar di 22 kecamatan dimana lembaga ini sudah ada sejak jaman Kesultanan Aceh dan diakui oleh masyarakat Aceh sampai saat ini.
d. Faktor pendukung penataan Lembaga Mukim di Kabupaten Aceh Besar adalah dukungan yang kuat masyarakat Aceh pada umumnya dan masyarakat Kabupaten Aceh Besar pada khususnya untuk mengangkat dan memfungsikan kembali adat berupa Lembaga Mukim yang merupakan warisan leluhur masyarakat Aceh dan adanya peraturan perundangundangan yang merupakan legal formal penataan kembali Lembaga Mukim, yaitu Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Peraturan Daerah (Qanun) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
e. Faktor Penghambat dalam penataan Lembaga Mukim di Kabupaten Aceh Besar adalah:

1). Keamanan merupakan faktor penghambat dalam penataan Lembaga Mukim di kabupaten Aceh Besar. Kondisi keamanan yang belum stabil belum memungkinkan pemerintah dan pemerintah daerah untuk dapat mengoptimalkan program-program kerjanya.
2). Sejak diundangkannya Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada 15 Juli 2003, sampai dengan penelitian ini dilakukan, khususnya di Kabupaten Aceh Besar, belum ada aturan pelaksanaan dari Peratuan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003, baik dalam bentuk Keputusan Bupati ataupun Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Besar sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Daerah (Qanun) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 pasal 15, 16 dan 17). 3). Hambatan politis yang bersifat ekstem berupa masih diberikannya status Darurat Militer (DM) kepada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam membuat pengkomunikasian program pembangunan dan kemasyarakatan tidak lancar. Adapun hambatan politis yang bersifat intern adalah adanyabeberapa kepala desa Keuchik) yang tidak menginginkanditatanya kembali LembagaMukim karena faktor "cemburu". 4). Kendala lainnya benipa masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia, dimana tingkat pendidikan Imeum Mukim menunjukkan bahwa 62 orang (91,18%) lmeum Mukim berpendidikan SLTA Sederajat ke bawah dan terdapat 17 orang (25%) berpendidikan SD Sederajat, dimana tingkat pendidikan tersebut tidak sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh perundangan.
Pendidikan seorang Imeum Mukim minimal SLTP Sederajat (pasal 7 ayat (c) Peraturan Daerah (Qanun) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Saran-saran
a. Pemerintah Kabupaten Aceh Besar mempertegas kembali kedudukan dan wewenang dari Lembaga Mukim sehingga tidak tumpang tindih dengan tugas dan kewenangan dari Gampong dengan menerbitkan Surat Keputusan Bupati atau Peraturan Daerah (qanun) yang mengatur tentang keduanya. Selain itu, beberapa peraturan pelaksana Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 tahun 2003 seperti diamanatkan pada pasal 15, 16 dan pasal 17 juga harus segera diundangkan.
b. Pernerintah Kabupaten Aceh Besar bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) membuat peraturan daerah (Qanun) berkenaan dengan : (1). Tata cara pembentukan, pemekaran dan penggabungan atau penghapusan Mukim, dan; (2). Mekanisme pelaksanaan pembentukan, pemekaran dan penggabungan atau penghapusan Mukim, mulai dari usulan Imeum Mukim melalui Camat atas prakarsa masyarakat setelah mendapatkan persetujuan Camat sampai dengan penetapannya dengan Keputusan Bupati atau Walikota setelah mendapatkan persetujuan DPRD,
c. Pemberlakuan Darurat Militer (DM) di Aceh diharapkan jangan bertumpu pada operasi militer saja, tetapi juga diselaraskan dengan pemulihan operasi

keamanan dan ketertiban (sistem keamanan lingkungan lokal dan pembinaan semangat kejuangan dan persatuan) serta operasi kemanusiaan (dengan pendekatan kesejahteraan), penciptaan rasa aman serta keteriiban sosial bagi masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sehingga ketraumaan masyarakat terhadap pemberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) sebelumnya dapat terkurangi dan antipati masyarakat yang sudah ada sebelumnya dapat terkurangi sehingga menjadi mendukung terhadap program-program yang ditetapkan pemerintah dan pemerintah daerah. Dengan kondisi yang kondusif itu pula, maka pengkomunikasian program-program pemerintah dan pemerintah daerah dapat dilakukan. Lebih lagi proses penataan kembali Lembaga Mukim separti yang diharapkan oleh masyarakat akan dapat segera direalisir,
d. Pemahaman tentang penataankembali Lembaga Mukim yangmerupakan warisan leluhur Acehtersebut juga harus diberikan kepada para kepala desa (Keuchik) agar dapat mendukung terhadap upaya penataanLembaga Mukim tersebut.
e. Perlunya diberikan pendidikan danpelatihan kepada para Imeum Mukim (khususnya yangberpendidikan rendah) berkenaan dengan pengetahuan tentang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan dengan mengadakan suatu diklat yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah serta bersifat on the job training. Sehingga diharapkan dalam menjalankan tugas dan fungsinya lebih optimal.

DAFTAR PUSTAKA
Femandez, Johanes, 1992. Mencari Bentuk Otonomi Daerah dan Upaya Memacu Pembangunan Regional dimasa depan, dalam Jurnal llmu-ilmu Sosial, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
French, Wendell and Cecil H. Bell, Jr, 1990. Organization Development : Behavioral Science Interventions for Organization Improvement, Prentice hall inc, Englewood Cliffs, Jersey.
Gupta, 2003. Note on Institution Building, Www. Yahoo. CoMSearctt Instit Building
Hossein, Benyamin, 1998. Otonomi Daerah dan Pernerintah Daarah : Tiruan Teoritik. Dalam Siti Zahro Pemerintah Dareah dan Otonomi Daerah di Indonesia, Thailand dan Pakistan. PPW-LIPI, Jakarta.
Ibrahim, Syafei, 1994. Hubungan Kepemimpinan lmuem Mukim dengan Kinerja Kepala Desa di Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar, Tesis Pascasarjana, Unpad, Bandung.
Indra Wijaya, Adam I. 1989. Perubahan dan Perx gembangan Organisasi, Sinar baru, Bandung.
Ismani, HP, 1996. Administrasi Negara, Etos Kerja, dan Birokrasi. Malang : FIA Unibraw dan IKIP Malang.
Jarjis, Kahirul, 1999. Gampak Birokrasi Modem terhadap Otoritas Tradisional dalam Masyarakat Minangkabau, Tesis Pacasarjana, Unhas, Ujung pandang.
Juliantara, Dadang, 2000. Anus Bawah Demokrasi, Otonomi dan Pemberdayaan Desa, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta.
Kaho, Josef RW I, 1997. ProspekOtonomi Daerah di NegaraRepublik Indonesia, RajawaliPres, Jakarta. tClel(berg,
Fransesco, 1995. The Changing Values of local Gov+emment Annals, AAPS, 540, July, 1995. American Academy.
Maschab, Mashuri, 1993. Identifikasi Masalah Pelaksanaan Pemerintahan Desa Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun1979, Laporan Penelitian Fakultas Ilmu Sosial Politik, UGM, Yogyakarta.
Miles, Mathew dan Huberman, Michel, 1992. Analisa Data Kualihatif, U! Press, Jakarta.
Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi PeneJitian Kualitatif, Remaja Rosda, Bandung.


Nasution, 1998. Metode penelitianNaturalistik -Kualitatif, UI Press, Jakarta. .

Putra, Fadilah, 1999. Devolusi ; Politik Desentralisasi sebagai Media rekonsiliasi Ketegangan Politik negara -Rakyat.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Tjokroamidjojo, Bintoro, 1987, Perencanaan Pembangunan, CV. Haji Masagung, Jakarta.
Ya'cub, Andi. 1998. Elit Lokal dan Orde Baru Suatu Studi tentang Respon Elit Bugis te(terhadap Diskursus Polnk Orde &. Tesis Program Pascasarjana, Universitas Airiangga, Surabaya.
Undang-undang Dasar 1945.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pernerintahan Desa.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 Tentang PembentukanPropvinsi Daerah Istimewa Aceh.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang PemerintahanDaerah.
Undang undang 25 Tahun 1999 Tentang PerimbanganKeuangan Daerah.
Undang Undang 32 tahun 2001 Tentang OtonomiDaerah.
Undang undang 33 tahun 2001 Tentang Perimbangankeuangan pusat dan daerah
Undang-undang 44 tahun 1999 Tentang PenyelenggaaraanKeistimewaan Aceh.
Undang-undang Nomor 18 Tahun2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi DaerahIstimewa Aceh Sebagai Nanggroe Aceh Darussalam.
Peraturan Keresidenan Aceh Nomor 2 Tahun 1946 TentangOrganisasi Pemerintahan di Daerah Istimewa Aceh.
Peraturan Keresidenan Aceh Nomor 3 Tahun 1946 Tentang Penetapan Batas Wilayahdan Kepala Wilayah.
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 1990 Tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat lstiadat, Kebiasaankebiasaan Masyarakat beserta Lembaga Adat di Pravinsi Daerah Istimewa Aceh.
Peraturan Daerah (Qanun) PropinsiNanggroe Aceh Darussal!am Nomor 4 tahun 2003 tentangPemerintahan Mukim dalam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Aceh Besar Nomor 1 Tahun 1977 Tentang Organisasi Pernerintah di Daerah Pedesaan Aceh Besar.

0 comments: