Saturday 22 March 2008

People and Society Empowerment: Perspektif Membangun Partisipasi Publik

People and Society Empowerment: Perspektif Membangun Partisipasi Publik

Oleh: Dr. Eko Prasojo, Mag.rer.publ.2
Latar Belakang
Pembangunan berbasis manusia dan pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu konsep yang paling populer dewasa ini. Konsep ini mulai muncul sekitar tahun 1970-an dan berkembang sepanjang tahun 1980-an hingga akhir 1990-an. Perkembangannya mungkin tidak dapat dilepaskan dari perkembangan demokrasi yang terjadi beberapa dekade terakhir. Partisipasi masyarakat (rakyat) dalam proses pembuatan keputusan dan pemerintahan secara umum, sebagai salah satu prinsip demokrasi, berkembang menjadi tuntutan yang semakin luas diterima di berbagai belahan dunia. Tuntutan akan partispasi ini berangkat dari pemahaman bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan dan kekuasaan sesungguhnya dalam sebuah negara.
Dalam hal pendekatan pembangunan, tuntutan akan partisipasi ini telah mengubah paradigma mengenai posisi masyarakat dalam proses pembangunan. Masyarakat tidak lagi ditempatkan sebagai objek, tetapi ikut terlibat mulai dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga pertanggungjawabannya. Pendekatan ini menyadari betapa pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kemampuan internalnya atas segala sumber daya yang dimilikinya. Model semacam ini sangat menekankan pentingnya pemberdayaan (empowerment) dan inisiatif rakyat sebagai inti dari sumber daya pembangunan.
Meskipun secara umum terdapat kesepakatan akan pentingnya pemberdayaan masyarakat, namun ada beberapa hal yang menjadi permasalahan untuk mengimplementasikannya dalam tataran praksis. Permasalahan tersebut khususnya menyangkut ketiadaan konsep yang jelas mengenai apa itu pemberdayaan masyarakat; batasan masyarakat yang sukses melakukan pemberdayaan; peran masing-masing pemerintah, masyarakat dan swasta; mekanisme pencapaiannya; dan sebagainya. Upaya pemberdayaan masyarakat karena itu menuntut pengelolaan kegiatan secara lebih tepat, akomodatif, terukur, tertib, akuntabel yang meliputi rangkaian proses penyusunan Rencana dan Anggaran, Pelaksanaan, Pengawasan dan Laporan Pertanggungjawaban.
Resume hasil penelitian penulis dan tim Pusat Kajian Strategi Pembangunan Sosial dan Politik
(PKSPSP) FISIP UI tahun 2003 dalam literatur research dengan judul “Pola dan Mekanisme
Pemberdayaan Masyarakat di DKI Jakarta”. 2 Dosen FISIP UI dan Manajer Pelaksana Selo Soemardjan Research Centre FISIP UI
Beberapa permasalahan lain terkait dengan pemberdayaan masyarakat meliputi: Pertama, diskontinuitas dan diskoordinasi, yaitu keseluruhan program pemberdayaan masyarakat dilaksanakan tidak dikoodinasikan dengan baik dan dilaksanakan secara sporadis. Kebijakan pemerintah kadang malah berseberangan dengan pendampingan yang dilaksanakan oleh LSM. Orientasi progam yang dilaksanakan oleh pemerintah, pada satu sisi menampakkan hasil yang nyata, namun pada sisi yang lain terkadang tidak menyentuh akar permasalahan yang ada. Kedua, disinformasi program, yaitu pemberdayaan masyarakat yang dijanlankan dengan bantuan para konsultan terkadang tidak difahami oleh masyarakat. Bahasa yang digunakan oleh para ilmuwan atau kosultan tersebut terkadang tidak dapat difahami oleh masyarakat atau lembaga pelaksana dari pemberdayaan masyarakat tersebut.
Ketiga, disorientasi, yaitu pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan proses biasanya memerlukan waktu yang cukup lama. Banyaknya masalah baru yang muncul, disertai pula oleh hasil yang belum tampak nyata terkadang menjadikan fasilitator (pendamping), baik dari pemerintah atau LSM, mengubah kebijakan yang lebih nyata. Pergeseran pendekatan, dari proses ke hasil, ini bukanlah solusi. Langkah sinergis yang mungkin dapat dilakukan adalah dengan menyelaraskan kedua pendekatan tersebut. Keempat, Generalisasi, yaitu diferensiasi sosial, politik, dan budaya yang ada di Indonesia merupakan kekayaan yang tidak ternilai. Dengan kondisi yang majemuk tersebut, maka pendekatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah hendaknya pendekatan pembangunan yang tidak bersifat monolitik. Pendekatan pembangunan, dan juga pemberdayaan, yang lebih bersifat dinamis, dengan memperhatikan nilai-nilai dasar yang ada di masyarakat, karakter budaya, serta struktur sosial masyarakat sangatlah diperlukan saat ini. Lebih dari itu, pendekatan multidisiplin menjadi penting.
Kelima, rentang birokrasi dan tingginya biaya operasional, yaitu berbagai peraturan hukum dan Undang-Undang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang kaku, yang hanya didasarkan pada Surat Keputusan (SK), Petunjuk Pelaksanaan ( Juklak), Petunjuk Teknis (Juknis) juga sistem penganggaran dapat menjadi penghambat dalam pemberdayaan masyarakat. Hal ini menyebabkan sulitnya petugas lapangan berhadapan dengan kenyataan yang membutuhkan fleksibilitas. Akibatnya, tujuan pemberdayaan masyarakat sulit dicapai karena orientasi petugas lebih kepada mengikuti peraturan daripada menjawab kebutuhan di lapangan. Keenam, indikator yang tidak tepat, pemberdayaan masyarakat selama ini selalu diukur dalam bentuk fisik, komoditas dengan berorientasi pada input dan kualitatif daripada non-fisik dengan ukuran keberhasilan dari dampak dan proses. Indikator yang hanya didasarkan akan nilai-nilai yang sifatnya material, dengan mengesampingkan nilai non materi hanya akan memperkuat pendekatan hasil (program) dalam pemberdayaan masyarakat. Kesadaran akan nilai, hukum, ataupun partisipasi politik masyarakat yang terkadang tidak dapat dikukur menjadi terabaikan. Dengan demikian, kebutuhan akan indikator yang mencakup semua hal menjadi sangat penting.


Konsep dan Definisi Pemberdayaan
Hingga saat ini terdapat banyak macam perspektif yang berbeda mengenai pemberdayaan masyarakat. Hal ini dapat dipahami, karena sebenarnya pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu dari sekian banyak perspektif mengenai pembangunan masyarakat. Perspektif ini menawarkan sebuah pendekatan yang menyeluruh, meliputi kerangka konseptual, logika berpikir dan panduan umum untuk meningkatkan kapasitas dan performance dalam pembangunan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat tidak menyediakan keharusan-keharusan yang terperinci yang tepat atau cocok untuk setiap sistem kemasyarakatan. Meskipun demikian, ada beberapa hal penting dalam memahami dan membuat sebuah definisi yang operasional dari pemberdayaan masyarakat.
Pertama, pemberdayaan pada dasarnya adalah memberikan kekuatan kepada pihak yang kurang atau tidak berdaya (powerless) agar dapat memilliki kekuatan yang menjadi modal dasar aktualisasi diri. Aktualisasi diri merupakan salah satu kebutuhan mendasar manusia. Pemberdayaan yang dimaksud tidak hanya mengarah pada individu semata, tapi juga kolektif (Harry Hikmat, 2001: 46-48). Pengertian ini kurang-lebih sama dengan pendapat Payne dan Shardlow mengenai tujuan pemberdayaan. Menurut Payne, tujuan utama pemberdayaan adalah membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan, yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Sedangkan Shardlow menyimpulkan bahwa pemberdayaan menyangkut permasalahan bagaimana individu, kelompok ataupun masyarakat berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. (Rukminto Adi, 2002: 162-163) .
Kedua, menurut Pranarka dan Vindhyandika, terdapat dua kecenderungan yang saling terkait dalam pencapaian pemberdayaan masyarakat. Pertama, kecenderungan primer. Pada kecenderungan ini proses pemberdayaan masyarakat ditekankan pada proses pemberian atau pengalihan sebagian kekuasaan, kekuatan dan kemampuan kepada masyarakat atau individu agar menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi dengan upaya membangun aset material guna mendukung pembangunan kemandirian melalui organisasi. Kedua, kecenderungan sekunder. Kecenderungan ini menekankan pada proses pemberian stimulan, dorongan atau motivasi agar individu atau masyarakat mempunyai kemampuan menentukan kebutuhan hidupnya melalui proses dialog. (Adimiharja, 2001: 10) Kedua kecenderungan ini juga dirumuskan oleh Payne. Ia menyatakan bahwa pencapaian tujuan pemberdayaan dapat dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari ligkungannya.
Pemberdayaan juga dapat diartikan sebagai membangun eksistensi pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, pemerintahan, negara, dan tata dunia dalam kerangka proses aktualisasi kemanusiaan yang adil dan beradab yang terwujud dalam berbagai medan kehidupan: politik, ekonomi, hukum, pendidikan, dan lain sebagainya. Konsep pemberdayaan pada dasarnya adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional, maupun dalam bidang politik, ekonomi, dan lain sebagainya. (Pranaka dan Vidhyandika, 1996: 56). Gagasan lain mengenai pemberdayaan adalah memberika kekuatan (power) pada yang tidak berpunya (powerless). Hanya dengan power, proses aktualiasasi diri dapat dijalankan.
Ketiga, pemberdayaan masyarakat tidak hanya menyangkut aspek ekonomi. Ada berbagai macam pemberdayaan, antara lain: pemberdayaan bidang politik, bidang ekonomi, bidang hukum, bidang sosial, bidang budaya, bidang ekologi, dan pemberdayaan bidang spiritual. Meskipun tujuan dari masing-masing pemberdayaan mungkin berbeda, namun untuk keberhasilan pemberdayaan yang menyeluruh, berbagai macam bentuk pemberdayaan tersebut seharusnya dapat dipadukan dan saling melengkapi. (James William Lie, 1995: 132: Rukminto Adi, 2002: 163-165).
Keempat, pemberdayaan masyarakat dapat dilihat sebagai program maupun proses. Sebagai program, pemberdayaan dilihat sebagai tahapan-tahapan kegiatan yang biasanya telah ditentukan jangka waktu pencapaiannya. Sedangkan sebagai proses, pemberdayaan merupakan sebuah proses yang berkesinambungan. Dalam pengertian yang terakhir, pemberdayaan tidak berfungsi untuk meniadakan masalah, tetapi mempersiapkan struktur dan sistem dalam masyarakat agar proaktif dan responsif terhadap kebutuhan dan permasalahan yang muncul dalam masyarakat (Rukminto Adi, 2002: 171-177). Mengingat pemberdayaan merupakan suatu proses, strategi yang digunakan pun lebih mengutamakan proses dari pada hasil. Menurut Jim Ife (1995: 63-63) bahwa terdapat tiga strategi dalam pemberdayaan masyarakat, yaitu melalui kebijakan dan perencanaan, aksi sosial dan politik, pendidikan dan penyadaran.
Pemberdayaan melalui kebijakan dan perencanaan diterima dalam pengembangan atau perubahan struktur dan kelembagaan untuk akses yang lebih merata terhadap sumber daya atau pelayanan, dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Pemberdayaan melalui aksi sosial menitikberatkan pada pentingnya perjuangan politik dan perubahan dalam mengembangkan kekuatan efektif. Sedangkan pemberdayaan melalui pendidikan dan penyadaran mengembangkan pentingnya proses pedidikan yang dapat melengkapi warga masyarakat untuk meningkatkan kekuasaanya. Untuk itu diperlukan peningkatan kesadaran tentang pemahaman masyarakat dalam arti luas dan struktur penindasan, mengajarkan pada masyarakat tentang pengertian dan kentrampilan untuk perubahan yang efektif. (Andrinaldi, 2001)
Kelima, pemberdayaan yang sepenuhnya melibatkan partisipasi masyarakat atau masyarakat menjadi pilihan yang paling menguntungkan di masa yang akan datang. Hal ini setidaknya didasari berbagai potensi yang dimilikinya, seperti dinyatakan oleh David Osborne dan Ted Gabler, antara lain (Osborne and Gabler, 1993); warga masyarakat akan memberikan komitmen yang lebih besar; masyarakat mengetahui permasalahan yang dihadapi warganya secara lebih mendalam; masyarakat lebih mampu memberikan penyelesaian setiap masalah yang lebih mendasar; peran aktif Lembaga Swadaya Masyarakat dalam penyediaan barang dan jasa, sedangkan pemerintah lebih berperan memberikan perhatian dan dorongan; pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat lebih efisien, effektif dan partisipatif; Masyarakat lebih mampu melihat potensi yang dimiliki oelh setiap warganya.
Keenam, konsep pemberdayaan masyarakat mencakup pengertian pembanguan masyarakat (community development) dan pembangunan yang bertumpu pada manusia (community based development) Kartasastima (1996) mejelaskan bahwa pemberdayaan masyarakat terkait erat dengan keberdayaan masyarakat, yaitu kemapuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik kuat, dan inovatif tentunya memiliki keberdayaan yang tinggi. Keberdayaan masyarakat adalah unsur-unsur yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan mencapai tujuan. Sedangkan memberdayakan masyarakat adalah upaya meningkatkan harkat dan martabat masyarakat yang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, memberdayakan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.
Pada dasarnya pemberdayaan merupakan suatu proses perubahan yang menempatkan kreativitas dan prakarsa masyarakat. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa elemen penting dari pemberdayaan adalah partisipasi. Partisipasi merupakan proses aktif, inisiatif diambil oleh masyarakat sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) di mana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Dalam konteks pembangunan dan demokratisasi di Indonesia, pemberdayaan masyarakat dalam bidang politik menjadi penting.
Di negara-negara yang menganut faham demokrasi, gagasan mengenai partisipasi rakyat mempunyai dasar ideologis bahwa rakyat berhak turut menentukan siapa-siapa yang akan menjadi pemimpin yang nantinya menentukan kebijaksanaan umum (public policy). Tingginya partisipasi menunjukkan bahwa warga negara memahami kehidupan politik. Pada sisi yang lain, rendahnya partisipasi dapat dianggap sebagai rendahnya kepedulian dan pengetahuan warga negara dalam kehidupan politik atau bisa jadi terdapat batasan serta tidak adanya kesempatan dalam kehidupan politik. Sebaliknya, di negara-negara totaliter gagasan mengenai partisipasi rakyat didasari pandangan elite politiknya yang melihat rakyat perlu dibimbing dan dibina untuk mencapai stabilitas yang langgeng.
Partispasi warga negara (private citizen) bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif (Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, 1977:3).
Partispasi warga negara yang legal bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan/atau tindakan-tindakan yang diambil mereka (Norman H. Nie dan Sidney Verba, 1975:1).
Adapun warga negara yang sama sekali tidak melibatkan diri dalam partisipasi politik disebut apati (apaty). Hal ini terjadi karena beberapa sebab. Pertama, adanya sikap acuh tak acuh, tidak tertarik atau rendahnya pemahaman mereka mengenai masalah politik. Kedua, adanya keyakinan bahwa usaha mereka untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah tidak berhasil. Ketiga, mereka tinggal dalam lingkungan yang menganggap bahwa tindakan apati merupakan suatu tindakan terpuji.
Dalam beberapa kasus, tindakan apati bukanlah masalah yang harus selalu dirisaukan karena tindakan acuh tak acuh dapat menjadi positif apabila memberikan fleksibilitas pada sistem politik dibandingkan dengan masyarakat yang terlalu aktif sehingga menjurus pada pertikaian yang berlebihan. Di Amerika Serikat misalnya, gejala tidak memberikan suara dapat dilihat sebagai suatu pencerminan stabilitas sistem politik yang ada. Dan juga mereka lebih aktif dalam berpartisipasi untuk pemecahan masalah melalui kegiatan lain. Kecenderungan ini dapat dilihat dengan penggabungan diri tidak saja pada organisasi-organisasi politik, tetapi juga pada organisasi bisnis, profesi, dan sebagainya.
Menurut Myron Wiener, ada dua faktor pendorong bagi menguatnya partisipasi politik. Pertama, tumbuhnya angkatan kerja perkotaan yang bekerja di sektor industri yang mendorong timbulnya organisasi buruh. Kedua, pertumbuhan komunikasi massa yaitu karena perkembangan penduduk, transportasi, komunikasi antara pusat-pusat kota dan daerah terbelakang, penyebaran surat kabar, penggunaan radio, dan sebagainya. Hal ini akan meningkatkan kesadaran anggota masyarakat akan pengaruh kebijaksanaan pemerintah terhadap tiap-tiap warga negara.
Jefry M. Paige memberikan dua indikator dalam menjelaskan pola partisipasi politik. Pertama, kesadaran politik yakni kesadaran seseorang akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang menyangkut pengetahuannya mengenai lingkungan masyarakat dan politik serta menyangkut minat dan perhatiannya terhadap lingkungan masyarakat dan politik tempat ia hidup. Kedua, kepercayaan politik yaitu penilaian seseorang terhadap pemerintah dan sistem politik yang ada, apakah dapat dipercaya dan dapat dipengaruhi atau tidak. Dengan mengkorelasikan kesadaran politik dan kepercayaan politik itu, Paige kemudian membagi pola partisipasi politik menjadi empat tipe:
1 Partisipasi politik dikatakan aktif apabila tingkat kesadaran dan kepercayaan politiknya tinggi.
2 Partisipasi politik terlihat apatis jika tingkat kesadaran dan kepercayaan politik rendah.
3 Partisipasi politik cenderung militan-radikal apabila kesadaran politik tinggi, tetapi kepercayaan politik rendah.
4 Partisipasi politik cenderung pasif jika kesadaran politik rendah tetapi kepercayaan politik tinggi.

Pola partisipasi politik yang ditunjukkan melalui kadar tinggi rendahnya kesadaran politik dan kepercayaan politik seperti dikemukakan di atas, pada dasarnya ditentukan oleh setidak-tidaknya tiga faktor utama, yaitu tingkat pendidikan, tingkat kehidupan ekonomi, dan sistem. Dalam sistem negara demokratis, partisipasi politik merupakan elemen yang penting. Hal ini didasari oleh keyakinan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan kolektif. Anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik terdorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan itu kepentingan mereka akan tersalur atau sekurangnya diperhatikan dan sedikit banyak dapat mempengaruhi tindakan yang berwenang yang diwujudkan dalan sebuah keputusan. Masyarakat percaya bahwa kegiatan yang mereka lakukan mempunyai efek (political efficacy).


Pemberdayaan Masyarakat sebagai basis partisipasi masyarakat
Konsep pemberdayaan tumbuh mulai tahun 1970-an dan terus mengalami perkembangan hingga tahun 1990-an. Menurut Pranarka dan Vidhyandika, konsep ini memiliki pemikiran yang searah dengan berbagai aliran pemikiran yang berkembang pada akhir abad ke-20, yang biasa dikenal sebagai aliran posmodernisme. Aliran posmodernisme, termasuk di dalamnya antara lain eksistensialisme, fenomologi, personalisme, neo-marxisme, freudanisme serta berbagai aliran strukturalisme, menitikberatkan pada sikap dan pendapat yang berorientasi pada jargon antisistem, antistruktur dan antideterminisme yang diaplikasikan pada dunia kekuasaan. Konsep pemberdayaan dapat dilihat sebagai akibat dari dan reaksi terhadap alam pikiran, tata mayarakat dan budaya yang berkembang dalam sebuah masyarakat (Hikmat, 2001: 1-2).
Pada awal kelahirannya, konsep pemberdayaan bertujuan untuk menemukan alternatif-alternatif baru dalam pembangunan masyarakat. Proses pemberdayaan dengan demikian merupakan depowerment dari sistem kekuasaan yang bersifat absolut. Konsep pemberdayaan menggantikannya dengan sebuah sistem yang baru, yang memberikan perhatian penting pada gagasan manusia dan kemanusiaan (humanisme). Menurut Pranarka dan Vidhyandika, gagasan humanisme ini memiliki kesamaan dengan apa yang diajukan aliran fenomologi, personalisme dan eksistensialisme. Aliran-aliran tersebut menolak segala bentuk kekuasaan yang bermuara pada dehumanisasi atas eksistensi manusia. Demikian juga dengan aliran neomarxis, freudianisme dan lainnya yang menggugat dehumanisasi yang dihasilkan oleh kapitalisme, industrialisasi dan teknologi (Hikmat, 2001: 2).
Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi besar dalam paradigma pembangunan yang berpusat pada rakyat (people based development). Pendekatan ini menyadari pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal, melalui kesanggupan untuk melakukan kontrol internal atas sumber daya material dan non-material yang penting melalui redistribusi modal atau kepemilikan. Pendekatan ini melihat bahwa permasalahan sosial yang ada dalam masyarakat bukan semata-mata akibat penyimpangan prilaku atau masalah kepribadian, tetapi juga sebagai akibat masalah struktural, kebijakan yang keliru, inkonsistensi dalam implementasi kebijakan dan tidak adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. (Adimihardja, 2001: 1)
Pembangunan yang bersifat sentralistik dapat menghambat tumbuhnya kesadaran masyarakat bahwa masalah sosial yang ada merupakan masalah masyarakat, sehinga mereka tidak mampu memanfaatkan potensi dan sumber daya sosial yang ada untuk mengatasinya. Selain itu, kondisi struktural yang ada tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengartikulasikan aspirasi serta merealisasikan potensinya, sehingga masyarakat berada dalam kondisi yang tidak berdaya. Dalam situasi inilah reorientasi paradigma pembangunan menjadi kebutuhan yang mendesak (Adimihardja, 2001: 1)
Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan biasanya selalu dikaitkan dengan konsep kemandirian, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Menurut Rapppaport, pemberdayaan merupakan pemahaman secara psikologis pengaruh individu terhadap keadaan sosial, kekuatan poltik dan hak-haknya menurut undang-undang. Sementara itu McArdle mengartikan pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang secara konsekuen melaksanakan keputusan tersebut. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan “keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka tanpa bergantung pada bantuan pihak luar. McArdle menekankan pentingnga proses dalam pengambilan keputusan (Hikmat, 2001: 3-4).
Sebagaimana dinyatakan Craig dan Mayo, partisipasi merupakan komponen terpenting dalam upaya pertumbuhan kemandirian dan proses pemberdayaan. Strategi pemberdayaan menempatkan partisipasi masyarakat sebagai isu utama pembangunan saat ini. Partisipasi aktif masyarakat di Dunia Ketiga dinilai sebagai strategi efektif untuk meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya. Dengan partisipasi, pembangunan dapat menjangkau masyarakat terlemah melalui upaya membangkitkan semangat hidup untuk menolong diri sendiri. Dalam hal ini partisipasi aktif masyarakat terkait dengan efektivitas, efisiensi, kemandirian dan jaminan bagi pembangunan yang berkelanjutan (Hikmat, 2001: 4-5).
Tujuan utama dari pembangunan yang berpusat pada manusia (people-centered development) adalah untuk menyediakan kepada seluruh lapisan masyarakat kesempatan hidup secara utuh. Adapun nilai-nilai dasar yang dianggap universal dalam pendekatan ini adalah (Adi, 2002: 155-156): Partisipasi (participation), terutama bagi kelompok marjinal; Kesinambungan (sustainability), terutama terkait dengan kelestarian lingkungan; Integrasi sosial (social integration), yang terkait dengan rasa keadilan; dan Hak-hak dan kemerdekaan asasi (human rights and fundamental freedoms).
Partisipasi dikonsepsikan secara baru sebagai suatu “insentif moral” yang membolehkan kelompok marjinal untuk merundingkan “insentif-insentif material” yang baru bagi mereka, dan sebagai terobosan yang memperbolehkan para pelaku kecil mendapatkan jalan untuk ikut serta pada level makro dalam pembuatan kebijakan (Goulet, 1990: 134) Definisi kerja partisipasi dari Marshall Wolfe adalah usaha-usaha terorganisir meningkatkan peranan pengendalian atas sumber daya-sumber daya dan lembaga-lembaga regulatif dalam satuan masyarakat tertentu, bagi kelompok-kelompok dan gerakan-gerakan yang sampai sekarang tidak diikutsertakan dalam pengendalian (Goulet, 1990: 135). Masyarakat harus memiliki kesempatan ikut berpartisipasi dalam segala kegiatan yang ada, mulai pemeriksaan awal masalah, daftar pemecahan yang mungkin diambil, pemilihan satu kemungkinan tindakan, mengorganisasi pelaksanaan, evaluasi dalam tahap pelaksanaan, hingga memperdebatkan mutu dari mobilisasi atau organisasi lebih lanjut. (Goulet, 1990: 138-139).
Pemrakarsa partisipasi dapat berasal dari atas (penguasa atau para ahli), bawah (masyarakat) atau pihak ketiga dari luar. Jika berasal dari atas, maka biasanya disertai oleh kontrol sosial tertentu atas proses dan pelaku-pelaku partisipasi. Pembangunan dalam sebuah sistem yang non demokratis biasanya masih memperbolehkan partisipasi di tingkat mikro (pemecahan masalah) asalkan tidak mengganggu ketentuan atau aturan di tingkat makro (Goulet, 1990: 137-139). Partisipasi ideal yang sulit ditemukan dalam tataran praksis adalah partisipasi yang dimulai dari tingkat bawah dan berkembang ke tingkat atas menuju bidang-bidang yang semakin meluas dalam pembuatan keputusan. Bentuk partisipasi ideal diprakarsai, atau sekurang-kurangnya disetujui, oleh masyarakat non-elit yang berkepentingan pada tingkat awal dalam urutan keputusan-keputusan (Goulet, 1990: 141)
Pemberdayaan pada dasarnya adalah pemberian kekuatan kepada pihak yang kurang atau tidak berdaya (powerless) agar dapat memilliki kekuatan yang menjadi modal dasar aktualisasi diri. Aktualisasi diri merupakan salah satu kebutuhan mendasar manusia. Pemberdayaan yang dimaksud tidak hanya mengarah pada individu semata, tapi juga kolektif (Hikmat, 2001: 46-48). Pengertian ini kurang-lebih sama dengan pendapat Payne dan Shardlow mengenai tujuan pemberdayaan. Menurut Payne, tujuan utama pemberdayaan adalah membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan, yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Sedangkan Shardlow menyimpulkan bahwa pemberdayaan menyangkut permasalahan bagaimana individu, kelompok ataupun masyarakat berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka (Adi, 2002: 162-163)
Menurut Korten, ada tiga dasar untuk perubahan-perubahan struktural dan normatif dalam pembangunan yang berpusat pada masyarakat, yaitu (Hikmat, 2001: 16): Pertama, memusatkan pemikiran dan tindakan kebijakan pemerintah pada penciptaan keadaan-keadaan yang mendorong dan mendukung usaha rakyat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri dan untuk memecahkan masalah-masalah mereka sendiri di tingkat individual, keluarga dan masyarakat. Kedua, Mengembangkan struktur-struktur dan proses organisasi yang berfungsi menurut kaidah-kaidah swaorganisasi. Ketiga, mengembangkan sistem-sistem produksi dan konsumsi ysng diorganisasi secara teritorial yang berlandaskan pada kaidah-kaidah dan pemilikan dan pengendalian lokal.
Integrated Community Development

Istilah pemberdayaan tidak hanya mengacu pada pembangunan salah satu bidang saja. Ada berbagai macam pemberdayaan, antara lain: pemberdayaan bidang politik, bidang ekonomi, bidang hukum, bidang sosial, bidang budaya, bidang ekologi, dan pemberdayaan bidang spiritual. Meskipun tujuan dari masing-masing pemberdayaan mungkin berbeda, namun untuk keberhasilan pemberdayaan yang menyeluruh, berbagai macam bentuk pemberdayaan tersebut seharusnya dapat dipadukan dan saling melengkapi (William, 1995: 163-165). Pemberdayaan dengan demikian merupakan proses pembangunan masyarakat yang terintegrasi (intgerated community development).


Peran Pemerintah
Prinsip pembangunan yang berpusat pada masyarakat menegaskan bahwa masyarakat harus menjadi pelaku utama dalam pembangunan. Hal ini membutuhkan restrukturisasi sistem pembangunan sosial, baik pada tingkat mikro, meso maupun makro, sehingga ada keserasian di antara ketiganya. Dengan demikian gerak masyarakat pada tingkat mikro tidak mendapatkan hambatan dari tingkat meso dan makro. Keserasian di antara ketiganya ini merupakan faktor eksternal pembangunan yang berpusat pada masyarakat. Sementara faktor internalnya adalah peluang bagi terciptanya suatu dorongan pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat dalam konteks ekologi dan sistem sosialbudaya setempat.
Paradigma pembangunan yang berpusat pada masyarakat juga menuntut adanya perubahan pola. Pola dari atas ke bawah yang selama ini lebih kuat dari pada dari bawah ke atas harus digeser dengan memberikan tempat bagi keterlibatan semua tingkat. Masing-masing tingkat (mikro, meso dan makro) mendapatkan pembagian peran dengan prinsip semakin ke atas, kewenangan dalam hal kebijakan semakin luas dan semakin ke bawah, memiliki kewenangan operasionalisasi yang lebih luas. Dalam hal ini pemerintah bergeser dari penyelenggara pelayanan sosial menjadi fasilitator, mediator, koordinator, pendidik dan mobilisator serta peran-peran lain yang lebih mengarah pada pelayanan tidak langsung. Organisasi kemasyarakatan, dalam berbagai bentuknya, diarahkan untuk lebih aktif terlibat sebagai agen pelaksana perubahan dan pelaksana pelayananan sosial.
Menurut Pranarka dan Vindhyandika, terdapat dua kecenderungan yang saling terkait dalam pencapaian pemberdayaan masyarakat. Pertama, kecenderungan primer. Pada kecenderungan ini proses pemberdayaan masyarakat ditekankan pada proses pemberian atau pengalihan sebagian kekuasaan, kekuatan dan kemampuan kepada masyarakat atau individu agar menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi dengan upaya membangun aset material guna mendukung pembangunan kemandirian melalui organisasi. Kedua, kecenderungan sekunder. Kecenderungan ini menekankan pada proses pemberian stimulan, dorongan atau motivasi agar individu atau masyarakat mempunyai kemampuan menentukan kebutuhan hidupnya melalui proses dialog (Adimiharja, 2001: 10). Kedua kecenderungan ini dirumuskan pula oleh Payne. Ia menyatakan bahwa pencapaian tujuan pemberdayaan dapat dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.
Baik dalam kecenderungan primer maupun dalam kecenderungan sekunder, pemerintah harus berperan aktif dalam proses pemberdayaan masyarakat. Karena pemberdayaan merupakan salah satu pilar dalam pembangunan masyarakat, maka peran aktif pemerintah harus pula memperhatikan prinsip-prinsip lain terkait dalam pembangunan masyarakat seperti (1) faktor-faktor struktural yang berakar dalam suatu masyarakat, (2) perhatian terhadap hak-hak dasarmanusia, (3) prinsip kesinambungan (sustainability), (4) hubungan antara individu dan politik, (5) kepemilikan masyarakat baik dalam konteks material maupun struktur dan proses, (6) kepercayaan terhadap kekuatan sendiri (self reliance), (7) ketidaktergantungan kepada pemerintah, (8) penetapan visi jangka panjang dan tujuan intermediasi yang akan dicapai, (9) pemberdayaan berdasarkan organici development dan faktor-faktor lainnya.
Pada dasarnya setiap masyarakat memiliki hak yang sama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu kebutuhan untuk hidup layak secara ekonomi, politik, sosial dan budaya di dalam suatu komunitas tertentu. Karena itu, masyarakat adalah subjek pembangunan dan bukan hanya sekedar menjadi objek pembangunan. Hal ini berdasar pada teori berdirinya sebuah negara, bahwa rakyat ada sebelum negara lahir. Rakyatlah yang memberi bentuk dan mendirikannya negara. Itulah sebabnya, mengapa Konstitusi UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat, bukan kepada negara, terlebih lagi bukan pada pemerintah.
Tidak optimalnya proses dan hasil pembangunan di Indonesia lebih disebabkan oleh cara berpikir pembangunan yang berorientasi pada negara dan pemerintah (state oriented development), daripada pembangunan yang berorientasi pada masyarakat (society oriented development). Hal ini telah menyebabkan ketimpangan ekonomi antar sektor dan antar lapisan masyarakat, kesenjangan antargologan sosial, kesenjangan pembangunan diri manusia Indonesia, dan ketimpangan desa kota. Alat ukur pembangunan hanya menggunakan data-data statistik yang mudah dimanipulasi, tetapi sangat jarang memperhatikan aspek manusia sebagai pemakai hasil pembangunan. Dalam kasus yang sangat ekstrim, pemabangunan di Indonesia juga seringkali memarjinalisasi kelompok-kelompok miskin.
Padahal, seperti yang dituangkan dalam pembukaan UUD 1945, tujuan pembentukan negara RI adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan terciptanya keadilan sosial. Dari sini dapat dikatakan bahwa semangat pembentukan negara RI adalah sebagai alat untuk menjamin terselenggaranya hak-hark rakyat. Semangat ini juga tergambar dalam pasal-pasal UUD 1945. Misalnya hak dan kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, hak untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak, termasuk jaminan fakir miskin, hak untuk mendapatkan pendidikan dan hak rakyat untuk mendapatkan hasil sebesar-besarnya hasil kekayaan sumber daya alam. Kesemua hal tersebut mencerminkan jaminan dan amanah pemberdayaan masyarakat Indonesia secara konstitusional untuk menjadi objek sekaligus subjek dalam pembangunan.
Sejak reformasi 1988, negara dan pemerintah memiliki komitmen kebijakan pembangunan yang berorientasi pada manusia dan masyrakat. Hal ini paling tidak ditandai dengan beberapa perubahan dan pembuatan Undang-Undang yang menjamin keterlibatan masyarakat dalam pembangunan. Jika sebelum reformasi pemerintah pusat memegang peranan yang sangat dominan dalam pembangunan, maka dengan dikeluarkannya UU 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, proses pembuatan dan pelaksanaan pembangunan diharapkan dapat berpindah tidak saja ke pemerintah daerah tetapi juga kepada masyarakat daerah.
Dari sudut pandang pemerintahan dan masyarakat daerah, nilai utama kebijakan desentralisasi ini adalah perwujudan political equality, yakni terbukanya partisipasi masyarakat dalam berbagai aktivitas politik di tingkat nasional. Nilai kedua adalah local accountablity, yakni kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak masyarakat di tingkat lokal. Dan nilai ketiga adalah local responsiveness, yakni pemerintah daerah dianggap mengetahui lebih banyak tentang berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakatnya. Maka melalui pelaksanan desentralisasi diharapkan, bahwa proses pemberdayaan masyarakat dapat mengalami percepatan melalui peran pemerintah daerah.


Prinsip-prinsip Dasar Pemberdayaan Masyarakat
Di kebanyakan negara, kegagalan proses dan hasil pembangunan disebabkan oleh orientasi yang berlebihan pada negara dan pemerintah. Sebaliknya, masyarakat dan manusia sebagai objek pembangunan seringkali dilupakan. Atas dasar itu, pemberdayaan masyarakat sebagai salah satu pilar pembangunan harus meletakkan fokus pembangunan pada manusia (people centered development). Penyelenggaraan pembangunan difokuskan kepada pemenuhan kebutuhan dan kepentingan setiap warga masyarakat di segala bidang poleksosbudhankam (fisik – non fisik), dengan memposisikan masyarakat sebagai “subyek dan pemanfaat (obyek)” pembangunan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh, adil dan merata.
Setiap permasalahan dan upaya pemecahan masalah masyarakat selalu “dilokalisir”, agar tidak menyebar ke kelurahan, sesuai dengan makna kelurahan sebagai basis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara/berpemerintahan. Bantuan dari pihak luar, baik antar kelurahan ataupun atasan kelurahan dan lainnya, sifatnya hanya terbatas pada “kerjasama dan/atau saling membantu” dalam rangka memperbesar mobilisasi sumber daya dan atau pemecahan masalah secara bersama-sama. Prinsip ini mengedepankan kemampuan masyarakat lokal setempat untuk mengatasi berbagai permasalahan secara mandiri. Bantuan pemerintah atau daerah lainnya hanya dibutuhkan, jika masyarakat lokal setempat tidak dapat melaksanakan atau memecahkan sendiri permsalahannya (Local competency and subsidiarity). Untuk itu, semua upaya peningkatan kesejahteraan bersama, diutamakan dengan memobilisasi “kekuatan, kemampuan dan sumbersaya” yang dimiliki oleh masyarakat beserta lingkungannya (kemandirian).
Disamping itu, berbagai kegiatan pembangunan harus menjadi “tanggung jawab dan beban” seluruh lapisan masyarakat kelurahan berdasarkan hasil kesepakatan (keputusan) bersama melalui musyawarah. Kebersamaan dan kegotongroyongan di tingkat kelurahan harus selalu dipopulerkan “tak lapuk kena air, tak lekang kena panas”. Untukt mencapai hal tersebut, Pengelolaan kegiatan selalu dilakukan oleh seluruh dan atau perwakilan (representasi) masyarakat secara “musyawarah” untuk mendapatkan keputusan bersama, baik dalam rangka menetapkan rencana kegiatan/anggran, pelaksanaan, pengawasan dan laporan petanggungjawaban.
Semua kegiatan pemberdayaan tidak akan memiliki dampak yang luas dan menetap kepada masyarakat, jika kegiatan pemberdayaan masyarakat tidak berlangsung secara kontinue dan terlembaga. Gerakan pemberdayaan masyarakat tidak mengenal henti sampai kapanpun. Pasang surut gerakan sangat tergantung “situasi/kondisi dan dinamika” masyarakat bangsa Indonesia.
Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu rangkaian tindakan yang sistematis dan melibatkan berbagai komponen organisasi formal dan non formal. Pemberdayaan masyarakat adalah suatu gerakan (movement) untuk menghimpun kekuatan dan kemampuan masyarakat beserta lingkungannya. Untuk itu, diperlukan sejumlah program dan kegiatan baik yang berasal dari masyarakat secara langsung maupun dari pemerintah yang dianggarkan dalam APBD atau APBN. Program dan kegiatan tersebut harus memiliki cara kerja (metode) yang efisien dan effektif untuk memobilisasi potensi dan mengurangi dispotensi yang ada di dalam masyarakat.
Strategi pemberdayaan masyarakat tidak dapat diimplementasikan jika tidak sertai dengan sejumlah sumber-sumber kewenangan, manajemen, program dan pembiayaan. Dalam kaitan tersebut, Pemberdayaan masyarakat harus didasari pada asumsi, bahwa masyarakat adalah pemiliki kewenangan sekaligus aktor yang menentukan kebutuhan dan strategi untuk mencapai kebutuhan tersebut. Pemerintah hanya bertindak sebagai fasilitator dan regulator. Semua proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pada dasarnya harus dilakukan sendiri oleh masyarakat melalui lembaga-lembaga yang memiliki otoritas.
Untuk mengefektifkan pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat, maka diperlukan identifikasi hal-hal terkait seperti: (1) Kerjasama kelompok pelaku dalam penyelenggaraan kegiatan pemberdayaan, (2) Klasifikasi lapisan kelompok pemanfaat/sasaran baik secara ekonomi, sosial budaya, dan politik. Demikian pula kegiatan pemberdayaan, harus meliputi seluruh bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Terdapat empat stratetgi yang dapat ditawarkan dalam memberdayakan masyarakat di tingkat kelurahan, yaitu:
Pertama; Memberdayakan masyarakat dengan “mensosialisasikan” peran masyarakat sebagai subyek, baik sebagai pemeran utama dan atau ambil bagian/membantu ataupun sebagai sasaran/ pemanfaat (obyek) secara tepat, benar dan dipahami serta peningkatan kemampuan masyarakat dalam mengelola dan melaksanakan kegaitan pembangunan di segala bidang Poleksosbudhankam (fisik-nonfisik). Kedua; Mendayagunakan “mekanisme” penyelenggaraan pembangunan /pemberdayaan masyarakat secara lebih aspiratif/demokratis, efektif, dan efisien, sesuai dengan ketatanegaraan/ pemerintahan dan kemasyarakatan yang baku.
Ketiga; Mobilisasi “sumber daya” manusia seperti tenaga, pikiran dan kemampuan sesuai dengan profesionalismenya, termasuk mobilisasi uang dan barang dan lain-lain baik secara local kelurahan ataupun dari luar kelurahan dan pihak lainnya seoptimal mungkin, tanpa menimbulkan gejolak di masyarakat. Keempat; Memaksimalkan peran pemerintah, khususnya “Pemerintahan Kelurahan” dalam memfasililtasi, mengnatur/legalisasi (regulasi) dan memberi bantuan dana/tehnis (donasi), guna kelancaran penyelenggaraan pembangunan/pemberdayaan masyarakat.
Organisasi dan Manajemen Penyelenggara Pemberdayaan masyarakat
Kelurahan adalah tingkat pemerintahan “strategis” yang dapat dijadikan sebagai lokasi penyelenggaraan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, perangkat pemerintah propinsi, pemerintah kotamadya/ kabupaten administtrasi dan kecamatan berperan sebagai fasilitator bagi kegiatan pemberdayaan masyarakat di tingkat kelurahan yang diselenggarakan oleh pemerintah kelurahan cq. Lurah dibantu Dewan Kelurahan dan masyarakat cq. Lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Untuk menjamin pelaksanaan pemberdayaan masyarakat secara efisien dan efektif, organisasi pemberdayaan masyarakat terdiri dari tim fasilitasi pemberdayaan dan tim pelaksana pemberdayaan. Tim Fasilitasi pemberdayaan merupakan dewan pengawas yang memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan dalam perencanaan dan peanggaran dalam program dan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Tim fasilitasi terdiri dari kepala daerah, sekretaris daerah dan beberapa pejabat terkait dalam pemberdayaan masyarakat. Sedangkan tim pelaksana pemberdayaan merupakan kelompok organisasi di tingkat kelurahan yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk melaksanakan pemberdayaan sesuai dengan kebijakan yang dibuat oleh tim fasilitasi pemberdayaan.
Penyelenggaan kegiatan pemberdayaan masyarakat di tingkat kelurahan, diproses secara bertahap melalui (1) Penyusunan rencana dan anggaran (RA); (2) Pelaksanaan kegiatan (P); (3) Pengawasan/pengendalian pelaksanaan kegiatan (P); (4) Pelaporan pertanggungjawaban hasil kegiatan. Agar pelaksanaan manajemen pemberdayaan masyarakat dapat dikontrol, dibutuhkan organisasi yang merupakan forum koordinasi pada level kelembagaan masyarakat (sebagai forum koordinasi perencanaan dan musyawarah masyarakat dalam pemberdayaan) dan pada level pemerintahan (sebagai forum koordinasi perencanaan dan musyawarah organ pemerintah pelaksana pembeerydaan).
Evaluasi dan Monitoring Pemberdayaan Masyarakat
Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat harus dievaluasi dalam kurun waktu yang telah ditetapkan. Hal ini untuk menjamin agar pelaksanaan pemberdayaan sesuai dengan kebijakan yang telah dibuat untuk untuk menjamin tidak adanya pelanggaran baik dari aspek substantif dan administratif. Paling tidak terdapat dua sasaran evaluasi dalam penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat di tingkat kelurahan yaitu: Kepatuhan terhadap Peraturan-perundangan dan Tingkat pencapaian output. Evauasi aspek kepatuhan meliputi konsistensi penerapan hukum dan kesesuaian dengan pedoman penyelenggaraan pemberdayaan. Sedangkan evaluasi pencapaian target meliputi aspek kuantitatif, kualitatif and daya guna program pemberdayaan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
R. Harry Hikmat, Strategi Pemberdayaan Masyarakat (Bandung: Humaniora Utama Press, 2001). Isbandi Rukminto Adi, Pemikiran-pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2002). Kusnaka Adimihardja, Participatory Research Appraisal dalam Pelaksanaan Pengabdian kepada Masyarakat (Bandung: Humaniora, 2001). James William Ife, Community Development: Creating Community Alternatives – Vision
and Analysis (Melbourne: Longman Australia Pty Ltd, 1995). David Osborne and Ted Gabler, Reinventing Government (A Plume Book, 1993).

0 comments: