Saturday 22 March 2008

KEMITRAAN PEMERINTAH DESA DENGAN BADAN PERWAKILAN DESA DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA

KEMITRAAN PEMERINTAH DESA DENGAN BADAN PERWAKILAN DESA DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA
Sumartono
Staf Pengajar Jurusan Administrasi Negara/Publik FIA Universitas Brawijaya. Penulis memperoleh gelar Sarjana Administrasi Negara di Universitas Brawijaya, Magister dalam Bidang Administrasi Negara di Universitas Gadjah Mada, dan Doktor dalam Bidang Ilmu-Ilmu Sosial di Universitas Airlangga. Kini, Penulis menjabat sebagai Pembantu Dekan I FIA Unibraw


Abstrak
In a decentralization system, state location is devided into several autonomus areas having authorithy to manage their local home affairs based on the local autonomy law. Village (‘Desa’) is one of decentralization areas. There are three models of organisational relationships: i) dominant relationship, ii) sub-ordinant relationship, and iii) partnership relationship. A partnership relationhip among village actors is a crucial element to succed village governance activities. The partnership relationship between Village Government (‘Pemerintah Desa’) and Village Representative Council (‘Badan Perwakilan Desa’) include characteristics: (a) support, trust, respect, teamwork, togetherness in problem indentification and solving; (b) openess on critics with five requirements: i) proportional, ii) objective, iii) rational, iv) honest, and v) solution. Good partnership should be kept continuely, eventhough a legal relationship between Village Government and Village Representative Council has been arranged in the Law No. 32/2004 about Local Governance.
Keywords: Local Autonomy, Village Government, partnership relationship.
Dalam penyelenggaraan urusan-mengakomodasi gagasan demokratisasi, urusan pemerintahan di suatu negara dapat karena desentralisasi memungkinkan dilakukan melalui sistem sentralisasi maupun partisipasi berbagai elemen masyarakat di desentralisasi. Dalam sistem sentralisasi tiap daerah di dalam urusan-urusan segala urusan dilakukan langsung oleh kenegaraan. pemerintah pusat yang disebar ke seluruh Melalui UU.No.5 tahun 1974 tentang wilayah negara. Dalam sistem desentralisasi Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah selama wilayah negara dibagi menjadi daerah-daerah 32 tahun masa pemerintahan Orde Baru otonom yang diberi wewenang tertentu untuk lebih mengarah pada pola desentralisasi mengurus rumah tangganya sendiri sesuai administratif (dekonsentrasi). Dalam dengan peraturan perundang-perundangan pengertian bahwa, kendati undang-undang yang berlaku. Sebagian urusan pusat tersebut dimaksudkan untuk mengatur diserahkan kepada daerah otonom untuk tentang pemerintahan di daerah namun pada menjadi urusannya sendiri. Bentuk negara hakekatnya lebih menggambarkan politik semacam ini nampaknya lebih cocok dengan desentralisasi yang berpihak pada perkembangan politik global sekarang yang kepentingan pemerintah pusat di daerah. Ia menggambarkan sosok pemerintah daerah yang lemah dalam arti tidak memiliki hak-hak politik dan yuridis yang cukup untuk mengambil keputusan atas nasib daerah sendiri. Akibat dominasi negara dan pemerintah pusat yang begitu kuat maka situasi perkembangan dan pertumbuhan negara tidak mendapatkan basis pijakan yang kuat dari struktur sosial dan kulturalnya, di samping juga adanya situasi kemakmuran yang tercipta adalah kemakmuran semu.


Dalam Undang-undang No 5 Tahun 1974 tersebut pola distribusi otoritas kekuasaan dapat diibaratkan sebagai piramida terbalik yang cenderung membesar ke atas. Konkritnya, pusat selalu memperoleh porsi kekuasaan yang lebih besar, ketimbang Daerah Tingkat I. Selanjutnya Daerah Tingkat I memperoleh kekuasaan lebih besar ketimbang Daerah Tingkat II. Akibatnya Daerah Tingkat II yang dalam realita paling dekat dengan rakyat, secara politik berada pada posisi tidak berdaya (powerless).
Dalam menjalankan politik pemerintahanya, pemerintah Orde Baru mengembangkan tiga asas yaitu; desentralisasi, dekonsentrasi, dan pembantuan (medebewind). Pertama, Asas desentralisasi yang dikembangkan ternyata sama sekali tidak mengandung aspek devolutif, maka lebih tepat disebut sebagai “otonomi semu”. Dengan bersandar pada asas ini pemerintah pusat “mendelegasikan” sepenuhnya urusan tertentu pada daerah. Pemerintah menanggung semua beban biaya dari seluruh urusan yang telah didelegasikan tersebut. Di sini pemerintah daerah memainkan peran yang “sangat subordinatif” terhadap pemerintah pusat. Interaksi pusat-daerah sangat bersifat struktural, hirarkis-vertikal. Kedua, asas dekonsentrasi, di mana sebagian besar urusan pemerintah dijalankan oleh mesin-mesin birokrasi pemerintah pusat sendiri, misalnya politik luar negeri, peradilan, kebijakan dalam negeri, perdagangan, serta aktivitas strategis lainnya. Terkecuali politik luar negeri, hampir semua aktivitas yang terkait dengan berbagai macam urusan pemerintahan itu sebenarnya berlangsung di daerah, namun kenyataannya dilakukan oleh instansi-instansi pemerintah pusat. Posisi tawar daerah amat lemah, karena hak politik dan yuridis dalam proses pengambilan keputusan, termasuk yang berhubungan dengan masalah pembiayaan (anggaran) seluruhnya ditentukan oleh pemerintah pusat, sesuai selera dan preferensi pemerintah pusat. Ketiga, asas pembantuan yang pada dasarnya merupakan kombinasi dari asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi. Esensi asas ini tak lain adalah bahwa perumusan kebijakan, perencanaan dan pembiayaan merupakan hak pemerintah pusat, sedangkan daerah sekedar sebagai pelaksana saja. Model pemerintahan yang berlaku, dengan ciri khasnya antara lain: struktur yang vertikal, birokrasi yang kental, dan wataknya yang intervensionis ternyata tidak mampu mengadaptasikan dirinya dengan lingkungan ekonomi, sosial, dan kultural yang sedang mengalami perubahan yang cepat ( Kasanzigil, 1998)
Menghadapi situasi semacam itulah diperlukan keputusan politik baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang secara serius dan konsisten mereformasi model peng- organisasian perangkat daerah dalam hal pelayanan publik, perolehan pendapatan daerah maupun kombinasi diantara keduanya.
Salah satu produk reformasi yang penting adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.22 tahun 1999, yang secara mendasar bermaksud untuk mendesentralisasikan sistem pemerintahan nasional yang berbasis pada sistem pemerintahan yang demokratis dan otonom. Wujud konkritnya adalah pemberian porsi otoritas yang lebih besar kepada daerah. Dalam konteks otonomi daerah itulah maka beberapa pemerintah daerah mencoba mencari terobosan seraya beracu pada ketentuan yang baru, dan atas prakarsa sendiri. Dengan kondisi yang demikian ini, maka membuka peluang bagi para para pelakunya khususnya di daerah untuk berbuat atau melaksanakan tugas-tugasnya yang cenderung bersifat birokratis, seperti yang tercermin pada pola kerja yang masih menekankan pada rutinitas, prosedural dan keteraturan daripada efektivitas dan efisiensi. Begitu pula jika dikaitkan dengan peraturan yang mengatur tentang perimbangan keuangan daerah dengan pusat, sampai saat ini masih belum bisa dilaksanakan dengan tegas dan jelas. Hal ini sangat berdampak pada perbaikan kondisi keuangan (PADS) yang hampir seluruh daerah khususnya Daerah Kabupaten /Kota masih sangat rendah, di mana ketergantungan pada pusat berkisar antara 79%-83%, karena perimbangan keuangan Pusat dan Daerah belum proporsional.
Dari sisi lain, karena dipacu oleh waktu dan keharusan untuk mengakomodasikan organisasi-organisasi representrasi pemerintah pusat yang berujud Kantor Departemen (Kandep) termasuk personilnya maka dalam penataan kelembagaan perangkat daerah dalam bentuk Kantor-kantor, Dinas-dinas dan Badan-badan Daerah terbuka peluang terjadinya tumpang-tindih antara lembaga/ institusi daerah yang telah dibentuk. Kondisi ini tentu akan sangat berpengaruh terhadap kemandirian aparat yang ada di daerah serta keluwesan dalam hal pelayanan terhadap masyarakatnya. Di samping itu menyangkut kesiapan human social capital daerah untuk menerima tanggung jawab sebagai daerah yang memiliki otonomi relatif luas sebagaimana diatur dalam UU No. 22 tahun 1999. Keseluruhan kondisi tersebut akhirnya akan berpengaruh terhadap efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Setelah berjalan selama enam bulan terhitung sejak pembentukannya, sudah saatnya dilakukan evaluasi penataan lembaga perangkat daerah dalam rangka otonomi daerah sehingga sesuai dengan jiwa UU No 22 tahun 1999 atau jiwa otonomi daerah.
Semenjak dikeluarkannya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang di dalamnya mengatur juga tentang desa, maka isu desentralisasi sangat santer. Bahkan dianggap sebagai paradigma baru yang dikaitkan dengan kegagalan pemerintah pusat dalam melaksanakan pemba-ngunan bangsa ini. Konsep desentralisasi dibedakan menjadi dua yaitu desentralisasi dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas desentralisasi adalah transfer tanggungjawab dalam perencanaan, manajemen dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat, unit yang berada dibawahnya, otoritas atau korporasi publik semi otonom, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah yang luas atau lembaga privat non pemerintah dan organisasi nirlaba (Rondinelli, 2001). Dalam arti sempit desentralisasi menurut Smith (1997) mengacu pada distribusi wilayah kekuasaan, yang menitik beratkan pada bagaimana kekuasaan dan kewenangan didistribusikan dan proses dimana penyebaran kekuasaan dan kewenangan itu terjadi.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengatur juga tentang desa. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia.



Pemerintahan Desa
Dalam pemerintahan kabupaten/kota dibentuk Pemerintahan Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa dan Perangkat Desa. Perangkat Desa terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pada dasarnya susunan organisasi pemerintah desa terdiri dari kepala desa dan perangkat desa. Perangkat desa terdiri dari unsur staf, unsur pelaksana dan unsur wilayah. Unsur staf terdiri dari Sekretaris Desa dan Kepalakepala Urusan, sedangkan unsur pelaksana terdiri dari Kepala-kepala Seksi dan unsur wilayah terdiri dari Kepala-kepala Dusun.
Susunan organisasi pemerintah desa ada 2 (dua) pola yaitu pola minimal dan pola maksimal. Susunan organisasi pemerintah desa berdasarkan pola minimal terdiri dari: a. Kepala Desa, b. unsur staf yang terdiri dari: Sekretaris Desa dan dibantu oleh Kepala Urusan yaitu kepala Urusan Umum, Kepala Urusan Pemerintahan dan Pembangunan, serta Kepala Urusan Kesejahteraan Sosial dan Kemasyarakatan. c. unsur wilayah dan sekaligus sebagai unsur pelaksana yang terdiri dari Kepala-kepala Dusun. Susunan organisasi pemerintah desa berdasarkan pola maksimal terdiri dari: a. Kepala Desa, b. unsur staf yang terdiri dari: Sekretaris Desa, Kepala Urusan Keuangan dan Kepala Urusan Urusan Umum, c. unsur pelasana yang terdiri dari Kepala Seksi Pemerintahan, Kepala Seksi Pemba-ngunan, Kepala Seksi Kesejahteraan Sosial & Kemasyarakatan, d. unsur wilayah yang terdiri dari Kepala-kepala Dusun (Perda Kabupaten Mojokerto Nomor. 11 tahun 2000)
Pemerintahan Desa adalah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa. Badan Perwakilan Desa adalah lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal pelaksanaan peraturan desa, anggaran pendapatan dan belanja desa dan keputusan kepala desa. Jumlah anggota BPD ditentukan berdasarkan jumlah penduduk desa yang bersangkutan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Jumlah penduduk desa sampai dengan
1.500 jiwa, jumlah anggota BPD sebanyak 5 (lima) orang.
b. Jumlah penduduk desa antara 1.501 sampai dengan 2.000 jiwa, jumlah anggota BPD sebanyak 7 (tujuh) orang.
c. Jumlah penduduk desa antara 2.001 sampai dengan 2.500 jiwa, jumlah anggota BPD sebanyak 9 (sembilan) orang.
d. Jumlah penduduk desa antara 2.501 sampai dengan 3.000 jiwa, jumlah anggota BPD sebanyak 11 (sebelas) orang.

e. Jumlah penduduk desa lebih dari 3.000 jiwa, jumlah anggota BPD sebanyak 13 (tiga belas) orang.
BPD sebagai badan perwakilan merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila. BPD berkedudukan sejajar dan menjadi mitra pemerintah desa.
Memang dalam aturannya Pemerintah Desa dengan BPD merupakan mitra tetapi dalam kenyataannya sering terjadi praktek yang berbeda.
Ada beberapa jenis hubungan antara Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa. Pertama, hubungan dominasi artinya dalam melaksanakan hubungan tersebut pihak pertama menguasai pihak kedua. Kedua, huhungan subordinasi artinya dalam melaksanakan hubungan tersebut pihak kedua menguasai pihak pertama, atau pihak kedua dengan sengaja menempatkan diri tunduk pada kemauan pihak pertama. Dan Ketiga, hubungan kemitraan artinya pihak pertama dan kedua selevel dimana mereka bertumpu pada kepercayaan, kerjasama dan saling menghargai.
Beberapa isu yang terjadi dalam hubungan antara Pemerintah Desa (Kepala Desa) dengan BPD menurut hasil penelitian Tim Balitbang Propinsi Jawa Timur (2001) adalah:
a. Adanya arogansi BPD yang merasa kedudukannya lebih tinggi daripada Kepala Desa karena Kepala Desa bertanggung jawab kepada BPD
b. Dualisme kepemimpinan desa, yaitu kepala desa dengan perangkatnya dan badan perwakilan desa, yang cenderung saling mencurigai
c. Sering terjadi mis-persepsi sehingga BPD sebagai unsure legislative desa tetapi melakukan tugas dan fungsi eksekutif kepala desa
d. Anggota BPD sering belum bisa memilah antara fungsi pemerintahan desa dengan pemerintah desa
e. Kondisi sumberdaya manusia BPD yang masih belum memadai
f. Kinerja perangkat desa menjadi tidak efektif karena banyak mantan calon

Kepala Desa yang tidak jadi Kepala Desa menjadi anggota BPD dan cenderung mencari-cari kesalahan perangkat desa bahkan ada kesan pula mereka berusaha untuk menjatuhkan Kepala Desa
g. Dalam hubungan kerja organisa- sional,
(1) dalam pelantikannya BPD dibekali oleh DPRD, (2) BPD melakukan hubungan langsung dengan DPRD, (3) terjadi kontradiksi perilaku kerja BPD, misalnya BPD tidak mau berurusan dengan camat.
Pada masa berlakunya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 yang lalu, Kepala Desa dan perangkatnya merupakan satu-satunya aktor penyelenggara pemerintahan desa. Pada saat itu banyak mengandung kelemahan karena program-program pembangunan seringkali berasal dari atas dan pengawasan terhadap kepemimpinannya sangatlah lemah. Dalam kaitannya dengan desa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, ingin menutupi kelemahan-kelemahan yang ada dalam UU. No.5 tahun 1979. Kehadiran BPD dianggap sebagai penyeimbang dan mitra kerja.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 maka BPD diganti dengan Badan Permusyawaratan Desa adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Badan Permusyawaratan Desa ini diharapkan bisa mengurangi kelemahan penyeleng- garaan pemerintahan desa.


Kemitraan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
1. Teori Kemitraan
Secara teoritis, Eisler dan Montuori (1997) membuat pernyataan yang menarik yang berbunyi bahwa “memulai dengan mengakui dan memahami kemitraan pada diri sendiri dan orang lain, dan menemukan alternatif yang kreatif bagi pemikiran dan perilaku dominator merupakan langkah pertama ke arah membangun sebuah organisasi kemitraan.”
Dewasa ini, gaya-gaya seperti perintah dan kontrol kurang dipercaya. Di dunia baru ini, yang dibicarakan orang adalah tentang karyawan yang “berdaya”, yang proaktif, karyawan yang berpengetahuan yang menambah nilai dengan menjadi agen perubahan.
Menurut pendapat Yukl (1991) ada beberapa model hubungan organisasional, yaitu: Pertama, hubungan dominasi artinya dalam melaksanakan hubungan tersebut pihak pertama menguasai pihak kedua. Kedua, huhungan subordinasi artinya dalam melaksanakan hubungan tersebut pihak kedua menguasai pihak pertama, atau pihak kedua dengan sengaja menempatkan diri tunduk pada kemauan pihak pertama. Dan ketiga, hubungan kemitraan artinya pihak pertama dan kedua selevel dimana mereka bertumpu pada kepercayaan, kerjasama dan saling menghargai.
Sistem kemitraan bertumpu pada kepercayaan, dengan ciri-cirinya antara lain
(a) persamaan dan organisasi yang lebih landai, (b) hirarki aktualisasi yang luwes (dimana kekuasaan dipedomani oleh nilai-nilai seperti caring dan caretaking), (c) spiritualitas yang berbasis alamiah, (d) tingkat kekacauan yang rendah yang terbentuk dalam sistem, dan (e) persamaan dan keadilan gender.
Masa sekarang model komando dan kontrol ini selain tidak sesuai lagi juga makin menjadi tidak berlaku. Kekakuan birokrasi bersifat mematikan organisasi yang berkehendak mengarahkan secara efektif di lingkungan yang cepat berubah dimana inovasi dan fleksibilitas merupakan faktorfaktor kunci.
Ada beberapa model kemitraan dalam organisasi dan resistensi yang menghambatnya.
a. Organisasi hirarki yang lebih landai dan kurang kaku.
Memang perlu mengubah struktur birokrasi yang kaku menjadi lebih luwes, inovatif dan bertumpu pada inisiatif individu - organisasi yang lebih landai. Namun perlu dihindari adanya pemikiran bahwa seolah-olah hirarki harus dihapus dalam organisasi. Jadi yang penting adalah mengubah bentuk hirarki dominasi ke arah hirarki aktualisasi yang mendukung terbukanya potensi yang lebih besar.
b. Perubahan dalam peranan manajer, dari peran “polisi” ke arah peranan fasilitator dan memberi dukungan.
Masuknya pendekatan ini di dalam manajemen mendorong kreativitas yang lebih besar. Di samping itu ia mendorong ke arah konseptualisasi ulang tentang sifat kekuasaan, tanggung jawab dan wewenang.
c. Dari Power over menjadi Power to/with
Terjadi pergeseran dari dominasi ke kreativitas bersama. Power over dirancang baik untuk jalur keluar seseorang bekerja pada hirarki dominasi maupun menjaga diri dari pesaing. Itu adalah kontributor satu-satunya yang paling penting terhadap bayangan yang luas tak terkatakan yang membayangi semua organisasi (politik kantor).
Di dalam sistem kemitraan, orientasi terhadap power to atau actualisation power dan power with mendorong ke arah sikap yang sangat berbeda, orang menyampaikan pertanyaan bagaimana kita dapat bekerja yang terbaik untuk memecahkan masalah secara bersama-sama?
d. Team work (Kerja Tim)
Kerja tim sangat dianjurkan, kerja tim mencerminkan pergeseran dari karyawan-karyawan yang diisolasi yang hanya dihubungkan dengan ban berjalan, ke tim kerja yang saling berhubungan yang berkerja pada tugas-tugas tertentu. Bekerja dalam tim memerlukan perhatian besar terhadap sifat dan kualitas hubungan maupun orientasi yang berfokus pada tugas.
e. Diversity (keberagaman)
Dari sudut pandang dominator, keberagaman merupakan ancaman terhadap tata tertib. Sebaliknya, dari perspektif kemitraan, keberagaman merupakan kesempatan untuk menumbuhkan kreativitas yang lebih besar, untuk berbagi perspektif baru, menciptakan hubungan dengan ide-ide baru, dan memberi kemungkinan bagi bersemainya antar generasi.
e. Gender Balance (Keseimbangan gender)
Di dalam sistem kemitraan, terdapat pandangan sinergis dan holistic tentang identitas, individu-individu tidak terkunci ke dalam peranan-peranan gender yang stereotip dan membatasi, melainkan bebas untuk mengekspresikan seluruh potensinya. Karakteristik mendasar dari sistem kemitraan adalah bahwa mereka seimbang secara gender dan holistic, sementara dalam sistem dominator menciptakan “identitas yang berseberangan.”
f. Kreativitas dan Kewirausahaan
Disamping mampu beradaptasi dengan lingkungan, penggunaan pendekatan kemitraan memungkinkan orang dapat menilai dan merancang ulang organisasi dan peran organisasi dalam masyarakat untuk memperbaiki kualitas kehidupan ini.
Di dalam sistem kemitraan, kreativitas sangat bernilai dan dihargai. Kreativitas kemitraan tidak mengecualikan perubahan-perubahan kreatif yang dramatis, sistem tersebut juga mendorong hubungan-hubungan kreatif dan pendekatan-pendekatan kreatif terhadap masalah-masalah sehari-hari. Kreativitas sehari-hari dalam organisasi dapat mendorong perbaikan terus menerus dan perbaikan kualitas, seperti praktik manajerial baru, penghargaan baru, proses pendidikan baru, bagan organisasi baru dan sebagainya.
Jika organisasi dirancang dengan pemikiran sistemik, perbaikan hidup dan prinsip-prinsip kemitraan, maka diperlukan pergeseran mendasar dalam cara orang berpikir dan merancang organisasi. Disamping itu organisasi memerlukan jenis kreativitas yang perlu dijaga dan didorong oleh model kemitraan : perlindungan yang luas dan belum begitu dimanfaatkan dari kreativitas sosial dan kewirausahaan sosial.
2. Kemitraan di Sektor Pemerintahan
Di dalam tataran praksis di sektor pemerintahan, Chapman et al (1996) melihat kerja organisasi kemitraan yang ada sebagai
“a surprisingly high number of examples of partnership and joint working activity.” Ia menemukan ketimpangan dari kerja kemitraan di wilayah tertentu dari pembangunan pedesaan, dimana salah satunya adalah pembangunan masyarakat, “There was little evidence of participatory models being deployed to achieve community involvement, with the majority of community involvement being pursued only through representative means. Equally, issues of community empowerment have been barely addressed by the partnerships identified.” (Chapman, 1996).
Lebih lanjut ia memberikan saran bagi struktur kemitraan pemerintah desa, dengan mengajukan sejumlah tujuan dan sasaran kemitraan daerah pedesaan, yaitu:
a. Untuk mempromosikan pemba- ngunan ekonomi, sosial dan kebudayaan daerah pedesaan melalui keikutsertaan masyarakat lokal, organisasi-organisasi publik, sektor privat dan kelompok-kelompok sukarela
b. Untuk bertindak sebagai pusat informasi tentang isu-isu lokal
c. Untuk bertindak sebagai sarana untuk mengangkat isu-isu masalah lokal pada tingkat nasional dan dengan organisasi-organisasi individual dengan tanggung jawab untuk semua persoalan ini
d. Untuk mempromosikan kerja sama dan konsensus antara organisasi yang relevan dalam wilayah tersebut agar supaya mempromosikan pembangunan dan memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat setempat.

Di dalam pelaksanaannya komposisi kemitraan yang disarankan kepada otoritas lokal terdiri dari :
a. Lembaga-lembaga pemerintah
b. Otoritas lokal
c. Bisnis swasta dan organisasi-organisasi komersial
d. Kelompok-kelompok masyarakat
e. Organisasi-organisasi lingkungan
f. Kelompok-kelompok sukarela, dan

g. Individu-individu pribadi (Chapman et al, 1996)
Selain itu, Bryden et al (1998) mengemukakan bahwa keunggulan-keunggulan kemitraan lokal terletak pada : (a) persiapan dari strategi setempat yang melihat seluruh kebutuhan bagi pembangunan pedesaan di wilayah tersebut, dan kebijakan-kebijakan yang tersedia untuk mencapai semua ini; (b) pertimbangan tentang cara pemberian pelayanan yang lebih efektif, termasuk kerja bersama di antara mitra, penggunaan bersama atas gedung-gedung atau sumberdaya lainnya, dan pendekatan terpadu terhadap pemberian informasi kepada orang-orang setempat; dan (c) penyediaan sebuah pusat untuk promosi tentang prakarsa masyarakat (community-led initiatives) (Bryden et al., 1998)
Ada beberapa persyaratan bagi keberhasilan kerja kemitraan, yaitu badan-badan dan departemen pemerintah dan masyarakat setempat sendiri. Selanjutnya ia mengajukan pedoman terselenggaranya proses ini, yang meliputi pelatihan semua pihak yang terlibat, penggunaan yang hati-hati bahasa yang digunakan ketika berinteraksi dengan orang-orang setempat, penggunaan contoh-contoh, akuntabilitas dan kepemerintahan yang terbuka, menjabarkan tujuan-tujuan ke dalam tugas-tugas yang mudah dicapai, mendorong masyarakat setempat menjadi sadar informasi, dan adaptasi secara terus menerus untuk menghadapi perubahan-perubahan dan kebutuhan-kebutuhan baru.
3. Kemitraan Antara Pemerintah Desa dengan BPD.
Pada awalnya sering terjadi ketidak harmonisan antara Pemerintah Desa dan BPD karena : (a) cara pemahaman peraturan yang kurang menyeluruh dan kurang baik yang disebabkan oleh tingkat pengetahuan dan pendidikan yang telatif rendah sehingga pemahaman terhadap UU hanya sepotong-sepotong, (b) Banyak terjadi ketidak-disiplinan terhadap tatib yang dibuat oleh mereka sendiri, (c) Kesalahfahaman terhadap hak dan kewajiban mereka.
Sekarang hubungan Pemerintah Desa dan BPD menjadi lebih baik karena beberapa alasan : (a) Mulai tumbuhnya kesadaran, pengertian tentang hak dan kewajiban mereka., (b) BPD sudah dilibatkan dari awal-sampai akhir setiap kegiatan-kegiatan yang menyangkut tugas kemasyarakatan dan pembangunan,
(c) mereka menyadari bahwa mitra adalah saling mengisi, memahami dan memecahkan masalah bersama-sama.
Sekalipun hubungan Pemerintah Desa-BPD dapat dikatakan berjalan dengan baik dan cukup harmonis bukan berarti berjalan tanpa hambatan. Faktor-faktor penghambat lainnya dalam hubungan Pemerinmtah Desa-BPD, meliputi : (1) Kurang luasnya wawasan yang dimiliki oleh sebagian anggota BPD maupun aparat desa, baik disebabkan rendahnya tingkat pendidikan maupun terbatasnya pengalaman yang dimiliki, (2) Pengaturan koordinasi kerja yang kurang tepat sehingga dapat menyulitkan salah satu pihak dalam pelaksanaannya, (3) Pihak Pemerintah Desa yang dirasakan kurang transparan dalam menyampaikan informasinya, (4) Anggota BPD yang kurang memahami seluk-beluk pemerintahan desa.
Ketidak harmonisan hubungan antara pemerintah desa dengan BPD karena terjadi hubungan dominasi.
Hubungan tersebut pada era sekarang didak sesuai dengan tuntutan demokrasi dan otonomi desa. Oleh karena itui hubungan tersebut harus diubah menjadi hubungan kemitraan yang dilaksanakannya dalam arti (a) saling mengisi, memahami dan memecahkan masalah bersama-sama, saling percaya, kerjasama dan saling menghargai.
(b) mereka saling terbuka terhadap kritik dengan memenuhi lima syarat, yaitu : (1) proporsional, (2) obyektif, (3) rasional, (4) jujur, dan (5) ada solusi.
Sebagai penutup dari pembahasan ini, meskipun Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah diganti dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang di dalamnya mengandung aturan tentang Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa yang merupakan pengganti daripada Badan Perwakilan Desa (BPD), kemitraan yang mempunyai ciri-ciri tersebut di atas tetap sangat diperlukan demi keberhasilan tujuan pembangunan desa.


Kesimpulan
Ada tiga model hubungan organisasional, yaitu: (a) hubungan dominasi artinya dalam melaksanakan hubungan tersebut pihak pertama menguasai pihak kedua, (b) hubungan subordinasi artinya dalam melaksanakan hubungan tersebut pihak kedua menguasai pihak pertama, atau pihak kedua dengan sengaja menempatkan diri tunduk pada kemauan pihak pertama, dan (c) hubungan kemitraan artinya pihak pertama dan kedua selevel dimana mereka bertumpu pada kepercayaan, kerjasama dan saling menghargai.
Hubungan kemitraan antara Pemerintah Desa dan BPD mempunyai ciri-ciri (a) saling mengisi, saling percaya, saling menghargai, kerjasama, memahami dan memecahkan masalah secara bersama-sama,
(b) mereka saling terbuka terhadap kritik dengan memenuhi lima syarat, yaitu : (1) proporsional, (2) obyektif, (3) rasional, (4) jujur, dan (5) ada solusi.
Meskipun Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah berlaku, yang di dalamnya mengandung aturan tentang Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa yang merupakan pengganti daripada Badan Perwakilan Desa (BPD), kemitraan yang mengutamakan saling mengisi, percaya, menghargai, kerjasama, memahami dan memecahkan masalah secara bersama-sama, saling terbuka terhadap kritik dengan memenuhi lima syarat, yaitu (1) proporsional,
(2) obyektif, (3) rasional, (4) jujur, dan (5) memberikan solusi tetap sangat diperlukan demi keberhasilan tujuan pembangunan desa.

Daftar Pustaka
Bryden, J, Shucksmith, M and Murphy, C. 1998. Evaluation and Monitoring of the Loggan Community Forestry Initiative, Inception report and final report, Scottish Office, Edinburh, in www.abdn.ac.uk/arkleton/npp/parte1. do
Chapman, P, Conway, E and Shucksmith,
M. 1996. Scoping Study on Rural Development Issues in Scotland,
Scottish Office Central Research Unit, Edinburgh,in www.abdn.ac.uk/arkleton/npp/parte1. do
Cooper, Phillip J. 1998. Public Administration for the Twenty-First Century, Harcourt Brace, College Publishers, New York.
Eisler, Rione & Montuori, Alfonso. 2001. “The Partnership Organization : A System Approach”, OD Practitioner, Vol. 33, No 2, 2001.
Peraturan Daerah Kabup[aten Mojokerto, Nomor 11 Tahun 2000, tentang Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa.
Rondinelli, Dennis A. 1983. Development Projects As Policy Experiment: An Adaptive Approach To Development Administration, Methuwn, London-New York.
----------------. 2002. “Public-Private Partnership,” dalam Kirkpatrick, Colin, Ron Clark & Charles Polidano. 2002. Handbook on Development Policy and Management, Cheltenham, UK: Edward Elgar Publishing Limited.
Smith. B.C. 1997. Decentralization, the Territorial Dimension of the State, George Allen & Unwin, Boston-Sydney.
Tim Balitbang Propinsi Jawa Timur, 2001, Isue-Isue Aktual tentang Pelaksanaan Otonomi Di Desa Menurut UU No. 22 Tahun 1999, Balitbang Prop. Jatim, Surabaya
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tetang Pemerintahan Daerah. Sinar Grafika. Jakarta.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tetang Pemerintahan Daerah. Citra Umbara., Bandung.

0 comments: