Saturday 22 March 2008

PEMERINTAHAN NAGARI DI ERA ORDE BARU - Persepsi Aparatur Pemerintah dan Masyarakat Terhadap Pemerintahan Nagari dan Otoritas Tradisional

PEMERINTAHAN NAGARI DI ERA ORDE BARU - Persepsi Aparatur Pemerintah dan Masyarakat Terhadap Pemerintahan Nagari dan Otoritas Tradisional Minangkabau Dalam Kaitannya Dengan Prospek Otonomi Daerahdi Sumatera Barat

Yasril Yunus 9802110304
RINGKASAN
Yasril Yunus, Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang, 16 Desember 2000, PEMERINTAHAN NAGARI DI ERA ORDE BARU (Persepsi Aparatur Pemerintah dan Masyarakat Terhadap Pemerintahan Nagari dan Otoritas Tradisional Minangkabau Dalam Kaitannya Dengan Prospek Otonomi Daerah), Ketua Komisi Pembimbing Drs. H. Soesilo Zauhar MS, Anggota Drs. Abdul Hakim M.Si.
Pemerintahan Orde Baru yang bersifat sentralistik telah memasung suara hati nurani rakyat dan mematikan keragaman sosio kultural dan adat istiadat bangsa Indonesia. Desa dan Pemerintahan Desa berdasarkan UU No. 5/1979 telah kehilangan jati dirinya. Pemerintahan Negara Republik Indonesia di bawah kekuasaan Orde Baru telah diakhiri oleh rakyat secara paksa, sehingga Pemerintah Reformasi harus menata ulang secara keseluruhan sistem pemerintahan, terutama Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Desa. UU No. 22/1999 adalah salah satu di antara kebijakan untuk menata kembali sistem Pemerintahan Daerah yang sekaligus juga membuka peluang bagi masyarakat desa untuk menentukan bentuk pemerintahan yang terendah sesuai dengan sosio kultural dan adat istiadat setempat.
Tujuan penelitian adalah untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ada dalam penelitian yaitu pertama bagaimana struktur masyarakat dan pemerintahan adat beserta sistem hukum adat di Minangkabau; kedua bagaimana persepsi aparatur pemerintah dan masyarakat tentang otoritas tradisional Minangkabau ketiga bagaimana persepsi aparatur pemerintah dan masyarakat tentang Pemerintahan Nagari dan keempat bagaimana peluang dan tantangan yang dihadapi masyarakat Minangkabau Sumatera Barat jika diberlakukan kembali Pemerintahan Nagari.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Lokasipenelitian ini di tiga desa, pertama Desa Ampang Gadang Kecamatan Guguk Kabupaten Lima Puluh Kota,kedua Desa Sungai Jambu Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar dan ketiga Desa Pasa UsangKecamatan 2 X 11 Enam Lingkung Kabupaten Padang Pariaman Propinsi Sumatera Barat dengan fokuspenelitian terdiri dari (i) struktur masyarakat dan pemerintahan adat beserta hukum adat Minangkabau;
(ii) persepsi aparatur pemerintah dan masyarakat tentang otoritas tradisional Minangkabau dalamkaitannya dengan otonomi daerah; (iii) persepsi aparatur pemerintah dan masyarakat tentang PemerintahanNagari dalam kaitannnya dengan otonomi daerah dan (iv) peluang dan tantangan yang dihadapi jika diSumatera Barat diberlakukan kembali Pemerintahan Nagari. Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara snow ball sampling dan data primer diperoleh dari hasil wawancara mendalamdengan para informan, sedangkan data skunder didapat dari dokumentasi. Semua data dianalisisdengan menggunakan pola interaktif meliputi reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulanatau verifikasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (i) struktur masyarakat Minangkabau adalah bertingkat denganPemerintahan Adat yang demokratis berdasarkan sosio budaya dan adat istiadat Minangkabau; (ii) otoritastradisional masyarakat Minangkabau menunjukkan kepemimpinan yang bersifat demokratis dan populisdalam pemerintahan nagari yang otonom, karena antara pemegang otoritas dan anak nagari (warga)secara adat kedudukannya adalah sama; (iii) persepsi, aspirasi dan partisipasi aparatur pemerintah danmasyarakat mendukung terbentuknya Pemerintahan Nagari sebagai pemerintahan yang terendah diMinangkabau, karena Pemerintahan Nagari lebih eksis, diakui dan tidak terpengaruh oleh supra nagari, serta mampu mengantisipasi pelaksanaan otonomi daerah, (iv) untuk menghidupkan kembali Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat sekalipun memiliki peluang, namun mendapat tantangan yangcukup berat, karena potensi-potensi nagari sebagai hak ulayat yang mendukung nagari guna pelaksanaan otonomi daerah di Sumatera Barat, tidak jelas posisinya dalam sistem hukum nasional.


SUMMARY
Yasril Yunus. Postgraduate Program, Brawijaya University Malang, Desember 16, 2000. THE GOVERNMENT of ”NAGARI” in THE NEW ORDER (The Perception of Government Officials and the Society Toward the Government of “Nagari” and the Traditional Authority of Minangkabau in Relation with the Prospect of Local Autonomy in West Sumatera). Supervisor: Soesilo Zauhar, Co Supervisor: Abdul Hakim.
The centralised government of the New Order has shackled the inner heart of society and switch offthe variety of the sociocultural and the customs of the Indonesian people. The country and the ruralgovernment based on the Government Regulatioan No. 5, 1979 has lost its identity. The Republic ofIndonesia Government under the power of New Order has been lasted by the people by force, so thatThe Reformation Government should remanage the whole government system, especially the Local Government and the Rural Government. The Regulatioan No. 22, 1999 is one of the policies toremanage the Local Government System that simultaneously also open the opportunities for the ruralsociety to decide the lowest government form in accordance with the local sosiocultural and costums.
The problem in this research is, first, how the society structure and the traditional government and the traditional jurisprudence system in Minangkabau; second, how is the perception of the government offcials and society toward the traditional authority of Minangkabau in relation with the of local autonomy; third, how is the perception of the government offcials and society toward the “Nagari” Government in relatioan with the local aoutonomy; and, fourth, how are opportunities and challenges faced by the society Minangkabau, West Sumatera, whenever the “Nagari” Government will be carried out there. Where as the purpose of this research is to answer the given problems in this research.
The type of research used is the descriptive research with the qualitative approach. Locatioan of this research are in three countries, first, Ampang Gadang, district of Guguk, Lima Puluh Kota regency, second, Sungai Jambu, district of Pariangan, Tanah Datar regency, and third, is Pasa Usang, 2 X 11 Enam Lingkung district, Padang Pariaman regency, province of West Sumatera with the research focus on: (i) the structure of society and the traditioanl government and the traditional jurisprudence system in Minangkabau; (ii) the perception of the government offcials society toward the traditional authority of Minangkabau in relation with the local autonomy; (iii) the perception of the government offcials and society toward the “Nagari” Government in relatioan with the local aoutonomy; and, (iv) the opportunities and challenges faced by the society Minangkabau, West Sumatera, whenever the “Nagari” Government will be carried out. The sampling techniqeu of this research is conducted by the snow ball sampling and the primary data attained by the result of the depth interviews from the informen, while the secondary data attained from documentation. All of the data analyzed by using the interactive pattern as developed by Miles and Huberman which comprises the data reduction, data presentation and conclusions or verification. The result of this research indicate that: (i) the society structures of Minangkabau have some level with the democratic. Traditional Government based on the sociocultural and costums of Minangkabau, (ii) the authority of traditional society of Minangkabau indicates the democratic and populous leadership in the nagari government that has the autonomic characteristics, becouse between authority power and “anak Nagari” (society) traditionally have the same position; (iii) the perception, aspiration and participation of government offcials and the society support the form of the Nagari Government as the lowest government in Minangkabau, because the Nagari Government is more dominate, more acknowledged and is not influenced, by supra “nagari”, and are able to anticipate the performance of the local autonomy, and (iv) to resulvive the Nagari Government in West Sumatera althouh it has some opportunities, but fased by the high challenges, due to the traditional rights that support the ”nagari” to the performance of the local autonomy in West Sumatera, the position is not clear enough in the national law systems.
PENDAHULUAN
Apabila disimak pengaturan pemerintahan daerah/desa sejak masa penjajahan Belanda ketikaInlandshe Gemeente Ordonantie (IGO) diberlakukan untuk Jawa dan Madura dan Inlandshe Gemeente Ordonantie Buitengewesten (IGOB) untuk luar Jawa dan Madura sampai ditetapkannya UU No. 5/1979 relatif tidak banyak berubah. Sedangkan pada masa Jepang masalah pedesaan tidak diatur secara khusus.
Dengan berlakunya UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa selama lebih kurang 20 tahun dipandang kontradiktif dengan nilai-nilai yang hidup, tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, sehinga undang-undang tersebut tidak secara spontan diterima, karena masyarakat Sumatera Barat khawatir adanya kemungkinan munculnya dampak negatif terhadap kehidupansosial budaya masyarakat apabila Pemerintahan Nagari harus diganti dengan Pemerintahan Desa (Kato,1989). Untuk mengatasi dampak negatif tersebut, Pemerintahan Daerah Sumatera Barat menetapkanPeraturan Daerah No. 13/1983 tentang Pemerintahan Nagari sebagai persekutuan masyarakat hukum adat yang fungsinya dilaksanakan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN). Perda No. 13/1983 mencerminkantekad, semangat dan keinginan Pemerintahan Daerah Sumatera Barat dan masyarakatnya untuk tetap melestarikan dan memelihara eksistensi Nagari beserta hak-hak tradisionalnya.
Dengan demikian pokok persoalan pemerintahan desa di Minangkabau adalah tidak jalannya demokratisasi tatkala UU No. 5/1979 diberlakukan. Oleh karena itu sistem pemerintahan Nagari haruskembali diperhatikan, sehingga hal-hal yang menghambat partisipasi dan keinginan masyarakat dapatdisalurkan. Menurut Kusumaatmadja (1998) desa-desa seperti Nagari di Sumatera Barat, Banjar di Baliperlu mendapat perhatian dan motivasi, karena masyarakat adat yang demikian mampu mempertahankandirinya dan mempunyai adaptasi yang kuat dan bagus terhadap intervensi luas.
Ditetapkannya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah berdasarkan Ketetapan MPR. No. XV/MPR/1998, sekaligus berarti mencabut UU No. 5/1979, maka corak pemerintahan tingkat desa diSumatera Barat perlu ditinjau kembali, karena dalam peraturan UU No. 22/1999 jelas-jelas diakui desa sebagai kesatuan masyarakat hukum berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat.
Dapatkah nuansa Pemerintahan Nagari dikembalikan ke dalam kehidupan masyarakatMinangkabau sebagaimana yang banyak dituntut sekarang ini. Suasana seperti inilah yang ingin cobaditeliti. Dengan demikian masalahnya adalah bagai-manakah struktur masyarakat tradisional dan sitemPemerintahan Adat di Minangkabau?; bagaimana persepsi aparatur pemerintah dan masyarakat terhadapsistem otoritas tradisional masyarakat Minangkabau dalam kaitannya dengan otonomi daerah? bentukpemerintahan tingkat desa di Minangkabau Sumatera Barat dalam kaitannya dengan otonomi daerahserta bagaimana peluang dan tantangan yang dihadapi jika di Sumatera Barat diberlakukan kembaliPemerintahan Nagari ? Tujuan penelitian adalah mendeskripsikan menganalisa dan meninterprestasikan struktur masyarakat tradisional dan sistem Pemerintahan Adat di Minangkabau:persepsi aparatur pemerintah dan masyarakat terhadap sistem otoritas tradisional masyarakat Minangkabau dan terhadap bentuk pemerintahan tingkat desa di Minangkabau Sumatera Barat dalam kaitannya denganotonomi daerah serta peluang dan tantangan yang dihadapi jika di Sumatera Barat diberlakukan kembaliPemerintahan Nagari.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang aspirasi masyarakat terhadap pembentukan pemerintahan terendah yang sesuai dengan UU No. 22/1999 tentang PemerintahanDaerah dan dapat disumbangkan bagi para pembuat dan pelaksana kebijakan yaitu Pemerintah, terutama Pemerintahan Daerah Kabupaten dalam menemukan dan menetapkan bentuk pemerintahan tingkat desa yang sesuai dengan aspirasi dan adat istiadat masyarakat setempat dan terakhir diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi pihak yang ingin melakukan penelitian sejenis dalam lingkupyang lain.
Di Indonesia desentralisasi telah dikaji dalam beberapa sisi dan bidang, tidak hanya dalam lingkupDepartemen Dalam Negeri sebagaimana fenomena desentralisasi beberapa waktu yang lalu, karena dianggap sebagai bagian Departemen Dalam Negeri saja (Zauhar, 1994: Samego, 1998), tetapi juga dalam bidang-bidang lain seperti perimbangan keuangan daerah dan pusat serta memberikan kewenangan yang lebih kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
KAJIAN TEORI
Jika dicermati UU No. 22/1999 ini ternyata belum mengatur pelaksanaan desentralisasi kepadamasyarakat menuju terciptanya proses partisipasi dan pemberdayaan dalam pemerin-tahan dan pembangunan,karena menurut Koswara (1999), partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan, diharapkan tidak hanya ikut serta dalam proses peren-canaan, pengambilan keputusan dan pelaksanaannya, melainkan seharusnya dapat ikut serta pula menjadi pemegang saham (share holders)pada perusahaan-perusahaan di daerah.
Setelah Belanda masuk ke Indonesia kondisi masyarakat asli Indonesia pada mulanya tetapdibiarkan melaksanakan kegiatan-kegiatan sesuai dengan susunan dan struktur masya-rakat hukum adat,namun lambat laun mulai Belanda melakukan intervensi pemerintah terhadap kehidupan masyarakat desa untuk kepentingan politik penjajah. Pengakuan tersebut tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang desa untuk pertama kali dimuat dalam pasal 71 RR (Regeerings-reglement) 1854 atau pasal 128 IS (Indischestaatsregeling) sebagaimana juga disitir oleh Kartohadikoesoemo (1984), bahwa desa yang disebut dalam peraturan Insland-schegemeenten atas pengesahan Residen berhak memilih Kepala Desa dan pemerintahan desanya sendiri.
Begitu juga intervensi negara terhadap pemerintahan di desa seluruh Indonesia sebelum ditetapkannya UU No. 5/1979 desa mempunyai hak untuk mengatur pemerintahan desa sendiri sesuaidengan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Namun setelah keluarnya undang-undang tersebut, PemerintahanDaerah tidak mempunyai kebebasan lagi dalam menentukan bentuk susunan pemerintahan desa sendiri,karena berdasarkan undang-undang tersebut organisasi pemerintahan desa telah tersentralisasi.
Di Sumatera Barat akibat perubahan nagari menjadi desa telah terjadi culture shock (goncangan kebudayaan) karena perubahan yang dialami tidak hanya sekedar perubahan struktural tetapi jugasekaligus perubahan filosofis dan orientasi, karena menurut Naim (1990), konklusinya bukan saja keterbukaan (glanost) dan proses demokratisasi yang diperlukan tetapi juga restrukturisasi (perestroika).
Akibat dari perkembangan pembangunan dan modernisasi yang begitu cepat di segala bidang, yangpada akhirnya menempatkan negara bukan lagi sekedar memiliki posisi konvensional sebagai inovatorpembangunan, tetapi negara juga berperan lebih konservatif dengan kecenderungan mengontrol kekuatan-kekuatan masyarakat (Harrison, 1988). Dalam situasi yang demikian keikutsertaan kelompok-kelompoksosial politik dan masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupuntidak langsung menghadapi kendala yang tidak kecil, karena birokrasi begitu solidnya. Artinya bahwapengambilan keputusan politik menurut Nugroho (1992), yang mengutip pendapat Mc Lennan menyatakan bahwa keputusan politik antara elit politik yang sedang berkuasa dengan kekuatan-kekuatan sosial politik menjadi persoalan tarik-menarik (push and pull) antara mempertahankan pola kemapanan politik dengan upaya mempengaruhi pola kemapanan politik.
Sesuatu yang terkait langsung dengan analisis struktural menurut Long (1964), disebut sebagaiparadigma yang berorientasi pada aktor/pelaku - baik secara eks-plisit maupun secara implisit - sekalipun perubahan struktural tersebut berasal dari luar, apakah pengaruh negara atau pasar. Sedangkanmenurut Uphoff (1994), ada tiga sektor yang melakukan intervensi dalam masyarakat desa. Sektor pertama adalah negara dengan birokrat sebagai aktornya, kedua pasar dengan aktornya pengusaha/ swasta, dan ketiga sektor asosiasi sukarela dengan aktornya NGO’s/LSM..
Dari tiga alternatif aktor yang ditawarkan Uphoff, dapat dikatakan yang paling kuat intervensi dalam pembangunan pedesaan adalah sektor pertama dengan aktornya birokrat. Mengenai peran aktordalam masyarakat juga disitir oleh Mas’oed (1997), tentang tiga pola dalam praktek pembangunan dengan aktor yang berbeda-beda, masing-masing populer dengan sebutan “politik sebagai panglima” (PSP); “ekonomi sebagai panglima “ (ESP) dan “moral sebagai panglima” (MSP).
Berkaitan dengan itu Nugroho (1992), mengemukakan tiga argumen yang mendasari kualitas dominasi negara yang cenderung lebih kuat pertama ada anggapan bahwa sistem administrasi yangdilakukan secara profesional oleh para ahli memungkinkan mereka memegang kekuatan monopolijalur-jalur kewenangan dan aturan-aturan; kedua dengan dominasi dan otoritasnya birokrasi yang memiliki kewenangan, akhirnya mengendalikan serta dapat mempertahankan kekuasaan; ketigabirokrasi sebagai hirarkis kekuasaan, dalam pertumbuhannya tidak selalu bebas dari subyektivitas sistemnilai politik dari kelompok yang mengendalikannya.
Di Indonesia semenjak Pemerintahan Kolonial Belanda menetapkan peraturan khusus untuk masyarakat desa, maka sejak itu pula pemerintah ikut campur dalam kehidupan masyarakat desa.Keadaan ini terus berlanjut hingga Indonesia merdeka bahkan diperparah lagi setelah adanya konseppembangunan pada masa pemerintah Orde Baru, sehingga dengan alasan “pembangunan” negaradapat saja ikut campur dalam segala aspek kehidupan masyarakat.
Dampak konsep pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintahan Orde Baru pada masyarakatpedesaan, adalah hampir di seluruh aspek kehidupan masyarakat didominasi dan diintervensi negara.Negara bertindak monopoli dan sebagai “aktor tunggal” yang sentralistis. Dengan demikian menurutAbdul Wahab (1999b), wajar saja ada pendapat yang mengatakan bahwa Orde Baru pada hakekatnyaadalah orde anti pikiran bebas.
Program pembangunan desa merupakan penetrasian negara dalam kehidupan desa melalui dukunganberbagai bentuk jaringan administrasi, yang disebut Schmitter sebagai korporatisme negara. Selama Orde Baru program pembangunan desa berdasarkan UU No. 5/1979 mempunyai tujuan ganda yaitu melibatkanmasyarakat agar berperan serta dalam pembangunan secara umum melalui proses memasukkan desa ke dalam negara, dan proses memasukkan negara ke dalam desa (Mas’oed ,1997).
Mencermati hegemoni negara yang demikian dominan Abdul Wahab (1999b), yang juga mengutippendapat Schmitter menjelaskan bahwa organisasi-organisasi bentukan pemerintah pada hakekatnyasecara politis dan praktis telah terkooptasi, sehingga organisasi-organisasi tersebut bersifat monolitik,hirarkis laiknya birokrasi pemerintah. Bentangan kekuasaan semacam inilah yang disebut dengan korporatisme. Singkatnya, untuk menghindari instabilitas politik yang membahayakan, maka negara meredam potensi-potensi revolusioner dalam masyarakat dan melemahkan potensi-potensi progresif pembaharuan melalui organisasi-organisasi yang berwatak korporatif. Negara dalam membentangkandominasinya menciptakan “perluasan birokrasi pemerintah pada tingkat lokal”, sehingga negaraotoritas birokrasi, artinya negara bersifat otoriter dan sangat mengandalkan birokrasi sebagai alat untukmencapai tujuannya (Budiman, 1991).
Partisipasi masyarakat dibendung dan masyarakat itu sendiri dibelenggu dari proses politik danpembangunan yang dilakukan secara top-down dan bercorak teknoratis-birokratis, artinya menurut Santoso, (1993), negara menempatkan birokrasi sebagai satu-satunya agen utama modernisasi. Oleh sebab itu tidak ada perbedaan yang berarti antara masa kolonial dengan masa pasca kolonial. Sepertipada masa pemerintahan Orde Baru peran negara dan aparatnya juga otoriter dan sentralistik dalam pelaksanaan kebijaksanaan. Soetrisno (1988), menyatakan karena negara adalah sebagai motor tunggalpenggerak modernisasi, maka menimbul kekhawatiran negara menjadi kurang peka dan merasa bahwa sudah menjadi hak dari aparat negara untuk membatasi hak warga masyarakat.
Dengan demikian dalam persaingan yang lebih longgar antara kelompok-kelompok sosial politik, berarti memberi kelonggaran bagi pluralitas untuk berekspresi, maka pandangan negara sebagai aktor tunggal yangmencerminkan struktur hegemoni politik dan ideologi, dengan sendirinya perlu ditinjau kembali (Arnold K.Sherman and Aliza Kolker dalam Nugroho, 1992).
Dalam kaitan dengan uraian di atas menimbulkan serangkaian permasalahan yang dapat ditujukankepada para aktor atau penguasa dalam pemerintahan tersebut. Salah satu diantaranya adalah tentangbagaimana penguasa (regimes) dibentuk dalam sistem demokrasi atau bagaimana politik penguasa(regime politics) secara sistimatis dibentuk oleh beberapa macam bargaining lingkungan tertentu.
Hal ini berarti bahwa pemerintah, disamping harus melakukan tawar menawar terhadap kondisi-kondisi yang menjadi kepentingan politik bagi kelancaran investasi swasta untuk mencapai tujuanekonomi, pada saat yang sama pemerintah harus pula melakukan bargaining terhadap dukungan politikrakyat sebagai persetujuan publik terhadap program pemerintah.
Semua tawar menawarkan (bargaining advantage) dijelaskan oleh Kantor (1997) bahwa, penguasa(regime) dalam memperoleh dukungan dilatari oleh bervariasinya komunitas lokal dalam kondisi-kondisi.Terakhir adanya variasi antara beberapa daerah dalam hal lingkungan antar-pemerintah. Faktor lain yang dapat mempengaruhi regime adalah bargaining dalam proses investasi modal, yang dikaitkan dengan kondisi pasar serta sistem antar pemerintahan.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap regime menurut Kantor (1997), dalam penelitiannya yang berjudul The political Economy or Urban Regimes, A Comparative Perspective menemukan empat lingkungan bargaining yang berbeda :
1 Dirigiste. Dalam konteks ini daerah-dearah atau kota-kota menikmati posisi pasar dari lingkungan antar pemerintahan yang terpadu. Bargaining ini menghasilkan planner regimes dan distributor regimes.
2 Mercantile. Memungkinkan kota-kota atau daerah-daerah menikmati posisi pasar, namun lokalitas dukungan yang yang diberikan sangat lemah antar pemerintahan dan bersaing secara intensif demiinvestasi modal. Sistem ini menghasilkan bargaining yang mengarah pada politik regime badan usaha bebas (regime free enterprise) dan komersial regime.
3 Dependent publik mengalami perekonomian yang lemah, namun mampu memanfaatkan sumber-sumber substansial dan akses yang diberikan oleh pemerintahan pusat atau regional.danmempertahankan inisiatif dengan organisasi partai atau publik, sehingga bargaining sering bersifat inter pemerintahan. Dependent publik ini memiliki grantsman dan clientelist types.
4 Dependent privat adalah bargaining yang paling tidak menguntungkan. Dalam konteks ini daerah-daerah menghadapi dua kelemahan yaitu posisi pasar dan network antar pemerintahan substansial. Sistem ini memungkinkan kota atau daerah memiliki sedikit pilihan dan sebaliknya menempatkan inisiatif dengan bisnis, sehingga menghasilkan radikal regime dan vendor regime.

Dari empat tipe lingkungan barganing di atas yang mengacu pada kondisi demokrasi memunculkan pemberdayaan regime yang berbeda dalam hal koalisi dominasi pemerin-tahannya, cara kerja sama publik privat-nya dan agenda-agenda dominannya. Penelitian yang dilakukan Kantor tersebut melahirkan regime yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi lokasi dimana penelitian dilakukan.
Menurut Budiman (1987), rezim otoritas dan totalitas didukung oleh teori psikologis, yangmenyoroti kekuasaan dari analisis psikologi individual menyatakan bahwa fasisme atau lazimnya disebutkekuasaan (regime) adalah sebagai akibat kehancuran hati nurani, depresi dan keracunan warga akibat perang, maka kesadaran akan pentingnya kemerdekaan jadi berkurang. Kedua oleh teori kebudayaan yang menyoroti kekuasan dalam masyarakat peralihan dari feodalisme ke moderenisme, dari kolektifisme ke individualisme. Mattulada dalam menjelaskan kebudayaan politik membagi masyarakat menjadi tiga lapisan, kelompok penguasa yang memegang jabatan dan kelompok rakyat jelata yang biasanya menurut saja kepada atasan. Ketiga didukung oleh teori sosio historis atau struktural historis lebih melihat kepada kekuatan-kekuatan dan kepentingan kelompok-kelompok masyarakat (Hadad, 1979).Timbulnya kekuasaan atau fasisme dalam masyarakat, karena kelompok yang seharusnya dominangagal untuk menegakkan hegemoninya atas kelompok-kelompok lainnya. Pertentangan antara kelompok yang seharusnya dominan melawan kelompok yang semakin kuat tetap dibiarkan, kemungkinan sistem yang ada akan hancur.
Dominasi negara dan kekuasaan rezim yang digambarkan oleh kedua pakar tersebut dapat dikatakanbahwa segala kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintahan Orde Baru merupakan bargaining antara Pemerintahan Orde Baru dengan para tehnokrat dan pihak pebisnis mengaki-batkan pemerintah terpaksamelindungi mitranya terhadap tindakan yang bersifat antisipatif yang muncul dalam masyarakat, sehingga hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat tidak jelas batas-batasnya. Dari sinilah munculnya persoalanotonomi daerah dan desentralisiasi.
Di antara pakar ada yang memahami otonomi daerah hanya sebagai pelimpahan wewenang kepada daerah untuk menyelenggarakan salah satu bagian kegiatan pemerintahan, seperti yang dikemukakan Hoessein (1998), bahwa otonomi daerah adalah memberikan sebagian kekuasaan pemerintahan oleh sekelompok yang berkuasa di pusat kepada kelompok lain yang masing-masing memiliki otoritas di samping merupakan hak dan wewenang daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Seperti Lemieux yang dikutip oleh Zuhro (1998), menyatakan bahwa otonomi daerah sebagai suatu kebebasan untuk mengambil keputusan sendiri, baik keputusan politik maupun keputusan administrasi dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan. Sedangkan menurut Koswara (1999), hakekat otonomi daerah itu adalah sebagai perwujudan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan merupakan penerapan konsep areal devision of power yang membagi kekuasaan suatu negara secara vertikal menjadi kekuasaan “pemerintahan pusat” dan “pemerintahan daerah”. Sedang di lain pihak otonomi daerah diistilahkan oleh Kjellberg (1995) local “selfgevernment“. Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam otonomi daerah terdapat three sets of values, how ever, are generally perceived to be essential to it : liberty, or otonomy, democracy or partisipation and effeciency.
Pertama, otonomi sebagai nilai utama dari teori localself-government, dimaknai sebagai suatu konsep freedom from something kepada freedom to do something, atau local autonomy became an instrument for the realization of communal interests. Kedua, bahwa partisipasi atau demokratis berarti untuk memperkuat demokratisasi dalam masyarakat diperlukan adanya partisipasi aktif masyarakat itu sendiri.
Dengan demikian reaktualisasi otonomi daerah memerlukan kebebasan sebagai suatu ekspresi darikebebasan rakyat, sebagai pengurangan intervensi pemerintah, sebab menurut Hughes (1994), hal-hal yangdinilai negatif dari peran pemerintah dalam urusan masyarakat adalah karena kekuatannya. Sementara itu Abdul Wahab (1999a), menyatakan sifat pemerintah adalah intervensionis dalam pelayanan publik dan Kingsley (1996), mensinyalir peran besar pemerintah sering kaku, inefisien dan sering korup. Begitu jugaToune (1995), menyatakan ada empat hal dalam otonomi daerah yaitu terbentuknya lembaga lokal yangrepresentatif; adanya sumber-sumber keuangan lokal yang memadai dan adanya tanggungjawab administratifpemerintah daerah dalam bidang keamanan, kesejahteraan sosial dan pembangunan ekonomi, serta adanyakebebasan untuk mengambil inisiatif serta personil yang berkualitas untuk mampu melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan lokal secara layak (Tordoff, 1994).
Dengan demikian otonomi daerah bukan hanya sekedar reorientasi para-digma self local government menjadi self local governance sebagaimana yang dinyatakan Stoker (1998), melalui teori governance, melainkan juga harus ditindaklanjuti dengan restrukrisasi pelaksanaan otonomidaerah yang sarat dengan nilai-nilai kebebasan (liberty), partisipasi, demokrasi, akontabilitas dan efisiensi, (Kjellberg, 1995 dan Kinsley, 1996).
METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif (naturalistik). Data penelitian ini bersifat kualitatif serta situasi lapangan bersifat natural, wajar dan apa adanya (natural setting), tanpa dimanipulasi atau tanpa diatur dengan eksprimen dan tes (Nasution, 1992).
Penelitan kualitatif di sini dimaksudkan untuk mengungkapkan makna dan proses dari faktor-faktor yang berhubungan dengan Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat, terutama dalam rangkamenemukan persepsi aparatur Pemerintahan Daerah dan masyarakat terhadap sistem pemerintahanyang terendah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Fokus penelitian ini 1) Struktur sosial masyarakat Minangkabau yang terdiri dari sistem pemerintahan (kelarasan) adat Minangkabau dan hukum adat Minangkabau; 2)Sistem otoritas tradisonalMinangkabau dalam kaitannya dengan otonomi daerah; 3)Persepsi aparatur pemerintahan dan masyarakat terhadap Pemerintahan Nagari dalam prospek otonomi daera; 4)Peluang dan tantangan Pemerintahan Nagari dalam otonomi daerah.
Lokasi dan Situs Penelitian. Dengan memperhatikan bagian-bagian daerah di Minangkabau yaitu terdiri dari ranah darek atau Luhak nan Tigo dan ranah rantau, maka lokasi penelitian ini mengambil tiga desa dari tiga kenagarian yang dijadikan sampel yang mewakili kedua bagian daerah tersebut. Pengambilan lokasi penelitian dilakukan secara purporsive, yaitu Desa Ampang Gadang diKenagarian VII Koto Talago Kabupten 50 Kota dan Desa Sungai Jambu di Kenagarian Sungai JambuKecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar yang mewakili daerah Luhak Nan Tigo dan satu desa yang mewakili daerah rantau. Desa ketiga yang dijadikan lokasi penelitian adalah Desa Pasa Usang diKenagarian Kayu Tanam Kecamatan 2 X 11 Enam Lingkung Kabupaten Padang Pariaman yang mewakili daerah rantau dekat.
Data dari informan aparatur pemerintah diperoleh di kantor masing-masing sedangkan data dari informan masyarakat dalam penelitian ini diperoleh dalam suasana kekeluargaan dan keakraban,sehingga peneliti dapat menemui informan dimana saja, tidak melihat tempat yang khusus bisa dirumah, di kedai (warung) ataupun di masjid. Begitu juga dengan waktunya ada wawancara tersebut dilakukan pada malam hari dan bahkan pagi hari sewaktu minum pagi di kedai, sesuai dengan keinginaninforman.
Sumber data. Sebagai key informan dalam penelitian ini adalah Sekretaris LKAAM Sumatera Barat. Dari beliau ini diperoleh keterangan bahwa peneliti perlu menemui informan lain seperti Ketua-Ketua KAN, para mantan Wali Nagari (bekas Kepala Desa sebelum berlakunya UU No. 5/ 1979) dan tokoh informal seperti tokoh masyarakat adat yang disebut sebagai penghulu serta anggota masya-rakat yang memahami seluk beluk sistem pemerintahan nagari. Sedangkan informan dari pihak pemerintah adalah Kepala Bagian Pemerintahan Desa, Camat dan Kepala Desa. Informan-informan tersebut di atas diseleksi melalui teknik snowball sampling berdasarkan penguasaan mereka terhadap persoalan yang sedang diteliti, yaitu data berupa keterangan, cerita atau kata-kata yang bermakna untuk mengungkap persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap Pemerintahan Nagari (Bogdan & Taylor, 1993). Sumber data lainnya adalah dokumen dan observasi.
Analisis data dilakukan secara terus menerus sepanjang penelitian dilaksanakan dengan menggunakan interactive model of analysis. Peneliti bergerak pada tiga komponen, yaitu data reduksi (reduction data), data display, dan Conclucying drawing (Miles & Huberman, 1992 & Sutopo,1988). Dalam model ini peneliti tetap bergerak di antara tiga komponen analisis, kegiatan pengumpulandata, selama proses pengumpulan data berlangsung, dan juga sesudah pengumpulan data selesai denganmenggunakan waktu yang tersisa bagi penelitian ini.
TEMUAN PENELITIAN dan PEMBAHASAN
1. Struktur Masyarakat Minangkabau Adalah Bertingkat-tingkat Dengan Pemerintahan Adat yangDemokratis Berdasarkan Sosio Kultural dan Adat Istiadat Minangkabau
Struktur masyarakat Minangkabau berbeda dengan struktur masyarakat lain di Indonesia, karena struktur masyarakat Minangkabau yang memiliki kekhasan dan keisti-mewaan yaitu bertingkat-tingkatmulai dari suku, kaum dan yang terendah adalah jurai atau paruik (perut) yang memiliki adat istiadat yang khas dan istimewa pula. Suku menurut para informan merupakan mereka yang dilahirkan dari seorangniniek (ibu dari nenek). Sistem keturunan seperti ini disebut sistem matrilinial.
Setiap kelompok matrilinial memiliki pemimpin masing-masing mulai dari tungganai (mamak, saudara laki-laki ibu) yang memimpin rumah gadang (satu nenek), penghulu kaum atau penghulu suku yang biasanya bergelar datuk. Setiap tingkat dalam masyarakat Minangkabau tersebut memiliki harta sertitanah yang bersifat bersama (komunal) yang diwarisi secara turun menurun dan tidak boleh dijual atau digadaikan kecuali diperboleh menurut hukum adat, yang disebut pusako (harta pusaka). Sekalipun anak laki-laki tidak menerima warisan, mereka tetap menerima penghargaan sebagai warisan yang disebut dengan sako yaitu harta non-material seperti gelar kepenghuluan dan harta yang diperoleh dari pekerjaan orang tuanyayang disebut harta suarang (gono gini) yang boleh diwarisi oleh semua anak.
Diketahui bahwa masyarakat Minangkabau dibentuk oleh persekutuan sosial yang berdasarkan adat istiadatnya. Oleh sebab itu Pemerintahan Nagari yang memiliki karakteristik berdasarkan budaya adat istiadat Minangkabau sangat mendominasi pola perilaku anggota masyarakat, baik perilaku individu dengan masyarakatnya maupun perilaku masyarakat dengan pemerintah.
Terbentuknya persekutuan hukum adat tersebut melalui proses sosial yang lama untuk menjadi sebuah desa. Menurut Soemardjan (1992) proses tersebut melalui pembukaan hutan oleh suatu keluarga atau beberapa kelompok keluarga (manaruko, Minangkabau), untuk ditempati selama-lamanya. Masyarakat hukum adat Minangkabau terbentuk melalui beberapa tahap dengan waktu yang sangat lama mulai dari taratak menjadi dusun yang berkembang menjadi koto dan akhirnya menjadi suatu nagari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persekutuan masyarakat hukum adat Minangkabau yang terhimpun dalam masyarakat Nagari hidup bersuku, berkaum, berkampung dan bernagari merupakan organisasi sosial yang telah lama ada dan berkembang sejalan dengan organisasi sosial masyarakat lainnya. Fagan yang dikutip Manan (1995) menyatakan bahwa organisasi sosial masyarakat manusia melalui tahap-tahap perkembangan yaitu masyarakat suku (band), masyarakat rumpun (tribe), masyarakat pimpinan tunggal (chiefdom) dan masyarakat yang diorganisasi sebagai negara (state).
Matullada mengemukakan bahwa dalam kehidupan masyarakat Nusantara dikenal adanyakelompok masyarakat yang disebut “kaum” atau anang (Bugis) atau marga (Batak) yang anggotanyaterikat satu sama lain oleh hubungan kekerabatan yang ketat. Tiap-tiap warga kaum dianggapmempunyai hak dan kedudukan yang sama, sedangkan kepala kaum tidak mempunyai kelebihan hak atas warganya. Kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan merupakan dasar-dasar pokokkelangsungan kaum dalam persekutuan (Mahfud, 2000). Ditinjau dari struktur masyarakat, makapersekutuan hukum adat dapat dibedakan atas tiga sifat yaitu yang bersifat tunggal (desa di Jawa), yang bersifat bertingkat (Nagari di Minangkabau) dan yang bersifat berangkai-rangkai (Soekanto, 1983).
Kato (1977), mengemukakan empat ciri-ciri pokok sistem materilinial di Minangkabau; kekerabatan dan pembentukan kelompok kerabat disusun berdasarkan garis keturunan ibu; sebuah kelompok kekerabatanmerupakan sebuah koorporasi; pola tempat tinggal bersifat duolokal dan otoritas berada di tangan mamak(penghulu). Penelitian Beckmann (2000), juga menyimpulan bahwa dalam masyarakat Minangkabau dewasaini tidak ada bukti kontinuitas sistem matrilineal akan diganti oleh sistem sosial yang lain. Pusako seperti tanah merupakan salah satu sendi utama sistem matrilineal masih dimiliki dan diwariskan melalui garis ibu.
Interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat Minangkabau adalah sifatnya lebih akrab di dalam kekerabatannya yang jelas tampak dalam perekonomian, masyarakat Minangkabau, karena mengutamakan kehidupan tolong menolong dalam kebersamaan yang diungkapkan bahwa adat hiduptolong menolong adat mati layat melayat adat ada beri memberi adat tidak pinjam meminjam kabarbaik dihimbaukan buruk berhamburan
Nagari di bawah penghulu dalam perkembangannya juga dipengaruhi oleh budaya luar yangdatang ke Minangkabau seperti budaya Hindu dan budaya Islam. Nagari yang dipengaruhi budayaHindu bersifat otokratis dan bercampur dengan sifat tradisional masyarakat yang telah ada, pada akhirnya melahirkan kelarasan (pemerintahan) Koto Piliang. Sedangkan Nagari yang tidak dipengaruhi budaya Hindu melahirkan kelarasan Bodi Caniago. Sekalipun ada perbedaan antara kedua kelarasan tersebut, tetapi tidaklah begitu prinsipil, hanya terletak pada permusyawaratan untuk menetapkan keputusan.
Pada kelarasan Koto Piliang menurut Dt. Mangkuto Marajo keputusan yang diambil bersifat titiak dari ateh (top down) dengan asas bajanjang naiak batanggo turun. Artinya sekalipun keputusan itu telah ditetapkan oleh pucuk nagari bukan berarti langsung dapat dilaksanakan, tetapi dikembali dimusyawarahkan pada level terbawah seperti pada kerapatan suku yang disebut dengan istilah diindang ditampi tareh (disaring). Sedangkan dalam kelarasan Bodi Caniago berlaku azas tuah sakato, cilako basilang, dengan sifat mambasuik dari bumi (bottom up) yang terkesan lebih demokratis.
Penetapan keputusan dalam sistem Koto Piliang yang demikian mendapat tanggapan dari beberapa penulis tentang Minangkabau bahwa Nagari dalam sistem pemerintahan adat Koto Piliangbertipe kerajaan (aristokrasi). Dalam istilah Harun Al Rasyid, disebut sebagai kerajaan konfederasimini, karena dikenal dengan adanya penghulu pucuk sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam Nagari yang dijabat secara turun menurun menurut garis keturunan (Pador, 1990). Pendapat yang demikiandibantah oleh Heldred Geertz (Luth, 1981), karena istilah demokratis dan otokratis itu dalam alam Minangkabau tidak tepat, karena dalam sistem ketatanegaraan tradisional Minangkabau tersebutsemua keputusan ditetapkan secara musyawarah dan mufakat.
Sekalipun kedua kelarasan tersebut berbeda, tetapi tidak substansial karena keduanya jugamengenal Kerapatan Nagari dan penghulu sebagai pemimpin sangat mereka segani, karena kehadirianpemimpin yang mendasari dirinya dengan rasa takut tidak akan sanggup memenuhi fungsinya untuksecara persuasif mengajak masyarakat bekerja, memimpin masyarakat dan memotivasi mereka untukmenemukan nuansa baru agar tercapai kemajuan masyarakat itu sendiri (Imawan, 1996).
Struktur massyarakat Minangkabau tersebut secara keseluruhan diatur oleh hukum adatnya yaitu pertama Adat Nan Sabana Adat (adat yang sebenar adat) yang terdiri dari: .Silsilah keturunan menurut jalur garis ibu yang lazim disebut garis keturunan matrilinial. .Perkawinan dengan pihak luar persekutuan (eksogami) dan suami bertempat tinggal di lingkungan
istri (matrilokal. .Harta pusaka tinggi yang diperoleh secara turun menurun menjadi milik bersama tidak boleh diperjual-belikan kecuali dibenarkan oleh adat itu sendiri. .Falsafah alam takambang jadi guru dijadikan landasan utama pendidikan alamiah dan rasionalserta menolak pendidikan mistik dan irrasional.
Keempat bagian dari adat nan sabana adat tersebut dinamakan tonggak tua adat Minang. Kedua Adat Nan Diadatkan (adat yang diadatkan) norma-norma yang mendasar sebagai warisan budaya yangdijadikan sebagai peraturan hidup bermasyarakat orang Minangkabau secara umum dan sama-sama berlaku dalam Luhak Nan Tigo. Ketiga Adat Nan Teradat adalah kebiasaan seseorang dalam kehidupan masyarakat yang boleh ditambah dan dikurangi ataupun ditinggalkan sama sekali, selama tidak menyalahi landasan berfikir orang Minang atau kebiasaan-kebiasaan yang hanya berlaku pada suatuNagari. Keempat Adat Istiadat merupakan kelaziman masyarakat suatu Nagari yang tidak bertentangan dengan tiga adat di atas.
Dari uraian di atas dapat dikatakan tingkatan pertama yakni Adat Nan Sabana Adat mempunyai dayalentur yang rendah, artinya sulit untuk diubah, sedangkan yang paling tinggi daya lenturnya adalah tingkatan adat yang keempat yaitu adat istiadat.
2. Persepsi Aparatur Pemerintah dan Masyarakat Terhadap Pemerintahan Nagari Di Minangkabau dalam Kaitannya dengan Prospek Otonomi Daerah bahwa Otoritas Tradisional MinangkabauMenunjukkan Kepemimpinan yang Bersifat Demokratis dan Populis Dalam Pemerintahan Nagariyang Otonom, karena Antara Pemerintah dan Anak Nagari Secara Adat Adalah Sama.
Dalam struktur sosial penghulu menempati posisi tertinggi di Minangkabau sebagai pemegangotoritas yang terdapat di tingkat suku hingga tingkat nagari. Penghulu merupakan pucuk pimpinan yang dihormati masyarakatnya sesuai dengan pepatah yang berbunyi didahulukan salangkah, ditinggikan sarantiang, duduak samo randah tagak samo tinggi (seseorang dalam kedudukannya sebagai pemimpindalam masyarakat agak ditinggikan hanya satu ranting dan didahulukan hanya satu langkah, namun padahakekatnya mereka adalah sama). Dengan demikian otoritas yang dimiliki oleh para penghulu dengan kelompok yang dikuasai tidak mempunyai jarak. Di sisi lain legitimasi adat terhadap kekuasaan penghulu adalah sangat penting dalam menunjuk seorang penguasa/ pemimpin.
Otoritas yang dimiliki orang Minang tidaklah mudah dilaksanakan dalam masyarakat, karena kepadapemimpin selalu diingatkan agar selalu berhati-hati sesuai dengan ungkapan tradisional yang berbunyi ingek-ingek nan di ateh kok nan di bawah ka maimpok, tirih kok datang dari lantai, galodo kok datang dari muaro(pemimpin yang di atas harus ingat-ingat masyarakat yang di bawah bisa menentang, bocor nanti bisa datangdari lantai, terban itu nanti bisa dari muara). Sejalan dengan itu diiringi lagi dengan petuah lain bahwa raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah (raja adil raja disembah, raja zalim raja dibantah).
Menurut Dobbin sebagaimana yang dikutip Manan (1995) struktur sosial yang menempati posisitertinggi di Minangkabau adalah penghulu. Otoritas ini terdapat baik di tingkat suku maupun pada tingkat nagari (the penghulu was the personification of authority in the suku, and therefore in the Nagari, recognizeshigh rank in the Minangkabau social structure). Dengan demikian penghulu sangat dekat dengan anak kemanakannya, karena penghulu ada pada keluarga yang disebut mamak dan ada pada setiap suku, kaum dannagari. Oleh sebab itu dalam otonomi dibutuhkan personil yang berkualitas untuk mampu melaksanakan pemerintahan lokal yang layak (Tordoff 1994).
Pada masyarakat Minangkabau fenomena otoritas atau kekuasaan tersebut dapat terlihat dalam bentuk yang nyata pada sistem Pemerintahan Nagari (de Jong, 1960; Kato, 1989), yang dipandang sebagai republik mini yang otonom. Menurut Lewis dalam Manan (1995) dalam sistem republik unit-unit politik ada secara kontinu dan anggota-anggotanya dipandang sebagai warga. Juga dalam sistem republikbeberapa ketentuan tetap diikuti seperti pemilihan pemimpin dan tugas-tugas pemimpin dengan jelas ditentukan. Pemimpin yang gagal diganti dan jabatannya terbatas serta pejabat adalah pelayan masyarakat. Ketentuan-ketentuan seperti ini dalam pemerintahan lokal dijalankan oleh Pemerintahan Nagari.
Adrain (1995) menegaskan, pemimpin di Minangkabau tidak terkristal sebagai mitos raja yang dipertuan dalam masyarakat, mengakibatkan dalam sejarah Minangkabau tidak terpusatnya kekuasaan, karenakerajaan di Minangkabau tidak berkembang sebagai negara kebangsaan (nation state) dalam arti modern ataudengan pengertian lain, kerajaan di Minangkabau belum memiliki birokrasi penuh seperti suatu negara (full-fledged bureaucracy), tetapi hanya dapat dikatakan sebagai cikal bakal dari birokrasi modern atau sebagaiincipient of modern legal bureaucracy authority (Manan; 1984). Dalam Pemerintahan Nagari diMinangkabau, otoritas tersebut memperlihatkan kecenderungan menjauhkan diri dari pusat (centrifugal tendency) dan sifatnya yang terpencar, memecah (tribal) dalam beberapa Nagari (Naim, 1990).
Sehubungan dengan itu Rasyid (2000) mengatakan aparat pemerintah harus mampu berperan tidakhanya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, tetapi juga mampu mencegah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Hal itu pernah diungkapkan oleh Catheryn S. Hudson yang dikutip Soenarko (2000), sebagai berikut: “Every public administrator must keep his ears open to hearthe voice of the people as they express their changing needs.” (Setiap pejabat pemerintah haruslahmembuka telinganya lebar-lebar untuk mendengarkan suara hati rakyat sesuai dengan kebutuhan-kebutuhannya itu). Di lain pihak Tjokrowinoto (1996), menyatakan bahwa pembangunan untuk mewujudkan desa yang mendiri menuntut perubahan total sikap birokrasi baik sebagai penguasa,ataupun patron dirubah menjadi fasilitator yang berfungsi untuk menciptakan kondisi dan lingkunganyang dapat mengembangkan potensi desa.
Secara umum ada tiga tingkatan jabatan penghulu dalam masyarakat Minangkabau yang pertama yaitu penghulu suku. Penghulu yang memimpin suku atau penghulu pucuk menurut kelarasan Koto Piliang atau penghulu tua menurut kelarasan Bodi Caniago. Kedua, penghulu payung. Penghulu ini menjadipemimpin terhadap warga suku yang telah membelah diri dari suku pertama, akan tetapi ia tidak boleh menjadipenghulu pucuk. Ketiga penghulu Indu yaitu penghulu yang menjadi pemimpin dari warga suku yang telahmembelah diri dari kaum sepayungnya.
Dengan kemajuan yang semakin pesat, maka kehidupan masyarakat juga semakin kompleks, makaberubah pula pandangan masyarakat terhadap orang yang dipandang sebagai tokoh. Tokoh tersebut dipengaruhi oleh tiga unsur yaitu tokoh adat sebagai penghulu, tokoh agama sebagai alim ulama dan tokoh ilmu lainnya yang dipandang sebagai tokoh cerdik pandai. Kemudian terbentuk dalam konfigurasi kepemimpinan yang disebut tungku tigo sajarangan yaitu penghulu, alim ulama dan cerdik pandai, dan dalam perkembangannya anak nagari terikat oleh tiga macam hukum yang disebut tali tigo sapilin yaitu hukum adat, hukum Islam dan hukum supra/luar nagari.
3. Persepsi AparaturPemerintah dan Masyarakat Terhadap Pemerintahan Nagari Di Minangkabau Dalam Kaitannya dengan Prospek Otonomi Daerah Menunjukkan bahwa Pemerintahan Nagari Sebagai Pemerintahan yang Terendah di Minangkabau Adalah Eksis,Diakui dan Tidak Terpengaruh Oleh Supra Nagari
Selanjutnya dalam penelitian ini ditemukan bahwa eksistensi nagari atau “desa” (tanda petikuntuk membedakan desa baru berdasarkan UU No. 5/1979) tetap diakui dalam beberapa peraturanperundang-undangan sebelum dan sesudah Indonesia merdeka, sampai diberlakukannya UU No. 5/1979.
Nagari itu sendiri berasal dari bahasa Sanskrit, dalam bahasa Indonesia berarti “kota - Ibu Kota”, “Istana” dan “Negara” atau “Kerajaan”, sehingga di Minangkabau Nagari sering disebut “republikkecil”. Berbeda dengan “desa” yang juga bahasa Sanskrit menurut Geertz yang dikutip Manan (1995) berarti daerah pinggiran atau tempat yang diperintah oleh suatu kekuasaan di luar desa.
Nagari dan Pemerintahan Nagari beserta kepemimpinannya di Minangkabau merupakan pengayom bagi anak nagari (warga), karena dalam Pemerintahan Nagari semua masalah atau persengketaan yang dihadapimasyarakat dapat diselesaikan dalam kerapatan yang ada dalam masyarakat nagari kusuik manyalasaikan, karuah manjaniahkan. Pemerintahan Nagari sifatnya adalah mandiri otonom, artinya menurut adat para pemegang kekuasaan atau otoritas itu tidak bisa sewenang-wenang terhadap masyarakat
Di Minangkabau selama Pemerintahan Belanda bentuk struktur desa yang dinamakan nagari dipimpinoleh seorang penghulu beserta dewan penghulu, Belanda dalam mengatur pemerintahannya hanya sampaipada tingkat kecamatan. Dengan demikian Pemerintahan Nagari tetap eksis selama masa PemerintahanBelanda. Eksisnya Pemerintahan Nagari diakui secara juridis prinsipil yang tercantum pada peraturan HindiaBelanda seperti Regering-reglement (RR) Indische Gemente Ordonantie (IGO) untuk Jawa dan Madura dan Indische Gemente Ordonantie (IGO) untuk luar pulau Jawa dan Madura (Wignjosoebroto, 1994).
Masyarakat Sumatera Barat tidak secara spontan menerima UU No.5/1979 tentang PemerintahanDesa, karena masyarakat Minangkabau menemukan kesulitan dalam menen-tukan pilihan apakah Nagariyang akan dijadikan desa atau Jorong, Padahal Jorong hanya sebagai pembantu tugas administratif Nagari. Terlambatnya sikap masyarakat Minangkabau menerima UU No. 5/1979, bukan karena masalah bantuanitu saja tetapi ada kekhawatiran masyarakat bahwa dengan bentuk pemerintahan yang tidak sesuai dengannilai-nilai masyarakat Minangkabau sendiri apakah tidak akan terjadi perpecahan dalam masyarakat.
Penentuan sikap untuk melaksanakan UU No. 5/1979 tersebut baru bisa ditetapkan tahun 1981 dengan Perda No. 7/1981 tentang Pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan desa dalam Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat. Kemudian dengan SK. Gubernur tanggal 28 Juli 1983 No.162/GSB/1983, tamatlah riwayat tentang Nagari sebagai suatu sistem pemerintahan di Sumatera Barat.
Selanjutnya untuk menentukan kedudukan Nagari dikeluarkan Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat tanggal 13 Agustus 1983 No. 13/1983 tentang Nagari sebagai masyarakat hukum hukum adat yang pelaksanaannya dilakukan KAN dengan pertimbangan bahwa : a) Dengan dihapuskannya fungsi Nagari dalam pemerintahan Propinsi Sumatera Barat, maka perlu
diatur kedudukan, fungsi dan peranan Nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang hidup dalam Propinsi Sumatera Barat. b) Nagari di daerah Sumatera Barat yang tumbuh dan berkembang sepanjang sejarah, telah memberikansumbangan yang sangat berharga terhadap kelangsungan kehidupan masya-rakat, perjuangan
kemerdekaan dan pembangunan di daerah Sumatera Barat tidak dapat diabaikan baik dalam bidang
politik, ekonomi, sosial budaya atau pertahanan keamanan.
Hubungan antara Nagari dengan Pemerintahan Desa adalah bersifat konsultatif. Artinya keputusanyang ditetapkan oleh KAN adalah sebagai pedoman bagi kepala desa dan sebaliknya bila dianggapperlu kepala desa/kelurahan dapat memberikan pendapat kepada KAN. Hal ini mengakibatkan terjadidualisme pandangan dalam masyarakat. Disatu pihak masyarakat berhubungan dengan pemerintahan desa yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat formal dan dilain pihak juga berhubungan dengan lembaga Kerapatan Adat Nagari yang berkaitan dengan adat istiadat dan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat Minang.
Keadaan dualisme antara Pemerintahan Desa dengan KAN tetap berlanjut selama PemerintahanOrde Baru membawa banyak masalah dalam lingkungan Nagari di Sumatera Barat, karena antaraNagari dan Desa bukan hanya sekedar gambaran dikatomis melainkan sekaligus polaristir dari dua sistemdan dua kutub filosofis yang berbeda, sehingga bukan hanya perubahan nama tetapi juga perubahansistem, orientasi dan filosofisnya.
Semua Perda yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Sumatera Barat mulai dari pengaturan tentang struktur Pemerintahan Nagari sampai pengaturan tentang peradilan adat dan peradilan agama,sehingga pada prinsipnya Pemerintahan Nagari tersebut digambarkan sebagai suatu negara yang demokratis. Oleh sebab itu Pemerintahan Nagari merupakan pemerintahan yang menganut asas desentralisasi, bahkan peneliti-peneliti asing mengatakan bahwa nagari itu sebagai republik-republik kecil(Kato, 1989; Soemardjan, 1992).
Mencermati persepsi nara sumber yang menyatakan bahwa keadaan pemerintah yang demikianmemaksa para pemimpin nagari selalu mengikutsertakan anak nagari dalam proses pengambilan keputusan berasas musyawarah untuk mufakat dalam rangka menentukan alternatif terbaik guna pemecahan masalah-masalah yang timbul dalam Pemerintahan Nagari Pendekatan atau prosedur“dari bawah ke atas” atau bottom up approach seperti inilah yang menonjol dalam sistem pemerintahan"desa" yang otonom dan demokratis (Conyers, 1994; Cambers, 1988), yang memiliki perhatian terhadappentingnya partisipasi atau melibatkan rakyat secara langsung dalam stiap kegiatan pemerintah.
Dari beberapa informan yang ditemui di lapangan memberikan persepsinya terhadap perubahan sistempemerintahan terendah dari Pemerintahan Nagari ke Pemerintahan Desa di Sumatera Barat, dapat disimpulkanbahwa telah terjadi perubahan yang mendasar dalam struktur masyarakat Sumatera Barat, sehingga banyakmenimbulkan ekses yang luas terhadap sosio-kultural masyarakat Minangkabau, diantaranya adalah : a) Timbulnya disintergrasi dalam kehidupan masyarakat hukum seperti lemahnya hubungan
kekerabatan antara anak dan kemenakan, atau antara suku yang sama dengan desa yang berlainan. b) Kurangnya dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan pembangunan karena terpecahnya kehidupanmasyarakat hukum adat, sehingga sulit untuk menggerakkan partisipasi masyarakat. c) Lemahnya peran Ninik Mamak yang tergabung dalam lembaga tungku tigo sajarangan, karena fungsi-fungsinya telah dijalankan oleh Kepala Desa beserta LMD/LKMD-nya, seperti dalam pemberian penegasan hak atas tanah, perkawinan, perceraian, dan persengketaan yang terjadi dalam masyarakat.
Setidak-tidaknya pemerintahan desa telah mengandung dua penyakit, yaitu terjadi dekulturisasi yang dapat menghilangkan identitas ke-Minang-an orang Minang dalam Nagari, dan suburnya pola birokrasi yang menciptakan kecen-derungan pemerintahan negara dan pemerintahan oleh pemerintah.
Persepsi masyarakat yang ditemui dalam penelitian ini menyatakan bahwa pada masa bernagari,partisipasi masyarakat cukup tinggi sehingga dikatakan sistem pemerintahan waktu itu adalah mambasuik dari bumi (bottom up). Pemerintahan seperti itu dikatakan oleh Winarno (1991), sebagai pendekatanpopulistik bahwa masyarakat desa pada dasarnya tertarik pada perubahan-perubahan dan mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kondisi-kondisi hidup mereka, bila para tehnokrat dan politisi tidakmelakukan campur tangan.
Pendekatan populistik dan paternalistik ini terlihat dengan jelas dalam sistem Pemerintahan Desa.Di Sumatera Barat yang dikembangkan dengan konsep Manunggal Sakato dalam pembangunan masyarakat desa, yang intinya adalah kegiatan gotong royong menimbulkan keengganan masyarakat untukberpartisipasi.
Semua pendekatan-pendekatan di atas baik pendekatan populistik dan paternalistik maupunpendekatan top-down dalam masyarakat masih dibutuhkan, meskipun tidak dapat dikatakan sangat dibutuhkan, karena pendekatan-pendekatan masih tetap diperlukan, karena menurut Dusseldorp,(1986), wawasan masyarakat selalu terbatas untuk mencapai pembangunan yang merata. Oleh sebab ituperanan pemerintah nasional tetap diperlukan.
Hasil temuan penelitian yang lain mengatakan bahwa selama berdesa nilai-nilai, adat istiadat serta norma-norma ke-Minang-an sudah terasa menghilang dalam kehidupan masyarakat. Padahal masalah iniadalah sangat urgen dalam Pemerin-tahan Nagari. Untuk menegakkan kembali adat istiadat dan nilai-nilai tersebut para informan sependapat bahwa hidup bernagari peran serta lembaga informal tungku tigo sejarangan sangat menentukan, akan tetapi untuk mencapai cita-cita tersebut membutuhkan waktu.
Keikutsertaan masyarakat dan lembaga-lembaga tradisional dalam konsep desen-tralisasi danotonomi yang disebut sebagai “community management”. Perpadukan antara manajemen model pemerintah dengan manajemen model lokal-tradisonal tersebut mengakibat pemerintahan harus bertindak sebagai fasilitator bagi pemanfaatan manajemen lokal-tradisional yang dicampur dengannuansa demokrasi dan membuka akses masyarakat lokal kepada masyarakat luas” (Wijaya, 1999).Keadaan seperti ini oleh Korten (1989) disebabkan masyarakat kurang memiliki wawasan baikyang bersifat nasional atau yang bersifat global, oleh sebab itu tugas pemerintah adalah memberiakses ke luar dan pada saat yang sama membangun demokrasi bersama masyarakat desa.
Hal tersebut sesuai cita-cita demokrasi dan kebersamaan yang didamba oleh semua masyarakatdalam prospek otonomi daerah, karena kesadaran yang demikian bisa dipandang sebagai nilai-nilaidemokrasi yang tumbuh dalam kehidupan bernagari di Sumatera Barat. Institusi tungku tigo sajarangan di sini tidak sama dengan lembaga yang memiliki konotasi organisasi. Douglas C. Northyang dikutip Marut (2000), menyatakan bahwa institusi tersebut merupakan aturan main dari suatu masyarakat atau batasan-batasan yang diciptakan oleh manusia. Institusi sosial ini mengikat individu-individu dengan komunitas atau organisasi dan mengatur perilaku dan interaksi sosial di dalamnya.
4. Peluang dan Tantangan Untuk Menghidupkan Kembali Pemerintahan Nagari Di SumateraBarat Cukup Berat Dalam Prospek Otonomi Daerah, karena Potensi-Potensi Nagari SebagaiHak Ulayat yang Mendukung Pemerintahan Nagari Tidak Jelas Posisinya Dalam Sistem Hukum Nasional
Keadaan geogarafis Sumatera Barat harus menjadi perhatian untuk menghidupkan kembali pemerintahan nagari di sumatera barat karena ada diantara jorong-jorong/desa-desa yang sangat jauh berurusan ke Kenagarian, sedangkan desa yang lama lebih dekat dengan kecamatan.
Di samping itu perkembangan penduduk yang semakin pesat dan tingginya mobililitas mengakibatkantumbuhnya pemukiman baru hampir pada setiap kota dan kabupaten di Sumatera Barat. Pemukimantersebut pada umumnya dihuni oleh orang Minang sendiri yang datang dari desa-desa, yang sudah pasti memiliki suku masing-masing. Pemukiman tersebut pada hakekatnya telah memenuhi syarat sebagai suatuNagari, hanya saja mungkin syarat-syarat bernagari tidak terpenuhi seluruhnya, sehingga harus disesuai dengan keadaan yang berkembang. Oleh sebab itu di kota sistem pemerintahan yang tertendah juga berbentuk nagari. Inilah kendalanya, karena di kota tetap berbentuk kelurahan (Keputusan Mendagri No.65/1999), maka masyarakat Minangkabau tetap terpecah.
Untuk mengatasi masalah tersebut sebenarnya telah diatur oleh hukum adat yaitu dengan prosesmalakok/menyandar (semisal naturalisasi) seperti kata petuah adat "tabang basitumpu, hinggokmancakam,"(terbang bersitumpu dan hinggap mencengram). Dengan demikian antara yang datang denganyang menerima tidak ada masalah. Di sinilah pentingnya hidup bernagari dengan Pemerintahan Nagaridi Minangkabau.
Kemudian yang juga dapat perhatian dari para informan adalah mengenai sumberdaya manusia. DiMinangkabau Sumatera Barat para tokoh masyarakat adat yang disebut penghulu mampu menjadi panutan dan pengayom bagi anak kemenakannya. Dengan sifat kharismatik”nya para penghulutersebut, maka mereka didudukkan sebagai pemimpin, baik pada masa pemerintahan adat maupun padapemerintahan Nagari.
Para penghulu pemangku adat sangat legitimate, karena diangkat berdasarkan musyawarah dengankapasitas yang sesuai, akan mampu memelihara komitmen sosial budaya nagari dan juga mampu untukmemelihara kekayaan nagari dan di bidang keagamaan implementasi adat bersandi syara’, syara’ bersandi kitabullah menjadi nafas kehidupan yang inheren dengan seluruh bidang kehidupan di Nagari. Oleh sebabitu kembali kepada nagari yang perlu dipertanyakan apakah para penghulu saat ini masih seperti tempo dulu ?
Para informan menjelaskan figur-figur yang akan menjadi Kepala Nagari mungkin tidak dari penghulu,tidak usah bernostalgia, tokoh yang diharapkan pasti ada, tetapi saat ini belum muncul kepermukaan. Belum bisa ditentukan, tapi menurut saya bila digaji seperti Kepala Kelurahan sekarang atau bisa saja pegawai negeritapi harus dipilih langsung oleh masyarakat.
Di sisi lain dari ketiga faktor di atas tersebut ada faktor lain yang tidak bisa dihindari dan harusdipertimbangkan untuk kelancaran Pemerintahan Nagari yaitu faktor adminstratif Nagari, tetapimasalah itu bisa dilakukan secara berangsur-angsur. Untuk kembali kepada Pemerintahan Nagari masalah urusan administrasi baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun yang akan dilalui oleh masyarakat harusditujukan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Jadi dengan Pemerintahan Nagari masalahbirokrasi tidak mempersulit masyarakat dan tidak berbelit.
Untuk membenahi masalah administarsi Pemerintahan Nagari memerlukan waktu, mau tidak mau kitaharus menunggu “petunjuk” juga dari Kerapatan Adat Nagari dengan pemerintah kabupaten atau daripropinsi. Oleh sebab itu hambatan yang menghadang terciptanya Pemerintahan Nagari adalah banyaknyaperaturan perundang-undangan yang harus dihilangkan atau direvisi serta berusaha untuk membersihkan sisa-sisa isme pemerintahan desa.
Faktor ekonomi merupakan faktor yang sangat vital dalam kehidupan manusia, baik sebagai pribadimaupun sebagai anggota kelompok. Tanpa faktor ekonomi ini masyarakat atau negara tidak akanmampu mencapai tujuan. Faktor ini merupakan faktor yang sangat penting dalam rangka menciptakan otonomi daerah, sedangkan Nagari di Minangkabau Sumatera Barat yang sangat minim dengan sumber daya alamnya, sekalipun sebelum berlakunya UU 5/1979 tentang Pemerintahan Desa, hakulayat nagari masih dikuasai oleh Nagari, tetapi saat ini semua hak nagari telah dikuasai negara atauoleh sekelompok orang.
Hidup bernagari juga harus ditopang dengan institusi sosial yang mapan, yang bisa dipandang sebagaisosial kapital dalam Pemerintahan Nagari yang disebut sebagai hak-hak ulayat, tetapi sejak berlakunya UU No. 5/1979 bahkan jauh sebelum itu UU No. 5/1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria, hak-hak ulayat masyarakat "desa" sudah dikuasai oleh negara.
Persepsi aparatur pemerintah dan masyarakat menunjukkan bahwa Pemerintahan Nagari harus dikembalikan, maka oleh sebab itu program revitalisasi harus bisa dilangsungkan, maka diperlukanpendekatan intensif, serius dan motologis agar “penyelamatan kembali sosial kapital” nagari memberikan hasilmaksimal. Dibayangkan akan ada proses bertahap dan terpadu dalam merekayasa ulang ujud nagari yanglegitimasinya menyeluruh serta diakui oleh segenap anak nagari, sehingga sesuai dengan revitalisasi nagaridalam konteks ke-kini-an (St. Majo Basa, 2000).
Hilangnya hak ulayat masyarakat hukum adat disebabkan konsep hukum dikuasai negara yangdiatur dalam UUD 1945 tidak jelas, sehingga melahirkan monopoli, menghalangi kompetisi danserta inefisiensi sumber daya, karena kekuasaan negara yang lebih besar dari kekuatan yang ada pada rakyat. Sisi lain dari dikuasai negara, bagaimana negara bertindak dan berbuat atas sumber dayayang dimiliki adalah untuk kepen-tingan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Berkaitan dengan masalah ini Wignjosoebroto (1998), menyatakan pengakuan oleh negara atas hakulayat masyarakat adat pada hakekatnya adalah suatu refleksi kesetiaan para pengemban kekuasaannegara untuk mengakui eksistensi masyarakat adat yang otonom. Kemudian dari pada itu juga mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah dan segenap sumber daya alam yang ada di atas atau di dalam tanah tersebut,yang bernilai vital untuk menjamin kelestarian fisik dan nonfisik masyarakat.
Menurut Kantor (1997), terjadinya hal yang demikian bagi negara-negara berkembang dipengaruhipolitik penguasa (regime politics). Demikian juga rejim Orde Baru memberikan kesempatan pada investoruntuk memanfaatkan sumber daya masyarakat, sehingga masyarakat hukum adat sudah kehilangan jatidirinya, karena dalam masyarakat Minangkabau hak ulayat merupakan aset yang menandakan mereka adalahorang Minang. Hak-hak yang ada dalam masyarakat Minangkabau boleh saja dinikmati oleh semua orangdengan ketentuan adat bahwa kabau tagak kubangan tingga, luluak nan sado tabaok dek badan, dijua indakdimakan bali, digadai indak dimakan sando (hak ulayat dalam masyarakat Minangkabau tidak boleh dijual dan digadaikan, jika dimanfaatkan oleh warga, maka yang dibawa hasilnya saja, sedang hak tersebut tetaptinggal pada pemiliknya yaitu masyarakat sendiri).
Jika memang negara mengakui hak masyarakat adat yang bersifat istimewa sesuai dengan asal usuldaerahnya, pengakuannya tentu harus mengacu pada kedau-latan persekutuan hidup setempat atas sumber-sumber daya alam yang menjadi sumber kehidupan simbolisdan realis masyarakat adat yang bersangkutan (Zakaria, 1998). Dalam hal ini, hak masyarakat adat atassumber daya alam terkait pada hak adat atas suatu wilayah tertentu.
Otonomi yang sedang diperjuangkan saat ini akan berhasil bila tercipta pemerintahan desa yangdemokratis dan populis, sehingga diperlukan persepsi dan aspi-rasi serta partisipasi masyarakat desa dengan mengikutsertakan institusi-institusi tradisional dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada,karena otonomi lokal menekankan nilai-nilai kebebasan, partisipasi, demokratis dan efisiensi, karenamenurut Kjellberg (1995), otonomi lokal juga mengacu kepada nilai-nilai tradisonal itu sendiri. (“Partly, the refer to the traditional values of local self-government, with an accent on autonomy, participation, andefficiency”).
Dalam arus reformasi yang melanda nasional saat ini mengakibatkan adanya masa transisi menuju kehidupan yang demokratis tidak menimbulkan ekses-ekses yang negatif. Owen (1983), menyebutkan adadua kelompok negara berkembang yang memiliki tata hubungan pemerintah dengan rakyatnya. Pertama kelompok masyarakat ganda (dual societies) yaitu pada masyarakat tradisional yang pada dasarnya bersifatdari atas ke bawah. Dalam masyarakat ganda ini pemerintah berusaha memperpanjang kekuasaannya sampai ke tingkat desa dan bekerja sama dengan masyarakat desa, sehingga masyarakat desa tidak bisa menampilkanaspirasi dan prakarsanya. Kedua, kelompok masyarakat pembaharu (modernizing societies). Kelompok masya-rakat ini berusaha mengikutsertakan warga dalam program pemerintah. Dengan demikian kelompok masyarakat pembaharu ini merupakan jembatan untuk mendekatkan antara elit-elit tradisional dan tidaklangsung bekerja sama dengan masyarakat, melainkan bekerja sama dengan lembaga-lembaga setempat, sehingga rakyat memiliki sense of belonging. Kelompok pembaharu ini telah tercermin dalam Pemerintah Nagari di Minangkabau yaitu kelompok yang tergabung dalam lembaga tungku tigo sajarangan (penghulu, alim ulama dan cerdik pandai).
KESIMPULAN :
1 Di Sumatera Barat dengan struktur masyarakat Nagari yang berdasarkan adat istiadat Minangkabau yang memiliki sifat khas dan keistimewaan tersendiri berbeda dengan masyarakat Indonesia. Kekhasan dan keistimewaan struktur masyarakat Minangkabau tercermin dalam bentuk garis keturunannya yang materilinial yang bertingkat-tingkat, yang hidup bersuku, berkaum dan berkorong-kampung dengan pimpinan seorang penghulu dalam masyarakat nagari, sehingga dominasi sosio kultural dan adat istiadat Minangkabau sangat berpengaruh terhadap struktur masyarakat dan Pemerintahan Adat yang terdiri dari Kelarasan Koto Piliang, Kelarasan Bodi Caniago.
2 Persepsi para informan menyatakan bahwa pemegang otoritas yang bersimbul penghulu berfungsi sebagai pemimpin yang membimbing dan membina anak nagari (warga) dalam Pemerintahan Nagari. Ia seorang pemimpin yang legalis dan populis dalam Pemerintahan Nagari sebagai pemerintahan yang terendah yang otonom, karena ia dipilih langsung dari unsur masyarakat lingkungannya sendiri berdasarkan adat istiadat. Oleh sebab itu Pemerintahan Nagari dapatmengantisipasi pelaksanaan otonomi daerah di Sumatera Barat.
3 Nagari dan Pemerintahan Nagari telah menunjukkan eksistensi sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia dan telah mencerminkan ideologi yang dominan pada pemerintahantingkat desa dan tidak satupun ideologi yang secara radikal dapat menghapuskannya, sehingga Pemerintahan Nagari lebih mampu untuk mengantisipasi pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22/1999. Oleh sebab itu para informan dalam penelitian ini mendukung kembalinya PemerintahanNagari sebagai pemerintahan yang terendah di Sumatera Barat, karena Pemerintahan Nagari lebih mencerminkan aspirasi masyarakat dan lebih eksis di dalam sosio kultural masyarakat Minangkabau.
4 Mewujudkan Pemerintahan Nagari dalam pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun1999, di samping didukung aspirasi dan partisipasi aparatur pemerintah, juga didukung oleh potensi-potensi nagari sebagai hak ulayat, oleh sebab itu peluang untuk kembali kepada Pemerintahan Nagari cukup terbuka, tetapi tantangan juga cukup berat, terutama mengenai potensiyang berupa hak ulayat masyarakat adat, karena hak ulayat tersebut.tidak jelas batas-batasnya.Sungguh terasa aneh kalau negara tidak mengakui eksistensi masyarakat adat beserta hak-haknya,karena masyarakat hukum adat itu jauh sebelum negara itu ada, telah hadir dalam kenyataan sejarah.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, Solichin. 1999a. Reformasi Pelayan Publik, Kajian dari Perspektif Teori Governance. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Kebijakan Publik pada Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya. PT. Danar Wijaya. Malang.
_____. 1999b. Ekonomi Politik Dalam Bisnis Indonesia Era Orde Baru dan di Tengah Krisi Moneter.Danar Wijaya Brawijaya University Press. Malang. Adrain, Benny. 1995. “Birokrasi di Sumatera Barat; Transisi dari Tradisional ke Modern (SuatuTinjauan Sosiologi Politik)”. Skripsi. Universitas Andalas. Padang Beckmann, F.V.B. (2000) Properti dan Kesinambungan Sosial. Diterjemahkan oleh Tim Perwakilan KITLV Bersama Indira Simbolon. PT Gramedia, Jakarta.
Budiman, Arif. 1987. “Kebudayaan Kekuasaan atau Sosiologis Kekuasaan”. Prisma. 3 Maret 1987,
_____. 1991. Negara dan Pembangunan: Studi tentang Indnesia dan Korea Selatan. Yayasan Padi dan Kapas. Jakarta.Conyers, Diana, 1994. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga Suatu Pengantar. Diterjemahkan oleh Susetiawan. Gajah Mada Univercity Press. Yogyakarta. De Jong, PE de Josselin. 1960. Minangkabau and Negeri Sembilan Sosio Political Structure in Indonesia. Bharata. Jakarta. Dusseldorp, D.B.W.M. and J.M. van Staveren, 1980. Framework for Regional Planning in Developing
Countries. International Institute for Land Reclamation and Improvement. Netherlands.
Hadad, Ismid (ed). 1979. Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial; Tinjauan Historis. LP3ES. Jakarta.
Harrison, David. 1988. The Sosiology ofModernization and Development. Unwim Hyman. London.
Hoessein, Bhenyamin, 1998. "Otonomi dan Pemerintahan Daerah: Tinjauan Teoritik". Dalam R. SitiZuhro (ed). Pemerintahan Lokal dan Otonomi Daerah di Indonesia, Thailand dan Pakistan. PPW-LIPI. Jakarta.
Hughes, O.E. 1994. Public Management & Administration. St. Martins Press, Inc. New York. Terjemahan Bineka Cipta. Jakarta.
Imawan, Riswandha. 1996. “Rekrutmen Kepemimpinan di Daerah, Antara Keinginan dan KebudayaanMasyarakat". Jurnal Ilmu Politik No. 7. Gramedia. Jakarta.
Kantor, Paul and H.V. Savitch. 1997. The Political Economy of Urban Regimes, A Comparative Perspective. Urban Affairs Review. Vol 32 No. 3 January 1997. 348-377.
Kartohadikoesoemo, Soetardjo. 1984. Desa. Balai Pustaka. Jakarta.
Kato, Tsuyoshi. 1977 Social Change in A Centrifugal Society: The Minangkabau of West Sumatera.Disertasi Ph D. Cornell University.
_____. 1989. Nasab Ibu dan Merantau. Terjemahan Azizah Kasim. Dewan Bahasa dan Pustaka. Kuala Lumpur.
Kingsley, G, Thomas.1996. “Perspective on Devolution”. Journal of the American Planning Association, Vol. 62 No. 4 Autumn.
Kjellberg, Francesco, 1995. "The Changing Values of Local Government" Dalam ANNALS, AAPSS, 540, July 1995. American Academy. p.40-50.
Korten, David C. (1988) Community Organization and Rural Development a Learning Process Approach. A Ford Foundation Reprint From Public Administration.
Koswara, E., 1999. "Otonomi Daerah yang Berorientasi Kepada Kepentingan Rakyat". Mimeo. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Tentang Otonomi Daerah. UNIBRAW. Malang.
Kusumaatmadja, Sarwono. 1998. “Mencari Arah Baru Undang-Undang Pemerintahan Daerah”. Bulletin Desentralisasi No. 14 Edisi Mai-Juni 1998. Depdagri. Jakarta.
Luth, Mazzia. 1981. Sistem Sosial Minangkabau. Laporan Penelitian. IKIP Padang.
Mahfud MD, Moh. 2000. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan. Rineka Cipta. Jakarta.
Manan, Imran. 1984. “A Traditional Elite Continuity and Change. The Chies of The Materilinial Lineage of The Minangkabau of West Sumtera”. Desertasi. University of Illonois. Urbana Champaign.
_____. 1995. Birokrasi Modern dan Otoritas Tradisional di Minangkabau. Yayasan Pengkajian Kebudayaan Minangkabau. Padang.
Marut, Donatus K., 2000. “Penguatan Institusi Lokal Dalam Rangka Otonomi Daerah”. WACANA. Edisi 5. Th. II 2000. Jakarta.
Mas’oed, Mohtar. 1997. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Miles, Mathew dan A. Michael Huberman, 1992. Analisis Data Penelitian Kuali-tatif. Terjemah T. Rohendi Rohidi. UI Press. Jakarta. Naim, Mochtar. 1990. “Nagari versus Desa. Sebuah Kerancuan Struktural” dalam Edi Utama (ed). Nagari, Desa dan Pembangunan di Sumatera Barat. Genta Budaya. Padang.
Nasution, 1992. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Tarsito. Bandung.
Nugroho, Kris. 1992. “Telaah Peran Negara, Partisipasi dan Demokratisasi”. Asosiasi Ilmu Politik Indonesia 6 – 8 Agustus 1992
Owens, Edgar dan Robert Shaw. 1983. Pembangunan Ditinjau Kembali. Terjemahan A.S. Wan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Pador, Zenwen. 1990. “KAN, Dulu, Kini dan Esok”. Singgalang 18 Nopember 1990.
Rasyid, Ryaas. (2000) “Kebijakan Penyiapan Sumber Daya Aparatur yang Profesional dalam PelaksanaanOtonomi Daerah”. Jurnal Ilmu Pemerintahan. MIPI, Jakarta.
Samego, Indria, 1998. "Otonomi dan Pemerintahan Daerah Di Indonesia". Dalam R. Siti Zuhro (ed). Pemerintahan Lokal dan Otonomi Daerah di Indonesia, Thailand dan Pakistan. PPW-LIPI. Jakarta.
Santoso, Priyo Budi.1993. Birokrasi Pemerintah Orde Baru, Prespektif Kultural dan struktural. Grafindo Persada. Jakarta.
Soekanto, Soerjono & Solemen T. 1983. Hukum Adat Indonesia. Rajawali. Jakarta.
Soemardjan, Selo. 1992. "Otonomi Desa: Apakah Itu?". Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial 2 hal. 1-16. PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Soenarko SD. 2000. Public Policy: Pengertian Pokok untuk Memahami dan Analisa Kebijaksanaan Pemerintah. Surabaya: Airlangga University Press.Soetrisno, Loekman. 1988. Negara dan Peranannya dalam Menentukan Pembangunan Desa yang Mandiridalam. Prisma No. 1 Tahun XVII Januari 1988. Jakarta
Sutopo, HB. 1988. Penelitian Kualitatif. Puslit UNS. Surakarta.
St. Majo Basa. Zukri Saad. 2000. “Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Revitalisasi Nagari. Langkah Strategis Reaktualisasi Adat Basandui Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah”. Mimeo. Makalah. Disampaikan pada seminar Nasional ICMI Sumatera Barat 22-23 Januari 2000.
Tjokrowinoto, Moeljarto. 1996. Pembangunan, Dilema dan Tantangan. Pustaka Pelajar. Jakarta.
Tordoff, William, 1994. "Decentralisation: Comparative Experience in Commonwealth of Africa” dalam Journal of Modern African Studies. Cambridge University Press. P. 555-580.
Toune, Henry, 1995. "Local Government and Democratic Political Development" dalam ANNALS,AAPSS, 540, July 1995. American Academy. p.11-23. Uphoff, Norman. 1994. Grassroots Organization and NGOs in Rural Development With Dinishing State and Expanding Markets. Cornell University. Wignjosoebroto, Soetandyo. 1994. Dari Hukum Koloni ke Hukum Nasional, Dinamika Sosial Politik dan Perkembangan Hukum di Indonesia. Raja-grafindo. Jakarta._____. (1998) “Kebijakan Negara untuk Mengakui atau Tidak Mengakui Eksistensi Masyarakat Adat BerikutHak-hak Atas Tanahnya”. Jurnal Masyarakat Adat. Nomor 01, Juli 1998. Wijaya, (eds.). 2000. Reformasi Tata Pemerintahan Desa Menuju Demokrasi. Kerjasama antara YAPIKA dan Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Zakaria, R. Yando.1998. “ Kemajemukan Masyarakat Bangsa Indonesia dan Penegakkan Hak-hakMasyarakat Adat”. Dalam Soetandyo Wignjosoebroto, (ed), Usulan Revisi Undang-undang PokokAgraria: Menuju Penegakan Hak-hak Rakyat Atas Sumber-sumber Agraria. KPA. Bandung.
Zauhar, Soesilo. 1994. Desentralisasi dan Otonomi Daerah dan Pembangunan Nasional. Pelopor No. 3/1994. Malang.
Zuhro, R. Siti (ed), 1998. Pemerintahan Lokal dan Otonomi Daerah di Indonesia, Thailand dan Pakistan. PPW-LIPI. Jakarta.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sinar Grafika. Jakarta.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Ghalia Indonesia. Jakarta.

0 comments: