Saturday 22 March 2008

INTERAKSI BIROKRASI PEMERINTAH DAN LEMBAGA SWADAYA

INTERAKSI BIROKRASI PEMERINTAH DAN LEMBAGA SWADAYA

MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN
(Studi tentang Sinergi Birokrasi Pemerintah dengan Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan (LPIP) dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir di Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur)
Interaction between Government Bureaucrasy and Non Governmental Organization in Society Development
(A Study at Synergy between Government Bureaucrasy and Association of Village Industry Developing (LPIP) on Empowerment of Society in Muncar District, Banyuwangi Regency, East Java) .


Andrianus Resi
Pemprov NTT
Ismani H.P.
Program Pascasarjana Universitas Brawijaya

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya suatu kecenderungan yang ditunjukkan oleh LSM-LSM, yaitu visi dan misi mereka yang jelas mulai berpihak pada pengembangan masyarakat. Pada masa orde baru keberadaan mereka lebih banyak diposisikan sebagai lembaga yang selalu merepotkan setiap kebijakan pemerintah. Sinergi atau pola kerja sama yang baik antara Birokrasi Pemerintah dan (LSM) LPIP sangat penting dalam memberdayakan masyarakat pesisir.
Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1). Memperoleh informasi yang akurat tentang respon masyarakat terhadap upaya pembangunan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun LSM; 1). Menemukan kendala-kendala yang dihadapi baik oleh birokrasi pemerintah maupun LSM dalam mengimplementasikan kebijakan dan program pembangunan di tingkat lokal; 2). Mengetahui kekuatan dan kelemahan dari sinergi antara (LSM) LPIP Surabaya dengan Birokrasi Pemerintah Daerah dalam memecahkan permasalahan pembangunan masyarakat pesisir; 3). Mendeskripsikan pemahaman dan respon masyarakat terhadap upaya pemberdayaan yang dilakukan LSM dan Birokrasi Pemerintah; 4). Menyodorkan alternatif pemecahan masalah bagi peningkatan peran birokrasi pemerintahan daerah dalam pelaksanaan pembangunan yang sejalan dengan bingkai pemberdayaan. 5). Memperoleh informasi yang akurat tentang respon masyarakat terhadap upaya pembangunan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun LSM Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif, yakni penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran mendalam tentang permasalahan yang akan diteliti.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1). LSM LPIP dalam menangani beberapa konflik menawarkan pendekatan yang berbeda, yaitu memakai strategi pendekatan yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dengan melibatkan mereka (tokoh masyarakat, birokrasi, pengusaha) sebagai mediator; 2). Hubungan kerja sama antara Pemerintah Daerah Banyuwangi dengan LSM LPIP telah berjalan dengan mencapai hasil yang relatif memuaskan dalam memberdayakan masyarakat pesisir. Hal ini terjadi karena ada kerja sama yang saling mendukung terhadap program dan sasaran yang ingin dicapai; 3). Sinergi antara LSM dengan Pemerintah Daerah adalah agar Birokrasi Pemerintah bertindak sebagai fasilitator, motivator, dan dinamisator dalam pembangunan masyarakat. Dalam pembangunan daerah aparat birokrasi tidak akan mampu menjangkau seluruh kebutuhan pembangunan khususnya dibidang sosial ekonomi tanpa melakukan pola kemitraan dengan pihak lain termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).





ABSTRACT
Andrianus Resi, Postgraduate Program of Brawijaya University, September 2003. Interaction between Government Bureaucrasy and Non Governmental Organization, in Society Development (A Study at Sinergy between Government Bureaucrasy, and Association of Village Industry Developing (LPIP), on Empowerment of Society in Muncar District, Banyuwangi Regency, East Java). Supervisor: Ismani H.P; Co-Supervisor: Soesilo Zauhar.
This research is backgrounded by the trend of Non Governmental Organization (NGO) about their vision and mission, which tend to society development. At new era, they are positioned as institution, which always disturbs government policies. The synergy between government bureaucrasy and LPIP is important on society empowerment.
This research aims to: 1). Find the obstacles of government bureaucrasy or NGO on implementing the policy and developing program in local area; 2). Understand the strengths and weakness from synergy between NGO LPIP Surabaya with Local Government bureaucrasy on solving development problem of society which faced by them; 3). Describe the understanding and society response on the empowerment which done by NGO and government bureaucrasy; 4). Give some solving alternatives to local government bureaucrasy role increasing on executing the consistent development with the list of empowerment. 5). Get information, about society response on developing efforts which done by government or NGO. The research method used in this research is qualitative descriptive, that is research which aim to get further description about the problem.
The results of this research show that: 1). NGO LPIP, which handles some conflicts, offered different approach, by using approach strategy, which places society as important actor by involving them (society figure, brirocracy and the entrepreneur) as mediator; 2). The relationship between Local Government of Banyuwangi and NGO LPIP has reached satisfied results on society empowerment. It happened because of the relationship that support the reached program and target; 3). The synergy between NGO and Local Government are Bureaucrasy Government as Facilitator, motivator and dynamizator on society development.
On local development, government will not reach all of development needs especially in social economic without doing relationship with another actors include NGO.



PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah
Bagi negara berkembang seperti halnya Indonesia, pembangunan tidak saja menjadi sebuah paradigma (pandangan keilmuan) melainkan juga menjadi ideologi (pandangan politik) dan bahkan mitos (tahayul). (Nugroho D 2001: 373). Ketika Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, keadaan amat memprihatinkan, tertinggal bukan hanya dalam hal kesejahteraan tapi juga peradaban.
Siagian (2001: 4) menyatakan pembangunan adalah suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (Nation Building). Sedangkan menurut Syambi (1986) menyatakan pembangunan merupakan proses perubahan sistem direncanakan dan pertumbuhan menuju kearah perbaikan yang berorientasi pada modernitas, nation building dan kemajuan sosial ekonomi.



Sementara konsep pembangunan menurut Briant dan White (1987) dalam Prayitno (2002) mencakup pengertian menjadikan (being) dan mengerjakan (doing). Ini berarti proyek dan program pembangunan bukan saja membuahkan perubahan-perubahan fisik yang kongkrit, melainkan juga menghasilkan sesuatu dengan cara tertentu sehingga rakyat memperoleh kemampuan yang lebih besar untuk memilih dan memberikan tanggapan terhadap perubahan-perubahan tersebut. Selanjutnya perubahan yang terjadi dapat memberi kontribusi pada potensi-potensi individu, disamping memperhatikan sifat dasar kebutuhan manusia yang membutuhkan rasa keadilan.
Sementara itu Arsyad ( 1999:108) memberikan defenisi atau pengertian pembangunan yang lebih spesifik yang mengarah pada pembangunan wilayah atau daerah dengan sebutan “pembangunan ekonomi daerah” dimana pembangunan tersebut diartikan sebagai proses atau hubungan sinergi antara pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan dengan pihak swasta (dunia usaha maupun kelompok masyarakat dalam hal ini LSM) untuk menciptakan lapangan kerja baru ataupun peningkatan kegiatan usaha masyarakat yang telah ada dalam wilayah tersebut sebagai upaya merangsang pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat. .
Dari pengertian pembangunan di atas, jelaslah bahwa suatu kegiatan pembangunan yang dilakukam secara sistematis dengan melibatkan semua elemen masyarakat dilaksanakan secara terpadu untuk mencapai tujuan dalam rangka kemakmuran masyarakat. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan taraf hidup, dari yang kurang mampu secara ekonomi menjadi lebih mampu.
Jika diamati secara teliti proses pembangunan yang terjadi di dunia ketiga, juga termasuk Indonesia telah gagal membentuk distribusi pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat terutama pada golongan masyarakat kelas bawah. Ketimpangan pembangunan antar wilayah dan daerahpun kian nampak disebabkan oleh gagalnya pihak pertama pembangunan atau birokrat dalam mejalankan kebijakan pembangunan atau juga sektor kedua pembangunan melalui mekanisme pasar dalam penciptaan pemerataan pembangunan ekonomi antar wilayah. Staniland (1995) dalam Elfin Elyas (2001:1) menjelaskan; penyebab dari political failure tersebut adalah akibat dari pembuatan struktur kebijakan negara yang dilakukan oleh birokrat sebagai administrator pembangunan yang tidak berpihak pada kaum miskin, orientasi pembangunan ekonomi yang mengarah pada pertumbuhan (economic growth) cenderung menguntungkan lingkaran kapitalisme dan elit yang berkuasa, sehingga kekayaan negara hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Senada dengan pendapat diatas Abdul Wahab (1999) menambahkan bahwa besarnya dominasi negara dalam perencanaan pembangunan telah mengabaikan peran serta kekuatan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan negara.
Orde Baru dalam perjalanan sejarahnya, telah berupaya melakukan pembangunan berencana bagi rakyat Indonesia khususnya antara tahun 1970-an hingga pertengahan tahun 1980-an. Yang dilakukan pertama kali adalah melakukan pembangunan secara kolosal dan dibiayai oleh negara, pasalnya karena rakyat memang tidak berdaya. Tujuan pemerintah adalah membangun kekuatan dari rakyat dan kelak menyerahkan kekuatan tersebut kepada rakyat dan rakyat membangun dengan mandiri.
Sayangnya, setelah 25 tahun Orde Baru membangun, tahun 1997 terjadi krisis ekonomi yang meluluhlantahkan pembangunan ekonomi yang sampai sekarang belum bisa diatasi seluruhnya. Jika diamati dengan kepala dingin kata Nugroho (2001:377) kekeliruan utama Orde Baru adalah gagal dalam memenuhi janjinya kepada rakyat. Pada awal pembangunan, janji yang dirumuskan dalam kebijakan pembangunan adalah pembangunan yang yang berbasis rakyat. Komitmennya adalah masyarakat pedesaan dan pembangunan yang tidak meninggalkan sektor agraris-agroindustri. Pada tahun 1990 an komitmennya dilanggar, dengan munculnya kebijakan politik yang lebih mementingkan sektor modern yang hanya dikuasai sekelompok kecil individu dan kelompok elit bisnis tertentu serta tergantung kepada sumber-sumber dari luar negeri, baik sumber kapital, bahan baku, teknologi hingga sumber daya manusia.



Pembangunan melahirkan kemajuan di berbagai segi kehidupan, tetapi jika tidak ditangani secara koprehensip-integral akan melahirkan kemelaratan. Dalam arti fundmental ekonomi yang dibangun yang selama ini dibanggakan ternyata rapuh dan memberikan kesengsaraan baru bagi masyarakat Indonesia. Krisis belum usai, dan tentu kita sebagai manusia akan terus mencari jalan keluar agar akar krisis ini dapat diatasi dengan mudah. Memang tidak banyak orang yang menyadari kata Chaniago (2001:72) bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama kurang lebih sembilan tahun terakhir Orde Baru digerakan bukan oleh sektor ekonomi yang berbasis pada kekuatan sumber daya manusia, teknologi, atau permodalan sosial yang ada didalam masyarakat, melainkan pertumbuhan ekonomi tersebut lebih banyak digerakan oleh meningkatnya konsumtifisme dikalangan masyarakat menengah-keatas, pesatnya pertumbuhan sektor-sektor “non-trade goods” seperti berbagai jenis bisnis properti, karena komersialisasi ruang dan lokasi-lokasi strategis dan pada beberapa kasus karena mengkomersialisasikan sektor-sektor publik demi kepentingan segelintir orang tadi.
Pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan ekonomi seperti dijelaskan diatas, tentu tidak mengakar dalam masyarakat, karena masyarakat Indonesia yang tinggal dipedesaan tidak menikmati dan merasakannya. Dan sesungguhnya pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan yang demikian, menunjukkan kelemahan dalam menciptakan struktur ekonomi yang kuat atau mampu mengatasi berbagai masalah kemiskinan di Indonesia. Dalam hal ini yang bertanggung jawab terhadap gagalnya pembangunan tersebut adalah di pihak pemerintah dan pengusaha sebagai aktor pertama dan kedua. Merekalah yang menyebabkan akar krisis dan masalah pembangunan tidak kunjung usai sampai hari ini. Fundamental ekonomi yang dibangun tidak memberi bobot kemajuan yang berarti bagi masyarakat, akibatnya lahirlah apa yang disebut kemiskinan dan kemelaratan.
Jika ditelusuri lebih jauh tentang aktivitas LSM, baik sejak sebelum maupun sesudah kemerdekaan kita akan mendapatkan suatu gambaran menyeluruh perihal kehadiran LSM tersebut. Dalam kancah pembangunan di Indonesia, bukan hal baru. Organisasi Non Pemerintah sebagai lembaga yang bergerak dibidang pengembangan masyarakat telah ada sebelum kemerdekaan. Fenomena LSM di Indonesia sebenarnya telah berlangsung sejak awal abad ke 20. Mula-mula diawali dengan berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908, kemudian disusul dengan organisasi-organisasi lainnya, baik yang bersifat lokal maupun nasional Rahardjo dalam Budairi (2002:68), mengatakan bahwa Boedi Oetomo yang lahir 1908 disebut sebagai LSM pertama di Indonesia.
Kehadiran Organisasi Non Pemerintah tadi telah memberi wacana dan inspirasi terhadap gerakan LSM di Indonesia. Pada tahun 1950 an mulai bermunculan LSM-LSM di Indonesia yang tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan lembaga donor internasional yang pada tahun-tahun tersebut mulai bermaksud mengembangkan kegiatan-kegiatannya ke negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Fakta ini bisa dilihat ketika PKBI didirikan di Indonesia yang menurut kalangan aktivis LSM sebagai lembaga yang pertama ada di Indonesia yang juga merupakan keinginan dari IPPF ( sebuah lembaga sosial internasional yang bergerak dibidang kesehatan reproduksi) mengembangkan di indonesia sebagai program bantuan untuk lembaga keluarga berencana.



Di masa Orde Baru, dapat disebut LSM tumbuh dan berkembang sebagai sparing partner bagi pemerintah. Pembangunan yang mengunakan pendekatan modernisme, meskipun menghasilkan pertumbuhan ekonomi, tapi tidak cukup mengembangkan pemerataan, baik pemerataan partisipasi maupun hasil-hasil pembangunan. Salah satu dimensi pertumbuhan LSM pada masa Orde Baru adalah kaitannya dengan lembaga-lembaga atau LSM-LSM luar negeri yang datang ke Indonesia yang pada umumnya bertujuan pengembangan masyarakat.
Era 80-an kata Budairi (2002:76) merupaka era kebangkitan LSM dimana sejalan dengan kebijakan pemerintah yang mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proyek-proyek pembangunan. Kegiatan LSM tersebut, baik yang dilakukan sendiri-sendiri maupun bekerja sama dengan pemerintah telah mencakup banyak sektor seperti; usaha kecil dan sektor informal, usaha bersama dan perkoperasian, industri kecil dan perkreditan, kesehatan, penyediaan air bersih dan sanitasi, perbaikan lingkungan pedesaan dan perkotaan dan lain sebagainya.
Ornop (LSM) yang kita harapkan tidak bekerja untuk kepentingan partai atau golongan dan juga untuk kepentingan pemodal raksasa lembaga internasional atau ornop yang tidak tenggelam dalam politik porposal. Akan tetapi, harus diakui apa yang dikemukakan Petras (2001) dalam Hartiningsih (Kompas:29) bahwa telah terjadi polarisasi dalam ornop. Pertama, ornop yang aktif mempromosikan neoliberalisme. Jenis ornop ini biasanya bekerjasama dengan proyek besar bank dunia, USAID dan berbagai lembaga dana internsional lainnya. Kedua, ornop reformis, yang menerima pendanaan skala menengah dari lembaga-lembaga sosial demokratik dan pemerintah regional dan lokal yang progresif untuk mendanai proyek-proyek perbaikan dan untuk mengoreksi pasar bebas. Ketiga, Ornop radikal yang terlibat dalam gerakan-gerakan anti globalisasi, anti rasis dan sebagainya.
Ada kecenderungan LSM-LSM yang mempunyai visi dan misi yang jelas mulai memposiskan diri mereka dan berpihak pada pengembangan masyarakat. Hanya saja kehadiran mereka di era Orde Baru lebih banyak diposisikan sebagai lembaga yang selalu merepotkan setiap policy pemerintah, bahkan selalu dicurigai setiap ruang geraknya. Ada oraganisasi-organisasi sejenis seperti PKK dan Karang Taruna bentukan pemerintah yang sama-sama berorientasi masyarakat bawah/akar rumput, tapi kehadiran mereka lebih merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah yang mempunyai misi khusus dalam mensukseskan program pemerintah. Oleh karenanya tidak mengherankan jika dilapangan terjadi perbedaan cara dan misi pelayanan kepada masyarakat terutama peran pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh LSM dan lembaga bentukan pemerintah tadi.
Tidak dapat dipungkiri kalau aktivitas LSM lebih mengena sasaran dibanding Lembaga bentukan pemerintah termasuk didalamnya birokrasi pemerintahan di daerah. Salah satu bentuk kegiatan LSM yang sangat menonjol adalah dapat merangsang tumbuhnya kesadaran partisipasi masyarakat dalam membangun dirinya dan keluarganya dan lingkungannya yang selama ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Terjadinya perbedaan ini dimungkinkan karena ketidaksamaan visi, misi dan program antar keduanya, selain kebebasan ruang gerak yang melatarbelakangi. Saatnya sekarang pemerintah harus merubah pandangan terhadap kehadiran LSM, bahwa kehadirannya juga merupakan salah satu solusi dari lembaga di luar negara (birokrasi pemerintahan) yang dapat memberi peran pemberdayaan kepada masyarakat.
Apa yang telah digambarkan diatas, ternyata desa-desa (6 desa) pantai/ pesisir di Kecamatan Muncar kabupaten Banyuwangi yang menjadi lokasi penelitian telah terjadi pembenaran bahwa di desa-desa tersebut telah berjalan dengan apa yang disebut intervensi pembangunan yang bersifat sektoral strategis dibidang pemberdayaan masyarakat pesisir (rumah tangga perikanan), baik oleh Birokrasi Pemerintahan (Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten ataupun Lebaga Pemerintah lainnya) maupun (LSM) Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan (LPIP). Kegiatan yang mereka lakukan sebenarnya merupakan upaya untuk mencari jalan dalam mengatasi persoalan hidup yang dihadapi oleh masyarakat 6 desa pantai, Kecamatan Muncar Kabupaten banyuwangi.



Masalah yang menjadi pokok perhatian yang harus dapat diungkapkan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana upaya pemerintah melalui kebijakannya memberdayakan masyarakat Pesisir dalam usaha meningkatkan kesejahteraannya. Bagaimana upaya LSM LPIP memberdayakan masyarakat Pesisir dalam usaha meningkatkan kesejahteraan, Bagaimana sinergi atau pola kerja sama yang dilakukan Birokrasi Pemerintah dan (LSM) LPIP dalam memberdayakan masyarakat pesisir dan bagaimana masyarakat merespon dan memberi makna terhadap upaya pemberdayaan yang dilakukan oleh negara (birokrasi) maupun LSM”.


Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
1 Bagaimana upaya Birokrasi Pemerintah Daerah memberdayakan masyarakat pesisir dalam meningkatkan kesejahteraan.
2 Bagimana upaya dan keterlibatan (LSM) Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan (LPIP) memberdayakan masyarakat pesisir dalam meningkatkan kesejahteraan.
3 Bagaimana sinergi Birokrasi Pemerintah dan Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan (LPIP) memberdayakan masyarakat

pesisir dalam meningkatkan kesejahteraan.
4. Bagaimana masyarakat merespon dan memberi makna terhadap upaya pemberdayaan baik yang dilakukan oleh Birokrasi Pemerintah maupun Lembaga Pengembangan Industri pedesaan.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut :
1 Menemukan kendala-kendala yang dihadapi baik oleh birokrasi pemerintah maupun LSM dalam mengimplementasikan kebijakan dan program pembangunan di tingkat lokal.
2 Mengetahui kelebihan dan kekurangan dari sinergi antara (LSM) LPIP Surabaya dengan Birokrasi Pemerintah Daerah dalam memecahkan permasalahan pembangunan masyarakat pesisir dihadapi keduanya.
3 Mendeskripsikan pemahaman dan respon masyarakat terhadap upaya pemberdayaan yang dilakukan LSM dan Birokrasi Pemerintah.
4 Menyodorkan alternatif pemecahan/solusi bagi peningkatan peran birokrasi pemerintahan daerah dalam pelaksanaan pembangunan yang sejalan dengan bingkai pemberdayaan.
5 Memperoleh informasi yang akurat tentang respon masyarakat terhadap upaya pembangunan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun LSM.


Manfaat Penelitian.
Manfaat penelitian ini adalah:
1 Salah satu wujud kontribusi akademik dalam mengembangkan konsep pembangunan dalam perspektif pemberdayaan.
2 Bermanfaat bagi kepentingan pengembangan Ilmu Administrasi Negara dalam era otonomi daerah ini.
3 Memberikan suatu gagasan dan solusi bagi aparatur birokrasi didaerah maupun kelompok masayarakat lainnya agar mendapat wawasan baru tentang pembangunan dari perspektif pemberdayaan serta relevansi dan dampaknya bagi pengembangan sosial ekonomi di daerah.

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif, yakni penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran mendalam tentang permasalahan yang akan diteliti.
Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong, penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatannya diarahkan pada latar dan individu secara holistik (utuh). Dalam hal ini peneliti tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi kedalam variabel atau hipotesis, tapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu yang utuh (Moleong, 2000).
Fokus Penelitian
Fokus penelitian adalah penetapan masalah yang menjadi pusat perhatian, karena itu fokus penelitian terkait erat dengan perumusan masalah yang sekaligus menjadi acuannya. Berkaitan dengannya maka fokus penelitian ini adalah :
1 Upaya Birokrasi Pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat pesisir.
2 Upaya Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan dalam pemberdayaan masyarakat pesisir.
3 Bentuk kerja sama (sinergi) yang dilakukan oleh Birokrasi Pemerintah dan Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan dalam Pembangunan masyarakat pesisir: Bagaimana bentuk kerja samanya; Bagaimana prosesnya, dan sampai pada pelaksanaannya. Bagaimana pola interaksinya apakah

yang terjadi lebih nampak ‘’konfliknya’’ atau ‘’kerjasama’’ atau ‘’persaingan’’.
4. Respon atau tanggapan masyarakat terhadap upaya pemberdayaan baik yang dilakukan oleh Birokrasi Pemerintah maupun Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang ditetapkan oleh peneliti adalah 6 desa pantai di kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi, yang sekaligus sebagai sasaran /kelompok dampingan dari Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan (LPIP). Desa-desa tersebut merupakan kelompok binaan LSM dan juga sasaran program/kebijakan dari Pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang masih tertinggal jauh dari segi kesejahteraan.
Sumber Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini bersumber dari para informan. Informan yang dimaksudkan adalah: orang–orang yang dianggap mengetahui benar suatu fenomena yang menjadi obyek penelitian, sehingga dapat membantu penulis dalam menggali infomasi yang diperlukan. Penulis juga mengamati kejadian atau peristiwa(yang merupakan data) yang terjadi selama dalam proses penelitian ditambah dengan dokumen dan catatan yang terkait dengan masalah yang diteliti. Dokumen tersebut tidak lain adalah sumber data yang berwujud data arsip, laporan dan peraturan-peraturan tertentu serta gambar atau foto yang dapat mendukung peneliti memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini.


Teknik Pengumpulan Data
Langkah Peneliti dalam pengumpulan data yaitu:
1. Mendatangi lokasi penelitian (Getting in); dengan segala macam persyaratan yang sudah dipenuhi dan memperoleh penerimaan dari orang-orang atau informan akan didekati.

2. Kondisi saat berada di lokasi penelitian (getting along) berusaha melakukan hubungan langsung secara pribadi yang akrab dengan subyek penelitian.
3. Mengumpulkan data (logging data) dengan teknik sebagai berikut: a). Wawancara mendalam (in-depth interview); b). Observasi; c). Dokumentasi.



Teknik Analisis Data
Analisis data mencakup kegiatan menelaah data, membaginya menjadi satuan-satuan yang dapat dikelola, menghubungkan, mencari pola, menemukan apa yang penting dan apa yang akan dipelajari dan memutuskan apa yang akan dilaporkan (Bogdan dan Biklen, 1990). Analisis data selama pengumpulan data dilakukan setiap kali suatu peristiwa yang menjadi fokus penelitian selesai direkam dan dirupakan dalam bentuk laporan lapangan. Analisis data ini dapat merupakan
(1) data apa yang masih perlu dicari, (2) hipotesis apa yang harus di tes, (3) pertanyaan apa yang harus dijawab, (4) metode apa yang harus dipakai untuk mencari informasi baru, (5) kesalahan apa yang harus diperbaiki ( Nasution, 1988)

Keabsahan Data
Secara konseptual keabsahan data merupakan standart kepercayaan dari suatu penelitian. Moleong, (2000) dan Nasution (1996) menetapkan empat kriteria/teknik pemeriksaan data keabsahan data. Keempat kriteria tersebut adalah: Credibility (derajad kepercayaan), Transferability (keteralihan), Dependability (ketergantungan), Confirmability ( konfirmasi).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Deskripsi LSM Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan
Yayasan Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan atau yang disingkat dengan “LPIP’’ didirikan pada tanggal 11 Pebruari 1988 di bawah Notaris Wachid Hasyim, SH dengan dokumen resmi no. 23 di Surabaya, bersifat Independen. LPIP berasaskan Pancasila. Tujuan pendirian Yayasan tersebut untuk memberikan motivasi dan pembinaan dalam pengembangan industri kecil di pedesaan sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara sehat, mandiri dan profesional (AD dan ART:1).
Berpijak pada tujuan yang disebutkan di atas LSM Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan memandang bahwa perkembangan industri nasional kebanyakan dikuasai pihak swasta dan konsentrasi mereka adalah industri besar dengan menggunakan teknologi tinggi. Satu dari konsekwensi yang penting adalah keberadaan jenjang dari perkembangan industri besar, menengah dan kecil. Kondisi semacam ini tidak menguntungkan perkembangan ekonomi dan sosial secara nasional. Dengan semakin bertumbuhnya perekonomian nasional khususnya sektor industri, maka persaingan usaha semakin kompetitif antara industri besar, menengah dan kecil. Disamping itu dalam perspektif ekonomi global akan berdampak pada lesunya industri/kelompok usaha menengah dan kecil. Kondisi ini jika tidak diantisipasi lebih dini, maka kelompok industri menengan dan kecil terlebih di pedesaan yang jauh dari tekhnologi modern dan modal yang terbatas akan semakin terpuruk bahkan gulung tikar.
Memperhatikan persoalan tersebut maka LSM Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan (LPIP) mengambil peran untuk membantu industri kecil terutama yang ada dipedesaan dengan beberapa pemikiran yaitu: Pertama, menyadari bahwa peran industri kecil sangat besar dalam menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka usaha untuk mendorong, mengembangkan dan meningkatkan kinerja industri tersebut sangat diperlukan; Kedua, tanggung jawab untuk pengembangan industri kecil tidak hanya tugas pemerintah tetapi juga swasta dan institusi lain yang mempunyai komitmen untuk mengembangkan industri kecil di masa mendatang. Usaha mengembangkan industri kecil sangat kompleks, meliputi aspek kemampuan, kualitas produk dan manajemen produksi, keuangan, pemasaran, tekhnologi dan sebagainya; Ketiga, menyadari bahwa partisipasi yang efektif hanya dapat dilakukan melalui usaha-usaha yang teratur, terprogram dan terus menerus. Berdasar tujuan dan hal-hal mendasar yang menjadi prioritas utama program dari LSM Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan yaitu program yang sedang dan bahkan yang sudah dilaksanakan antara lain:


(2) Meningkatkan pengetahuan dibidang pengembangan industri, khususnya industri kecil dan menengah.
(3) Pendidikan kewirausahaan yang terus menerus bagi generasi muda.
(4) Pendidikan keahlian dan manajemen bisnis untuk pengusaha disektor ekonomi kelas bawah dan industri.
(5) Perkembangan dinamika kelompok di pedesaan untuk mengembangkan aktivitas ekonomi produktif.
(6) Perkembangan kelompok usaha industri kecil dan tekhnologi sederhana untuk industri kecil.
(7) Mempererat kerjasama orang-orang yang mempunyai minat dan hal-hal lain yang berkaitan dengannya (Profil LPIP: 1).

Disamping tujuan yang sudah dikemukakan diatas yakni untuk menopang perekonomian nasional dengan mendorong tumbuh dan berkembangnya industri kecil dipedesaan, LSM Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan juga merasa terpanggil mengemban misi membangun masyarakat. Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan ingin terlibat langsung membantu masyarakat miskin atau yang belum beruntung baik yang ada di desa maupun di perkotaan.
Sejak berdiri, lembaga ini sudah menunjukkan kinerja yang mengagumkan, terutama dalam hal memberdayakan masyarakat pedesaan. Sudah banyak pula kegiatan yang dilakukan yang memberikan manfaat positif bagi pengembangan masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang pernah dilakukan dan menunjukkan hasil yang memuaskan antara lain: Jaringan distribusi air bersih dengan sistem pompa air di Mojokerto, melatih pekerja lapangan untuk tenaga baru dan tenaga konservasi pedesaan di daerah Mojokerto dan Surabaya, Tahun 1992 beberapa kali menyelenggarakan pendidikan dan latihan kewirausahaan bagi generasi muda Islam untuk daerah Bondowoso dan Jember, bekerjasama dengan BPD HIPMI Jawa Timur, Menyelenggarakan pendidikan keahlian dalam bidang manajemen bisnis pengusaha kelas bawah dan industri kecil di kabupaten Sidoarjo, Blitar, Tulungagung bekerjasama dengan STIESIA INKINDO dan PTP
XXIII. Pengembangan usaha bagi industri kecil dan home industri di Muncar Kabupaten banyuwangi dengan membentuk kelompok kelembagaan serta mengadakan pendampingan, pembentukan dan pemantapan kelompok pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis komunitas (PSBK) di Muncar Banyuwangi, identifikasi masyarakat pra sejahtera di Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi. Pendampingan dalam rangka community Development di Muncar Banyuwangi dan lain-lain. Yang kesemuanya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan yang saat ini masyarakat sedang menikmati manfaat dari hasil pendampingan yang dilakukan oleh Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan tersebut.
Pengalaman Kerja Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan yang sempat dicatat dan yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tahun 1987: Pelatihan untuk pengembangan pekerja tingkat nasional, LPIP sebagai fasilitator, dan Instruktur Pelatihan, bekerja sama dengan Divisi SDM Direktorat Jenderal Bina Lindung Direktorat Jenderal Perlindungan Alam dan Pemeliharaan dan menengah. LPIP yang bertindak Margasatwa. Kontrak kerjasama sebagai fasilitator, motivator dalam dengan departemen tersebut selama 12 meningkatkan sumber daya bulan. perorangan. Bekerja sama dengan


1 Tahun 1988–1989: Pendidikan Pemda Kediri, Sidoarjo, Blitar dan alternatif untuk pengembangan Tulungagung, PTP XXIII. Kelompok Masyarakat pedesaan yang mencakup sasaran adalah pengusaha kecil di 35 desa di Kabupaten Mojokerto, LPIP Kabupaten tersebut. sebagai Fasilitator dan motivator, 8. Tahun 1992 (kurang lebih 6 bulan): bekerja sama dengan Pemda Membangun usaha untuk industri Mojokerto. Lamanya kontrak kerja rumah tangga dan industri kecil. LPIP sama 24 bulan. bertindak sebagai fasilitator, motivator.
2 Tahun 1989 (kurang lebih 4 bulan): Bekerja sama dengan LPM STIESIA-Studi awal mengenai perencanaan dan INKINDO Jawa Timur. Kelompok pengembangan teknologi tepat guna sasaran adalah: Kediri dan Sidoarjo. yang berhubungan dengan kesempatan 9. Tahun 1992 (kurang lebih 4 bulan : kerja di sektor industri, LPIP yang Pengkajian potensi perikanan pelogis merencanakan, menyusun dan dan tingkat penyusutannya di perairan merekomendasikan ke pemerintah. utara lamongan. LPIP bekerja sama Bekerja sama dengan PERBINIKON dengan FMIPA UNAIR dalam proses Departmen Pekerjaan Umum Jakarta. penelitian.
3 Tahun 1990-1991: Upaya 10. Tahun 1992-1993 ( selama 16 bulan): membangkitkan kreativitas masyarakat Membentuk dan mengembangkan untuk memperoleh air bersih melalui dinamika kelompok di daerah pedesaan sitem penyimpana air. LPIP yang untuk meningkatkan aktivitas ekonomi memberi motivasi dengan berbagai produktif. LPIP bertindak sebagai ragam materi antara lain dinamika motivator, komunikator dengan kelompok. Partner kerja sama dengan kelompok sasaran yang berasal dari Pemda jawa timur dan Bina desa Sidoarjo, Blitar, Tulungagung dan Jakarta. Kelompok masyarakat yang bekerja sama dengan LPM STIESIA-menjadi sasaran proyek adalah Malang INKINDO Jawa Timur. Selatan. 11. Tahun 1992-1994 ( 28 bulan): pelatihan
4 Tahun 1991: Membangun kapasitas kewirausahaan bagi generasi muda dan dan mengembangkan kelompok santri di pondok pesantren. LPIP masyarakat di daerah pedesaan. LPIP sebagai eksekutor, motivator dan merencanakan, memfasilitasi, fasilitator dengan kelompok sasaran memotivasi dan membentuk dinamika adalah Kabupaten Sampang, Sumenep, kelompok. Kerja sama dengan Madura. Bekerja sama dengan BPD Kabupaten Mojokerto dan Surabaya HIPMI Jawa Timur. Barat. 12. Tahun 1992-1993 (12 bulan): Penelitian
5 Tahun 1991: Pelatihan untuk pekerja mengenai pengembangan industri kecil lapangan mengenai penggunaan energi di daerah pedesaan. LPIP sebagai baru dan konservasi energi pedesaan. perencanaan, fasilitator, motivator LPIP terlibat aktif dalam membuat bekerja sama dengan Kecamatan Puri perencanaan, pelatihan dan menjadi Kabupaten Mojokerto. fasilitator. Kerja sama dengan 13. Tahun 1993-1994 (12 bulan): Sistem Direktoran Jenderal Listrik dan Energi irigasi untuk pengembangan pertanian Baru. Kelompok sasaran pelatihan dengan sistem pompa mesin. LPIP adalag pekerja lapangan untuk bertindak sebagai penyusunan, Mojokerto dan Surabaya. perencanaan dan supervisi. Kelompok
6 Tahun 1992: Latihan untuk keahlian sasaran adalah petani Kecamatan manajemen usaha bagi pengusaha kecil Gedek dan Puri Kabupaten Sidoarjo.

1 Tahun 1993-1994 (24 bulan): Meningkatkan pendapatan rumah tangga masyarakat pedesaan melalui pendirian sistem kredit dan tabungan untuk kelompok lokal. LPIP sebagai perencana fasilitator dan motivator. Kelompok sasaran adalah masyarakat pedesaan Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto.
2 Tahun 1994-1995 (24 bulan): Desiminasi teknologi tepat guna untuk produsen tahu kecil. LPIP berinisiatif dan melakukan sendiri dengan kelompok sasaran yang selektif yaitu, 35 pengrajin di sekitar kota Surabaya.
3 Tahun 1995-1996 (12 bulan): Pengolahan kembali limbah silikon untuk menambah pendapatan masyarakat. LPIP bertindak sebagai perencana, studi kelayakan dan pemasaran. Kelompok sasaran masyarakat sekitar PLTU Paiton bekerja sama dengan PP Nurul Jadil Probolinggo.
4 Tahun 1998 ( 6 bulan): Pelatihan untuk pemuda terdidik yang terkena PHK. LPIP bekerja sama dengan Depnaker Jawa Timur. Kelompok sasaran 35 kelompok pemuda di Kabupaten Mojokerto.
5 Tahun 1998-2005 (78 bulan): Proyek Pembangunan Masyarakat Pantai/pesisir dan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan untuk Pekerjaan Sumber Daya Perikanan Berbasis Komunitas (PSBK) di Kecamatan Muncar Banyuwangi. LPIP bekerja sama dengan Dinas Perikanan Jawa Timur pada mulanya yang sekarang sudah dialihkan ke Dinas Kelautan dan Perikanan Banyuwangi yang didukung oleh masyarakat pesisir yang merupakan kelompok sasaran pemberdayaan. Dari seluruh kegiatan yang pernah dilakukan oleh LPIP tersebut di atas memberi dampak yang positif bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan.


Peran dan Keterlibatan Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Pembangunan dalam konteks pemberdayaan merupakan komitmen dan misi utama dari Lembaga Swadaya Masyarakat, karena pemberdayaan mengandung makna keterlibatan komponen masyarakat tanpa ada paksaan tapi berdasarkan kesadaran dan inisiatif dari masyarakat itu untuk membangun dirinya. Kesadaran itulah yang merupakan potensi untuk dikembangkan agar partisipasinya lebih nyata. Demikian pula peran dan keterlibatan Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan sebagai salah satu LSM yang bergerak dibidang pengembangan masyarakat yang juga punya komitmen terhadap pembangunan masyarakat.
LPIP adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial ekonomi masyarakat pedesaan. Sesuai namanya LPIP sangat peka dan komit terhadap masalah industri kecil pedesaan yang merupakan sumber nafkah dari sebagian masyarakat Indonesia. Fokus kegiatannya lebih menitikberatkan pada Industri kecil, home industri untuk berkembang dalam menopang ekonomi rumah tangga.
LPIP bersifat nirlaba, non sektarian dan bebas dari aliran politik tertentu, sudah bekerja lebih dari 9 Kabupaten di Propinsi Jawa Timur. Bermacam-macam kegiatan yang sudah dilakukan yang berkaitan dengan peningkatan ekonomi rumah tangga bagi keluarga-keluarga tani di pedesaan. Lembaga ini, semula pada saat berdirinya menggunakan dananya sendiri untuk kegiatan sosialnya, kemudian dalam perkembangannya karena kesuksesannya membina kelompok sosial ekonomi produktif banyak yang melirik lalu membantu terutama yang berasal dari Lembaga-lembaga amal internasional, nasional dan juga pemerintah melalui kerjasama pola kemitraan.
LPIP merupakan lembaga pengembangan masyarakat yang memusatkan perhatian pada masyarakat kurang mampu di pedesaan, dengan mendasari pada keyakinan bahwa masyarakat kurang mampu dipedesaan tersebut dapat memperbaiki dirinya dari lingkaran kemiskinan dengan usaha penyadaran bahwa mereka memiliki potensi dan daya dukung yang sekali waktu dapat mandiri. Oleh karena itu, untuk dapat mewujudkannya LPIP tidak hanya percaya pada data masyarakat pra sejahtera yang dikeluarkan dari pemerintah, tapi mereka berusaha turun dan mendata keluarga miskin dengan cara dan kriteria yang mereka tetapkan yang menurut ukuran mereka bahwa keluarga tersebut benar-benar pra-sejahtera.



Dalam memberdayakan masyarakat pra-sejahtera, LPIP tidak datang dengan konsepnya sendiri, tapi konsep yang dibawa LPIP adalah keinginan dan kebutuhan serta kesadaran yang berasal dari masyarakat untuk berbuat apa dalam memperbaiki kehidupan mereka sendiri dan LPIP bertindak sebagai fasilitator. LPIP menjalin kerja sama dengan masyarakat pra-sejahtera, untuk meningkatkan kapasitas dan akses keberbagai fasilitas dasar dan sumber daya demi peningkatan kesejahteraan mereka. Dengan kata lain LPIP dalam melihat persoalan sosial ekonomi masyarakat pra-sejahtera dilakukan melalui kacamata masyarakat yang diberdayakan atau melakukan pekerjaan atau kegiatan melalui perspektif masyarakat, artinya memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya nilai tambah sebuah produk dari industri kecil yang bermuara pada peningkatan sosial ekonomi masyarakat.
Berangkat dari perspektif pendekatan penanganan persoalan sosial ekonomi masyarakat melalui cara pandang masyarakat sebagaimana diuraikan di atas, maka untuk memperlancar operasional atau aktivitas LPIP, seluruh komponen anggota, mulai dari unsur Pimpinan Lembaga/Yayasan LPIP telah diikat atau disyaratkan oleh Visi, Misi dan Strategi yang jelas dan terarah sehingga kinerja mereka dapat diukur.
Visi dari LPIP adalah: seluruh masyarakat pra-sejahtera/miskin atau yang belum beruntung, LPIP dapat mengembangkan potensi mereka secara bertanggung jawab dan utuh dalam lingkungan sosial yang beradab dan adil. Sedangkan, misi LPIP adalah mendampingi masyarakat pra-sejahtera/miskin untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya membangkitkan partisipasinya dalam usaha ekonomi produktif dengan memandang masyarakat sebagai mitra sebagaimana konsep dan pola yang sudah ditetapkan melalui visi yakni mengembangkan potensi mereka secara bertanggung jawab yakni yang berdayaguna dan berhasilguna dan utuh dalam lingkungan sosial yang beradab dan adil melalui:
1 Secara langsung bekerja bersama dengan masyarakat pra-sejahtera/miskin dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar mereka. Dan mencari usaha alternatif yang lain sebagai tambahan pendapatan mereka
2 Upaya peningkatan sosial ekonomi masyarakat dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat pra-sejahtera tentang pentingnya nilai tambah dari produk industri kecil/home industri.
3 Membentuk kelompok-kelompok usaha produktif dan atau mengembangkan kelompok usaha yang sudah ada kearah yang lebih sehat dan mandiri.

4 Pendampingan terhadap kelompok usaha atau rumah tangga produktif yang ada dimasyarakat, serta memberikan penyadaran tentang pentingnya pengembangan ekonomi produktif dan usaha pemasaran.
5. Mengadakan kerja sama dengan segenap komponen, baik pemerintah, kalangan dunia usaha, lembaga amal/ dan para donatur/sponsor dan Lembaga perkreditan guna kelancaran pelaksanaan program pembangunan masyarakat yang sesuai dengan cita-cita dan keinginan masyarakat.
Strategi yang digunakan oleh LPIP dalam rangka memberdayakan masyarakat miskin dan konflik-konflik sosial khususnya di Muncar adalah sebagai berikut:
1. Participatory Rural Appraisal PRA adalah pendekatan dan metode yang memungkinkan masyarakat untuk saling berbagi, meningkatkan dan menganalisis pengetahuan mereka tentang kondisi, membuat rencana tindak lanjut dan sekaligus mengaktualisasikan rencana tindak tersebut. Melalui metode ini diharapkan akan ditemukan secara tepat tentang kondisi riil kelompok sasaran pendampingan, yaitu :kelompok nelayan (rumah tangga perikanan) atau forum masyarakat.



1 Institutional and Capacity Building Adalah cara untuk membangun institusi atau lembaga baik dari struktur dan sitemnya maupun kinerjanya. Metode ini digunakan untuk mendorong kelompok nelayan dan kelompok perikanan lokal, sehingga secara kelembagaan struktur dan sistemnya mantap dan memadai sesuai dengan kebutuhan yang ada disertai dengan kinerja yang baik, aktif bahkan reponsife terhadap setiap gerak dan dinamika masyarakat.
2 Technical and Advisory Assistence Strategi ini digunakan untuk meningkatkan kemampuan teknis dan ketrampilan para pengurus lembaga kelompok nelayan (rumah tangga perikanan) dan kelompok perikanan lokal untuk menyusun sistem manajemen pengelolaan organisasinya.
3 Transactive Proces Adalah suatu metode pembangunan atau pengembangan masyarakat yang mencoba mentransaksikan antara inisiatif atau nilai-nilai dari luar dengan inisiatif dari nilai-nilai lokal. Metode ini digunakan untuk peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok rumah tangga perikanan dan juga untuk menyusun kesepakatan-kesepakatan tentang aturan pengelolaan keanekaragaman hayati laut yang berlaku dalam masyarakat perikanan.
4 Social Marketing Metode ini digunakan untuk sosialisasi aturan-aturan kesepakatan lokal kepada semua masyarakat perikanan, yang telah

disepakati wakil-wakilnya di tingkat
kelompok rumah tangga perikanan.
Selanjutnya lingkup kegiatan/aktivitas Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan dalam rangka mengemban visi dan misinya seperti yang diuraikan di depan khusus yang memberikan perhatian kepada masyarakat miskin pedesaan dalam hal ini Kelompok nelayan (rumah Tangga perikanan) 6 desa pesisir Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi. Masalah yang paling menonjol di lokasi penelitian tempat dimana LPIP melakukan kegiatan adalah Kemiskinan/ kesenjangan yang nampak antara kelompok masyarakat (kaya dan miskin), kerusakan dan perebutan sumber daya perikanan. Misi pemberdayaan atau usaha-usaha nyata yang dilakukan oleh LPIP adalah hal-hal sebagai berikut: 1). Mendamaikan kelompok nelayan (rumah tanga perikanan) yang konflik akibat perebutan sumber daya perikanan; 2). Pemberdayaaan dan Pemantapan Kelompok Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Komunitas (Kelompok PSBK), dalam rangka peningkatan pendapatan masyarakat dengan cara membentuk kelompok usaha produktif atau mengembangkan kelompok yang sudah ada kearah yang lebih sehat dan mandiri dan mencari akses pasar, akses modal dan teknologi dan sosialisasi manfaat tanaman bakau/mangrove dan usaha penanaman kembali oleh masyarakat; 3). Sanitasi Lingkungan.
LSM-LPIP terus melakukan pemantauan dan juga kegiatan-kegiatan dampingan serta melayani konsultasi terhadap kelompok-kelompok dampingan. Kelompok-kelompok usaha produktif yang sudah berjalan tersebut, telah melewati pelatihan-pelatihan manajemen organisasi, bagaimana mengembangkan usaha, bagaimana peluang pasar dan pengenalan teknologi. Usaha-usaha tersebut memang ada yang gagal, dan yang gagal tersebut sebenarnya lebih merupakan ketidak kompakan para anggota dan ketersediaan sarana pendukung.
Sesuai dengan visi, misi dan strateginya, LSM-LPIP telah memfokuskan pada kegiatan-kegiatan yang produktif yakni mendorong serta melibatkan masyarakat pesisir yang belum beruntung/miskin dalam setiap kegiatan seperti yang telah dijelaskan di atas, dan mendorong pula untuk mengadakan kegiatan alternatif yang produktif lewat kelompok usaha yang ada untuk berjaga-jaga apabila musim paceklik tiba. Memang harus diakui bahwa usaha yang dilakukan oleh LPIP tersebut tidak seratus persen diterima masyarakat 6 desa pesisir. Kecurigaan dan sikap masa bodoh dari sebagian masyarakat menjadi kendala utama dalam setiap upaya dan program yang dilakukannya.



Peran dan keterlibatan LSM-LPIP di enam desa pesisir, juga diarahkan untuk menangani masalah lingkungan yang kurang sehat, seperti membuang sampat tidak pada tempatnya, limbah industri yang tidak terkendali, serta limbah-limbah/sampah yang berasal dari nelayan yang tidak terkontrol. Untuk mengatasi masalah ini, perlu dukungan dan keterlibatan LSM-LPIP dalam bentuk fisik maupun non fisik. Keterlibatan dalam bentuk fisik seperti membangun bak sampah permanen, Perbaikan MCK umum, membuat TPS-TPS baru yang kecil yang gampang dipindah-pindah, misalnya gerobak sampah dan pemetaan sumber air bersih. Dalam bentuk non fisik yaitu sosialisasi manfaat hidup sehat dilihat dari sudut pandang agama, karena masyarakat Muncar adalah masyarakat yang agamis.
Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang melayani rakyatnya dan senantiasa berada bersama rakyatnya. Yang juga sebuah kehidupan demokrasinya bermakna “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang demokratis.
Sebuah negara yang sangat besar dan luas seperti Indonesia, memerlukan desentralisasi pemerintahan. Pemerintahan yang terdesentralisasi dan otomatis terotonomi menjadikan unit-unit pelayanannya (sejak perencanaan hingga pelaksanaan) berada didekat rakyat. Dan ini yang diamanatkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang sekarang sedang dalam taraf implemetasi. Sejauhmana pelaksanaannya tergantung dari masing-masing daerah otonom yang selama ini telah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan kemampuan SDM (Aparatur Pemerintahan di daerah), kelompok-kelompok masyarakat maupun SDA yang dimiliki oleh daerah itu.
Oleh karena pembangunan daerah yang didalamnya tercakup pembangunan desa merupakan bagian integral dari pelaksanaan pembangunan nasional, maka pengelolaannya harus secara terpadu dan searah antara pembangunan nasional dan daerah. Oleh karena itu penetapan kebijakannya baik yang menyangkut perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasannya juga tetap mengacu pada penetapan kebijakan nasional. Keterpaduan program pembangunan dimaksud ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional tahun 2000-2004 yang walaupun sampai sekarang ada daerah yang tidak seratus persen melaksanakannya dan masih ada daerah berpedoman pada aturan yang lama, sepanjang tidak bertentangan.
Seiring dengan bergulirnya arus reformasi, yang ditandai dengan semakin banyaknya tuntutan masyarakat, maka sistem penyelenggaraan pemerintahan harus dilaksanakan secara transparan dan akuntabel. Tuntutan masyarakat tersebut mencakup kualitas kinerja instansi pemerintahan yang didalamnya meliputi aspek pertanggungjawaban pelaksanaan tugas para pejabat pemerintah, baik secara administratif dan manajerial maupun yuridis formal yang secara politis dan moral harus diakomodasi oleh aparat pemerintah daerah.
Pemerintahan Kabupaten Banyuwangi dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan bertekad dengan mengedepankan penegakan hukum, asas responsif, asas profesionalitas, asas partisipasi, asas akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Keberhasilan otonomi daerah tidak terletak pada pundak eksekutif saja, akan tetapi juga menjadi taggung jawab pihak legislatif daerah dan segenap komponen masyarakat.



Oleh karena itu pelaksanaan otonomi daerah dalam konteks pembangunan di daerah juga melibatkan peran stakeholders sebagai wujud pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat sebagai wujud partisipasi dalam proses penyusunan program pembangunan daerah merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian dapat meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan daerah.
Melalui Program Pembangunan Daerah, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dapat memetakan stratejik dalam rangka meningkatkan pemberdayaan yang ditekankan pada identifikasi dari upaya dan langkah-langkah yang dilakukan agar Kabupaten Banyuwangi dapat lebih maju dalam akselerasi pembangunannya. Perumusan Program Pembangunan Daerah dilakukan secara transparan dengan mengikutsertakan berbagai pihak mulai dari kalangan pemerintah (eksekutif), dunia uaha, kalangan akademisi (Perguruan Tinggi) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta stakeholders. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan masukan yang merupakan perwujudan partisipasi dan tanggung jawab bersama dalam pembangunan Kabupaten Banyuwangi.
Berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat pesisir, maka program pembangunan yang disusun sudah termasuk dalam pokok dan arah kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Daerah. Masalah-masalah yang bersifat spesifik/sektoral juga menjadi perhatian dalam Perencanaan strategis Daerah yang diserahkan pelaksanaannya pada dinas atau instansi yang menjadi tanggung jawabnya dan pemerintahan terdekat yang langsung berada dengan masyarakat. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi adalah merupakan instansi yang amat berkaitan langsung dengan pemberdayaan masyarakat pesisir yang dapat berkoordinasi dengan Camat dan Kepala Desa dan instansi terkait setingkatnya guna kelancaran pelaksanaan kegiatan pembangunan. Dinas Kelautan dan Perikanan memiliki program dan proyek pembangunan masyarakat pantai sebagai bagian dari program pembanguna daerah yang sudah lama bahkan berpuluh tahun sejak Kabupaten Banyuwangi terbentuk yang diikuti dengan pembentukan Dinas tersebut. Tetapi masyarakat pantai/pesisir kehidupannya sampai hari ini masih terlihat belum layak secara ekonomi dari sebagian penduduknya. Hal ini disebabkan salah satunya adalah adanya kebijakan Pemerintah dimasa lalu yakni kebijakan revolusi biru atau modernisasi perikanan yang lebih banyak berdampak negatif dari pada positfnya.
Upaya pemerintah untuk mengatur pemanfaatan dan menjaga kelestarian sumber daya hayati laut sehingga tidak terjadi konflik antar para aktor yang memanfaatkannya telah menerbitkan kebijakan berupa:
1 Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 607.Kpts/Um/9/1976 tentang pembagian wilayah penangkapan berdasarkan tingkat kualifikasi peralatan tangkap yang dimiliki oleh nelayan
2 Keppres No. 39/1980 tentang penghapusan operasi kapal pukat harimau (trawl).
3 Undang-undang Nomor 9 tahun 1985 pasal 23 sampai dengan 31 tentang pengawasan dan penegakan hukum.
4 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya, yang ditetapkan dalam rangka pelaksanaan kebijaksanaan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan. Undang-undang ini menetapkan perlunya konservasi segenap sumber daya alam dan ekositem yang terkait serta pemanfaatan yang berwawasan lingkungan.
5 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1990, tentang usaha perikanan.
6 Peraturan Pemerintah nomor 51 Tahun 1993 tentang analisis Dampak Lingkungan. Pada Tahun 1990 telah dibentuk Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) yang bertugas untuk melaksanakan segenap kebijaksanaan pengelolaan dampak

lingkungan termasuk dalam hal pencemaran laut.
1 Keputusan Presiden Nomor 85 Tahun 1982 tentang penggunaan pukat udang.
2 SK. Menteri Pertanian Nomor 123 /Kpts/Um/3/1975 tentang melarang semua kegiatan penangkapan kembung, layang, selar, lemuru, dan ikan-ikan pelagis sejenisnya dengan menggunakan Purse seine dengan mata jaring tertentu.
3 Surat Keputusan Bersama (SKB) antara menteri Pertanian Nomor 82/1984 dengan menteri Kehutanan KB. 550/1984 tentang pengelolaan pesisir pantai.
4 Instruksi Menteri Pertanian Nomor 13/Inst/Um/1/1975 tentang Perlindungan Huta Bakau.
5 Surat Keputusan Direktorat Jendral Perikanan Nomor; Ik/420/S.3-1996 tentang Wewenang PPNS (DGF) sebagai Lembaga Penyidik terhadap Pelanggaran Ketentuan Perundang-undangan Perikanan.
6 Instruksi Gubernur KDH Tk. I Jawa Tyimur Nomor 10 Tahun 1985 tentang Pengaturan Alat Tangkap tadongan di Jawa Timur.
7 Perda Nomor 5 tahun 1976 tanggal 10 Juli 1976 tentang Ppenggunaan Alat-alat Penangkapan Ikan.

Akan tetapi dalam kenyataannya, penegakan hukum terhadap berbagai peraturan tersebut sangat lemah dan ini mengindikasikan seolahh-olah berbagai peraturan tersebut tidak pernah ada. Praktek di lapangan jauh panggang dari api dalam arti bahwa kebijakan pemerintah berupa peraturan yang dikeluarkannya banyak dilanggar dan pelanggaran tersebut tidak ada sanksi hukum yang jelas.
Selanjutnya kebijakan nyata yang serius yang sudah lama dilakukan jauh sebelum Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dari Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dalam hal pelayanan kepada masyarakat pesisir yang mempunyai kekhususan sumber daya perikanan adalah dengan menempatkan kantor Cabang/Resort Dinas kelautan dan Perikanan yang dekat dengan pelabuhan ikan di wilayah Kecamatan Muncar, maksudnya adalah agar memberikan pelayanan yang lebih cepat dan tepat sasaran, sementara enam kecamatan lain yang juga merupakan kecamatan pantai tidak ditempatkan kantor resortnya. . Hal ini dikarenakan wilayah Muncar memiliki daerah yang spesifik yang berkaitan dengan komunitas masyarakat pantai yang kehidupan sebagian warganya sebagai nelayan yang memiliki banyak persoalan klasik seperti konflik-konflik perebutan sumber daya perikanan, kemiskinan yang masih tetap melilit sebagian masyarakatnya dan persoalan lingkunga hidup yang khas.
Terkait dengan penanganan atau pemecahan beberapa problem pembangunan dan pemberdayaan masyarakat pesisir yang dilakukan oleh LSM-LPIP di enam desa pesisir yang merupakan lokasi penelitian, peran Birokrasi Pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang merupakan salah satu tugas pokok yang melekat, melalui instansi-intansi terkaitnya dan pemerintah yang ada di bawahnya melakukan upaya-upaya sebagai berikut: 1). Mendamaikan kelompok nelayan (rumah tangga perikanan) yang konflik akibat perebutan sumber daya perikanan; b). Peningkatan Sosial Ekonomi Masyarakat; c). Sanitasi Lingkungan.
Sinergi Birokrasi Pemerintah dan LSM-Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan dalam Pembangunan Masyarakat Pesisir
Upaya dan peran LSM-LPIP dalam pembangunan masyarakat 6 desa di Muncar dan juga Pemerintah yang merupakan salah satu tugas pokok yang melekat dipundaknya dapat dianalisis sebagai berikut:
Pertama, dalam menyelesaikan konflik yang memang sudah lama terjadi di Muncar akibat perebutan sumberdaya perikanan, LSM-LPIP memakai pola pendekatan partisipatif. Masyarakat (Kelompok Inti yang merupakan representasi dari masyarakat) diajak untuk berdiskusi menyelesaikan problemnya. Masyarakat ditawarkan/disodorkan dengan berbagai alternatif pilihan solusi yang menurut mereka baik yang dapat memuaskan semua pihak. Tawaran yang disampaikan oleh LSM-LPIP adalah proses dialogis yang dapat membangkitkan kesadaran dari masyarakat tentang pentingnya suasana damai dan nyaman.



Sementara Birokrasi pemerintah memakai pola pendekatan kekuasaan yang selama ini menjadi kebiasaannya. Masyarakat ditempatkan sebagai obyek, tidak peduli apa keinginan masyarakat dalam persoalan tersebut. Banyak persolan yang muncul tersebut, dapat diselesaikan tapi tidak memberikan kepuasan semua pihak dan konflik yang kelihatan sudah dapat diatasi tidak lama muncul lagi yang lebih parah. Tidak ada upaya kreatif yang dilakukan oleh pemerintah dalam pola pendekatannya, mereka hanya menggunakan waktu/jam dinas dalam usahanya untuk menyelesaikan konflik dari pada mengatur waktu untuk menyesuaikan dengan kegiatan masyarakat, ini justru menjadi salah satu problem mengapa masyarakat kurang simpatik dengan pola pendekatan yang dilakukan pemerintah, karena kegiatan pertemuan bertabrakan dengan kegiatan masyarakat untuk mencari nafkah. Kehadiran LSM-LPIP di Muncar Banyuwangi mendapat respon yang baik dari pemerintah yang menawarkan pola pendekatan partisipatif dalam menyelesaikan konflik maupun kegiatan-kegiatan lainnya yang berkaitan dengan kepentingan pemberdayaan masyarakat.
Jadi analisis kami terhadap penyelesaian konflik yang terjadi di lokasi penelitian perlu ada kerja sama yang baik secara sinergi dari LSM-LPIP dengan Pemerintah, tanpa harus curiga atau merasa disepelekan. Sikap dan kesediaan pemerintah dalam menerima perubahan paradigma pendekatan yang dilakukan oleh LPIP dalam menyelesaikan konflik adalah merupakan bentuk kerja sama yang efektif. LSM-LPIP tidak dapat melakukan sendiri pekerjaan tersebut walaupun didukung oleh kelompok inti masyarakat seperti tokoh-tokoh agama, pengusaha dan tokoh adat lainnya, kalau tidak didukung oleh pemerintah melalui kebijakan-kebijakan nyata, mustahil konflik dapat diselesaikan dengan baik dan memuaskan semua pihak.
Kedua, dalam usaha meningkatakan sosial ekonomi masyarakat, pembangunan yang ditawarkan kepada masyarakat adalah pembangunan yang menurut perspektif masyarakat. Memberdayakan masyarakat pesisir, baik LSM-LPIP maupun Pemerintah sama-sama memiliki visi dan msi yang jelas. Pemerintah memiliki predikat pelaku pembangunan sudah tidak diragukan lagi melalui kebijakan-kebijakannya. Walaupun implementasinya di lapangan, banyak yang dipertanyakan tentang efektifitasnya. Sementara LSM-LPIP juga punya komitmen terhadap pembangunan masyarakat. Lembaga (Yayasan) dibentuk atas dasar keprihatinan terhadap penduduk yang belum beruntung. Kehadiran LPIP dalam proyek-proyek kerja sama ini lebih difokuskan pada kegiatan usaha yang mengarah pada kemandirian. Pembentukan kelompok usaha bersama ataupun mengembangkan kelompok yang sudah ada merupakan salah satu kegiatan alternatifnya, disamping memberikan advokasi berupa penyelesaian beberapa konflik yang dilakukan bersama-sama dengan komponen inti masyarakat dan pemerintah seperti yang telah dijelaskan didepan dan usaha sanitasi lingkungan.
Ketiga, Kerjasama Birokrasi Pemerintah dengan LSM-LPIP dalam usaha sanitasi lingkungan, sudah cukup banyak dijelaskan didepan. Analisis terhadap kerjasama yang telah dilakukan tersebut, menunjukkan bahwa Birokrasi Pemerintah dalah hal ini Pemerintah Desa yang sangat dekat dengan masyarakat tidak dapat melakukan sendiri persoalan sampah yang dialami warga desanya. Akibatnya sampah bertumpuk dimana-mana dan menjadi masalah yang serius, karena tidak diangkut oleh pasukan kuning dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Hal tersebut diakibatkan kurangnya koordinasi antara Dinas Kebersihan dan Pertamanan dengan Pemerintah Desa setempat dalam soal penanganan sampah. Setelah ada protes dari warga tentang masalah sampah di Dinas Kebersihan, jawabnya bahwa penanganan sampah telah diserahkan kepada Pemerintah desa masing-masing melalui PERDA Banyuwangi.



Sosialisasi dan Implementasi PERDA tersebut dilakukan oleh LSM-LPIP atas permintaan resmi Pemerintah Desa yang mengalami masalah sampah yang serius. Pemerintah Desa memberikan kepercayaan kepada LSM untuk melakukan upaya pendekatan kepada msyarakat tentang masalah penanganan sampah dan teknik-teknik penanggulangannya. Mulanya LSM agak keberatan dengan kepercayaan tersebut, karena merasa tidak berpengalaman soal penanganan sampah. Tapi karena didorong rasa tanggung jawab, maka pekerjaan tambahan ini dilakukan agar lebih dekat dan mendapat simpatik dari masyarakat. Pekerjaan penanganan sampah ini memang pekerjaan yang sifatnya gotong-royong, yang diharapkan agar masyarakat semuanya terlibat aktif dan membayar retribusi sampah yang ditetapkan Pemerintah Desa. Retribusi sampah tersebut tidak menjadi urusan LSM-LPIP, tapi menjadi tanggung jawab Pemerintah Desa sebagai salah satu sumber penerimaan desa.
Analisis terhadap masalah penanganan sampah ini, yang dilakukan oleh LSM-LPIP dengan Pemerintah, dilihat dari perspektif pemberdayaan, amat cocok bagi kepentingan pembangunan dibidang sanitasi lingkungan. Lingkungan yang sehat, indah dan nyaman merupakan dambaan setiap orang. Karena itu pembangunan masyarakat pesisir yang selalu berkait dengan masalah lingkungan juga diberi tempat untuk menjadi perhatian bersama baik dari LSM-LPIP maupun Pemerintah dan masyarakat. Kerja sama secara gotong royong baik dari Pemerintah Desa maupun LSM-LPIP dan masyarakat yang secara sinergi telah memberi hasil yang maksimal yakni tercipta lingkungan yang sehat, bersih, nyaman dan indah yang juga sekaligus menjadi dambaan semua orang.


Respon dan Pemaknaan Masyarakat terhadap Upaya Pemberdayaan yang dilakukan baik oleh Birokrasi Pemerintah maupun LSM-LPIP
Intervensi Birokrasi Pemerintah maupun LSM-LPIP dalam pembangunan masyarakat pesisir di lokasi penelitian akan bermakna kalau mendapat respon positif dari masyarakat yang menjadi sasaran pemberdayaan. Respon masyarakat dalam memaknai pembangunan yang dilakukan oleh Birokrasi Pemerintah maupun LSM-LPIP tentu berbeda satu sama lain. Pada umumnya masyarakat pedesaan kalau berbicara pembangunan, sering diartikan sebagai pembangunan fisik. Misalnya membangun gedung sekolah, rumah ibadat, jalan raya ataupun kerja bakti lingkungan diartikan juga sebagai pembangunan. Memang sangat sederhana pandangan mereka tentang pembangunan dan itu tidaklah salah. Sebab menurut perspektif mereka pembangunan adalah pembangunan itu sendiri.
Maka sangatlah sulit jika ada program pembangunan yang ingin dilakukan bukan pembangunan fisik, apa lagi program tersebut ada dananya untuk pelatihan- pelatihan seperti yang umum dilakukan oleh LSM tidak terkecuali LSM-LPIP. Ditemui di lokasi penelitian, kalau kegiatan pemberdayaan yang dilakukan oleh LSM-LPIP tidaklah mudah dalam pendekatannya kepada masyarakat pesisir, sebab mereka (masyarakat) sudah terbiasa dengan pembangunan-pembangunan fisik yang biasa mereka terima dari pemerintah ataupun bantuan berupa uang langsung kepada mereka membuat suatu usaha tanpa bimbingan lebih lanjut dalam arti usaha penyadaran bahwa mereka memiliki potensi untuk maju.
Kehadiran LSM-LPIP di lokasi penelitian dengan suatu idelisme yang tinggi untuk membangun masyarakat tidak dalam proyek pembangunan fisik seperti yang selama ini dilakukan pemerintah. Kehadiran LPIP lebih banyak memberikan motivasi dan pelatihan-pelatihan kepada kader Pengurus Kelompok Usaha Bersama tentang bagaimana pengadministrasian yang baik, bagaimana manajemen usahanya dan keterampilan penangkapan maupun pengawetan ikan serta juga melatih bagaimana membuat suatu perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi terhadap bidang usaha agar dapat berkembang dengan memuaskan.



Biasanya LSM melakukan need assesment (pejajagan kebutuhan) melalui pendekatan Partisipatory Rural Appraisal (PRA). Dalam konteks PRA yang juga menjadi strategi pendekatan dari LPIP kepada masyarakat mencakup pengenalan potensi dan masalah, penyadaran, perumusan masalah dan penetapan skala prioritas, alternstif pemecahan masalah dan perencanaan, pengorganisasian dan pelaksanaan kegiatan, pemantauan evaluasi dan dtindak lanjut. Pendekatan PRA menekankan keterlibatan masyarakat menjadi pelaku utama, dan hasil yang dicapai merupakan karya dan milik bersama masyarakat. Oleh karenanya dampak yang diperoleh dari pendekatan ini adalah munculnya rasa ikut memiliki, sehingga hasil dari kegiatan yang dilakukan dapat lestari dan berkelanjutan. Sebagaimana yang dilakukan LPIP di wilayah kerjanya namapk telah ada usaha pendekatan dilakukan dengan prinsip PRA kepada masyarakat pesisir. Pendekatan ini juga menjadi pelajaran bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan pembangunan dengan pola botton-up seperi yang dilakukan oleh LSM sehingga terjadi kerja sama yang saling mengisi dalam semua aspek pembangunan. Di lokasi penelitian telah terjadi kerja sama yang sinergis dan harmonis antara LSM-LPIP dengan Birokrasi Pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat pesisir. Kehadiran mereka telah banyak memberikan manfaat bagi peningkatan sosial ekonomi para anggota kelompoknya. Masayarakat dari dusun Tegalpare amat positif menerima kehadiran LPIP untuk bersama mereka membenahi kelompok yang sudah ada menjadi lebih maju dan mandiri. Para pengurusnya mendapakan pelatihan keterampilan pengadministrasian, manajemen dan kepemimipinan. Ada materi yang khusus diberikan kepada pengurus dan anggota yang mempunyai kemampuan untuk menggerakan kelompoknya. Namun jika dicermati lebih dalam pendapat yang disampaikan oleh salah seorang anggota kelompok sido rukun, nampak kecewa dan tidak puas dalam pelayanan/dampingan yang diakukan oleh LPIP maupun pemerintah tersebut. Tapi setelah kami mencoba untuk mendekati pihal LSM dan juga pengurus kelompoknya tentang kekecewaan yang disampaikan oleh anggota kelompoknya tersebut diperoleh keterangan kalau yang bersangkutan pada saat mendapat kunjungan ataupun ada pelatihan, sering tidak berada ditempat, biasanya ke Madura atau ke Banyuwangi.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1 Berbagai macam aktivitas pembangunan yang sudah dilakukan Birokrasi Pemerintah Daerah seperti penyelesaian beberapa konfilk yang terjadi di lokasi penelitian, cenderung menempatkan masyarakat sebagai obyek sengketa yang harus diselesaikan, tanpa memperhitungkan keberadaan dan potensi konflik yang terjadi, sehingga walaupun konflik tersebut dapat didamaikan, namun beberapa waktu muncul lagi. LSM LPIP dalam menangani beberapa konflik yang sempat diselesaikan Birokrasi Pemerintah namun tidak langgeng, menawarkan pola pendekatan yang berbeda, yaitu memakai strategi pendekatan yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pendamai dengan melibatkan mereka (tokoh masyarakat, birokrasi, pengusaha) sebagai mediator.
2 Di lokasi penelitian telah terjadi pembenaran, bahwa hubungan kerja sama yang dilakukan oleh Birokrasi Pemerintah Daerah Banyuwangi dengan LSM Lembaga Pengembangan Industri Pedesan telah berjalan dengan mencapai hasil yang relatif memuaskan dalam memberdayakan masyarakat pesisir. Hal ini terjadi karena ada kerja sama yang saling mendukung terhadap program dan sasaran yang ingin dicapai. Pemerintah membuat kebijakan yang cerdas, penyediaan dananya yang memadai untuk proyek pembangunan masyarakat pantai, LSM Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan sebagai aktor pelaksanaan dilapangan dengan pola pendekatan pemberdayaan yang dilakukannya tanpa campur tangan terlalu jauh dari Birokrasi Pemerintah telah memeberikan hasil yang relatif optimal. Sinergi keduanya telah memberikan dampak positif bagi peningkatan sosial ekonomi masyarakat 6 desa pantai.
3. Memberdayakan masyarakat pesisir untuk usaha ekonomi produktif yang dilakukan Birokrasi Pemerintah melalui proyek pembangunan masyarakat pantai maupun LSM LPIP dengan strategi pendekatan dilakukannya untuk mengimplementasikan proyek tersebut diatas dengan cara membentuk Kelompok Usaha Bersama atau mengembangkan kelompok yang sudah ada kearah yang sehat dan mandiri. Pembentukan kelompok UB tersebut disertai dengan pelatihan-pelatihan bagi kader pengurus kelompok usaha bersama, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk merencanakan, mengembangkan manajemen usaha, administrasi pembukuan sederhana tentang rugi laba. Memberi bantuan kredit berupa dana bergulir, pelatihan keterampilan pengawetan, pengasapan, pemindangan dan lain-lain. 12 (duabelas) dari 27 (dua puluh tujuh) KUB yang berhasil kami datangi dan mewawancarai pengurus maupun anggotanya secara umum mengatakan, bahwa kerja sama keduanya menunjukkan kinerja yang bagus. Kesemuanya itu dilakukan atas dasar keinginan dan potensi yang dimiliki masyarakat. LSM-LPIP dalam mendampingi Kelompok Usaha Bersama tersebut bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Birokrasi Pemerintah menyediakan proyek pembangunan masyarakat pantai disertai dengan dana yang memadai, menyediakan juga tenaga ahli bila LSM-LPIP membutuhkan, keduanya saling berkoordinasi dan bekerja sama secara sinergis.
1 Kegiatan sanitasi lingkungan dilakukan oleh LSM-LPIP dengan pemikiran, bahwa lingkungan bersih, Indah dan Nyaman akan memberikan suatu gairah hidup bagi masyarakat yang mendiaminya. LPIP dalam menangani masalah sampah di lokasi penelitian, bekerja sama dengan Pemerintah Desa. Telah berhasil dengan memuaskan, sampah-sampah yang berserakan dapat diatasi. Retribusi sampah yang ditetapkan pemerintah desa dapat diterima masyarakat berkat sosialisasi yang dilakukan oleh LPIP dengan aparat Desa. Usaha penanaman kembali/ penghijauan bakau yang dilakukan oleh masyarakat pantai di lokasi penghijauan juga telah memberi kenyamanan bagi penduduk yang mendiaminya dan telah memberikan hasil berupa tangkapan ikan disekitar lokasi tersebut yang sebelumnya sulit mendapatkan ikan. Kerja sama keduanya (LSM dan Birokrasi Pemerintah) telah memberi hasil yang relatif optimal bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
2 Impilkasi teoritis dari penelitian ini membenarkan atau mendukung konsep dari Osborne dan Gabler dalam Reinventing Government, bahwa Sinergi antara LSM dengan Pemerintah Daerah adalah agar Birokrasi Pemerintah bertindak sebagai fasilitator, motivator, dan dinamisator dalam pembangunan patut untuk dipertimbangkan. Memang disadari bahwa untuk memerankan tiga fungsi ini bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Sebab mereka akan dibatasi oleh bingkai nilai-nilai politis dan ideologi. Oleh karenanya dalam pembangunan daerah aparat birokrasi tidak akan mampu menjangkau seluruh kebutuhan pembangunan khususnya dibidang sosial ekonomi tanpa melakukan pola kemitraan dengan pihak lain termasuk Lembaga Swadaya




Masyarakat (LSM). Pembenaran di lapangan/ lokasi penelitian, telah ada kerja sama yang saling mendukung antara LPIP dengan Birokrasi Pemerintah dalam pembangunan masyarakat pesisir. Walaupun sedikit banyak ada kekurangannya dari masing-masing pihak dalam mengaplikasikan program.
1 Implikasi praktis dari penelitian ini menampakan bahwa kebanggaan terhadap kehebatan birokrasi pemerintah daerah dalam mengelola pembangunan masih dipertanyakan. Birokrasi juga memiliki keterbatasan, hal ini nampak dari aparat birokrat dari kabupaten Banyuwangi. Birokrasi Pemerintah di lapisan bawahnya tidak mampu mengatasi persoalan konflik sosial nelayan maupun usaha ekonomi produktif bagi masyarakat yang belum beruntung serta usaha sanitasi lingkungan secara sendirian, tapi setelah melakukan interaksi dengan LSM-LPIP dalam usaha kerja sama tersebut dapat mencapai hasil yang relatif lebih optimal dibanding sebelumnya. Penelitian ini dapat menungkapkan sinergi antara Birokrasi Pemerintah dengan LSM-LPIP dalam pembangunan masyarakat Pesisir seperti yang telah disinggung diatas.
2 Respon dan pemaknaan masyarakat terhadap upaya pemberdayaan yang dilakukan baik oleh Birokrasi Pemerintah Daerah maupun LSM-LPIP, berbeda-beda. Umumnya mereka memberi respon positif terhadap makna kerja sama antara Birokrasi Pemerintah dengan LSM-Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan. Tapi tidak dalam pola pendekatan, karena menurut mereka, LSM-LPIP lebih komunikatf dan persuasif dalam pendekatan dengan masyarakat. Menganggap masyarakat sebagai mitra sejajar, teman diskusi, sehingga tidak ada jarak antara masyarakat dengan LPIP. Sementara Birokrasi, pola pendekatannya lebih bersifat memaksa/ kekuasaan, tidak menganggap masyarakat sebagai mitra sejajar dan komunikasi hanya bersifat satu arah, sehingga ada kesenjangan komunikasi antara Birokrasi dengan masyarakat.



Saran
Mencermati pola hubungan kerja sama ataupun interaksi kedua aktor pembangunan dalam hal ini Birokrasi Pemerintah Daerah Banyuwangi dengan LSM-Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan dalam pembangunan masyarakat pesisir yang telah ditunjukan dan relatif cukup sukses, tapi masih ada yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan sebagai berikut:
1 Untuk Birokrasi Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi, terutama pola atau cara menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat, merubah paradigma pendekatan kekuasaan/dari atas ke paradigma pendekatan dari bawah. Birokrasi tidak usah ragu meniru pola pendekatan yang dilakukan oleh LSM-LPIP yang terbukti cukup sukses dalam menyelesaikan konflik yang terjadi. Birokrasi untuk selalu sadar dan kreatif dalam memanfaatkan waktu buat pendekatan dengan masyarakat tidak hanya pada jam-jam dinas saja tapi juga diluar jam dinas, tidak kaku dengan aturan yang ada tapi lebih luwes, karena birokrasi adalah pelayan masyarakat. Atau dengan kata lain hilangkan sikap yang selalu memberi perintah dan mendewakan aturan, karena selain mempersempit ruang geraknya ditengah masyarakat yang dinamis, birokrasi pemerintah akan semakin jauh dari komunitas masyarakat yang menjadi mitranya dalam berbagai aktivitas pembangunan.
2 Untuk Birokrasi Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi, lebih ditingkatkan kerja samanya dengan LSM, terutama yang menyangkut cara-cara atau strategi pendekatan pembangunan partisipatif yang tidak hanya terbatas pada tataran wacana/retorika tapi lebih kepada implementasi, karena terbukti memakai pola pendekatan partisipasi yang




dilakukan oleh LSM-LPIP relatif lebih sukses dibanding dengan pola pendekatan kekuasaan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah. Proyek pembangunan yang bersifat fisik sebaiknya dikaji ulang, agar peruntukannya benar-benar mencapai sasaran.
1 Bagi LSM-Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan, agar lebih konsisten dengan misinya. Bekerja sama dengan Birokrasi Pemerintah tidak hanya sekedar untuk memperoleh dana, tapi mampu memberikan hasil yang optimal bagi peningkatan ekonomi masyarakat yang diberdayakan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik atas hasil kerjanya tersebut. Dalam hal dana, sebaiknya LSM-LPIP tidak sangat tergantung pada pemerintah, tapi mampu mencari dana sendiri melalui bentuk usaha provit yang dikerjakan oleh LSM atau bantuan sponsor ataupun dana masyarakat yang dapat dikelola dalam bentuk usaha ekonomi produktif.
2 Bagi LSM- Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan, tingkatkan kemampuannya dalam mendampingi masyarakat, terutama pada Kelompok Usaha Bersama yang telah bubar atau yang hidup enggan mati tak mau. Kepada mereka diberi perhatian lebih ekstra serta mendorong agar dapat berkembang. Untuk yang akan datang, perhatiannya tidak hanya pada kelompok rumah tangga perikanan tapi juga pada petani umum lainnya yang ada dipedesaan yang nasibnya belum beruntung.

Bagi Birokrasi dan LSM-LPIP, terutama masa-masa akhir dari kerja samanya tersebut, agar dapat menyiapkan atau memikirkan kesinambungan terhadap apa yang telah dikerjakan atau yang telah dilakukan dengan cara memberikan pelatihan kader atau pemagangan kepada Lembaga yang telah dibentuk agar lembaga tersebut dapat berfungsi secara mandiri dalam melanjutkan kegiatan yang telah dirintis.



DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, S. (2001) Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke dalam Implementasi Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta.
-------------------- (1999) Ekonomi Politik Pembangunan, Bisnis Indonesia Era Orde Baru dan di Tengah Krisis moneter, Danar Wijaya, Brawijaya University Press.
----------------------(1998) Ekonomi Politik dalam Bisnis Indonesia Era Orde Baru, Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang.
Antjok,Jamaludin. (1995) Pemanfaatan Organisasi Lokal untuk Mengentaskan Kemiskinan Dalam Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Adytia Media Yogyakarta.
Arsyad, Lincolin.(1999) Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada. Penerbit PT. BPFE-Yogyakarta.
Blau, Peter M. and Marshall W. Meyer. (2000) Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Judul Asli: Bureaucrasy in Modern Socyety, Alih Bahasa Drs Slamet Rijanto, Penerbit Prestasi Pustakaraya, Jakarta.
Budairi, Muhammad (2002) Masyarakat Sipil dan Demokrasi, Dialektika Negara dan LSM ditinjau dari Perspektif Politik Hukum E-law Indonesia, Yogyakarta.



Budiman, Arief. (2000) Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Chaniago, Andrinof. (2000) Gagalnya Pembangunan: Kajian ekonomi Politik terhadap Akar Krisis Indonesia. LP3Es, Jakarta.
Clark, John. (1995) NGO dan Pembangunan Demokrasi. Judul asli: Democratizing Development: The Role of Voluntary Organization. Alih Bahasa; Godril Dibyo Yuwono. Penerbit PT. Tiara Wacana Yogyakarta.
Chambers, Robert. (1987) Rural Development Putting the Last first (Pembangunan Desa Mulai dari Belakang); Penerjemah, Pepep Sudradjat; Pengantar, M. Dawam Rahardjo, LP3ES, Jakarta.
---------------------(1996) Memahami Desa secara Partisipatif; Judul asli PRA Participatory Rual Appraisal, Alih Bahasa Prabowo Adi Nugroho, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Eldridge, Philip, J. (1994) Non Government Organization and Democratic Participation in Indonesia, Kualalumpur Oxfort University Press.
Elyas, Elfin. (2001) Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai Sektor Ketiga Pembangunan. (Studi Kasus tentang Konflik Antara HKBP dan Elit Desa Janji Angkola Kecamatan Pahae Jahe Kabupaten Tapanuli Utara) Tesis: Program Pascasarjana Universitas Barwijaya Malang.
Hagul, Peter. (1995) Pembangunan Desa dan Lembaga Swadaya Masyarakat, Rajawali Jakarta.
Hulme, David. (1994) Social development research and the third sector; NGOs as users and subjects of social inquiri, dalam rethingking social deplopment, edited by David Booth, Centre of Developing Area Studies, University of Hull, Longman Scientific & Technical, London.
Ismani, 1996. Administrasi Negara, Birokrasi dan Etos Kerja. Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya. Penerbit IKIP Malang
Israel, Arturo (1990) Pengembangan Kelembagaan; Judul asli; Instutional development, Penerjemah Basilius B. Teku. LP3ES, Jakarta.
Kushandayani. (2001) Good Government dan Otonomi Daerah. Dalam Manajemen Otonomi Daerah: Membangunan Daerah Berdasarkan Paradigma Baru ed.Teguh Yuwono. CLOGAPPS Diponegoro University.
Kusnadi. (2002) Konflik sosial Nelayan. Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Perikanan. Penerbit LKiS Jogyakarta
Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan (2002). Laporan Akhir Pekerjaan Pendampingan Dalam Rangka Community Development di Muncar Banyuwangi.
Miles, Matthew B and Huberman A Michael. (1992) Qualitative Data Analiysis, Sage Publica ion Inc.



Moleong Lexi, J. (2000) Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Posdakarya, Bandung.
Nasution, S. (1996) Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung.
Nugroho, Riant, D. (2001) Reinventing Indonesia : Menata Ulang Manajemen Pemerintahan untuk Membangun Indonesia baru dengan Keunggulan Global. PT Gramedia Jakarta.
Osborne, David & Ted Gaebler. Reinventing Government, How The Entrepreneural Spirit is Transforming The Public Sector From School House . City Hall to Pentagon Reading, MA. Adision Wisley
Pranarka & Vidyandika Moelyarto.(1996) Pemberdayaan (Empowerment),dalam Pemberdayaan Konsep Kebijakan dan Implementasi, CSIC, Jakarta.
Prijono, Onny, et al. (1996) pemberdayaan Konsep, Kebijakan dan Implementasi CSIS, Jakarta.
Rustiani, Frida. ed. (1996) Pengembangan Ekonomi Rakyat dalam Era Globalisasi, Diterbitkan atas kerja Sama yayasan Akatiga-Yapika.
Soemitro Remi, Sutyastie and Prijono Tjiptoherijanto (2002) Kemiskinan dan Ketidakmerataan di indonesia. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Susanto. Astrid S. ed. (1996) Pembangunan Masyarakat Pedesaan, Suatu Telaah Analitis Masyarakat Wamena, Irian Jaya. Pustaka Sinar Harapan dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Surie, H.G. (Alih bhs. Sameko)1987. Ilmu Administrasi Negara. PT Gramedia Jakarta.
Tjokkroamidjojo, Bintoro. (2001) Reformasi Administrasi Public,Magister Ilmu Administrasi Program Pascasarjana Universitas Krisnadwipayana, Jakarta.
Trieanto, Hery (1999) Intervensi LSM dan Birokrasi Pemerintahan Daerah Dalam Pemberdayaan Masyarakat. (Studi Kasus Di Kecamatan Tualaka Kabupaten Pacitan. Tesis: Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang.
Uphoff, Norman. (1995) Grassroots Organization and NGOs I Rural Development; Opportunities with Deminishing States and Expanding Market, da;lam Market and Civiol Organization, edited by Janvryl et al, Mac M illan Press, London.
Majalah Warta Demografi; Majalah Semi Ilmiah Populer. Diterbitkan oleh Lembaga Demografi Fakultas Ekonmi Universitas Indonesia.
Harian Kompas, Sorotan: Menggagas Organisasi Non Pemerintah Masa Depan. 22 Januari 2003. Hal. 29, Kol. 1 – 9



Zauhar, S. 2001. Administrasi Pelayanan Publik Sebuah Perbincangan Awal, dalam Jurnal Administrasi Negara FIA Unibraw Vol. 1 No.: 2 Maret.
Zulkanaen, 1997. Hubungan Birokrasi Pemerintah dan Lembaga Adat dalam Pembangunan Daerah. (Studi tentang pola kerja sama Birokrasi Pemerintah dengan Lembaga adat dalam implementasi program pembangunan pada Masyarakat Dayak Kalimantan Barat. Disertasi: Program Pascasarjana Universitas Pajajaran Bandung.

0 comments: