Saturday 22 March 2008

PERAN LEMBAGA INFORMASI NASIONAL DI BAWAH TEKANAN GLOBALISASI DAN TUNTUTAN REFORMASI

PERAN LEMBAGA INFORMASI NASIONAL DI BAWAH TEKANAN GLOBALISASI DAN TUNTUTAN REFORMASI
Oleh: Nasikun
“The challenge to journalistic rights and responsibilities is whether they are capable of being the platform to affirm positive social values. Public and political processes will interact in unpredictable ways, but journalism must be a beacon for the seekers of reform” (Wimar Witoelar, 1997: 160).
1. Pengantar.
Ada dua cara untuk melakukan fungsi penerangan atau jurnalisme yang efektif bagi pembangunan dan perubahan sosial. Yang pertama dapat dilakukan dengan cara “menipu” publik atau masyarakat dengan menyediakan dan memberikan informasi-informasi yang subyektif, sepihak, tidak adil, dan tidak benar. Itulah cara yang pernah dituduhkan publik atau masyarakat telah dilakukan oleh pemerintah (baca: Departemen Penerangan Republik Indonesia) sepanjang era pemerintahan Orde Baru, ketika pohon beringin itu masih berdiri kokoh. Yang kedua dapat dilakukan dengan cara memberdayakan publik atau masyarakat melalui penyediaan dan pemberian informasi-informasi yang obyektif, seimbang, adil, dan benar. Itulah yang diharapkan oleh publik atau masyarakat harus dilakukan oleh Lembaga Informasi Nasional (LIN) yang dibentuk untuk menggantikan peran Departemen Penerangan Republik Indonesia di era reformasi, sesudah pohon beringin itu tumbang. Untuk memahami bagaimana cara yang kedua akan menjadikan LIN sebagai instrumen perubahan dan reformasi, kita hanya perlu memahami notasi berikut ini: bahwa memberikan informasi sama artinya dengan memberikan pengetahuan, dan memberikan pengetahuan sama maknanya dengan memberikan kekuasaan. Tidak pelak lagi, itulah peran yang harus diwujudkan oleh LIN di masa mendatang jikalau ia benar-benar ingin menjadikan dirinya sebagai agen perubahan dan reformasi. Menggunakan kembali cara-cara yang selama ini dilakukan oleh Departemen Penerangan Republik Indonesia sebaliknya hanya akan mengulang kembali sejarah
*). Ditulis kembali dengan perbaikan dan penyesuaian dari makalah yang pernah disampaikan pada Pertemuan Ilmiah IV Badan Penelitian dan Pengembangan Penerangan, Departemen Penerangan Republik Indonesia di Yogayakarta, 26-30 Juli 1999.
hitam fungsi penerangan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Melakukan jurnalisme seperti yang dilakukan oleh pendahulunya hanya akan membuat LIN kehilangan maknanya di era reformasi sebagai institusi negara (baca: pemerintah) yang memperoleh mandat untuk memberikan pelayanan informasi bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia.
Akan tetapi bagaimana kita harus menjelaskan mengapa di era pemerintahan Orde Baru Departemen Penerangan Republik Indonesia harus melakukan jurnalisme yang subyektif, sepihak, tidak adil, dan tidak benar? Bagaimana peran itu harus diungkapkan di dalam dunia kehidupan pers yang nyata kala itu di bawah tekanan kekuasaan otoriterianisme rejim pemerintahan presiden Suharto? Bagaimana kini kita harus mentransformasikan peran LIN sebagai pengganti atau pewaris Departemen Penerangan Republik Indonesia dari perannya sebagai instrumen kekuasaan menjadi instrumen liberasi dan pemberdayaan masyarakat? Isu-isu dan program-program apa saja yang harus menjadi orientasi kerja LIN di masa mendatang menghadapi tekanan globalisasi dan tuntutan reformasi? Bagaimana konflik-konflik kepentingan akan informasi dari beragam lapisan, kelas, dan kelompok masyarakat harus dijembatani dan dipertemukan? Bagaimana pula konflik-konflik kepentingan akan informasi diantara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus diserasikan dan didamaikan? Di hadapan semua itu, bagaimana LIN harus merumuskan isu-isu kebijakan dan agenda kegiatannya?
Itulah beberapa pertanyaan sangat strategis yang harus dihadapi dan dijawab oleh LIN di era reformasi. Itulah pula pertanyaan-pertanyaan yang akan menjadi fokus pergumulan penyajian tulisan singkat ini. Meskipun demikian tulisan singkat ini sama sekali tidak mempunyai pritensi akan dapat menjawab semua pertanyaan itu dengan seksama, apalagi secara mendalam. Tulisan ini hanya dimaksudkan sebagai eksplorasi awal untuk mengungkapkan dan mengidentifikasi rimba raya isu-isu dan agenda program-program kegiatan yang akan dihadapi oleh dan merupakan tantangan bagi LIN di masa mendatang. Penyajian ini akan dimulai dengan pembahasan singkat mengenai fungsi penerangan publik di dalam sistem politik Orde Baru. Penyajian itu penting untuk menemukan titik masuk yang tepat bagi LIN di dalam upayanya untuk melakukan reformasi atas fungsi dan peran dirinya sebagai pewaris, jikalau bukan emanasi dari Departemen Penerangan Republik Indonesia: paradigmanya, wawasannya, dan agenda kerjanya menghadapi tekanan globalisasi dan tuntutan era reformasi. Sesudah itu berturut-turut akan disampaikan penyajian tentang globalisasi industri informasi dan runtuhnya iklim publik dan relevansi peran dan fungsi LIN bagi penguatan iklim publik, sebelum seluruh penyajian tulisan ini akan ditutup dengan pembahasan sangat singkat mengenai agenda program-program dan kegiatan LIN memasuki era reformasi di awal millenium ketiga yang baru saja kita masuki.
2. Fungsi Penerangan di Era Pemerintahan Orde Baru.
Untuk memahami dengan baik fungsi penerangan di era pemerintahan Orde Baru kita perlu memahami bagaimana sistem politik Orde Baru membangun dan melegitimasikan kekuasaannya. Mereka yang sedikit saja memiliki kemampuan “imajinasi sosiologis” akan segera memahami bagaimana sistem politik Orde Baru secara sangat sistematis membangun dan melegitimasikan kekuasaannya melalui perkawinan antara pendekatan Althuserian dan pendekatan Gramscian. Seperti yang dapat kita baca di dalam esseinya yang sangat terkenal, Ideology and Ideological Apparatus (Lechte, 1994: 40), Althuser mengungkapkan bagaimana negara dapat dipahami sebagai terdiri atas dan membangun serta melegitimasikan kekuasaannya melalui sejumlah “aparatus ideologis negara” (state ideological apparatus) dan “aparatus represif negara” (state represive apparatus). Diantara aparatus-aparatus ideologis negara yang paling penting kita dapat menemukannya berupa lembaga-lemaga atau institusi-institusi keagamaan, pendidikan, hukum, keluarga, dan partai politik, sementara kita dapat menemukan aparatus-aparatus represif negara dalam bentuk lembaga-lembaga militer, polisi, penjara, dan lain-lain. Gramsci (dalam Joseph V. Femia, 1987) menguatkan tesis Althuser lebih jauh dengan menyatakan di dalam teorinya tentang hegemoni, bahwa kekuasaan negara pada umumnya dibangun melalui kombinasi antara penguasaan “alat-alat produksi material” (material means of production) dan “alat-alat produksi mental” (mental means of production). Gramsci melihat bahwa kelas mana pun yang berhasil membangun kekuasaannya melalui penguasaan atas alat-alat produksi material, cepat atau lambat di dalam perkembangannya akan berusaha menguatkan dan melestarikannya melalui penguasaan atas alat-alat produksi mental. Melalui semua itu pula selama lebih dari tiga dasawarsa sistem politik Orde Baru membangun dan melegitimasikan kekuasaannya.
Pertanyaannya adalah ini: di mana selama ini tempat Departemen Penerangan Republik Indonesia berdiri di dalam sistem politik Orde Baru. Tidak pelak lagi, bersama-sama dengan lembaga-lembaga dan instansi-instansi yang lain, di dalam sistem politik Orde Baru selama ini Departemen Penerangan Republik Indonesia diposisikan sebagai aparatus ideologis negara untuk membangun dan melegitimasikan kekuasaan negara melalui produksi dan distribusi informasi-informasi yang bersifat subyektif, sepihak, tidak adil, dan tidak benar. Subyektif dan sepihak, oleh karena informasi-informasi itu hanya diproduksi dan didistribusikan dengan bias subyektif pada perspektif dan kepentingan-kepentingan pemegang kekuasaan negara untuk menghegemoni kesadaran masyarakat: antara lain, melalui pembangunan mitos-mitos bahwa negara merupakan otoritas tunggal yang merupakan sumber dari semua otoritas yang lain; bahwa presiden adalah mandataris MPR dan oleh karena itu semua pikiran dan tindakannya nengungkapkan pikiran dan tindakan rakyat; dan bahwa GOLKAR adalah partai pemerintah dan oleh karena itu rakyat wajib mensukseskan PEMILU dengan cara memilih GOLKAR. Tidak adil dan tidak benar, oleh karena produksi dan distribusi informasi oleh negara (baca: Departemen Penerangan Republik Indonesia) dilakukan dengan cara tidak akurat dan dengan sengaja menyembunyikan perspektif dan kepentingan pemegang kekuasaan negara (Krisna Sen, 1997). Lebih dari itu, disamping posisinya sebagai aparatus ideologis negara sepanjang era pemerintahan Orde Baru Departemen Penerangan Republik Indonesia juga memainkan peran sebagai aparatus represif negara. Untuk memahami dengan lebih seksama bagaimana Departemen Penerangan Republik Indonesia memainkan perannya yang kedua itu, ada baiknya kita melihat sejenak bagaimana kekuasaan politik Orde Baru berawal dan bekerja.
Seperti sudah berulang kali saya sampaikan pada berbagai kesempatan, lahir dari fondasi suatu sistem "politik kesukuan" (ethnic politics) dari suatu masyarakat bekas jajahan yang memiliki konfigurasi struktur sosial yang bersifat majemuk ketika ekspansi kapitalisme internasional melalui pengalihan organisasi produksi dari negara-negara maju terjadi pada awal kelahirannya, dinamika perkembangan sistem politik Orde Baru sangat kuat ditandai oleh perkawinan antara elemen-elemen dari suatu sistem politik "birokratik otoriterian" dan sistem politik "korporatik" (baca Jackson, 1978; King (1979; dan Mohtar Mas’oed, 1993). Sebagai suatu sistem politik birokratik otoriterian sistem politik Orde Baru sangat kuat ditandai oleh konsentrasi kekuasaan dan partisipasi politik di dalam pengambilan keputusan-keputusan nasional hampir sepenuhnya berada di tangan penguasa negara di bawah pimpinan suatu tripartit kelompok birokrat, kelompok militer, dan kelompok wiraswastawan oligopolistik, yang bersama-sama dengan pemerintah bekerjasama dengan masyarakat bisnis internasional. Demikian kokohnya struktur dan mekanisme kerja tripartit yang mengendalikan sistem politik Orde Baru, dengan peran sangat dominan dari sistem keamanan pada tingkat nasional, regional dan lokal, serta kuatnya posisi kantor presiden, sehingga William Liddle (dalam Uhlin, 1975: 74) menggambarkan sistem politik Orde Baru nyaris bekerja menyerupai sistem politik Uni Soviet sebelum kejatuhannya. Di dalam paralel dengan sistem politik Uni Soviet, William Liddle melihat di dalam sistem politik Orde Baru selama ini, bersama dan melalui GOLKAR, ABRI memainkan peran yang sangat mirip dengan peran yang dimainkan oleh Partai Komunis Uni Soviet (PKUS), sementara presiden Suharto memainkan peran seperti yang dimainkan oleh Sekretaris Jendral Partai Komunis Uni Soviet. Bedanya, dan ini lah kelebihan dari sistem politik Orde Baru dari sistem politik Uni Soviet, jikalau kedudukan Sekretaris Jendral Partai Komunis Uni Soviet silih berganti dipegang oleh beberapa orang yang berbeda, sebaliknya sejak kelahiran sampai dengan kejatuhan sistem politik Orde Baru kedudukan presiden Suharto tidak pernah mengalami pergantian.
Dalam pada itu, sebagai suatu sistem politik korporatik sistem politik Orde Baru masih dilengkapi dengan sejumlah elemennya yang unik: (1) proses politik terutama digerakkan melalui suatu struktur dan mekanisme perwakilan kepentingan-kepentingan yang bersifat korporatik melalui pembentukan kelompok-kelompok korporatik hampir di semua sektor kehidupan masyarakat Indonesia (a.l., KORPRI, KADIN, IKADIN, SPSI, KOSGORO, SOKSI, MKGR, KNPI, PP, FKPPI, KONI, MUI, dll.) sebagai instrumen mobilisasi dukungan politik dan rekrutmen elit; (2) proses itu dilakukan bersamaan dengan proses depolitisasi atau pembatasan politik massa rakyat melalui kebijakan "massa mengambang"; dan (3) arena politik hanya dibuka bagi kekuatan-kekuatan politik pada lapisan elit di lingkungan organnisasi-organisasi korporatik (terutama yang berada di bawah naungan GOLKAR dan militer). Premis dasar yang mendasari semua itu adalah penolakan pandangan liberal bahwa perbedaan-perbedaan kepentingan dapat dipecahkan melalui konflik-konflik yang dilembagakan melalui berbagai kelompok dan perwakilan mereka. Menurut premis ini, korporatisme pada dasarnya merupakan perwujudan dari upaya untuk menekan pertentangan-pertentangan kelas atau kelompok-kelompok kepentingan melalui pembentukan organisasi-organisasi korporatik untuk mencapai dua tujuan berikut: (1) untuk memelihara harmoni, solidaritas, dan kerjasama antara penguasa negara dan massa rakyat; dan (2) untuk menciptakan iklim yang memungkinkan penguasa negara memiliki pengaruh yang langsung dan besar di dalam proses politik (Mohtar Masoed, 1993; baca juga Nasikun, 2000).
Di dalam konteks bekerjanya sistem politik Orde Baru yang demikian itu lah peran Departemen Penerangan Republik Indonesia sebagai aparatus represif negara harus dipahami. Dengan semua itu maka lengkaplah sudah paradoks kehidupan pers di Indonesia di bawah rejim pemerintahan Orde Baru. Bagaimana mungkin pendakuan rejim pemerintah Orde Baru kala itu bahwa Indonesia menganut pers yang bebas dan bertanggungjawab dapat diterima oleh akal sehat, misalnya, ketika yang sesungguhnya terjadi tidaklah lebih dari sebuah realitas ideal daripada sebagai sebuah kenyataan faktual yang sungguh-sungguh hidup? Bagaimana mungkin dunia pers yang bebas dan bertanggungjawab dapat berkembang, ketika ia harus diselenggarakan di hadapan keharusan adanya hanya satu organisasi insan pers yang tunggal? Bagaimana mungkin kebebasan pers dapat berkembang, jikalau kebebasan yang dimaksud ternyata hanya berlaku untuk mengungkapkan perspektif dan kepentingan-kepentingan penguasa negara? Bagaimana mungkin pula sebuah kehidupan pers yang bebas dan bertanggungjawab dapat berkembang di bawah operasi lembaga “sencorship” yang sangat keras dari aparatus represif negara? Bagaimana mungkin sebuah dunia pers yang bebas dan bertanggungjawab dapat berkembang, jikalau surat kabar, majalah, dan penerbitan-penerbitan lain yang menurut Undang-Undang dijamin keabsyahan dan legitimasinya, dan di hadapan mata publik dianggap sebagai pengungkapan perspektif dan kepentingan-kepentingan mereka, ternyata setiap saat dengan mudah dapat dilarang peredarannya? Lebih dari semua itu, bagaimana mungkin suatu kehidupan pers yang bebas dan bertanggungjawab dapat berkembang, jikalau ketika pertanggungjawaban itu hendak disampaikan kepada masyarakat, cengkeraman tangan-tangan kekuasaan negara melalui peran Departemen Penerangan ternyata dengan mudah dapat mengakibatkan SIUP suatu surat kabar, majalah, atau berbagai bentuk penerbitan yang lain dapat dicabut tanpa melalui proses peradilan?
Itulah sebagian diantara kenyataan-kenyataan dan pertanyaan-pertanyaan yang kita saksikan sangat hidup sepanjang era pemerintahan Orde Baru. Memang, kita harus mengakui bahwa di sepanjang era pemerintahan Orde Baru sesekali kita dapat pula menghirup udara kebebasan di dalam kehidupan pers, akan tetapi kehadirannya naik dan turun bukan oleh karena tuntutan dinamika perkembangan masyarakat melainkan oleh karena dinamika perubahan kepentingan-kepentingan pemegang kekuasaan negara. Sebut, misalnya, kenyataan-kenyataan berikut ini. Kelahiran beberapa televisi swasta di Indonesia kala itu, yang di atas permukaan memang tampaknya membawa udara kebebasan kehidupan dunia pers, akan tetapi tanpa perlu melakukan penelitian yang mendalam kita akan segera dapat memahami bagaimana semua stasiun televisi swasta itu lebih merupakan kepanjangan tangan dari kepentingan-kepentingan pemegang kekuasaan negara pula daripada sebagai pengungkapan perspektif dan kepentingan-kepentingan masyarakat (Krisna Sen, 1997). Perhatikan pula kelahiran majalah-majalah dan/atau surat kabar-surat kabar baru menyusul pencabutan SIUP beberapa majalah atau surat kabar, dan kita akan segera menemukan kenyataan bahwa yang sesungguhnya tejadi di hadapan kita adalah kelahiran kembali majalah dan/atau surat kabar lama dengan pengelolaan oleh sebagian atau seluruh pemilik dan anggota dewan redaksi lama, yang kebijakan-kebijakannya kini berada di bawah intervensi dan pengendalian pemegang kekuasaan negara. Lebih dari semua itu, perhatikan pula peristiwa penangkapan dan pemenjaraan beberapa orang wartawan yang terlalu berani mengungkapkan dan menyampaikan informasi yang obyektif kepada masyarakat, dan kita akan benar-benar menemukan kesulitan untuk memahami bahwa kehidupan pers kita sunguh-sungguh merupakan suatu kehidupan pers yang bebas dan bertanggungjawab.
3. Globalisasi Industri Informasi dan Runtuhnya Iklim Publik
Jadi, bagaimana fungsi pelayanan penerangan publik di era reformasi di masa mendatang seharusnya dilakukan, sesudah pohon beringin Orde Baru itu tumbang, dan ketika tuntutan akan demokratisasi di semua sektor kehidupan harus diakomodasi?
Menyerahkannya secara total kepada tuntutan dinamika masyarakat? Dengan kata lain, menyerahkan pengendalian total fungsi pelayanan penerangan publik yang selama ini berada di tangan negara kepada pengendalian oleh institusi-institusi swasta, dan dengan demikian peran negara hanya diperlukan untuk mengatur perijinan dan persaingan bisnis penyiaran? Jawaban atas pertanyaan itu ternyata tidak segampang seperti yang dibayangkan oleh banyak orang. Sumbernya berada sangat mendasar di dalam perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang akan terjadi di dalam organisasi dan struktur masyarakat, khususnya di dalam organisasi dan struktur industri informasi di era globalisasi informasi yang akan datang, ketika tuntutan-tuntutan reformasi untuk melakukan demokratisasi kehidupan pers harus diwujudkan.
Seperti sudah beberapa kali saya sampaikan dalam berbagai kesempatan pula (baca: a.l., Nasikun, 2002), belajar dari analisis Schiller (Webster, 1995) tentang pengalaman masyarakat industri maju, misalnya, di tengah era globalisasi informasi di awal millenium yang baru saja kita masuki, saya melihat peluang sangat besar akan hadirnya tiga ragam perubahan organisasi dan struktur masyarakat kita yang sangat problematis, yang di masa sebelum krisis pun sebenarnya sudah hadir cukup nyata di depan mata publik. Pertama, di era globalisasi informasi maka perkembangan informasi dan semua konsekuensi yang ditimbulkannya akan semakin bergeser dari perkembangan yang dikendalikan oleh kriteria-kriteria dan kekuatan-kekuatan politik menuju pada perkembangan yang dikendalikan oleh kriteria-kriteria dan kekuatan-kekuatan pasar. Dengan kata lain, inovasi-inovasi informasi dan komunikasi, yang akan menjadi kekuatan pendorong sangat penting bagi dinamika masyarakat kita di masa mendatang, akan berkembang semakin dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan pasar di dalam pembelian, penjualan, dan perdagangan untuk alasan keuntungan. Sentralitas prinsip-prinsip pasar di dalam ketiga kegiatan itu pada gilirannya akan menghasilkan terjadinya “komodifikasi” informasi, dan dengan demikian hanya akan menjamin ketersediaan informasi sejauh ia menghasilkan keuntungan; dan bagi para pengguna informasi, hanya dapat diperoleh sejauh mereka mampu membelinya. Kedua, globalisasi informasi akan mengakibatkan masyarakat dan ekonomi kita menjadi sebuah “corporate capitalism”, suatu sistem kapitalisme yang akan semakin didominasi oleh institusi-institusi korporatis di dalam bentuk organisasi-organsisasi bisnis oligopolitistis dan/atau monopolistis yang semakin jauh mengendalikan jangkauan nasional dan internasional mereka. Ketiga, dan yang tidak kalah pentingnya, sebagai hasil dari keduanya kesenjangan kelas (class inequality) akan semakin menguasai dinamika perkembangan masyarakat dan ekonomi kita di masa mendatang. Kelas, misalnya, akan semakin menentukan siapa yang akan memepeoleh seberapa banyak dan jenis informasi macam apa beserta dengan semua konsekuensi yang ditimbulkannya. Di dalam situasi seperti itu, hanya mereka yang berada pada lapisan atas di dalam organisasi dan struktur sosial dan ekonomi yang akan memperoleh keuntungan dari perkembangan masyarakat dan perkembangan teknologi informasi.
Ketiganya, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, akan menghasilkan berputarnya pendulum dinamika perkembangan masyarakat berupa tuntutan akan kehadiran kembali kekuasaan negara untuk membangun suatu “sistem keamanan nasional” (national surveilance system), dan dengan demikian kehadiran negara untuk mengatur dan mempertahankan pengelolaan apa yang oleh Anthony Giddens (1985) disebut sebagai “sumberdaya alokatif” (perencanaan dan administrasi) dan “sumberdaya otoritatif” (kekuasaan dan pengendalian). Sistem keamanan nasional yang demikian diperlukan untuk mempertahankan eksistensi negara dari ancaman intervensi kekuatan negara lain dan dari kekuatan korporasi-korporasi ekonomi multinasional yang di hadapan persaingan global yang semakin keras juga mengembangkan sistem keamanan mereka, antara lain melalui pembangunan lembaga-lembaga “intelijen militer” dan “intelijen ekonomi” mereka dengan dukungan perkembangan teknologi informasi yang canggih. Pada saat yang sama, sistem keamanan nasional itu juga diperlukan untuk menghadapi ancaman disintegrasi nasional dari munculnya beragam kelompok kaum pembangkang (dissidents) yang, oleh karena keterikatan mereka yang semakin kuat pada jaringan kepentingan-kepentingan internasional, tidak lagi memiliki komitmen nasional yang kuat dan dengan demikian tidak mudah menundukkan diri pada otoritas negara. Pengalaman negara-negara maju, terutama Inggris dan Amerika Serikat (baca Giddens, dalam Frank Webster, ibid., 1995), memberikan contoh tipikal dari kecenderungan yang, dengan logika yang sama, akan terjadi pula di Indonesia di era globalisasi informasi di masa mendatang.
Semua perkembangan itu jelas akan menyulitkan lembaga-lembaga atau institusi-institusi pelayanan informasi publik untuk mengungkapkan tuntutan-tuntutan reformasi untuk menghadirkan kehidupan pers yang benar-benar bebas dan bertanggungjawab kepada masyarakat. Pengalaman negara-negara maju yang telah lebih dahulu memasuki era industrialisasi dan swastanisasi kehidupan pers sangat jelas mendemonstrasikan persoalan itu. Pengalaman New Zealand, misalnya, yang baru melakukan swastanisasi dunia persnya sejak pertengahan tahun 1980-an, menyajikan contoh yang sangat menarik: yakni bahwa lembaga atau institusi pelayanan informasi publik (public information broadcasting service) yang bebas dan bertanggungjawab ternyata tidak dapat berkembang baik ketika negara (baca: pemerintah) melakukan pengendalian secara total atas kehidupan pers, atau sebaliknya ketika pelaksanakan semua bentuk kebijakan pengendalian atas kehidupan pers sepenuhnya dilepaskan ke tangan institusi-institusi swasta. Melepaskan seluruh mekanisme pengendalian kehidupan pers ke tangan institusi-institusi swasta di dalam suatu sistem ekonomi pasar, seperti yang dialami New Zealand, ternyata menghasilkan struktur-struktur dan tekanan-tekanan yang sama bahayanya bagi kehidupan pers yang bebas dan bertanggungjawab dengan menyerahkan seluruh mekanisme pengendalian kehidupan pers ke tangan suatu pemerintahan yang totaliter (Tony Wilton, 1997: 96-97).
4. Relevansi Peran LIN Bagi Penguatan Iklim Publik.
Jadi, sekali lagi, belajar dari semua itu di mana sebagai pewaris Departemen Penerangan Republik Indonesia LIN seharusnya ditempatkan dan fungsi penerangan yang dimainkannya harus diungkapan di era reformasi dan globalisasi: di era kebebasan dan demokrasi, dan di tengah persaingan global yang semakin keras? Dari uraian yang sudah disampaikan di atas, jawabnya sangat jelas akan tetapi sekaligus juga problematik. Menurut hemat saya, kehadiran dan peran sebuah lembaga informasi nasional seperti yang kini harus dimainkan oleh LIN di era reformasi dan globalisasi informasi memang masih diperlukan. Meskipun demikian, tempat, peran, dan fungsi penerangan yang harus dilakukannnya akan menghadapi ketegangan-ketegangan dan kesulitan-kesulitan yang sangat dilematis oleh karena semua itu harus ditempatkan dan dimainkan di hadapan tarik-menarik diantara dua kekuatan besar: kekuatan “sentripetal” dari negara dan dunia bisnis yang seringkali bertemu untuk mengendalikan produksi dan distribusi informasi demi kepentingan-kepentingan mereka, sendiri-sendiri atau bersama-sama, dengan kekuatan “sentrifugal” untuk mengendalikan produksi, distribusi, dan penyimpanan informasi untuk merepresentasikan perspektif dan kepentingan-kepentingan publik atau masyarakat yang lebih adil. Di satu sisi, LIN harus melakukan peran dan fungsi sebagai “juru penengah” untuk menjembatani dan mendamaikan konflik-konflik kepentingan antara kekuatan dunia bisnis dan masyarakat. Pada saat yang sama, LIN tidak boleh mengambil kembali perannya seperti ketika ia masih berstatus sebagai Departemen Peneruangan Republik Indonesia sebagai representasi dari kekuasaan negara yang otoriter, jikalau bukan totaliter di hadapan kepentingan-kepentingan masyarakat. Dengan kata lain, ia sebaliknya harus tidak boleh memilih suatu kebijakan atau pendekatan untuk sepenuhnya menyerahkan mekanisme pengendalian kehidupan pers kepada bekerjanya mekanisme pasar, atau sebaliknya menyerahkannya secara total kepada genggaman tangan kekuasaan negara atau pemerintah.
Bagaimana suatu peran “middle way” diantara keduanya harus diambil dan diungkapkan? Langkah-langkah dan kebijakan-kebijakan apa saja yang perlu dilakukan untuk menjadikan revolusi informasi di era reformasi benar-benar akan dapat menjadi pintu “sorga” kebebasan dan demokrasi? Tidak cukupkah kita berharap dari komitmen para ahli dan pengguna teknologi komunikasi pada etika komunikasi? Menurut hemat saya, untuk melakukan peran itu kita jelas tidak dapat hanya berharap dari bekerjanya etika komunikasi. Sayangnya, bangsa Indonesia sudah terlalu banyak diindoktrinasi untuk terlalu mempercayai kekuatan etika komunikasi sebagai solusi paling handal untuk menyelesaikan masalah-masalah yang sumbernya sesungguhnya berakar sangat dalam di dalam struktur industri komunikasi yang mengendalikan produksi dan distribusi informasi. Maka kini perkenankan saya, sebelum menutup penyajian ini dengan pembicaraan tentang isu-isu dan agenda kegiatan LIN, lebih dahulu berbicara tentang kebijakan penguatan institusi-institusi publik di dalam kehidupan pers kita sebagai solusi alternatif yang lebih dapat diterima oleh akal sehat bagi pembangunan kehidupan pers yang bebas dan bertanggungjawab, meskipun realisasi mereka boleh jadi memang tidak gampang diwujudkan. Diantara institusi-institusi paling strategis yang perlu diberdayakan untuk membangun kehidupan pers yang bebas dan bertanggungjawab tentu saja adalah institusi-institusi yang berkaitan dengan produksi, distribusi, dan penyimpanan informasi. Yang pertama menyangkut penguatan institusi pelayanan penyiaran informasi publik (public service broadcasting). Penguatan dan pemberdayaan jaringan radio dan televisi pemerintah menjadi suatu jaringan radio dan televisi yang benar-benar independen dari intervensi negara dan dunia bisnis merupakan langkah dan kebijakan pertama dan paling penting yang harus diambil oleh LIN di era reformasi dan globalisasi mendatang. Tipe ideal yang menjadi orientasinya dapat dipilih, misalnya, diantara pengembangan jaringan radio televisi pemerintah yang memiliki kualitas seperti yang dimiliki oleh BBC (British Broadcasting Corporation) di Inggris, yang meskipun sebagian sangat besar dana operasinya berasal dari pemerintah Inggris akan tetapi tetap dapat mempertahankan eksistensinya sebagai institusi yang bebas dari campur tangan dan kepentingan-kepentingan negara dan masyarakat bisnis.
Pembangunan dan pemberdayaan jaringan perpustakaan publik (public library net-work) dan pengembangan museum dan art galleries yang benar-benar berada di bawah kontrol dan mengartikulasikan serta mengungkapkan kepentingan-kepentingan masyarakat merupakan langkah dan kebijakan lain yang juga harus menjadi perhatian LIN untuk mendorong terjadinya liberasi dan demokratisasi fungsi penerangan di era reformasi dan globalisasi mendatang. Harap diketahui, bahwa di dalam masyarakat borjuis atau kapitalis, oleh karena alasan bahwa di dalam kehidupan seharai-hari dunia ilmu pengetahuan dan kesenian tidak dapat dipenuhi hanya melalui prinsip-prinsip persaingan pasar, maka keduanya nyaris merupakan sebagian kecil dari dunia kehidupan yang dibiarkan oleh negara dan kekuasan bisnis untuk berkembang menjadi tempat bagi persemaian nilai-nilai kemanusiaan, kebenaran, dan solidaritas (Herbert Marcuse, 1986).
Pada tingkat lokal, suatu pembangunan semacam “parlemen atau lembaga permusyawaratan elektronik” yang terbuka bagi khalayak luas untuk mengungkapkan dan memperbincangkan kepentingan-kepentingan dan persoalan-persoalan mereka di hadapan kepentingan-kepentingan negara dan dunia bisnis merupakan kebijakan LIN ketiga yang sangat penting. Sebagaimana yang diusulkan oleh Jeffrey Abramson (Pavlik, 1996: 390) bagi masyarakat Amerika Serikat, kebijakan pembangunan lembaga permusyawaratan elektronik tersebut dapat diwujudkan melalui pembangunan suatu “Electronic Town Hall” di setiap kota sebagai tempat beroperasinya institusi “Electronic Town Meetings”, untuk mengembalikan hadirnya iklim publik yang hilang selama era pemerintahan Orde Baru, yang menurut Habermas (1989) merupakan fondasi bagi aktualisasi potensi demokrasi yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi komunikasi/informasi. Kehadirannya di tengah masyarakat memiliki peran sangat penting sebagai suatu institusi pendidikan demokrasi yang dapat memainkan tiga fungsi penting berikut: (1) untuk memberikan pendidikan pada warga negara tentang masalah-masalah bersama; (2) untuk memberdayakan warga negara untuk melakukan pemerintahan sendiri (self-government); dan (3) untuk memasukkan warga negara di dalam suatu proses yang dapat diakses secara terbuka dan universal. Mengenai semua itu Alexis de Tocqueville bahkan sudah sangat lama menunjukkan betapa pentingnya peran lembaga permusyawaratan kota itu bagi pendidikan demokrasi, sementara. Ross Perot melihat “Electronic Town Hall” sebagai sebuah platform bagi suatu era baru demokrasi, dan sejumlah ahli lain menyebutnya sebagai teknik abad 21 untuk memperkenalkan kembali komunikasi tatap muka di dalam masyarakat media (Pavlik, ibid., 1996). Tidak pelak lagi oleh karenanya jikalau di bawah tekanan globalisasi informasi dan tuntutan reformasi, pengembangan lembaga semacam itu akan dapat menguatkan peran lembaga perwakilan rakyat kita di tingkat akar rumput (DPRD) yang selama ini kurang diberdayakan.
Di luar semua itu, satu hal masih ingin saya sampaikan sebelum saya menutup seluruh penyajian ini dengan pembahasan singkat tentang isu-isu dan agenda penelitian yang perlu dirumuskan LIN untuk menyongsong era reformasi dan globalisasi informasi yang akan datang. Yang saya maksudkan adalah perlunya kita menemukan jawaban yang tepat terhadap pertanyaan tentang di mana posisi LIN, atau lebih tepat fungsi penerangan oleh institusi negara, harus ditempatkan di dalam era sistem politik yang akan datang: di dalam struktur organisasi kabinet kita, di dalam parlemen kita, atau di suatu tempat di antara keduanya. Saya tidak tahu persis bagaimana pertanyaan itu harus dijawab. Saya berharap para ahli hukum tata negara atau ahli administrasi negara akan dapat menemukannya. Yang menjadi persoalan bagi saya adalah ini: bagaimana kita harus memberikan jaminan agar fungsi penerangan yang dimainkan oleh LIN di era reformasi dan globalisasi informasi benar-benar akan semakin dapat mengungkapkan dan mengartikulasikan secara seimbang perspektif dan kepentingan-kepentingan masyarakat di hadapan perspektif dan kepentingan-kepentingan negara dan dunia bisnis. Tentang hal yang satu ini saya sangat dikesankan dan dipengaruhi oleh pemahaman saya mengenai fenomena BBC yang meskipun sebagian sangat besar dana operasinya bersumber dari anggaran pemerintah Inggris, akan tetapi ia benar-benar memiliki independensi untuk mengungkapkan dan memainkan fungsi parlemen: mewakili dan mengekspresikan perspektif dan kepentingan-kepentingan publik dan masyarakat pendengarnya.
5. Penutup: Isu-isu dan Agenda Penelitian.
Berdasarkan identifikasi isu-isu strategis yang akan semakin mengemuka dalam beberapa tahun mendatang, sejumlah kebijakan dapat disarankan bagi LIN untuk membuat eksistensi dirinya menjadi lebih relevan di era reformasi dan globalisasi informasi yang akan datang. Dari penyajian pokok bahasan tiga dan empat, paling sedikit kita dapat mengidentifikasi adanya tiga buah kawasan isu sangat strategis yang akan terbentang di hadapn LIN di dalam mengungkapkan peran dan fungsinya di masa yang akan datang. Ketiga kawasan isu yang dimaksud berkaitan sangat erat dengan hubungan kekuasaan segi tiga antara negara, dunia bisnis, dan masyarakat sipil di bawah tekanan globalisasi dan tuntutan reformasi. Pergumulan kekuasaan diantara ketiganya di era reformasi dan globalisasi informasi yang akan datang, akan membuat LIN berada di bawah tekanan untuk tidak henti-hentinya mengupayakan agar kebijakan produksi, penyimpanan, dan distribusi informasi yang dilakukannya memiliki kemampuan untuk secara seimbang mengartikulasikann perspektif dan kepentingan-kepentingan negara, masyarakat bisnis, dan masyarakat sipil. Dengan kata lain, kebijakan-kebijakan LIN di masa depan harus benar-benar dapat menjamin produksi, penyimpanan, dan distribusi informasi yang obyektif, tidak sepihak, akurat, jujur, dan benar, serta diorientasikan hanya bagi kemakmuran seluruh masyarakat tanpa motif-motif politik yang sempit.
Di dalam merumuskan kebijakan penelitiannya, paling sedikit terdapat tiga buah tema penelitian strategis berikut yang dapat dijadikan titik masuk (entry points) bagi penyusunan agenda penelitian LIN di era reformasi dan globalisasi informasi mendatang. Tema penelitian penting yang pertama menyangkut penelitian tentang dampak globalisasi kapitalisme terhadap proses pengambilan keputusan-keputusan pemerintah pusat dan daerah dalam perumusan kebijakan-kebijakan dan program-program pembangunan serta implikasinya bagi pemberdayaan masyarakat. Sangat sentral di dalam kategori tema penelitian ini, adalah topik-topik penelitian tentang sejauh mana berbagai kebijakan dan program pembangunan benar-benar dirancang dan dilaksanakan dengan orientasi bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat banyak. Termasuk di dalamnya pula adalah topik-topik penelitian yang secara sistematis dirancang dan dilaksanakan untuk mengungkapkan sejauh mana di dalam melakukan tugas-tugas mereka wakil-wakil rakyat di lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif benar-benar melaksanakan amanat rakyat yang mereka emban: di dalam gagasan-gagasan, tindakan-tindakan, dan pola hidup mereka sehari-hari. Akan sangat menarik, misalnya, jikalau salah satu kebijakan penelitian LIN dapat dilakukan terus-menerus untuk memproduksi, menyimpan, dan mendiseminasikan informasi tentang profil pejabat-pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif dari berbagai jenjang organisasi pemerintahan seperti yang dilakukan oleh Ralph Nader Conggress Project (Green, Fallows and Zwick, 1972) dalam bukunya bertajuk “Who Runs Congress: The President, Big Business, or You”?
Tema penelitian kedua yang masih bersinggungan dengan tema penelitian yang pertama adalah tema penelitian tentang perimbangan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah, interaksi antara keduanya di dalam mengungkapkan perspektif dan kepentingan-kepentingan masing-masing, dan berbagai implikasi yang ditimbulkannya. Topik-topik penelitian menarik yang termasuk di dalamnya meliputi penelitian-penelitian tentang bagaimana kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, bagai pedang bermata dua, bukan hanya memiliki dampak “tonik” bagi moderasi konflik antara pemerintah pusat dan daerah akan tetapi juga dampak “toksik” menciptakan insentif bagi meningkatnya konflik diantara keduanya, bahkan antara pemerintah dan masyarakat daerah yang satu dengan pemerintah dan masyarakat daerah yang lain. Termasuk dalam kategori tema penelitian yang kedua ini adalah topik-topik penelitian tentang pergulatan dan nasib berbagai masyarakat adat, suku-bangsa, dan komunitas-komunitas keagamaan, beserta dengan sistem-sistem nilai, norma-norma, dan sistem sosial, ekonomi, dan kebudayaan mereka, di dalam proses integrasi mereka dengan sistem nasional dan internasional. Topik-topik penelitian lebih khusus di dalam kaitannya dengan semua itu adalah penelitian tentang dampak sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan dari berbagai kebijakan dan program pembangunan terhadap berbagai masyarakat adat, kelompok suku-bangsa, dan komunitas-komunitas keagamaan, mekanisme-mekanisme dan proses-proses ekonomi dan politik yang mempengaruhi kehidupan mereka, dan respons mereka antara lain dalam bentuk berkembangnya “gerakan-gerakan nasionalisme kesukuan” nyaris di seluruh Indonesia akhir-akhir ini.
Tema penelitian yang ketiga adalah tentang pengaruh pembangunan terhadap hubungan antara aktor-aktor ekonomi besar, menengah dan kecil. Termasuk di dalamnya adalah penelitian tentang profil masing-masing, dan bagaimana mereka memberikan kontribusi bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat luas. Diantara topik-topik penelitian yang sangat penting tentang hal itu antara lain meliputi topik-topik penelitian tentang bagaimana nasib dari pengusaha-pengusaha kecil, industri kecil, dan masyarakat kecil, termasuk masyarakat petani dan nelayan, di hadapan ekspansi bisnis raksasa dari korporasi-korporasi nasional dan internasional, akibat-akibat yang ditimbulkannya, dan respons kebijakan-kebijakan pemerintah untuk melindungi kepentingan-kepentingan mereka untuk mencegah peluang mereka akan dapat menjadi salah satu elemen dari berbagai kekuatan disintegrasi bangsa.
Tema-tema penelitian lain di luar semua itu tentu saja masih dapat dirumuskan, akan tetapi ketiganya merupakan tema-tema penelitian strategis yang dapat dipakai sebagai titik masuk bagi LIN untuk membangun pemahaman mengenai posisi dan fungsinya yang baru sebagai akibat dari perubahan sistem politik Indonesia sesudah pohon beringin Orde Baru itu tumbang. Di luar kebijakan-kebijakannya untuk memproduksi, menyimpan dan mendistribusikan informasi, di bawah tekanan globalisasi dan tuntutan reformasi LIN juga disarankan untuk secara sistematis merumuskan kebijakan untuk menciptakan dan menguatkan kembali iklim publik yang selama era Orde Baru sangat diabaikan jikalau bukan malahan dihapuskan. Sebagaimana sudah diungkapkan pada uraian pokok bahasan keempat di atas, kebijakan LIN di kawasan ini dapat dilakukan meliputi perumusan program-program pengembangan dan penguatan jaringan institusi pelayanan penyiaran informasi publik (public service broadcasting); pembangunan, pengembangan dan pemberdayaan jaringan perpustakaan publik (public library net-work) dan museum dan art galleries yang benar-benar berada di bawah pengendalian dan mengartikulasikan perspektif dan kepentingan-kepentingan masyarakat; dan pembangunan serta pengembangan apa yang dapat disebut sebagai “lembaga permusyawaratan elektronik” yang terbuka bagi khalayak luas untuk mengungkapkan dan memperbincangkan kepentingan-kepentingan dan persoalan
persolan mereka di hadapan kepentingan-kepentingan negara dan dunia bisnis.
Yogyakarta; 27 Juli 2003.


DAFTAR PUSTAKA
Chadrick, Paul, “Journalism Rights and Responsibilities”, dalam Broadcasting in Asia, AIJ, Institute for The Studies on Free Flow of Informations, 1997.
Femia, Joseph V., Gramsci’s Political Thaought: Hegemony, Consciousness, and the Revolutionary Process, Oxford: Clarendonpress, 1987.
Jackson, Karl D., “Bureaucratic Polity”, dalam Karl D. Jackson dan Lucian W. Pey (Eds.), Political Power and Communications in Indonesia, Berkely: University of California Press, 1978.
Giddens, Anthony, The Nation States and Violence: Volume Two of a Contemporary Critique of Historical Materialism, Cambridge: Polity, 1985.
King, Dwight Y., “Indonesia’s New Orderas a Bureucratic Polity, a Neo-Patrimonial Regime, or a Bureaucratic Authoriterian Regime: What Difference Does It Make?”. Makalah disampaikan pada pertemuan tahunan dari “the Association of Asian Studies, Los Angeles, Maret-April, 1079.
Lechte, John, Fifty Key Contemporary Thinkers: From Structuralism to Postmodernity, London and New York: Routledge, 1994.
Marcuse, Herbert, “On the Affirmative Character of Culture”, dalam Negations: Essays on Critical Theories, London: Pinguin, 1986.
Nasikun, “Komunikasi, Kebebasan dan Demokrasi: Mungkinkah Ketiganya Hidup Berdampingan Satu Sama Lain?” Makalah disampaikan pada Seminar Nasional tentang Informasi, Kebebasan dan Demokrasi, yang diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, tanggal
-----------, “Reformasi Politik, Demokrasi, dan Integrasi Nasional”, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 3, Nomor 3, 2000.
Pavlik, John V., New Media Technology: Cultural and Commercial Perspectives, Boston and London, Allyn and Bacon, 1996.
Sen, Krisna, “Public Service Broadcasting in a Global Era”, dalam Broadcasting in Asia, AIJ, Institute for The Studies on Free Flow of Informations, 1997.
Uhlin, Anders, Democracy and Diffussion: Transnational LessonDrawing Among Indonesia Pro-Democracy Actors, Lund Political Studies, 1995.
Webster, Frank, Theories of the Information Society, London and New York, Routledge, 1995.
Wilton, Tony, “New Zealand: From One Extreme to the Other”, dalam Broadcasting in Asia, AIJ, Institute for The Studies on Free Flow of Informations, 1997.
Witular, Wimar, “Lessons From Perspektif”, dalam Broadcasting in Asia, AIJ, Institute for The Studies on Free Flow of Informations, 1997.

0 comments: