Friday 21 March 2008

AGENDA KEBIJAKSANAAN REFORMASI ADMINISTRASI NEGARA

AGENDA KEBIJAKSANAAN REFORMASI ADMINISTRASI NEGARA
Prof. Dr. Muh Irfan Islamy, MPA.
Judul ini dipilih bukanlah sekadar untuk memenuhi tuntutan selera masyarakat yang sedang gandrung dengan reformasi akan tetapi lebih merupakan refleksi akademik saya untuk senantiasa peka terhadap masalah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita dalam rangka menuju ke kehidupan yang lebih maju, modern dan sejahtera lahir dan batin. Kita telah sepakat kiranya bahwa reformasi itu mencakup berbagai aspek kehidupan kenegaraan kita secara total dan fundamental. Karena pada hakikatnya reformasi itu merupakan upaya bangsa yang perlu dilakukan tiada henti untuk selalu mencari dan menemukan format baru di berbagai bidang kehidupan dalam rangka menyempurnakan kualitasnya. Dan secara fundamental reformasi itu adalah merupakan a major change of the mind - set untuk mengubah tata pikir yang keliru, yang perlu direvisi menuju ke tata pikir yang lebih mendasar sesuai dengan cita - cita dan kepentingan masyarakat bangsa kita.
Saya ingin mengajak untuk merenung dan memikirkan penyempumaan kualitas administrasi negara kita yang akhir - akhir ini dinilai kurang menggembirakan. Agenda kebijaksanaan reformasi administrasi negara (administrative reform) yang saya maksud perlu disusun dan diarahkan menuju ke peningkatan kinerja pemerintah yang tidak saja secara klasik demi tercapainya tujuan yang efektif dan efisien tetapi juga sejauh mungkin tujuan itu tercapai sesuai dengan kriteria public accountability and responsibility yang harus dipenuhi oleh setiap aparat pemerintah / birokrasi negara di semua lini. Untuk mencapai tujuan itu reformasi administrasi negara utamanya pada penyempurnaan manajemen pelayanan publik. Hal ini disebabkan karena masyarakat selalu mengharapkan memperoleh pelayanan yang sebaik - baiknya dari aparat pemerintah.

Mengapa kita perlu menyusun agenda kebijaksanan reformasi administrasi negara yang berujung pada penyempurnaan manajemen pelayanan publik?
Setidak - tidaknya ada 5 hal dan sekaligus menjadi tuntutan masyarakat yang harus dipenuhi oleh administrasi negara dalam rangka memberikan pelayanan yang sebaik -baiknya kepada masyarakat
1 Derasnya tuntutan agar pemerintah mampu menumbuhkan adanya good governance yaitu suatu sistem penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, bertanggung jawab dan profesional. Rekruitment penyelenggara pemerintahan di semua jenjang harus benar -benar didasarkan pada persyaratan merit system dan menolak favoritisme dan nepotisme.
2 Semakin tajamnya kritik masyarakat atas semakin rendahnya kualitas pelayanan publik. Masyarakat telah merasa melaksanakan kewajiban -kewajibannya tetapi seringkali hak -haknya terpasung oleh aparat pelayanan.
3 Semua aparat pemerintah dituntut untuk mempunyai sense of crisis sehingga mereka benar - benar paham bahwa kita sekarang sangat membutuhkan aparat pelayanan yang mampu to do more with less artinya dalam situasi yang penuh dengan krisis ini aparat pelayanan harus bekerja lebih keras dan lebih produktiv dengan serta kelangkaan sumber – sumber.
4 Aparat pemerintah dituntut agar bekerja lebih profesional dengan mengedepankan terpenuhinya public accuntability and responsibility yaitu menyatakan bahwa reformasi administrasi dengan menekan sekecil mungkin terdiri dari dua aspek mayor yaitu: pemborosan penggunaan sumber -sumber negara dan juga sekaligus memperkuat peraturan perundangan yang berlaku (the body of rules) sebagai fondasi untuk melaksanakan tugas -tugasnya.
5. Masyarakat, sebagai pihak yang harus dipenuhi dan dilindungi kepentingannya (public interest), menuntut agar pemerintah memperhatikan dengan sungguh - sungguh aspirasi mereka dan sejauh bisa memenuhinya.
Kelima hal diatas hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak tuntutan masyarakat yang harus diperhatikan dengan sungguh -sungguh oleh birokrasi pemerintah.
Reformasi administrasi pada hakikatnya menyangkut dimensi dan spektrum yang sangat luas dan kompleks dengan tujuan yang sangat jelas yaitu meningkatkan administrative performance dari birokrasi pemerintah. Agenda kebijaksanaan reformasi adminsitrasi perlu diarahkan (dengan meminjam kata - kata Caiden:1969): "to Improve the administrative performance of individuals, groups, and institutions more effectively, more economically, and more quickly.” Setiap aparatur pemerintah dengan demikian perlu ditingkatkan keahlian / kapasitas administratifnya, tanggung jawabnya, moral etikanya, kepribadiannya, semangat kerjanya, kreativitasnya, loyalitasnya, semangat keepentingan bersamanya, disiplinnya, otonominya dan saling ketergantungannya serta profesionalismenya. Dan secara kelembagaan yang perlu diingatkan antara lain strukturnya, sistem dan prosedurnya, kepemimpinannya, koordinasinya, manajemen partisipasinya, adaptasinya, hubungannya dengan klien, efisiensi dan efektivitasnya, akontabilitas dan responsibilitasnya.
Pandangan Caiden diatas secara lebih spesifik bisa diartikulasikan ke dalam pandangan para pakar administrasi dari negara -negara Asia Pasifik yang tergabung ke dalam Eastern Regional Organization for Public Administration (EROPA) seperti misalnya Zhijian, de Guzman, dan Reforma (1992) yang Firstly, from the point of view of structuralchanes, which involves adjustment in authority relationships in bureaucratic organization by way of abolition, integration merger or creation of administrative units, the transfer of addition of functions and responsibilities of agencies, as well as the introduction of new procedures and regulations in governmental transactions, Secondly, from the point of view of behavioral changes which have to be engendered to evoke productivity values as well as responsiveness to the client systems.
Kedua arah dan sasaran reformasi administrasi yaitu penyempumaan struktur birokrasi dan pembahan perilaku aparatnya menjadi conditio sine quo non bagi upaya peningkatan kinerja birokrasi pemerintah.
Menurut pandangan pakar administrasi kita, misalnya Siagian melihat pentingnya arah reformasi administrasi negara di Indonesia yang ditujukan ke pengembangan administrative infrastrukture yang meliputi pengembangan aparat birokrasi, struktur organisasi, sistem dan prosedur kerja (Siagian:1982). Dan menurut Tjokroamidjojo ketika menganalisis administratif pembangunan di Indonesia menegaskan bahwa arah reformasi administrasi perlu ditujukan ke 7 wilayah penyempurnaan utama yaitu (Tjokroamidjojo:1985):
1 Penyempumaan dalam bidang pembiayaan pembangunan
2 Penyempumaan dalam bidang penyusunan program -program pembangunan di berbagai bidang ekonomi dan non ekonomi dengan pendekatan integratif (integrative approach).
3 Reorientasi kepegawaian negeri ke arah produktivitas, prestasi dan pemecahan masalah.
4 Penyempumaan administrasi untuk mendukung pembangunan daerah.




1 Administrasi partisipatif untuk mendukung pembangunan daerah.
2 Kebijaksanaan administratif dalam rangka menjaga stabilitas dalam proses pembangunan.
3 Lebih bersihnya pelaksanaan administrasi negara


Menyadari akan luas dan kompleksnya arah dan wilayah reformasi administrasi negara di negara kita maka pelaksanaannya perlu memperoleh dukungan dari sektor - sektor lain seperti politik, ekonomi, hukum dan sebagainya. Kondisi politik yang stabil, perkembangan ekonomi yang tinggi dan pelaksanaan hukum yang mantap dan konsisten akan memberikan kontribusi yang optimal bagi keberhasilan usaha -usaha reformasi administrasi di negara kita.
Penyusunan agenda kebijaksanaan reformasi administrasi negara membutuhkan strategi yang tepat. Pilihan pendekatan yang akan dipakai perlu ditetapkan yaitu apakah akan menggunakan pendekatan komprehensif (comprehensive approach) ataukah pendekatan inkremental (selectivism / The islands of Excellence approach). Masing -masing pendekatan apabila dipergunakan secara terpisah mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri - sendiri. Reformasi administrasi yang menggunakan pendekatan komprehensif kelebihannya adalah bisa mencakup berbagai sektor infrastruktur administratif yang luas tetapi kelemahannya membutuhkan waktu yang cukup lama dan untuk negara berkembang seperti halnya negara kita mempunyai kendala keuangan / dana dan kualitas sumber daya manusia yang masih rendah. Pendekatan inkremental kelebihannya adalah karena sering kali reformasi terkesan tambal sulam dan lebih -lebih lagi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia tidak memiliki administrative maping yang bisa dipakai sebagai landasan untuk melakukan reformasi administratif yang menyeluruh.
Sehubungan dengan hal itu maka penetapan agenda kebijaksanaan reformasi administrasi di negara kita perlu mencermati kelemahan - kelemahan yang ada pada ke dua pendekatan tersebut di atas dan memanfaatkan kelebihan -kelebihannya. Menurut Tjokroamidjojo (1985).

"Pada umumnya cenderung dilakukan suatu perencanaan perhatian dan penyempurnaan administrasi negara dilihat secara menyeluruh dalam dimensi waktu yang cukup panjang. Hal ini disebabkan pula antara lain karena tingkat kematangan suatu perbaikan administrasi negara memang memerlukan jangka waktu panjang. Tetapi pelaksanaannya dilakukan secara sebagian -sebagian sesuai dengan prioritasnya.”
Dengan bahasa lain, menurut saya dalam menetapkan agenda kebijaksanaan reformasi administrasi di Indonesia perlu memadukan secara serasi kedua pendekatan tersebut dengan terlebih dahulu diawali dengan penyusunan peta reformasi administrasi yang menyeluruh, jelas dan akurat dan kemudian diikuti dengan kebijaksanaan implementasi yang konsisten dan bertahap sesuai dengan kemampuan dana dan daya.
Sebagaimana yang telah saya kemukakan sebelumnya bahwa end - product dari kegiatan reformasi administrasi negara di negara kita seyogyanya diarahkan pada penyempumaan manajemen pelayanan publik. Oleh karena itu, agenda kebijaksanaan reformasi admimstrasi yang perlu disusun adalah sebagai berikut:
l. Memadukan Rule Governance and Goal Governance
Kita semua telah melihat dan merasakan bahwa sebagian besar organisasi publik kita di berbagai sektor misalnya pemerintahan, pendidikan dan kebudayaan dan sebagainya telah berada dalam suatu kondisi yang dikenal dengan istilah organizational lack yang ditandai dengan menurunnya kualitas pelayanan yang diberikannya. Masyarakat pengguna pelayanan mengeluhkan akan lambannya penanganan pemerintahan atas masalah ini dan bahkan mereka telah memberkan berbagai macam public alarm agar pemerintah, sebagai instansi yang paling berwenang, responsif terhadap semakin menurunnya kualitas pelayanan kepada masyarakat dan mengambil inisiatif yang cepat untuk menanggulanginya dengan cepat


Terdapat pelbagai faktor yang menyebabkan birokrasi publik mengalami organizational slack yaitu antara lain pendekatan / orientasi pelayanan yang kaku, visi pelayanan yang sempit, pengusaaan terhadap administrative engineering yang tidak memadai, dan semakin bertambah tambunnya unit-unit organisasi publik yang tidak difasilitasi dengan 3P (Personalia, peralatan dan Penganggaran), yang cukup handal (viable bureacratic infrastructure). Aparat Organisasi publik menjadi lamban dan sering terjebak ke dalam kegiatan rutin. Mereka tidak responsif terhadap aspirasi dan kepentingan publik serta lemah adaptasinya terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya.
Selain itu, salah satu public alarm itu juga berbunyi nyaring yang mempertanyakan tentang posisi aparat pelayanan ketika berhadapan dengan publik / kliennya. Apakah birokrasi publik itu alat rakyat, alat penguasa ataukah penguasa itu sendiri? (Kuntjoro-Jakti:1980). Amien Rais (1997) dengan jelas telah menunjukkan posisi birokrasi kita yang telah berkembang menjadi semakin elits yang semakin jauh keberpihakannya kepada kepentingan masyarakat banyak. Aparat pelayanan kita telah memposisikan dirinya sebagai tuan yang meminta pelayanan dan bukan sebagai abdi yang harus memberikan pelayanan.
Birokrasi publik itu kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat patriomonalistis: tidak efisien, tidak efektif, (over consuming and under producing), tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif.
Usaha - usaha untuk me -make up wajah birokrasi publik yang patriomonialistis menjadi yang lebih rasionalistik bukan humanistik (Dvorin dan Simmons: 1972) telah ada /lama dilakukan, namun hasilnya masih

belum meyakinkan. Hal ini tampak misalnya penerapan prinsip -prinsip birokrasi tipe ideal Weber yang berciri struktural-hierarkikal, imparsial, penerapan aturan yang ketat, pengawasan yang ketat, berdasarkan prinsip keahlian / spesialisasi dan sebagainya, kemudian dikenal dengan paradigma rule governance, telah banyak dilakukan di berbagai organisasi publik. Penerapan prinsip - prinsip birokrasi rasional menunjukkan hasil di satu sisi positif dalam arti semakin tingginya tertib administrasi yang dicapai oleh organisasi publik, tetapi di sisi lain bersifat counter -productive terhadap nilai - nilai kemanusiaan. Birokrasi publik telah menjadi mesin rasional yang menciptakan perilaku aparat yang formal, kaku dan robotic yang kurang peka terhadap nilai - nilai kemanusiaan dan lingkungan sosialnya. Struktur birokrasi yang terlalu rasional bisa menimbulkan akibat-akibat disfungsional dari birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat bisa menyebabkan timbulnya konflik dengan masyarakat yang dilayani. Demikian pula aturan - aturan (rules) sebagai sarana untuk mencapai tujuan seringkali berubah menjadi tujuan itu sendiri bila aparat tidak memahami dengan benar fungsi atau peran aturan - aturan tersebut. Aturan - aturan itu menurut Reinhard Bendix "tidak lebih dari penuntun - penuntun yang tidak sempuma bagi tindakan manusia sehingga faktor - faktor di luar aturan itu harus diperhatikan."
Paradigma rule governance tidak berarti tidak bisa dipakai pada birokrasi publik era Indonesia kontemporer. Relevansi dan signifikasinya masih bisa dipertahankan sepanjang sisi - sisi positif dari paradigma tersebut dapat secara terus menerus dapat diadaptasikan dengan administrative ecology yang terus berubah.
Manajemen sektor publik yang dijalankan berdasarkan paradigma rule governance berimplikasi pada eksistensi dan aktivitas penyelenggaraan pemerintahan di mana "Governance should be small and organized in accordance with clear rules that promote predictability and legality". (Jan -Erik Lane:1995). Pemerintah kita sekarang tidak lagi kecil tetapi sudah demikian besar yang tentu saja tidak dapat lagi dijalankan dengan semata -mata berdasarkan pada sistem perilaku aparat yang berorientasi pada aturan yang ada (a rule oriented system of behavior) tetapi harus lebih pada sistem perilaku yang berorientasi pada pencapaian tujuan (goal-oriented behavior). Pemerintah kita sekarang membutuhkan lebih banyak tenaga profesional yang menguasai teknik - teknik manajemen pemerintah dan yang lebih berorientasi pada pencapaian tujuan. Atau seperti yang dikatakan oleh Lane : "The rule may be handled by administrative prersonnel whereas golas must be accomplished by professionals". Oleh karena itu, manajemen sektor publik sekarang ini membutuhkan lebih banyak aparat -aparat profesional yang dapat menangani tugas -tugas pemerintahan berdasarkan keahlian profesional.
Manajemen pelayanan publik, dengan demikian harus lebih dilandaskan pada paradigma goal governance yang didasarkan kepada pendekatan manajemen baru (a new managerial approach). Dikatakan oleh huges (1994) bahwa : the public sector in the future will inevitably be managerial in both theory and practice". Paradigma goal govemance berupaya untuk menghilangkan praktek -praktek birokrasi Weberian yang negatif seperti struktur birokrasi yang hierarkhikal menghasilkan biaya operasional yang lebih mahal dari pada keuntungan yang diperolehnya, merajalelanya red tape, rendahnya inisiatif / kreativitas aparat, tumbuhnya budaya mediokratis (sebagai lawan dari budaya meritokratis) dan inefisiensi.
Pendekatan manajemen baru di sektor publik, menurut Huges, ditandai dengan beberapa karakteristik sebagai berikut :
Pertama, peubahan yang besar pada orientasi administrasi negara tradisonal menuju ke perhatian yang lebih besar pada pencapaian hasil dan pertanggung jawaban pribadi pimpinan.
Kedua, keinginan untuk keluar dari birokrasi klasik untuk menjadikan organisasi, pegawai, masa pengabdian dan kondisi pekerjaan lebih luwes.
Ketiga, tujuan organisasi dan individu pegawai disusun secara jelas sehingga memungkinkan untuk dibuatkannya tolok ukur prestasi lewat indikator kinerjanya masing -
masing. Demikian pula sistem evaluasi program - programnya.
Keempat, staf pimpinan yang senior mungkin bisa mempunyai komitmen politik kepada pemerintah yang ada dari pada bersikap non partisan dan netral.
Kelima, fungsi-fungsi pemerintah bisa dinilai lewat uji-pasar (market tests) seperti misalnya dikontrakkan pada pihak ketiga tanpa harus disediakan/ ditangani sendiri oleh pemerintah.
Keenam, mengurangi peran-peran pemerintah misalnya lewat kegiatan privatisasi.
Penerapan pendekatan manajemen barupada sektor publik telah banyak disarankan oleh para pakar dengan label yang berbeda -beda seperti misalnya dengan nama "managerialism" oleh Pollitt (1990), "new public management oleh Hood (1991), market -based public administration" oleh Lan dan Rosebloom (1992), dan "enterpreneurial government" oleh Osborne dan Gaebler (1992). Adapun label yang dipergunakan, yang jelas telah banyak sektor publik di negara-negara maju baik di benua Amerika maupun Eropa yang telah berhasil menerapkan pendekatan manajemen baru ini.
Dapatkah pendekatan manajemen baru di sektor publik ini diterapkan di negara kita ? yang jelas pendekatan manajemen baru ini telah merubah fokus sektor publik dari yang semula lebih mementingkan "process" menuju ke "Product atau dari "rule govemment menuju ke "goal govemance.”
Sebelum kita dapat menjawab pertanyaan penting tersebut di atas perlu kita clearkan posisi kita atas pertanyaan-pertanyaan berikut:
Bagaimanakah aparat pemerintah kita menyikapi perubahan-perubahan yang begitu cepat terjadi pada masyarakat kita? administrasi competence apa saja kah yang harus dimiliki aparat pemerintah agar mampu menangani berbagai masalah yang timbul silih berganti ? sejauh manakah aparat pemerintah tetap bertindak populis dan berpihak kepada kesejahteraan rakyat banyak mengingat begitu besamya tantangan dan tanggungjawab yang harus dihadapinya ?

Hal-hal di atas bukanlah pertanyan-pertanyaan yang mudah untuk dijawab, karenakita masih perlu menginterversikan banyak faktor tentang kualitas aparat pemerintahan kita.
Kita telah memahami kelebihan dan sekaligus kelemahan paradigma rule governance dan kita pun telah mendengar kelebihan paradigma goal governance of results and taking individual responsibility for their achievement. Tetapi ia juga memiliki kelemahan bila prinsip-prinsip manajemen baru itu hendak memiliki kelemahan diterapkan disektor publik. Misalnya sampai sekarang kita masih melihat diskursus yang seru terhadap 10 prinsip dalam "enterpreneuril governance "-nya Osborne dan Gaebler yangmereka kemukakan dalam uraian yang sangatpropokativ yaitu Reinveting Goverment (1992). Konsep pemerintahan enterpreneur Osborne dan Gaebler yang mencoba "menemukan nilai-nilai baru” (Re-inventmg) di bidangpemerintahan ternyata menurut Chris Painterterhadap konsep pemerintahan enterpreneuradalah sistem informasi akuntansi terlalu bisa pada "new administrative values" yang lebihbanyak menitikberatkan pada paradigma goal govemance dengan meminggirkan nilai-nilai administrasi klasik yang sebenamya masih potensial yang berbasis pada rule governance. Oleh karena itu, Painter menyebutkan bukannya reinveting government melainkan abandoning government karena Osborne dan Gaebler sebenamya telah menghapuskan atausetidak - tidaknya telah membelotkan nilai pemerintahan. Padahal kedua nilai tersebut bisa disatu-padukan. Kritik yang lain misalnyadari Pollitt (dalam Huges 1994) yang meragukan penerapan prinsip - prinsip enterpreneurship di sektor publik. Setidak -tidaknya ada dua hal yang melemahkan konsep tersebut dengan mengatakan:
First the provider / consumer transactions in the public service tend to be notablymore complex than thoses faced by the customer in a normal market, and second, public service consumers are never merely "consumers”, they are always citizens too and this has a set of unique implications for the transactions”
Dan masih banyak lagi kritik yang lainnya
Sehubungan dengan itu maka menurut saya, kita perlu melakukan repositioning dengan menyusun agenda kebijaksanaan reformasi administrasi negara yang pertama yaitu mensinergikan paradigma rule governance. Diperlukan semacam electric intelectual base intelectual base yang mampu membawa pencerahan pemikiran reformasi administrasi menuju ke tumbuhnya administrasi negara yang juga cerah, yang kalau boleh dengan meminjam kata - kata Hughes : "..... the best parts of the old model-profesionalism, importaility, high ethical standart, the absence of corruption - can be maintained along with the improved performance a managerial models premises"
Jadi agenda reformasinya sangat jelas yaitu melakukan trade off terhadap nilai - nilai positif administrasi baik pada paradigma lama maupun baru. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah mendekatkan nilai - nilai yang terdapat pada "governance technology" dengan nilai - nilai yang terdapat pada "political ideology" pemerintah. Menyadari bahwa penerapan secara terpisah masing -masing paradigma telah dijumpai berbagai kelemahan, sehingga pendekatan yang lebih mengarah kepada polyparadigmatic dianggap tepat dan diperlukan.
Sebagai konsekuensi dari adanya agenda kebijaksanaan reformasi administrasi negara yang pertama tersebut diatas maka diperlukan agenda kebijaksanaan berikutnya yaitu:
2. Mengembangkan akontabilitas dan responsibilitas publik di kalangan aparat pemerintah
Akhir -akhir ini masyarakat kita banyak yang merasa prihatin akan rendahnya akontabilitas dan responsibilitas aparat pemerintah. Hal ini terutama disebabkan karena semakin maraknya praktik - praktik korupsi, kolusi, kronisme dan nepotisme yang dilakukan oleh aparat pemerintah kita yang seolah - olah tidak terjamah oleh lembaga dan aturan hukum yang berlaku. Selain itu lembaga
- lembaga yang diserahi tugas mengaudit kinerja departmen atau unit - unit organisasi pemerintah sepertinya telah terkena bureauratic inertia yang parah sehingga tidak pemah bisa melakukan penilaian dan evaluasi terhadap kinerja department dan unit - unit pemerintah tersebut. Pemborosan dan penyalahgunaan keuangan negara yang dilakukan oleh aparat pemerintah yang tidak terkirakan jumlahnya telah banyak diketahui oleh masyarakat dan bahkan telah menjadi stigma dalam birokrasi publik yang tidak pernah bisa dilupakan oleh masyarakat. Berbagai macam kebijaksanaan seperti Gerakan Disiplin Nasional, Pengawasan melekat, Pemerintahan yang bersih dan sebagainya sangat sulit diimplementasikan dan telah berubah menjadi lip service dan bahan retorika aparat pemerintah untuk sekadar sebagai alat penenang kegalauan hati rakyat atas tindak tanduk aparat yang sangat merugikan negara dan masyarakat. Dan hebatnya, rakyat tidak pemah merasa telah memperoleh pertanggung jawaban yang semestinya dari aparat yang telah menerima kekuasaan dari mereka. Peristiwa kerusuhan bulan Mei 1998 yang sangat memilukan rakyat itupun sampai sekarang masih belum pemah merasa memiliki pemerintahan yang bertanggungjawab (responsible government).

Penyebab utama timbulnya bureaupathology tersebut di atas menurut hemat saya adalah rendahnya profesionalisme aparat kebijakan pemerintah yang tidak transparant, pengepakan terhadap kontrol sosial, tidak adanya manajemen partisipatif, berkembang suburnya ideologi konsumtif dan hedenistik dikalangan elit penguasa dan belum adanya code of conduct yang kuat yang diberlakukan bagi aparat di semua lini dengan disertai sangsi yang tegas dan adil. Untuk itulah maka perlu disusun agenda kebijaksanaan pengembangan akontabilitas dan responsibilitas publik bagi semua anggota birokrasi publik kita.
Akontabilitas dan responsibilitas publik pada hakikatnya adalah merupakan standart profesional yang harus dicapai / dilaksanakan aparat pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Akontabilitas dan responsibilitas publik juga dapat dipergunakan sebagai alat / sarana untuk menilai kualitas kinerja aparat sehingga mereka dapat mengenali dengan benar kekuatan dan kelemahannya.
Jabbra dan Dwivedi (1989) mengutip arti dan fungsi akontabilitas dari sebuah laporan Royal Commision of Financial Managemen and Accountabilty, Canada sebagai berikut : "Accountability is fundamental prerequisite for prevening the abuse of delegated power and for broadly accepted national goals with the greatest posible degree of efficiency, effectiveness, probity, and prudence.
Akontabilitas publik merupakan landasan bagi proses penyelenggaraan pemerintahan. la diperlukan karena aparatur pemerintah harus mempertanggungjawabkan tindakan dan pekerjaannya pertama kapada publik dan kedua organisasi tempat kerjanya. Dengan akontabilitas publik setiap aparat harus dapat menyajikan informasi yang benar dan lengkap untuk menilai kinerjanya baik yang dilakukan oleh masyarakat, organisasi / instansi kerjanya, kelompok pengguna pelayanannya maupun profesinya. Tujuannya adalah untuk menjelaskan bagaimanakah pertanggungjawaban hendak dilaksanakan, metode apa yang dipakai untuk melaksanakan tugas, bagaimana realitas pelaksanaannya dan apa dampaknya.
Akontabilitas seringkali dinyatakan sebagai bentuk operasional dari responsibilitas (lihat Spenser,1989) dan oleh karenanya mereka punya kaitan. Setiap aparat harus bertanggung jawab (responsible) atas pelaksanaan tugas - tugasnya secara efektif yaitu dengan menjaga tetap berlangsungnya tugas -tugas dengan baik dan lancar, mengelolanya secara profesional, dan pelaksanaan berbagai peran yang dapat dipercaya. Aparat birokrasi diharapkan dapat bekerja dengan jujur, penuh semangat, dan dapat melaksanakan tugasnya atas dasar keahlian dan sesuai dengan standart profesionalnya.
Etzioni menyatakan perlunya melihat administrative accountability sebagai sarana untuk menarik perhatian kita terhadap real politics of administrative life dan ia menekankan perlunya dua macam pendekatan terhadap akontabilitas yaitu pertama:


pendekatan moral yang melihat akontabilitas sebagai seruan dan pendidikan bagi orang -orang agar memiliki kesadaran akan tanggung jawab moralnya dan kedua: pendekatan hukum yang lebih memfokuskan perhatiannya pada mekanisme check and balances dan persyaratan - persyaratan pelaporan formal baik di dalam maupun diluar organisasi administrasi (PAR,1975). Jabbra dan Dwivedi (1989) melihat "public service accountability involves the methods by which a public agency or a public official fulfills its duties and obligations, and the process by which that agency or the public official is required to account for such actions". Sedangkan Spenser (1988) melihat responsibilitas "..would threfore involve a set of stated or implicit goals, standarts or expectations to which the individual addresses his sensitivity, behavior skill and time. Dengan akontabilitas dan responsibility publik, setiap aparat pemerintah diminta untuk dapat mempertanggungjawabkan hak dan kewajibannya, tindakan - tindakan, keahlian dan bahkan waktu yang dipertanggungjawabkan hak dan kewajibannya, tindakan - tindakannya, keahliannya dan bahkan waktu yang dipergunakannya di depan publiknya. Ini adalah tugas yang berat tetapi harus dapat diemban oleh setiap aparat pemerintah. Good Governance akan terwujud apabila setiap aparat pemerintah telah mampu melaksanakan apa yang oleh Denhardt (1991) disebut sebagai objective and subjective responsibility.
Responsibility objectif bersumber kepada adanya pengendalian dari luar (external controls) yang mendorong atau memotivasi aparat untuk bekerja keras sehingga tujuan three Es (Economy, efficiency and effectiveness) dari organisasi dapat tercapai. Dan responsibilitas subjektif yang bersumber pada sifat subjektif individu aparat (internal control) lebih mengedepankan nilai - nilai etis dan kemanusiaan yang terangkum dalam EEF (Equity, equality and fairness) dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan tugas - tugas administratif lainnya.
Sebagai suatu kebijaksanaan strategis, akontabilitas harus dapat diimplementasikan untuk menjamin terciptanya kepatuhan pelaksanaan tugas dan kinerja pegawai sesuai dengan standar yang telah diterimanya dan sebagai sarana untuk menekan seminimal mungkin penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang. Hubungan -hubungan hierarkhi ini biasanya telah ditetapkan dengan jelas baik dalam bentuk aturan - aturan organisasi yang telah disampaikan secara formal ataupun dalam bentuk jaringan hubungan informal. Prioritas pertanggung jawaban lebih diutamakan pada jenjang pimpinan atas dan diikuti terus ke bawah dan pengawasan dilakukan secara efektif agar aparat tetap menuruti perintah yang diberikan. Pelanggaran terhadap perintah akan diberikan peringatan mulai dari yang paling ringan sampai ke pemecatan.
(2) Akontabilitas Legal Ini adalah bentuk pertanggungjawaban setiap tindakan administrasi dari aparat pemerintah di badan legistatif dan atau di depan mahkamah. Dalam hal pelanggaran kewajiban - kewajiban hukum ataupun ketidak mampuannya memenuhi keinginan badan legislatif maka pertanggungjawaban aparat atas tindakan - tindakan dapat dilakukan di depan pengadilan ataupun lewat proses revisi peraturan yang dianggap bertentangan dengan undang - undang (judicial review) Akontabilitas politik
(3) Akontabilitas Politik Para administrator yang terikat dengan kewajiban menjalankan tugas -tugasnya harus mengakui adanya kewenangan pemegang kekuasaan politik untuk mengatur, menetapkan prioritas dan pendistribusian sumber -sumber dan menjamin adanya kepatuhan dan pelaksanaan perintah -perintahnya. Para pejabat politik itu juga harus menerima tanggung jawab administratif dan legal karena mereka punya kewajiban untuk menjalankan tugas - tugasnya dengan baik.


(4) Akontabilitas Profesional Sehubungan dengan semakin meluasnya profesionalisme di organisasi publik, para aparat profesional (seperti dokter, insinyur, pengacara, ekonomi, akuntan, pekerja sosial dan sebagainya) mengharapkan tugas - tugasnya dalam menetapkan kepentingan publik. Dan kalaupun mereka tidak dapat menjalankan tugasnya mereka mengharapkan memperoleh masukan untuk perbaikan. Mereka harus dapat menyeimbangkan antara kode etik profesinya dengan kepentingan publik, dan dalam hal kesulitan mempertemukan keduanya maka mereka hams lebih mengutamakan akontabilitasnya kepada kepentingan publik.
(5) Akontabilitas Moral Telah banyak diterima bahwa pemerintah memang selayaknya bertanggung jawab secara moral atas tindakan -tindakannya . Landasan bagi setiap tindakan pegawai pemerintah seharusnya diletakkan pada prinsip -prinsip moral dan etika sebagaimana diakui oleh konstitusi dan peraturan -peraturan lainya serta diterima oleh publik sebagai norma dan perilaku sosial yang telah mapan. Oleh karena itu, wajar saja kalau publik menuntut dan mengharapkan perilaku para politisi dan pegawai pemerintah itu berlandaskan nilai - nilai moral yang telah diterima tadi. Untuk menghindari perilaku koruptif, masyarakat menuntut para aparat pemerintah itu mempunyai dan mengembangkan akontabilitas moral pada diri mereka.


Akontabilitas dan responsibilitas publik sebagai instrumen pengendalian tindakan aparat pemerintah agar dapat berfungsi dengan baik maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu (Jabbra dalan Dwivedi,1989):
Pertama, aparat publik mengalami dan menerima tanggung jawab untuk menjalankan tugas - tugasnya dengan berhasil.
Kedua, aparat publik diberi kewenangan yang sama besamya dengan tanggung jawabnya.
Ketiga, kegiatan evaluasi kinerja aparat yang efektif dan dapat diterima akan dimanfaatkan dan hasil-hasilnya dikomunikasikan baik pada pimpinan maupun individu - individu tertentu.
Keempat, tindakan - tindakan akurat, adil dan tepat waktu akan diambil sehubungan dengan adanya hasil -hasil yang diperoleh dan cara - cara dengan mana tujuan itu dicapai.
Kelima, diperlukan komitmen dari pimpinan politik dan para menteri tidak hanya dengan menghormati mekanisme dan prosedur akontabilitas tetapi lebih khusus untuk menghindari penggunaan kewenangannya untuk mempengaruhi peran dan fungsi administrasi yang normal.
Selain kelima hal diatas, ada pula beberapa faktor yang perlu dicermati yang sering berperan sebagai faktor penghambat pelaksanaan akontabilitas dan responsibilitas publik di kebanyakan negara - negara berkembang yaitu:
• Struktur administrasi yang memusat: Sistem sentralisasi administrasi telah menyebabkan timbulnya (1) Kepemimpinan yang diktator dengan implikasi bawahan yang pasir, (2) rentang kendali dan panjangnya garis komando menimbulkan kedodoran dalam pengawasan dan distorsi perintah, (3) bawahan terlampau mengandalkan kemampuan pimpinan dan sedikit sekali menyampaikan masalah -masalah riil yang dijumpainya untuk dipecahkan, (4) bawahan tidak mendapat pendelegasian tugas dan sangat sedikit sekali bakat dan kemampuannya dimanfaatkan, (5) pengaruh pimpinan mengeluarkan uang dan waktu yang banyak hanya untuk menyelesaikan urusannya di pusat -pusat pemerintahan.


Sistem Administrasi yang ketinggalan zaman Sistem dan prosedur administrasi yang tradisional dan fasilitas fisik dan teknis yang tidak memadai telah menghasilkan arus informasi yang tidak sistematik, lemahnya koordinasi, kurangnya perencanaan yang komprehensif, sulitnya pengendalian dan pengawasan, serta merajalelanya birokrasi dan inefisiensi.
Pembengkakan birokrasi Perkembangan tugas - tugas pemerintahan yang begitu pesat telah menyebabkan pembengkakan birokrasi yang tidak terencana dengan baik sehingga bisa menjadi penghalang pengembangan Akontabilitas di kalangan aparat pemerintah. Situasi seperti im juga mengakibatkan pengawasan, pengendalian dan koordinasi sangat sulit dilaksanakan. Dan pada gilirannya juga menimbulkan penumpukan pegawai tanpa tugas - tugas yang jelas, garis pertanggungjawaban yang tidak jelas, dan sangat sedikitnya pegawai -pegawai yang profesional. Pengamatan pegawai yang berlebih - lebihan juga tidak mampu menciptakan lingkungan yang baik bagi pengembangan akontabilitas publik.
Kompleksitas dan kekakuan peraturan: Banyaknya peraturan yang kompleks dan kaku bisa menyebabkan terbelenggunya inisiatif aparat sehingga mereka tidak mampu mengembangkan akontabilitas tindakan dan prilakunya. Terlampau tingginya penggunaan pendekatan legalitas pada proses pembuatan keputusan tidak memberi


peluang sedikit pun untuk usaha -usaha inovasi bagi aparat. Dan adanya peraturan yang kaku cenderung dipakai sebagai tameng oleh aparat untuk menghindari diri dari rasa tanggung jawabnya terutama ketika mereka menghadapi masalah baru yang tidak diantisipasi timbulnya atau yang behun ditetapkan dalam suatu peraturan.
Struktur gaji dan perpindahan pegawai: Isu paling kompleks dan sensitif dalam sistem administrasi kepegawaian adalah struktur gaji dan perpindahan pegawai. Kedua isu tersebut mempunyai dampak langsung terhadap efisiensi, moral dan akontabilitas aparat sekaligus juga berpengaruh terhadap kemampuan pemerintah untuk merekrut dan mempertahankan pegawai yang cakap dan akontabel. Gaji pegawai yang kecil akan mengundang mereka yang mempunyai keahlian untuk pindah tempat kerja yang memungkinkan mereka memperoleh gaji yang lebih tinggi. Gaji yang rendah dan tingginya tingkat labour - turnover tidak akan mampu memberikan iklim yang konduktif bagi pengembangan akontabilitas dan responsibilitas publik.
Kurangnya pelatihan dan pendidikan bagi pegawai Banyak pegawai di negara-negara berkembang yang rendah kualitasnya karena jarang memperoleh pelatihan dan pendidikan yang cukup. Pemberian tanggung jawab yang lebih besar hanya mungkin bisa dilakukan kepada pegawai yang mempunyai kompetensi yang memadai. Pengembangan akontabilitas dan responsibilitas sulit dilakukan pada pegawai yang tidak terlatih dan tidak terdidik. Masih banyak lagi fakfor-faktor lain yang ikut merintangi pengembangan akontabilitas dan responsilitas aparat pemerintah seperti misalnya nilai-nilai tradisi masyarakat, masih kentalnya sistem hubungan patron-klien, diterapkannya nilai-nilai nepotisme dan favorititisme dalam sistem administrasi kepegawaian dan sebagainya. Semua isu tersebut di atas menjadi kendala pelaksanaan ke dalam agenda kebijakan pemerintah untuk dapat ditanggulanginya. Agenda kebijakan berikutnya yang sangat penting adalah perlunya mereformasi etika pemerintahan yang telah lama menjadi sorotan masyarakat luas. Agenda kebijakan yang saya maksudkan adalah:


3. Revitalisasi nilai-mlai etika pemerintahan Penyelenggaraan pemerintahan tidak mungkin bisa dilepaskan dari nilai etika. Ketika masyarakat luas kecewa atas kualitas pelayanan yang diberikan oleh aparat pemerintah mereka lalu menggugat nilai standar etika apa yang dipakai aparat dalam memberikan pelayanan tersebut. Masalah etika pemerintahan selalu menjadi isu yang senantiasa membutuhkan perhatian yang serius.
Dalam menyikapi semakin rapuhnya kredibilitas pejabat pemerintah di mata masyarakat akibat semakin rendahnya kualitas pelayanan yang mereka berikan maka Gubemur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur telah mengeluarkan Instruksi Gubemur No. 12/1998 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat pada tanggal 19 Mei 1998 yang baru lalu. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya instruksi Gubemur tersebut adalah seiring dengan adanya tuntutan masyarakat dalam rangka Reformasi di berbagai bidang guna menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih serta lebih efisien dan efektif. Instruksi Gubemur yang ditujukan ke segenap jajaran aparat pemerintahan mulai dari aparat di Propinsi, Kabupaten/kota, kecamatan, sampai kepelosok desa dan kelurahan ini dimaksudkan untuk melakukan usaha-usaha perbaikan dan peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat yang dinilai masih rendah.
Walaupun instruksi tersebut dinilai hanya bersifat reaktif, tetapi sudah bisa dianggap bahwa pemerintah daerah telah mempunyai itikad yang baik untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pelayanan kepada Masyarakat. Ini berarti pemerintah telah mempunyai moral choice yang mudah-mudahan sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat.
Kegiatan pemerintahan memang tidak pernah lepas dari pilihan - pilihan moral seperti itu. Sepeti dikatakan oleh Stillman II (1998) bahwa : “.....leading thinkers in public admnistration recognized that the critical issues of government ultimately involved moral choices". Hal ini disebabkan karena isu-isu di bidang pemerintahan itu sangat banyak dan beragam yang seringkali mengandung nilai -nilai moral/etis yang saling bertentangan satu sama lain (conflicting ethical values). Contoh misalnya isu tentang apakah pemerintah akan mencabut subsidi BBM (sesuai dengan letter of intentnya dengan IMF) ataukah tetap akan mengsubsidi BBM( sesuai dengan tuntutan public interest). Ini adalah batu ujian bagi aparat untuk menghadapi pilihan moral yang tidak mudah. Kekuatan dan kualitas aparat di tentukan oleh komitmennya yang tinggi dan ketegarannya dalam menghadapi kompleksitas moral yang selalu menantangnya. Pandangan Bardnard sebagaimana dinyatakan oleh Stillman II (1988) Bahwa : ".....the strength and quality of an administrative lies in his or her capacity to deal effectivity with the moral complexities of organizations without being broken by the imposed problems of choice" adalah benar adanya.
Suatu pertanyaan yang mungkin perlu dikemukakan kepada aparat pemerintah kita adalah: sejauh mana mereka telah memiliki, memahami, dan mengembangkan kode etik legal, teknikal, personal, profesional dan organisasional dan mempunyai kemampuan untuk memanajemeni pilihan-pilihan morazal atau isu-isu pemerintahanyang selalu dihadapinya? suatu pertanyaan yang kompleks dan tidak mudah untuk menjawabnya.
Untuk menjawab pertanyaan sulit tersebut barangkali kita bisa memulainya terlebih dahulu dengan meletakkan posisi kita pada dua pilihan yaitu "apakah sistem pemerintahan yang membentuk moral masyarakat" ataukah: sistem nilai sosial yang membentuk moral pemerintahan". Pada kasus yang pertama secara faktual kita sering melihat bahwa sistem pemerintahan yang demokratis akan mempengaruhi dan membentuk moral masyarakat yang menghargai hak-hak asazi, nilai-nilai kebersamaan, toleransi, perbedaan pandangan dan sebagainya. Sedangkan pada kasus lain yang kedua kita juga melihat bahwa kebiasaan hidup hemat yang ada pada anggota masyarakat akan mempengaruhi moral aparat untuk tidak bertindak boros terhadap kekayaan milik negara. Keduanya-duanya adalah sama-sama faktual dan empirik. Lalu yang mana yang harus kita pilih ? Atau kalau sulit, dari mana kita harus memulainya ?


Untuk kasus Indonesia, walaupun kepercayaan masyarakat terhadap aparat pemerintah telah rapuh, revitalisasi moral/etika pemerintahan harus dimulai dari sisi pemerintahan sendiri. Kita perlu melakukan pilihan moral yaitu yang awal adalah mengenai bentuk pemerintahan apakah yang kita kehendaki : kecil tetapi indah (small is beautiful) ataukah pemerintahan yang besar dan kuat (big and powerfull). Kalau yang pertama kita pilih maka perlu ada penciutan departemen dan pengurangan jumlah aparat. Hanya departemen yang benar-benar dibutuhkan untuk melayani kepentingan masyarakat yang perlu dibentuk dan perlu difasilitasi dengan personel yang profesional, jujur, dan penuh dedikasi. Pemerintahan yang kecil akan menjadi lebih efisien dan mudah mengembangkan serta mengendalikannya moral - etisnya. Sedangkan pilihan yang kedua berarti kita membentuk banyak departemen dan unit-unitnya dan memfasilitasinya dengan Jumlah pegawai yang cukup dan otoritas dan responsibilitas yang memadai dalam rangka mendekatkan pusat-pusat pelayanan ke pengguna pelayanan (masyarakat) yang beragam dan luas. Kata "powerfull tidaklah dimaksudkan untuk membentuk otoritas pelayanan (service provider) yang tidak terbatas dan tidak terbantah agar dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat Selain itu juga harus kuat moral - etisnya. Jangan sampai kita terjebak ke dalam pilihan pemerintahan yang besar tetapi terarah moral etisnya (big but powerless).
Suatu contoh dalam sebuah pemerintahan kabupaten yang harus memberikan pelayanan kepada penduduknya yang berjumlah 1.000.000 orang misalnya, maka telah dibentuk unit-unit pelayanan : 6 buah kantor pembantu Bupati; sebuah sekretariat wilayah/ daerah dengan 3 orang asisten sekwildanya ; 15 buah dinas daerah ; 6 buah kantor setingkat bagian (mis. Sospol; catatan sipil; dan sebagainya) 22 buah kantor kecamatan ; 300 buah kantor desa dan dengan jumlah personel sebanyak 10.000 (sepuluh ribu) orang, maka ini termasuk pemerintahan yang besar atau kecil ? Silahkan kita untuk menilainya sendiri, kalau memang pemerintahan yang besar tidak bisa dihindari semakin bertambah besar dan beragamnya tuntutan pelayanan yang harus diberikan oleh pemerintah, maka ia haruslah tetap merupakan pemerintahan yang bersih dan profesional (big and beautiful - good governance),
Mengembangkan etika pemerintahan tidaklah semata-mata mengindoktrinasikan apa yang boleh dan tidak boleh dikerjakan (baik buruk ; benar salah) oleh aparat pemerintahan tetapi lebih dari itu adalah upaya yang terus menerus dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme integritary merke agar tindakan dan perilakunya mencerminkan ethical reflection yang bermanfaat bagi penyempurnaan pelayanannya kepada masyarakat.
Di negara-negara yang sudah maju seperti halnya Amerika Serikat pengembangan nilai-nilai etika pemerintahannya diarahkan kepada terciptanya integritas profesional para aparat. Elemen pokok integritas profesionalnya diarahkan ke 4 hal yaitu (lihat Mertins Jr. 1979).
Pertama : equality - perlakuan yang sama atas pelayanan yang diberikan. Hal ini didasarkan Atas tipe perilaku birokrasi rasional yang secara konsisten memberikan pelayanan yang berkualitas kepada semua pihak tanpa memandang afiliasi politik, status sosial dan sebagainya. Bagi mereka memberikan perlakuan yang sama identik dengan berlaku jujur, suatu perilaku yang patut dihargai.
Kedua : equity - perlakuan yang sama kepada masyarakat tidak cukup, selain itu juga perlakuan yang adil. Untuk masyarakat yang mendukung adanya komunikasi yang terbuka, kreativitas, dedikasi dan kepedulian sosial
(7) Menghormati dan melindungi informasi yang sangat penting / rahasia dimana kita mempunyai akses dalam melaksanakan tugas-tugas resmi.
(8) Melaksanakan kewenangan otonom apa pun yang kita miliki atas dasar hukum untuk meningkatkan kepentingan umum
(9) Menerima tanggungjawab sebagai kewajiban pribadi untuk selalu menjaga perbaikan-perbaikan isu-isu yang baru muncul dan mengadministrasikan urusan kenegaraan atas dasar keahlian profesional, keadilan / kejujuran, tidak memihak, efisien dan efektif.
(10) Menghormati, mendukung, mengkaji dan bila perlu bekerja untuk memperbaiki konstitusi negara federal dan negara bagian dan hukum-hukum yang lain membatasi hubungan-hubungan antara dinas-dinas publik, para pegawai, klien dan semua warga negara.



4. Netralitas aparat pemerintah
Masalah netralitas aparat pemerintah telah lama menjadi perdebatan yang ramai. Hal ini disebabkan karena posisi aparat yang mendua seringkali bersifat dilematis. Dualisme itu ditunjukkan dengan peran ganda aparat pemerintah di mana di satu sisi ia berperan sebagai warga negara biasa. Sebagai pegawai pemerintah ia harus bertanggung jawab dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan baik dan tanpa memihak (bersikap netral). Dan sebagai warga negara biasa di masyarakat yang demokratis ia berpartisipasi dalam proses politik.
Posisi dilematis aparat pemerintah tersebut seringkali merugikan aparat itu sendiri, negara dan masyarakat. Keterlibatan pegawai pemerintah dalam kegiatan-kegiatan politik dapat berakibat timbulnya bias administratif di mana mereka akan "mengabaikan" kewajibannya untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat luas tanpa memihak dan cenderung hanya memberi pelayanan kepada segolongan masyarakat tertentu yang menjadi anggota salah satu partai politik di mana ia juga berada didalamnya. Namun melarang pegawai pemerintah terlibat dalam proses politik sama halnya dengan mencabut hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Bagaimanakah sebaiknya menyeimbangkan kedua peran pegawai pemerintahan tersebut ?
Konsep netralitas politik (political neutrality) bagi aparat pemerintah di Negara-negara Barat secara tradisional sebenamya dianggap sebagai bagian tidak terpisahkan dari pelaksanaan efektif konsep pemerintahan demokratis. Tetapi kemudian pengimplementasian mengalami pasang surut, dan produksi kontra sampai sekarang. Konsep netralitas politik ini pada awalnya berkembang akibat adanya paradigma Dikotomi Politik -Administrasi, kemudian memudarnya paradigma. Di Amerika Serikat misalnya, sejak dikeluarkannya Pendleton Act di tahun 1883 telah melarang pegawai pemerintah di bawah Presiden Roosevelt ia telah melarang pegawai pemerintah sebagai pengurus partai dan aktif dalam kampanye politik (shall take no active part in political management and political campaigns), yang kemudian dipertegas lagi ketika konggres A.S mengeluarkan "The hatch Political Activities Act pada tahun 1939 yang setahun kemudian dikeluarkan beberapa amandemen. Dalam Hatch Act ini dinyatakan bahwa pegawai pemerintahan boleh mendaftar untuk ikut memilih, memberikan sumbangan untuk kampanye, membantu panitia pendaftaran calon pemilih dan memberikan pendapat tentang kandidat-kandidat pemimpin politik serta isu-isu politik. Tetapi mereka dilarang mendukung kandidat pemimpin politik, mencari calon penyumbang dana untuk kegiatan politk partai, berpartisipasi dalam pendaftaran calon pemilih partainya, mendistribusikan bahan-bahan kampanye para kandidat, berperan sebagai delegasi dalam konvensi partai, membuat pidato kampanye dan menyediakan kantor pemerintah untuk kegiatan memilih pendukung partai (Denhart, 1991).
Pemerintah Australia dengan Public Service Boardnya mendiskripsikan konsep netralitas aparat pemerintah sebagai berikut:
'The principle of public service
neutrality does not imply that public servants have no political views or associations. Rather, it is government of the day inrespective of its political complexion. This implies that public servants should make clear the various policy options and advise impartially on how they might be related to the apparent; and that within the law they should implement the Governments and the Minister's policy concerns as best they can, even in the absence of clear guildenes in a particular area, and irrespective of any personal views they may hold”.

(lihat dalam McCallum, 1984). Berdasarkan gambaran tersebut dapat dikatakan bahwa pegawai pemerintah Australia diminta untuk memberikan kesetiaan penuh kepada pemerintahannya yang ada sekarang tanpa memandang corak politiknya dan kesetiaan itu direfleksikan dalam pemberian pelayanan yang objectif dan tidak memihak. Netralistis aparat pemerintah juga merupakan perilaku profesional aparat yang ditunjukkan dengan tindakan-tindakan yang terampil dalam memberikan pelayanan dengan penuh kesetiaan kepada pemerintah dan menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak loyal seperti membocorkan rahasia negara. Bagaimana dengan Indonesia


Kita telah mengalami penyimpangan terhadap konsep netralitas aparat pemerintah yaitu dari pemberian pelayanan yang tidak memihak menjadi memihak.
Pada rezim orde baru yang lalu semua pegawai pemerintah dipaksa untuk hanya memiliki kesetiaan tunggal (mono loyalitas) yaitu kepada pemerintahan saja. Mereka semua digiring untuk taat, setia dan membela satu kekuatan politik saja yaitu GOLKAR sebagai partainya pemerintah. Sangat kecil peluang pegawai negeri untuk mempunyai pilihan selain partai pemerintah karena akan mempunyai implikasi kepegawaian yang bisa mempersulit mereka.
Asas monoloyalitas di bidang politik itu harus dibuang jauh. Orde reformasi Pembangunan dan rezim-rezim berikutnya tidak perlu menerapkan asas itu lagi. Menerapkannya lagi berarti melawan arus reformasi dan berarti juga tidak pernah bisa belajar sisi-sisi negatif dari proses pembangunan politik rakyat. Dan kalaupun kita ingin menerapkan asas tersebut maka agenda kebijakannya harus diubah yaitu dari mono loyalitas kepada partai menuju ke kesetiaan tunggal kepada tujuan negara dan kepentingan rakyat seluruhnya.
Dengan undang-undang kepartaian yang baru pemerintah rupanya akan memberi lelang kepada pegawainya untuk menggunakan hak politik mereka (yaitu hak untuk memilih dan dipilih) tetapi melarang mereka untuk menjadi pengurus partai. Berbeda dengan anggota ABRI, mereka tidak mempunyai hak untuk memilih dan dipilih) tetapi untuk menyalurkan aspirasi / kepentingan politiknya ABRI diberi jatah persentase tertentu untuk diangkat menjadi anggota MPR supaya dapat ikut kompromi politik yang bisa diterima saat ini, walaupun masyarakat menuntut tidak akan ada lagi anggota MPR/DPR yang diangkat oleh Presiden dan semuanya murni dari hasil pemilihan umum. Tuntutan tersebut wajar saja mengingat rakyat juga menginginkan politiknya diakui. Dan sesuai dengan perkembangan yang terjadi sekarang kita tidak perlu menerapkan konsep netralitas yang kaku. Sehingga dengan sistem pemerintahan perlu diikutsertakan dalam proses perumusan kebijakan negara yang berarti terlibat dalam proses politik.
Agenda kebijakan terakhir yang saya pandang perlu kita susun adalah berkaitan dengan masalah pengembangan budaya birokrasi.
5. Pengembangam budaya birokrasi
Budaya birokrasi secara sederhana dapat diartikan sebagai norma-norma yang mempengaruhi sikap dan perilaku partisipan dalam sebuah sistem birokrasi. Rohdewohld (1995) menulis bahwa budaya organisasi itu dapat diartikan sebagai : "The set of values, attitudes, norms, shared beliefs and mental orientations that shape and determine the behavior and expectations of the members of that organization”.

Sistem nilai dan norma-norma apakah yang telah membentuk wajah birokrasi kita? Banyak yang berpendapat bahwa wajah birokrasi Indonesia masih kental dipengaruhi oleh sistem nilai tradisi Jawa sebagaimana yang sering tampak dalam retorika politik para pejabat, proses pembuatan keputusan, hubungan dan komunikasi atasan-bawahan yang bercorak hubungan patron dan klien, mengandalkan loyalitas bawahan yang tinggi dan berbagai macam ritualisme administrative yang berlebihan. Selain itu juga ciri-ciri birokrasi seperti : lebih banyak berorioentasi ke atas, mengkultuskan pribadi pemimpin, kuatnya kesadaran akan prestise dan status yang melebihi prestasi, sikap untuk selalu menjaga harmoni dan menghindari konflik, telah mengakibatkan birokrasi kita menjadi tertutup dan kurang memberi ruang gerak bagi pendapat yang berbeda (lihat misalnya dalam Moeljarto, 1989).
Pelestarian mlai-mlai tradisi budaya aristokrads tersebut di atas telah mempersubur munculnya budaya keluarga besar yang cenderung mendomestifikasikan nilai-nilai yang sebenamya bersifat self righteouseness yang tentu saja sangat merugikan bagi "Keluarga - kecil" atau keluarga - lain".
Walaupun birokrasi kita masih banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya lokal yang patrimonialistik tetapi juga telah mengadopsi nilai-nilai birokrasi ala Weber (Weberian type bureaucracy) yang murni yang banyak bernuansa rule governed. Dualisme budaya birokrasi seperti ini seringkali. menampilkan sosoknya yang unik. Di satu sisi menampilkan sikap dan perilaku aparat yang harus tunduk sepenuhnya pada keinginan pimpinan, menjaga harmoni dan menghindari perbedaan pendapat, alon-alon angger kelakon, ojo nggege mongso, mikul dhuwur-mendhem njero, jer basuki mowo beyo, dan ing ngarso sung tulodo ing madya mangun karso - tut wuri handayani.
Mempertemukan dua ciri budaya birokrasi (struktural dan kultural) seperti tersebut diatas sebenamya sah-sah saja dan mungkin baik. Mengambil over begitu saja ciri budaya birokrasi mana pun tanpa menyaring atau mencermati sisi-sisi negatifnya bisa menimbulkan bias administratif yang sangat mergikan. Karena kita sekarang akan segera memasuki millenium ketiga yang dikenal dengan era informasi, maka tidak mungkin lagi kita tetap bersikap menutup diri dari gelombang pengaruh luar yang akan menerpa kita kalau kita ingin survei dan exist dalam percaturan global. Masalahnya adalah globalisasi seringkali membawa daya emansipatif yang sangat tinggi yang seringkali tidak kita duga sebelumnya. Tetapi yang jelas mau tidak mau kita harus berbenah diri, untuk mempersiapkan bangsa ini mampu bersaing dengan bangsa lain.
Sudah tiba saatnya kita melakukan penilaian terhadap sikap perilaku birokrasi kita. Apakah ciri-cirinya budaya demokrasi kita telah mencerminkan budaya birokrasi yang adaptif yang mau menerima pengaruh nilai-nilai birokrasi yang lebih positif sehingga lebih mampu menghadapi era yang sangat kompetitif ini ?
Untuk menjawabnya kita perlu menengok sejauh mana budaya birokrasi kita itu berperan instrumental atau malah ditrimental terhadap usaha-usaha pembangunan yang kita laksanakan sekarang ? saya masih ragu karena masih melihat kurang kondusifnya nilai-nilai budaya birokrasi kita untuk menangani usaha-usaha instrumental bahkan kadang-kadang detrimental terhadap pembangunan nasional. Kuurang cepatnya kita mengatasi krisis yang sedang melanda bangsa ini juga antara lain disebabkan karena kita masih terbelenggu oleh nilai-nilai global yang sangat kompetitif dan emansipatif.
Oleh karena itu, kita perlu menyusun sebuah agenda kebijakan untuk mereformasi budaya birokrasi nasional. Banyak pandangan yang telah diberikan ke arah perubahan budaya birokrasi nasional itu hendak dicapai. Misalnya perlunya kita segera merubah budaya juklak dan juknis menjadi sikap dan perilaku aparat yang lebih kreatif dan inovatif (Moeljarto, 1996); dari budaya statis - mekanistis menuju ke budaya birokrasi yang organis - adaptif (Effendi, 1991) dari sistem nilai feodal -beamtenstaat menuju ke sistem nilai yang lebih terbuka dan egalitier (Umar Kayam dikutip dalam soetrisno 1994) dari budaya mediokratis menju ke budaya merikokratis dan sebagainya. Ini semua adalah harapan untuk semakin membaiknya kualitas birokrasi pemerintah kita yang tentu saja perlu ditindaklanjuti dalam bentuk usaha nyata dan sungguh-sungguh untuk mewujudkannya.
Masih banyaknya aparat birokrasi terutama didaerah-daerah yang belum menguasai teknik-teknik administrasi modern seperti analisis kebijakan publik, manajemen partisipatif, manajemen pelayanan publik, sistem anggaran berbasis nol, dan sebagainya dan juga manajemen sumber daya lokal, pemberdayaan rakyat, akontabilitas publik, pembangunan kelembagaan, pemerintahan representatif dan sebagainya, penguasaan semua ini bertujuan menuju tataran yang lebih meritokratis. Oleh karena itu, mereka perlu didorong untuk berpartisipasi dalam program-program pelatihan dan pendidikan baik formal maupun non formal. Hal ini dimaksudkan agar aparat birokrasi publik kita mempunyai profesionalisme yang memadai untuk memenuhi tuntutan kepada mereka.
Demikianlah sajian saya mengenai upaya penyempurnaan kualitas administrasi
negara kita. Tentu saja kelima agenda kebijakan reformasi di sektor publik yang telah saya paparkan di atas masih sangat sedikit dan tidak memadai ada beberapa bidang yang tidak kalah pentingnya untuk kita cermati bersama secara sungguh-sungguh yaitu misalnya masalah manajemen Keuangan negara, Privatisasi BUMN, mekanisme pengawasan, kordinasi pembangunan dan sebagainya. Semua bisa kita angkat menjadi agenda kebijakan reformasi di sektor publik
Agenda kebijakan apa pun yang kita susun pada tataran implementasinya akan sangat tergantung pada visi kita mengenai pentingnya reformasi di sektor publik yang harus dilakukan sesegera mungkin (sense of urgency) dan reformasi itu perlu dilakukan untuk menyempurnakan mutu atau performance pelayanan sektor publik kepada masyarakat (sense of purpose). Inilah yang menjadi harapan kita semua.


DAFTARPUSTAKA
Caiden, G. 1969, Administrative Reform, Chicago : Aldine Publishing Co. Denhardt,R.B. 1991, Public Administration.
Pacific Grove : Brooks / Cole Publishing Company.
Dvorin, E.P dan Simmons, R.H.1972. From Amoral to Humane Bureaucracy. NewYork: Canfield Press.
Effendi, S. 1991. "Sistem Administrasi Untuk Pembangunan Berkelanjutan" dalam Samodra Wibawa (ed). Pembangunan Berkelanjutan. Yogyakarta : PT. Tiara
Wacana Yogya. Etzioni, A. 1975. "Administrative Accountability" dalam Public Adminisiration Review.
Hughes, O.E.1994 Public Mangement & Administration. New York : St. Martin’s Press, Inc.
Jabbra J.G dan Dwivedi, O.P.1989. Public Service Accountability. Connecticut: Kumarian Press, Inc.

Kuntjoro-Jakti,D. 1980. "Birokrasi di Dunia Ketiga : Alat Rakyat, Alat Penguasa, atau Penguasa" dalam Prisma No. 10 Oktoberl980.
Lane, J-E. 1995. The Public Service Manager. Mellboume : Longman Chesire Pty Limited.
Mertins, Jr.H(ed). 1979. Profesional Standards and Ethics Washington, D.C. ASPA Publishier.
Moeljarto, Tj.1989. Sosok Birokrasi Indonesia dalam Era Tinggal Landas makalah dalam Pertemuan Mahasiswa Administrasi Indonesia, di Kaliurang, Yogyakarta.
Moeljarto, Tj. 1995. Pembangunan : Dilema dan Tantangan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Osborne, D. Dan Gaebler,. 1992. Reiventing Govemment. Massachusetts : Addison-Wesley Publising Company, Inc.
Painter, C. 1994. "Public Service Reform: Reinventing or Abandoning Government?" dalam The Political Quartely. Oxford; Blackwell Publisher.
Rohdewohld,R.1995. Public Administration in Indonesia. Melboume ; Montech Pty.Ltd.
Siagian,S.P.1982. Administrasi Pembangunan. Jakarta: Gunung Agung
Soetrisno, L.1994. Hubungan Negara dan Rakyat di Indonesia Pada Abad ke 21. (PidatoPengukuhan Guru Besar Universitas Gajah Mada) tanggal 27 April 1994.
Spencer, D.D.1988. Staff Development. Armidale:
A.C.A.E Publications. Stillman II,RJ.1988. Public Administration. Boston : Hough Mifflin Company.
Stretton, H. dan Orchard, L. 1994. Public Goods, Public Enterprise, Public Choice. New York : St. Martin's Press.
Tjrokroamidjojo, B. 1985. Pengantar Administrasi Pembangunan. Jakarta : LP3ES
Zhijian,Z,De Guzman, R.P, dan Reforma, M.A.1992. Administrative Reform. Manila: Eastern Regional Organization For Public Administration (EROPA).

0 comments: