Friday 21 March 2008

KEBIJAKAN DESENTRALISASI

Jurnal Administrasi Negara Vol. I, No. 02, Maret 2002
KEBIJAKAN DESENTRALISASI
Oleh:
Bhenyamin Hoessein
Bhenyamin Hoessein, Pengajar Pemerintahan dan politik Lokal FISIP UI
Sudah merupakan kelaziman, setiap UU apapun semula dari RUU hasil kerja sebuah panitia (tim) yang dibentuk oleh Pemerintah atau Menteri yang membidanginya. Demikian pula UU tentang pemerintahan daerah. UU No. 1 Tahun 1945 tentang komite Nasional Daerah berasall dari RUU yang disusun Subadio, sedangkan penjelasannya disusun oleh Hermani. UU No. 22 Tahun 1948 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah berasal dari RUU hasil panitia yang diketahui R. P. Soeroso. UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah berasal dari RUU hasil panitia yang diketuai oleh Soenarjo. UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok pemerintahan di Daerah berasal dari RUU hasil panitia yang diketuai R.P. Soeroso. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah berasal dari RUU hasil panitia yang diketuai oleh E. Manihuruk. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah berasal dari RUU hasil panitia yang diketuai Rapiuddin Hamarung.
Diantara keenam UU tersebut, hanya UU No. 1 Tahun 1957 yang berlandaskan pasal 131 dan 132 UUDS 1950, sedangkan kelima UU lainnya berlandaskan pasal 18 UUD 1945 sebelum mengalami amandemen. UU No. 1 Tahun 1957 pula yang berjudul tepat asas dengan judul bab yang menjadi landasannya dalam UUD 1945. Judul Bab IV UUDS 1950 adalah Pemerintahan Daerah, sedangkan judul Bab VI UUD 1945 adalah pemerintah Daerah.
Baik istilah Pemerintahan Daerah maupun Pemerintah Daerah berasal dari istilah Inggris Local Government atau istilah Belanda Local Bestuur. Kedua istilah asing tersebut dapat mengacu pada fungsi sebagai Pemerintahan Daerah (lokal). Dalam arti organ (institusi), istilah local authority (UN. 1961). Dalam arti tersebut utamanya mengacu pada council (raad) atau DPRD. Konsekuensinya konsep pemerintahan daerah (lokal) mencakup fungsi yang dilakukan juga oleh Council (Raad) atau DPRD. Local Government dapat pula berarti daerah otonom, hal ini disimak dari deskripsi local Government yang diberikan oleh UN (1961)
a political subdivision of nation (or in a federal system, a State) which is constituted by law and has substantial control of local affairs, including the powers to impose taxes or to extract labour for prescribed purposes. The governing body of such an entity is elected or otherwise locally selected (UN, 1961).
Pada umunya berbagai UU Pemerintahan daerah sebelum UU No. 22 Tahun 1999 memiliki cara pandang yang tepat azas dalam memberi pengertian tentang Pemerintah Daerah dan pemerintahan daerah sebagaimana pengertian local Government dan dewan pemerintah Daerah (DPD). Anggota-anggota DPRD atas dasar perwakilan berimbang. KDH karena jabatannya adalah menjadi anggota merangkap Ketua DPD. DPD secara kolektif bertanggung jawab kepada DPRD selanjutnya KDH dapat berhenti karena keputusan DPRD. Apabila menurut UU No. 22 Tahun 1948 KDH diangkat oleh Pemerintah atas usul dan pemilihan dari DPRD, maka menurut UU no. 1 Tahun 1957 KDH dipilih oleh DPRD dan disahkan oleh Pemerintah.
Berbeda dengan rumusan Pemerintah Daerah dalam kedua UU tersebut yang mengedepankan keberadaan DPRD, rumusan Pemerintah Daerah dalam kedua UU berikutnya mengedepankan keberadaan KDH. Dalam UU No. 18 Tahun 1965 terdiri atas KDH memberikan keterangan pertanggung jawaban kepada DPRD, namun ia tidak dapat dijatuhkan atas keputusan DPRD. KDH diangkat oleh pemerintah dari calon-calon yang dipilih dan diajukan oleh DPRD. KDH tidak bertanggungjawab kepada DPRD. Oleh karena itu KDH juga tidak dapat dijatuhkan oleh keputusan DPRD.
Walaupun terdapat variasi penonjolan kelembagaan dalam pengertian Pemerintah Daerah sebagai organ antara UU No. 1 Tahun 1974 di lain pihak, namun pengertian Pemerintahan Daerah sebagai fungsi dari Pemerintah Daerah dalam keempat UU tersebut adalah penyelenggaraan fungsi oleh kedua lembaga pemerintahan tersebut.
UU No. 22 Tahun 1999 menganut cara pandang yang tidak tepat asas. Menurut UU ini, Pemerintah Daerah lainnya sebagai Badan Eksekutif Daerah. Sedangkan DPRD sebagai Badan Legislatif daerah tidak di atas. Baik dalam UU No. 22 Tahun 1948 maupun UU No. 1 Tahun 1957 dinyatakan bahwa Pemerintah daerah terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Pemerintah Daerah (DPD). Anggota-anggota DPD dipilih oleh dan dari anggota-angota (DPRD) termasuk Pemerintah Daerah. Namun, Pemerintahan Daerah merupakan penyelenggaraan fungsi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD.
Serangkaian pergeseran paradigma mengenai Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dari berbagai UU tersebut tentu menarik untuk dikaji. Sekalipun menurut UU No. 22 Tahun 1948 dan UU No. 1 Tahun 1957, DPRD tercakup dalam konsep Pemerintahan Daerah, namun tidak berarti posisi DPRD lemah berhadapan dengan KDH. Namun kuat atau lemahnya posisi DPRD tersebut bertalian erat dengan ada atau tidaknya kewajiban akuntabiliti KDH terhadap DPRD dan konsekwensi yuridis dan politiknya, dan sama sekali bukan karena DPRD berada di dalam atau di luar Pemerintah Daerah. Penyusun UU No 22 Tahun 1999 terlalu emosional dalam bereaksi terhadap situasi yang terjadi dalam kurun waktu berlakunya UU No. 05 Tahun 1974 dan tidak sempat menelusuri sejarah UU Pemerintah Daerah, serta teori pemerintahan lokal yang akan dijadikan acuannya.
Dari dimensi teori pemerintahan lokal, UU No. 22 Tahun 1999 memang telah membawa pengesahan sejumlah model dan paradigma pemerintahan lokal lainnya “Structural Efficiency Model” yang menekankan efisiensi dan keseragaman di tinggalkan dan dianut "Local Democracy Model " yang menekankan nilai demokrasi dan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Seiring dengan pergeseran model tersebut terjadi pula pergeseran dari pengutamaan desentralisasi. Dilakukan pula pemangkasan dan pelangsingan struktur organisasi dalam rangka menggeser model organisasi yang hirarkis dan bengkak ke model organisasi yang datar dan langsing. Hubungan antara Dati II dan Dati I yang semula "Dependent” dan "Subordinate” kini hubungan antara Kabupaten/kota dengan propinsi menjadi "independent" dan "coordinate". Pola hubungan tersebut tercipta sebagai konsekuensi perubahan dari dianutnya “Integrated Perfectoral System” yang parsial pada tataran profinsi.
Distribusi wewenang dalam bidang pemerintahan kepada daerah otonom yang semula dianut “ultra - virest doctrine" dengan merinci kompetensi daerah otonom diganti dengan "General Competence" atau “open end arrangement" yang merinci kompetensi pemerintah dan profinsi. Pengawasan pemerintah terhadap daerah otonom yang semula cenderung koersif bergeser ke persuasif agar diskresi dan prakarsa daerah otonom lebih tersalurkan. Konsekuensinya pengawasan pemerintah terhadap kebijakan daerah yang semula secara preventif dan reprensif, kini hany cara represif. KDH yang scmula tidak akuntabel terhadap DPRD diciptakan akuntabel. Hubungan pmerintah dan daerah otonom yang selama UU No. 05 Tahun 1974 bersifat searah dari atas kebawah diganti dengan model hubungan yang bersifat resiprokal. Dalam Keuangan Daerah Otonom, terjadi pergeseran dari keutamaan ''Specific grant tt ke "Block grant".
Seperti diutarakan diatas perubahan model dan paradigma pemerintah lokal tersebut terasa berlangsung dalam suasana emosional sebagai reaksi terhadap model dan paradigma yang dianut oleh Orde Baru. Pemilihan model dan paradigma pemerintahan tersebut seolah-olah berada dalam ruang hampa, dalam arti tidak dikaji secara seksama faktor-faktor sosial budaya, ekonomi dan politik masyarakat Indonesia sebagai lingkungan eksternalnya. Disamping itu, tidak diperhitungkan keberadaan pemerintah lokal sebagai sub sistem dari sistem Pemerintahan NasionaL
Secara Substansial perubahan model dan paradigma tersebut kurang berpijak pada konsep-konsep dasar dalam penyelengga-raan otonomi daerah. Salah satu konsep dasar adalah desentralisasi dianut dalam organisasi Negara di Indonesia sebagai padanan konsep Devolution atau Political Decentralization. Konsep tersebut kurang dihayati.
Pada hakekatnya desentralisasi adalah otonomisasi suatu masyarakat yang berada dalam teritoir tertentu. Suatu masyarakat yang semula tidak berstatus otonomi melalui desentralisasi menjadi berstatus otonomi dengan jalan menjelmakannya sebagai daerah otonom. Sebagai pancaran kedaulatan rakyat, tentu otonomi diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat dan sama sekali bukan kepada daerah ataupun Pemerintah Daerah. Ketegasan pernyataan otonomi milik masyarakat dan masyarakat sebagai subjek dan bukan objek otonomi semestinya dicanangkan dalam kerangka hukum sehingga penyelenggaraan otonomi daerah menjadi lebih mulus.
Pengejawantahan desentralisasi adalah otonomi daerah dan daerah otonom. Baik dalam definisi daerah otonom maupun otonomi daerah mengandung elemen wewenang mengatur dan mengurus. Wewenang mengatur dan mengurus merupakan substansi daerah otonomi yang diselenggarakan secara konseptual oleh Pemerintah Daerah.
Secara konseptual dan empirik di berbagai negara, kata local dalam kaitannya dengan local government dan local autonomy tidak dicerna sebagai daerah, tetapi merupakan masyarakat setempat. Urusan dan kepentingan yang menjadi perhatian local government dan tercakup dalam \ocal autonomy bersifat locality. Basis politiknya adalah lokalitas dan bukan bangsa. Seperti yang tampak pada pengertian local government yang diberikan oleh UN bahwa daerah otonom mengelola local affairs sebagaimana dikemukakan oleh Hampton (1991) bahwa : local authority are elected bodies and expected to develop policies appropriate to their localities whitin the framework of national legislation. Dalam pasal 28 grundgesetz fur Bundesrepublik Deutschland (UUD Federal Jerman 1949 Amandemen terakhir 16-7-1998) juga ditegaskan bahwa " daerah otonom harus diberikam hak untuk mengatur urusan-urusan yang bersifat lokal.” Begitu pula dalam rumusan otonomi daerah pasal 1 butir l UU No. 12 Tahun 1999 terdapat kata-kata "mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri", Dalam kaitan ini sungguh tepat apa yang diutarakan oleh Page (1991):
To be local implies some control over decision by the community. The prmciples of representative democracy suggest that this influence is exercised at least in part through democratically elected officials who may be expected to represent local citizen and groups. Local elected representative can also provide the focus for forms of participatory democracy through direct citizen involvement or interest group activity.
Mengingat kondisi masyarakat lokal beraneka ragam, maka local government dan local autonomy akan beraneka ragam pula. Dengan demikian, fungsi desentralisasi (devolusi) untuk mengakomodasi kemajemukan aspirasi masyarakat lokal. Desentralisasi (devolusi) melahirkan political variety untuk menyalurkan local voice dan local choice.
Sebagai subjek otonomi, maka keterlibatan masyarakat secara aktif perlu tersalurkan secara lebih tegas dalam kerangka hukum. Pertama, keterlibatan masyarakat dalam pembentukan daerah otonom baru yang sebenarnya merupakan pemekaran daerah otonom yang sudah ada dan penghapusannya (apabila terjadi) perlu disalurkan melalui lembaga "jajak pendapat". Kedua, keterlibatan masyarakat secara langsung bukan hanya dalam pemilihan anggota DPRD, tetapi dalam hal pemilihan KDH. Ketiga, keterlibatan masyarakat secara langsung dalam proses pembentukan kebijakan baik melalui persidangan DPRD secara terbuka maupun melalui mekanisme yang tercipta pada jajaran birokrasi lokal. Keempat, dibukanya keterlibatan masyarakat dan juga sektor swasta dalam pelayanan publik sebagai manifestasi paradigma governance.
DAFTAR PUSTAKA
Page, Edward C, Localism and Centralism In Europe. Oxford University Press, 1991.
U,N. Decentralization for National and Local Development, New York: 1962.
Hampton, William, Local Government and Urban Politics, London, and New York, Long Man, 1991.

0 comments: