Saturday 22 March 2008

DESENTRALISASI TEORl,CAKUPAN DAN ELEMEN

DESENTRALISASI TEORl,CAKUPAN DAN ELEMEN
Oleh:
M.R. Khairul Muluk
M.R. Khairul Muluk, adalah Staf Pengajar pada Jurusan Administrasi Negara Unibraw. Menamatkan pendidikan sarjananya padaFIA Unibraw tahun 1994, dan pendidikan Magister dengan konsentrasi Pengembangan Sumber Daya Manusia pada Program Pascasarjana Unibraw (l999).Sekarang sedang menempuh Program Doktor pada Universitas Indonesia


PERSPEKTIF DESENTRALISASI
Selama beberapa dekade terakhir terdapat minat yang terus meningkat terhadap desentralisasi di berbagai pemerintahan dunia ketiga. Banyak negara bahkan telah melakukan perubahan struktur organisasi pemerintahan ke arah desentralisasi. Minat terhadap desentralisasi ini juga senada dengan kepentingan yang semakin besar dari berbagai badan pembangunan internasional (Conyers, 1983 : 97).
Kini desentralisasi telah tampil universal dan diakomodasi dalam berbagai pandangan yang berbeda. Untuk memahami keberadaan dan arti penting local government sebagai konsekuensi desentralisasi ini maka sebaiknya perlu disimak perkembangan teoritis dari berbagai perspektif yang ada dalam memandang local government sebagaimana dipaparkan oleh Smith (1985, 18-45). Terdapat tiga perspektif dalam melihat desentralisasi, yakni liberal democracy, economic interpretation, dan marxist interpretation.
Dalam pandangan demokrasi liberal, local government membawa dua manfaat pokok. Pertama, ia memberikan kontribusi
positif bagi perkembangan demokrasi nasional karena local government itu mampu menjadi sarana bagi pendidikan politik rakyat, dan memberikan pelatihan bagi kepemimpinan politik, serta mendukung penciptaan stabilitas politik. Lebih jelas lagi, Hoessein (2000) menambahkan bahwa dalam konsep otonomi terkandung kebebasan untuk berprakarsa untuk mengambil keputusan atas dasar aspirasi masyarakat yang memiliki status demikian tanpa kontrol langsung oleh Pemerintah Pusat. Oleh karena itu kaitannya dengan demokrasi sangat erat.
Kedua, local government mampu memberikan manfaat bagi masyarakat setempat (locality). Sebagaimana diingatkan oleh Hoessein (2001a) bahwa local government dan local autonomy tidak dicerna sebagai daerah atau pemerintah daerah tetapi merupakan masyarakat setempat. Urusan dan kepentingan yang menjadi perhatian keduanya bersifat lokalitas karena basis politiknya adalah lokalitas tersebut bukan bangsa. Makna lokalitas ini juga tercermin dalam berbagai istilah di berbagai negara yang merujuk pada maksud yang sama. Commune di Perancis, Gemeinde di Jerman, Gementee di Belanda,


M.R. Khairul Muluk, Desentralisasi Teori Cakupan & Elemen dan Municipio di Spanyol yang kemudian menyerupai Municipality di Amerika Serikat (Norton, 1997: 23-24). Manfaat bagi masyarakat setempat ini adalah adanya political equality, accountability, dan responsiveness.
Sementara itu, dalam pandangan yang senada Antoft & Novack (1998: 155-159) juga mengungkapkan manfaat dari local government ini dalam beberapa hal, yakni : accountability, accessibility, responsiveness, opportunity for experimentation, public choice, spread of power, dan democratic values.
Dalam interpretasi ekonomi (baca pula Stoker, 1991: 238-242, mengenai public choice theory), desentralisasi merupakan medium penting dalam meningkatkan kesejahteraan pribadi melalui pilihan publik. Menurut perspektif ini, individu-individu diasumsikan akan memilih tempat tinggalnya dengan membandingkan berbagai paket pelayanan dan pajak yang ditawarkan oleh berbagai kota yang berbeda. Individu yang rasional akan memilih tempat tinggal yang akan memberikan pilihan paket yang terbaik. Manfaat yang bisa dipetik dari local government dalam perspektif ini meliputi : pertama, adanya daya tanggap publik terhadap preferensi individual (public responsiveness to individual preferences). Barang dan pelayanan publik yang ditawarkan oleh pemerintah daerah, tidak seperti swasta, akan dinikmati oleh seluruh penduduk yang relevan, sehingga konsumsi oleh satu penduduk tidak akan mengurangi jatah penduduk yang lain. Pemerintah daerah juga akan menjamin keterjangkauan biaya penyediaan barang dan pelayanan publik, yang apabila diberikan oleh swasta akan menjadi tidak efektif Selain itu, local government juga memberikan cara agar preferensi penduduk dapat dikomunikasikan melalui pemilihan dan prosedur politik lainnya.
Kedua, local government memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaan akan barang-barang publik (the demand for public goods). 'Demand' dalam preferensi pasar swasta lebih mudah diketahui melalui kemauan untuk membayar, akan tetapi dalam politik, ia sulit diidentifikasi karena relasi yang rumit antara barang, harga, pajak, pemilihan dan preferensi politik, partisipasi, dan kepemimpinan. Desentralisasi mampu mengurangi persoalan ini dengan meningkatkan jumlah unit-unit pemerintahan dan derajat spesialisasi fungsinya sehingga meningkatkan kemampuan pemerintah dalam memenuhi permintaan publik.
Ketiga, desentralisasi mampu memberikan kepuasan yang lebih baik dalam menyediakan penawaran barang-barang publik(the supply of public goods). Terdapat banyak persoalan jika penyediaan pelayanan dan barang publik diselenggarakan tersentralisasi. Semakin besar organisasinya maka semakin besar pula kecenderungannya untuk memberikan pelayanan. Semakin monopolistik pemerintah maka semakin kecil insentif dan inovatifnya. Berdasar pada teori, yurisdiksi terfragmentasi akan lebih memberikan kepuasan kepada konsumen daripada kewenangan yang terkonsolidasi. Desentralisasi akan memberikan peluang antar yurisdiksi yang berbeda untuk bersaing dalam memberikan kepuasan kepada publik atas penyediaan barang dan layanannya.
Interpretasi Marxist tampaknya masih cenderung melihat negara sebagai satu kesatuan dan tidak perlu dipisah-pisah antar wilayah geografis. Terdapat beberapa penjelasan yang melandasi ketidak berpihakan pandangan ini terhadap desentralisasi. Pertama, pandangan ini melihat bahwa pembagian wilayah dalam konteks desentralisasi hanya akan menciptakan kondisi terjadinya akumulasi modal sehingga memunculkan kembali kaum kapitalis.
Kedua, desentralisasi juga akan mempengaruhi konsumsi kolektif sehingga akan dipolitisasi. Konsumsi kolektif dimaksudkan untuk memberikan pelayanan atas dasar kepentingan semua kelas. Desentralisasi hanya akan menghasilkan ketidak-adilan baru dalam konsumsi kolektif antar wilayah.
Ketiga, meskipun demokrasi pada dasarnya akan menempatkan mayoritas dalam pemerintahan daerah (yang berarti seharusnya kelas pekerja yang mendominasi,


Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 02Maret 2002


tetapi ada banyak cara yang bisa dilakukan oleh kaum kapitalis untuk menghalang-halangi munculnya kelas pekerja dalam pemerintahan. Lembaga-lembaga perwakilan dalam pemerintahan daerah tetap merupakan simbol demokrasi liberal dan tetap akan dikuasai oleh kaum kapitalis.
Keempat, dalam kaitannya dengan hubungan antar pemerintahan, maka
pemerintah daerah hanya menjadi kepanjangan aparat pemerintah pusat untuk menjaga kepentingan monopoli kapital. Dalam bidang perencanaan, desentralisasi juga tidak akan pernah menguntungkan daerah-daerah
pinggiran dan membiarkannya dengan melindungi daerah kapitalis. Desentralisasi juga menghindarkan redistribusi keuangan dan pajak dari daerah kaya ke daerah miskin. Desentralisasi hanya akan menghilangkan tanggung jawab kaum borjuis terhadap daerah-daerah yang tertekan.
Kelima, terdapat berbagai rintangan mengenai bagaimana demokrasi lokal akan berjalan dalam suasana desentralisasi. Rintangan ini mencakup aspek ekologis, politik, dan ekonomi yang menyebabkan demokrasi di
tingkat lokal hanya akan mengalami kegagalan. Menurut pandangan Marxist semua ini hanya akan dapat ditanggulangi oleh sentralisasi yang bertujuan untuk redistnbusi dan keadilan.



CAKUPAN DESENTRALISASI
Semula dalam kepustakaan Amerika Serikat, Harold F. Alderfer (1964 : 176) mengungkapkan bahwa terdapat dua prinsip umum dalam membedakan bagaimana pemerintah pusat mengalokasikan kekuasaannya ke bawah. Pertama, dalam bentuk deconcentration yang semata-mata menyusun unit administrasi atau field stations, baik itu tunggal ataupun ada dalam hirarki, baik itu terpisah maupun tergabung, dengan perintah mengenai apa yang seharusnya mereka kerjakan atau bagaimana mengerjakannya. Tidak ada kebijakan yang dibuat di tingkat lokal serta tidak ada keputusan fundamental yang diambil. Badan-badan pusat memiliki semua


kekuasaan dalam dirinya, sementara pejabat lokal merupakan bawahan sepenuhnya dan mereka hanya menjalankan perintah. Kedua, dalam bentuk decentralization dimana unit-unit lokal ditetapkan dengan kekuasaan tertentu atas bidang tugas tertentu. Mereka dapat menjalankan penilaian, inisiatif dan pemerintahannya sendiri.
Selain itu dalam khazanah Inggris, desentralisasi dapat dimengerti dalam dua jenis yang berbeda menurut Conyers (1983 : 102) yang mendasarkan pada berbagai literatur berbahasa Inggns, yakni devolution yang menunjuk pada kewenangan politik yang ditetapkan secara legal dan dipilih secara lokal; dan deconcentration yang menunjuk pada kewenangan administratif yang diberikan pada perwakilan badan-badan pemerintah pusat.
Bagaimana Conyers (1986 : 89) membagi jenis desentralisasi ini dan untuk menentukan suatu negara berdasar pada jenis yang mana tampaknya didasarkan pada beberapa pertimbangan aktivitas fungsional dari kewenangan yang ditransfer, jenis kewenangan atau kekuasaan yang ditransfer pada setiap aktivitas fungsional, tingkatan atau area kewenangan yang ditransfer, kewenangan atas individu, organisasi, atau badan yang ditransfer pada setiap tingkatan, dan kewenangan ditransfer dengan cara legal ataukah administratif
Tampaknya apa yang dimaksud decentralization menurut Alderfer menyerupai dengan apa yang disebut sebagai devolution menurut Conyers. Sementara istilah deconcentration yang mereka berdua pergunakan juga menunjuk pada kondisi yang sama.
Selanjutnya Rondinelli dan kawan-kawan lebih luas lagi dalam mengungkapkan jenis desentralisasi (dalam Meenakshisundaram, 1999: 55-56), yakni : deconcentration (penyerahan sejumlah kewenangan atau tanggung jawab administrasi kepada tingkatan yang lebih rendah dalam kementerian atau badan pemerintah), delegation (perpindahan tanggung jawab fungsi-fungsi tertentu kepada organisasi di luar struktur birokrasi reguler dan hanya secara tidak langsung

M.R. Khairul Muluk, Desentralisasi Teori Cakupan & Elemen


dikontrol oleh pemerintah pusat), devolution (pembentukan dan penguatan unit-unit pemerintahan sub-nasional dengan aktivitas yang secara substansial berada di luar kontrol pemerintah pusat), dan privatization (memberikan semua tanggung jawab atas ftmgsi-fungsi kepada organisasi non pemerintah atau perusahaan swasta yang independen dari pemerintah).
Rondinelli, McCullough, & Johnson (1989) sendiri bahkan mengungkapkan bahwa bentuk desentralisasi ada lima macam, yakni privatization, deregulation of private service provision, devolution to local government, delegation to public enterprtses or publicly regulated private enterprises, dan deconcentration of central government bureaucracy.
Pengertian desentralisasi tersebut menyerupai jenis desentralisasi yang diungkapkan oleh Cohen & Peterson (1999) yang terbagi dalam deconcentration, devolution, dan delegation (yang mencakup pula privatization). Jika semula privatisasi berdiri sendiri, kini Cohen dan Peterson justru memasukkannya sebagai bagian dari delegasi. Pembedaan ini didasarkan pada enam pendekatan, yakni : pembedaan berdasar asal mula sejarah, berdasarkan hirarki dan fungsi, berdasarkan masalah yang diatasi dan nilai dari para investigatornya, berdasar pola struktur dan fungsi administrasi, berdasar pada pengalaman negara tertentu, dan yang terakhir berdasar pada berbagai tujuan politik, spasial, pasar, dan administrasi.
Hoessein (2001b) mengungkapkan bahwa devolution dalam khazanah Inggris tersebut merupakan padanan kata political decentralization dalam pustaka Amerika Serikat dan staatskundige decentralisatie dalam pustaka Belanda. Sementara deconcentration dalam khazanah Inggris merupakan padanan dari administrattve decentralization dalam pustaka Amerika Serikat dan ambtelyke atau administratieve
decentralisatie dalam khazanah Belanda. Dari perspektif pemerintahan Indonesia, devolution merupakan padanan dari desentralisasi, deconcentration merupakan padanan dari dekonsentrasi, dan delegation adalah padanan dari desentralisasi fungsional.
Selain itu, dalam perkembangan sejarah pemerintahan daerah di Indonesia, mulai dari masa Hindia Belanda sampai Indonesia modern telah dikenal pula beberapa jenis desentralisasi dalam arti luas. Selain desentralisasi dalam arti sempit (devolution, political decentralization) dan dekonsentrasi yang telah banyak diulas di atas, dikenal pula jenis mede bewind dan vrij bestuur(Sinjal, 2001).
Mede bewind biasanya diartikan sebagai tugas pembantuan yang berarti hak menjalankan peraturan-peraturan dari pemerintah pusat atau daerah tingkat atasan berdasarkan perintah pihak atasan itu (The Liang Gie, 1965 : 112). Rohdewohld (1995: 55) mengungkapkan makna yang hampir sama tentang mede bewind namun dengan bahasa yang berbeda sebagai fungsi tertentu yang berada di bawah yurisdiksi pemerintah pusat yang dijalankan oleh unit administrasi pemerintah daerah otonom atas perintah pemerintah pusat. Pemerintah pusat tetap mempertahankan yurisdiksinya dalam hal perencanaan dan pendanaannya.
Vrij bestuur dapat diartikan kalau ada keragu-raguan tentang siapa yang berwenang terhadap suatu masalah maka daerah terdekatlah yang mengambil wewenang itu (Sinjal, 2001). Dasar pemikiran timbulnya vrij bestuur ini adalah karena kewenangan dapat dirinci satu per satu, tetapi tidak ada satu pun undang-undang yang mampu memprediksi masalah-masalah kemasyarakatan yang berkembang sangat dinamis sehingga bila ada kevakuman kewenangan penanganan masalah tertentu maka dengan azas vrij bestuur ini diharapkan ada kepastian jalan keluamya segera.


Jurnal AdministrasiNegara Vol. II, No. 02 Maret 2002


61


ELEMEN DESENTRALISASI
Desentralisasi dalam arti sempit (devolution) akan berkaitan dengan dua hal (Smith, 1985 : 18). Pertama, adanya subdivisi teritori dari suatu negara yang mempunyai ukuran otonomi. Subdivisi teritori ini memiliki self governing melalui lembaga politik yang memiliki akar dalam wilayah sesuai dengan batas yurisdiksinya. Wilayah ini tidak diadministrasikan oleh agen-agen pemerintah diatasnya tetapi diaturoleh lembaga yang dibentuk secara politik diwilayah tersebut. Kedua, lembaga-lembaga tersebut akan direkrut secara demokratis. Berbagai keputusan akan diambil berdasarkan prosedur demokratis.
Smith (1985 : 8-12) juga mengungkapkan bahwa desentralisasi mencakup beberapa elemen, yakni: pertama,desentralisasi memerlukan pembatasan area,yang bisa didasarkan pada tiga hal, yaitupola spasial kehidupan sosial dan ekonomi,rasa identitas politik, dan efisiensi pelayanan publik yang bisa dilaksanakan. Kedua, desentralisasi meliputi pula pendelegasian wewenang, baik itu kewenangan politik maupun kewenangan birokratik.
Senada dengan hal tersebut, Hoessein (200lc) mengungkapkan bahwa desentralisasi mencakup dua elemen pokok.Pertama, pembentukan daerah otonom, dankedua, penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah otonom tersebut. Dari keduaelemen pokok tersebut lalu lahirlah apa yangdisebut sebagai local government, yangdidefinisikan oleh United Nations (dalamAlderfer, 1965 : 178) sebagai: “politicalsubdivision of a nation (or in federal systemstate) which is constituted by law and hassubstansial control of local affairs, including the power to impose taxes or exproact labor for prescribed purposes The governing body of such an entity is elected or otherwise locally selected".
Dari definisi di atas secara tersirat sebenamya ada perbedaan local government antara negara dengan sistem federal dan kesatuan. Seperti yang dicontohkan oleh Hoessein (1999) tentang Indonesia sebagainegara kesatuan (eenheidstaat) tidak akan
mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat "staat" juga. Hal ini berarti daerah otonom yang dibentuk tidak akanmemiliki kedaulatan atau semi kedaulatan seperti negara bagian dalam sistem federalisme. Dengan mengutip pendapatnya Kranenburg, Hoessein mengungkapkanbahwa daerah otonom tidak akan memiliki "pouvoir constituant". Prinsipnya dalam negara kesatuan menurut Hans Antlov (dalam Hoessein, 1999) adalah "the powersheld by local and regional organs have beenreceived from above, and can be withdrawn through new legislation, without any needfor consent from the communes or provincesconcerned”.
Selanjutnya, diungkapkan pula bahwa dalam negara federal, kewenanganpemerintah federal justru berasal dari negarabagiah yang dirumuskan di dalam konstitusifederal. Kewenangan daerah otonom juga berasal dari negara bagian bukan dari pemerintah federal dan dirumuskan dalam undang-undang negara bagian. Hubungan antara negara bagian dengan pemerintah federal bersifat koordinasi dan independen. Hubungan antara daerah otonom dengan pemerintah pusat untuk negara kesatuan sama dengan hubungan antara daerah otonom dengan negara bagian dalum sistemfederal yakni bersifat subordinasi dan dependen (K. G. Wheare dalam Hoessein, 1999).
Berikutnya Hoessein (2001b) mengungkapkan bahwa local government ini merupakan sebuah konsep yang dapatmengandung tiga arti. Pertama, ia berarti pemerintah lokal yang kerap kali dipertukarkan dengan local authority yang mengacu pada organ, yakni council dan moyor dimana rekrutmen pejabatnya didasarkan pada pemilihan. Berkaitan dengan organ ini, terdapat beberapa jenissebagaimana diungkapkan oleh Ammons & Glass (1989 : 3-8), yakni : strong mayor council form, council-manager form, danweak mayor-council form, serta commissionform.
Kedua, ia mengacu pada pemerintahan lokal yang dilakukan oleh pemerintah lokal. Arti kedua ini, lebih

M.R. Khairul Muluk, Desentralisasi Teori Cakupan & Elemen

mengacu pada fungsi. Dalam menentukan fungsi yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, terdapat dua prinsip yang lazim dipergunakan The ultra vires doctrine menunjukkan bahwa pemerintah daerah dapat bertindak pada hal-hal tertentu atau memberikan pelayanan tertentu saja. Fungsi atau urusan pemerintahan bagi pemerintah daerah dirinci sedangkan fungsi pemerintahan yang tersisa menjadi kompetensi pemerintah pusat
Prinsip general competence atau open end arrangement merupakan kebalikan dari prinsip sebelumnya tersebut. Pemerintah daerah harus melakukan apa saja yang dipandang perlu dalam memenuhi kebutuhan daerahnya sebagaimana yang ditentukan oleh para pengambil keputusan di daerah itu. Pemerintah pusat telah mempunyai urusan atau fungsi yang terinci, sementara sisanya merupakan fungsi atau urusan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah (Hoessein, 2001b; Smith, 1985 : 87).
Ketiga, ia bermakna daerah otonom: Hoessein (200lc) menjelaskan bahwa pembentukan daerah otonom yang secara simultan merupakan kelahiran status otonomi berdasarkan atas aspirasi dan kondisi obyektif dari masyarakat yang berada di wilayah tertentu sebagai bagian dari bangsa dan wilayah nasional. Masyarakat yang menuntut otonomi melalui desentralisasi menjelma menjadi daerah otonom sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Hal yang paling krusial berkenaan dengan daerah otonom ini adalah persoalan penentuan batas dan besaran daerah otonom. Norton (1994 : 46-47) mengungkapkan bahwa penataan batas ini berkaitan dengan efisiensi ekonomi dan efektivitas demokrasi. Kombinasi diantara keduanya mempunyai arti penting untuk menciptakan stabilitas dan fleksibility & responstveness.
Pertimbangan efisiensi ekonomi yang menjadi dasar bagi penentuan batas daerah meliputi : biaya perjalanan dan komunikasi rendah; sejauh mana pemerintah daerah mampu memenuhi kebutuhan
finansial, tanah, dan sumber daya lainnya dari dalam daerahnya sendiri sehingga meminimalkan ketergantungan ekonomi, minimalisasi biaya yang berasal dari akibat aktivitas dalam suatu daerah yang ber-spill over dan menyebabkan biaya lainnya; fasilitasi kolaborasi dan koordinasi diantara pelayanan yang diberikan; menyesuaikan wilayah dengan badan swasta, sukarela, dan publik beserta kepentingan terkait untuk memfasilitasi kerja sama dan koordinasi guna kepentingan bersama dan interdependensi.
Pertimbangan efektivitas demokrasi tumpang tindih dengan efisiensi ekonomi, namun penetapan batas diharapkan mampu menjamin : apa yang diinginkan oleh para pemilih; keterwakilan yang adil bagi kaum minoritas; mudahnya aksesibilitas penduduk dalam memilih anggota dan staf pemerintah; pemahaman publik terhadap sistem dan tujuannya; rentang kekuasaan dan tanggung jawab yang mendukung pemerintah daerah untuk merespons kebutuhan penduduk setempat baik pada masa kini dan mendatang, serta rncmberikan pilihan-pilihan dalam penyediaan komoditas publik.
Selain didasarkan pada faktor di atas, penentuan local boundaries dapat pula didasarkan pada catchment area sebagaimana disampaikan oleh Hoessein (dalam Irfan, 2000), yakni luas wilayah yang optimal bagi pelayanan, pembangunan, penarikan sumber daya, partisipasi dan kontrol baik masyarakat maupun birokrasi. Arti periting catchment area ini berkaitan dengan dibutuhkannya penentuan batas yang akurat dengan berorientasi pada administrasi yang berkualitas untuk menghadapi perubahan masyarakat dan kompleksitas layanan yang dibutuhkannya. Harapannya adalah pemberian layanan kepada masyarakat dapat berjalan optimal.
Kegagalan dalam mencapai catchment area ini akan diikuti adanya discatchment area Kondisi ini dapat memiliki implikasi negatif berupa kerusakan lingkungan, kriminalitas, ketidak-puasan publik terhadap pelayanan birokrasi dan lambannya birokrasi.


Jurnal Administrasi Negara Vol II No. 02 Maret 2002

PENUTUP
Secara kcscluruhan tulisan ini mencakup tiga hal. yakni berbagaiperspektif teori dalam memandang desentralisasi, berbagai cakupan atau kandungan makna dah istilah desentralisasi,serta berbagai elemen dalam desentralisasi. Terdapat tiga perspektif teori yang berusaha menjelaskan desentralisasi, baik itu teoridemokrasi liberal, interpretasi ekonomi yang berbasis pada public choice theory, dan interpretasi marxist yang lebih cenderung menolak desentralisasi.
Cakupan istilah desentralisasi menunjukkan bahwa desentralisasi itu dapat dipahami dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, desentralisasi mencakupkonsep devolusi (atau desentralisasi dalamarti sempit), dekonsentrasi, dan delegasi yang
mencakup pula privatisasi. Dalam khazanah sejarah Indonesia dikenal pula cakupan yang agak berbeda selain cakupan di atas, yakni mede bewind dan vrij bestuur.
Elemen yang terkandung dalam desentralisasi dalam arti sempit (devolusi) didasari pada konsekuensi munculnya local government, yang dapat dimaknai menjadi tiga hal. Pertama, sebagai pemerintah daerah yahg mengacu pada organ yang melaksanakan urusan dan fungsi yang didesentralisasi. Kedua, sebagai pemerintahan daerah yang mengacu pada fungsi yang dijalankan dalam kerangka desentralisasi. Dan ketiga, sebagai daerah otonom tempat dimana lokalitas berada dan membentuk kesatuan hukum sendiri yang meskipun tidak berdaulat tetapi memiliki hak untuk mengurus dirinya sendiri.


DAFTAR PUSTAKA


Alderfer, H.F. 1964. Local government indevelopmg countries. New york : Mc.Graw Hill.
Antoft, K. & Novack, J. 1998. Grassroots Democracy : Local Government in the Maritimes. Nova Scotia : Dalhousie University.
Burns, D., Hambleton, R, & Hogget, P. 1994. The politics of decentralization revitalizmg local democracy. London : Macmillan.
Cohen, J.M. & Peterson, S. B. 1999. Administrative Decentralization : Strategies for Developing Countries Connecticut: Kumahan Press.
Conyers, D. 1983. “Decentralization : the latest fashion in development administration ?.” Public Adminstration and Development, Vol. 3, 97-109.
Conyers, D. 1986. “Decentralization and development : a frame\vork for analysis”. Commumty Development Journal, Vol. 21, number 2, April, 88-
100.
Hoessein, B. 1999. “Pergeseran paradigma otonomi daerah dalam rangka refprmasi administrasi publik di Indonesia”.
Makalah dalam Seminar Reformasi Hubungan Pusat-Daerah Menuju Indonesia Baru : Beberapa Masukan Kritis untuk Pembahasan RUU Otonomi Daerah dan Proses Transisi Implementasinya yang diselenggarakan ASPRODIA-UI. Jakarta: 27 Maret.
———,B. 2000. “Hubungan penyelenggaraan pemermtahan pusat dengan pemenntahan daerah" dalam Bisnis & Birokrasi, No. l.Vol, Juli.

------------, B. 2001. “Otonomi tak sekali jadi” Tempo, 28 Oktober.
------------, B. 2001. “Prospek resolusi kebijakan dan implementasi otonomi daerah dari sudut pandang hukum tata negara”, Makalah dalam Seminar dan Lokakarya Nasional Strategi Resolusi Kebijakan dan Implementasi Otonorni Daerah dalam Kerangka Good Governance yang diselenggarakan Pusut Kajian Kinerja Otonomi. Daerah Lembaga Administrasi Negara. Jakarta : 30 Oktober.
-------------, B. 2001. “Kewenangan pengelolaan sumber daya alam dalam pelaksanaan otonomt daerah.” Makalah dalam seminar. Pemberdayaan Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Rl.Jakarta: 30-31 Oktober.
Humes IV, S. 1991. Local governance and national power : a worldwide comparison of tradition and change in local government. London . Harvester Wheatsheaf.
Irfan, 2000. “Beberapa basis pengembangar wvilayah : telaah awal ke arah pencarian model” dalam Bisnis & Birokrasi, No. 1, Vol. I, Juli.
Leach, S, Stewart, J., & Walsh, K. 1994. The changing organization and management of Local government. London: Macmillan.
Meenakshisundaram, S. S. 1999. “Decentralization in Developing Countries” dalam Jha, S. N. & Mathur,
P. C. Decentralization and Local Politics. New Delhi : Sage Publications.
Norton; A. reprinted 1997. International Handbook of local and regional govemment : comparative analysis of advanced democracies. Cheltenham : Edwar Elgar.
Rohdewohld, R. 1995. Public administration in Indonesia. Melbourne : Montech Pty. Ud.
Rondinelli, D. A. McCullough, J. S., & Johnson, R.W. 1.989. Analysing decentralization policies in developing countries : a political-economy framework dalam Development and Change, Vol. 20, No. 1, January.
Sinjal,D. 2001: Tali kendali di leher 368 kabupaten dalam Tempo, 28 Oktober.
Smith, B. C. 1985. Decentralization : The Territorial Dimension of the State. London : George Allen & Unwin.
Stoker, G. 1991. The politics of local government. 2nd edition, London : Macmillan.
The Liang Gie. 1965. Pertumbuhan pemerintahan daerah di negara Republik Indonesia. Jakarta Gunung Agung.

0 comments: