Saturday 22 March 2008

KOMPLEKSITAS OTONOMI DAERAH DI INDONESIA (TELAAH TERHADAP ANTISIPASI KONSEPTUAL, POLITIK DAN BIROKRASI)

KOMPLEKSITAS OTONOMI DAERAH DI INDONESIA (TELAAH TERHADAP ANTISIPASI KONSEPTUAL, POLITIK DAN BIROKRASI)
oleh : Sulaeman Fattah

Sulaeman Fattah, adalah Widyaiswara di Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI Makasar. Kini sedang menempuh Program Magister di Program Studi Ilmu Administrasi Publik Universitas Indonesia

A. Pendahuluan
Sejak otonomi daerah diujicobakan melalui mekanisme pemilihan (penunjukan) beberapa daerah/kota sebagai daerah daerah percontohan otonomi, sesungguhnya indikasi akan adanya masalah (konflik kepentingan) antara pemerintah daerah (kabupaten/kota) dengan pemerintah pusat sudah terbaca dengan sangat gamblang. Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah persoalan kewenangan dan urusan terhadap suatu bidang pekerjaan, dimana terlalu sering terdengar dan terbaca dari berbagai keluhan pemerintah daerah tentang “urusan diserahkan tapi kewenangannya tetap dipegang” yang juga populer dengan sebutan kepala diserahkan ekornya tetap dipegang, bahkan sering dengan sinisme yang tinggi dengan ungkapan yang negatif yaitu, bengeknya diserahkan tapi enaknya tetap dikuasai. Begitu juga tentang perbedaan pandangan akan persoalan dan penguasaan terhadap asset-asset tertentu yang ada di daerah.
Mendagri Hari Sabarno mengemuka- kan bahwa, munculnya berbagai masalah mengenai otonomi daerah dan menjadi perdebatan ramai, karena tidak dipahaminya persoalan tersebut (otonomi) secara menyeluruh dalam bingkai negara kesatuan (Media Indonesia, 19/11/01).
Pertanyaan yang relevan dalam hal ini adalah : pada wilayah (domain) mana persoalan itu tidak dipahami? Apakah terjadi kekaburan makna secara konseptual tentang otonomi daerah di Indonesia ? Ataukah tujuan otonomi daerah menurut undang-undang tidak cukup tersosialisasi ? Mungkinkah fenomena euforia otonomi merupakan refleksi dari sentralisai yang cukup lama ? Mengapa harus ada otonomi khusus, apakah berarti didaerah lain ketidakadilan itu tidak ada ? dan sampai kapan otonomi khusus itu diperlukan ? sudah siapkah birokrasi pemerintah daerah untuk menjalankan tugas-tugas yang diberikan ?
Tulisan ini mencoba menguraikan dari sisi konsepsi tentang otonomi, persoalan politik (kepentingan pusat dan daerah) dan antsipasi birokrasi yang diperlukan, agar esensi otonomi itu sendiri berjalan pada koridor yang benar. Penulis memandang bahwa ada permasalahan-permasalahan konsepsional yang tidak dipahami secara benar dan seragam sehingga menimbulkan persoalan yang urgen untuk diselesaikan secara cepat dan tepat. Begitu juga tentang persoalan politik dan antisipasi birokrasi, sehingga undang-undang tentang pemerintah daerah yang lebih populer dengan undang-undang otonomi daerah mendesak untuk direvisi.
Esensi dari otonomi daerah sesung- guhnya adalah peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat (UU no 22 tahun 99, Surbarkti Kompas/2001, Elcock, 1993, Wasistiono, 2001, Hoessein/Tempo, Oktober, 2001). Guna mewujudkan pelayanan yang berkualitas (lebih baik) maka perlu pemberdayaan kepada daerah dengan memberi kewenangan kepada daerah untuk mengambil langkah-langkah yang cepat dan tepat sesuai dengan kebutuhan daerah. Sehingga masyarakat semakin merasakan adanya signifikansi dari perbaikan/peningkatan kualitas pelayanan.


B. Beberapa masalah desentralisasi di Indonesia
Mencermati literatur asing tampak bahwa secara konsepsional pemerintah Indonesia telah mengambil bentuk sendiri dalam format pengertian desentralisasi yang mana desentralisasi di Indonesia tampak disamakan dengan devolusi, yang pada literatur tentang desentralisasi (Cohen dan Peterson, 1999; Hoessein, 2001). Cohen dan Peterson menyebutkan bahwa sebagian besar dari literatur tentang desentralisasi difokuskan pada hanya satu dari empat bentuk desentralisasi (political, spatial, market and administrative) yaitu pada administrative decentralization. Tiga tipe dari desentralisasi administrasi adalah
deconcentration, devolution dan delegation
(1999:24) sementara itu Hoessein menemukan dari berbagai sumber bahwa konsep inilah yang menghiasi berbagai Laporan Bank Dunia dan organisasi internasional (2001).
Definisi dari adminintrative Decentral izion menurut Rondinelli and Nellis, adalah :
“…the transfer of responsibility for planning, management, and the raising and allocation of resources from the central gevernment and its agencies to field units of government and its agencies to field units of government agencies, suberdinate units or levels of government, semi autonomous publisc authorities or orporation, area-widw regional or fuctional authorities, or nongovernmental private or voluntary organization” (Cohen dan Peterson, 1999;24)
Pengertian di atas tampak menunjuk-kan secara jelas bahwa administrative decentralization hanyalah suatu penyerahan sejumlah (beberapa) tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada organ-organ pemerintah dibawahnya atau level pemerintahan di bawahnya. Pengertian ini secara jelas menunjukkan administrative decentralization adalah suatu konsepsi yang jelas berada dan dijalankan dalam bingkai negara sehingga mengherankan bahwa untuk kasus Indonesia terjadi permsalahan yang serius dalam implementasi otonomi daerah. Khususnya munculnya perkembangan dalam pola pemikiran seakan otonomi itu adalah suatu kedaulatan (sovereignty).
Pertimbangan konsepsional seperti ini selain munculnya fenomena perilaku beberapa daerah yang kurang kondusif terhadap penegakan negara kesatuan, yang tampak mendasari rencana penggantian kata pemberian “kewenangan” dalam UU No 22 tahun 1999 menjadi pemberian “urusan” dalam rancangan revisi undang-undang 22 tahun 1999.
Sementara itu untuk lebih jelas dalam menguraikan tentang desentralisasi (otonomi di Indonesia) perlu diperhatikan pengertian dari tiga tipe administrative decentralization dari Cohen dan Peterson yaitu :
1 deconcentration, is the transfer of authority over specified decision-making, financial, and management functions by adminstrative menas to different levels under the jurisdictional authority of the central government (1999;24).
2 devolution, occur when authority is transferred by central gevernment to autonomous local-level governmental units holding corporate status granted under state legislation. However it is possible to yalk about devoluation when a




unitary system decides to adopt a new constitution based on states, regions, or municipalities holding extensive develved powers (1999:26).
3. delegation, refers to the transfer of government decision-making and administrative authority for clearly defined tasks to organizations or firms that are eiher under its indirect control or are independent (1999:27)
Cohen dan Peterson tidak meng-uraikan sama sekali tentang adanya unsur pemisahan (separation) kekuasaan dan kedaulatan antar tingkat pemerintahan sebagai konsekuensi dijalankannya devolution. Dalam hal ini tampak (lebih ditekankan) bahwa devolusi adalah bagian dari desentralisasi yang lebih menekankan pada transfer manajemen pemerintahan.
Mengikuti uraian Cohen dan Peterson adalah benar bahwa terjadi diskresi pada tingkat local government sebagai konsekuensi dijalankannya devolusi. Diskresi pada tingkat pemerintah daerah dalam pemberian pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Namun tidak dimaksudkan bahwa pemberdayaan daerah dapat dijadikan dasar untuk memperjuangkan kedaulatan daerah. Serta mengutamakan (mementingkan) daerah masing-masing.
Devolusi memerlukan pembuatan perundang-undangan nasional dan dukungan peraturan-peraturan. Rondinelli, Nellis dan Cheema (1983) telah mengingatkan para pembuat kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di negara berkembang bahwa formulasi kerangka hukum yang jelas akan berpengaruh terhadap keberhasilan program desentralisasi (Hoessein; 2001).
Undang-undang otonomi daerah tampak menjadi dasar untuk berbeda pandangan antara daerah. Anehnya otonomi daerah tampak menjadi alat (media) bagi pemerintah daerah untuk mewujudkan kedaulatannya (sovereignity) dibanding mengembang misi utama dari otonomi itu sendiri yaitu bagaimana lebih memberdayakan rakyat (kasus Indonesia). Kecenderungan akan hal ini tampak dari adanya asosiasi pemerintah kabupaten dan kota seluruh Indonesia yang indikasinya tidak hanya merupakan forum komunikasi pembangunan tapi juga forum politik untuk menunjukkan, memperjuangkan dan mempertahankan keberadaannya dewasa ini.
Sinjal (Tempo/Oktober 2001) memper- tanyakan undang-undang No 22 tahun 1999 yang menghidupkan kembali desa (atau yang disebut dengan nama lain) yang mempunyai susunan asli kedalam subsistem pemerintahan. Menurutnya ini membangun kembali masyarakat hukum adat serta kepemimpinan adat (Tempo:2001).
Anekdot yang menarik dalam menanggapi pengaturan batas laut dalam Undang-undang 22 tahun 1999 adalah ketika seorang nelayan Sampang Madura, yang bertikai dengan nelayan dengan nelayan Pamekasan, mereka tidak melanggar batas wilayah laut Kabupaten Pamekasan, mereka hanya mengikuti dan menangkap ikan Sampang yang memasuki wilayah Pamekasan.
Beberapa uraian di atas sudah cukup menggambarkan bahwa sesungguhnya terdapat persoalan yang mendasar yang memerlukan pengkajian dan penataan kembali tentang implementasi otonomi daerah di Indonesia. Sebelumnya Cohen dan Peterson telah menekankan bahwa devolusi (desentralisasi di Indonesia) memerlukan banyak peraturan. Namun menurut pandangan pnulis ada dua tingkat masalah yang secara bersama-sama (paralel) mesti dijalankan.



Pertama, pada tingkat pemerintah pusat harus ada kejelasan arah dan kemampuan untuk membuat batasan-batasan yang tegas tentang desentralisasi dengan aturan (regulasi) yang tidak menimbulkan multi interpretasi. Pemerintah pusat juga dituntut memiliki kemampuan dalam melakukan sosialiasi tentang esensi dari otonomi.
Terlepas dari mendesaknya tuntutan otononi sebagai akibat dari kegagalan pemerintah pusat dalam menyentuh setiap lapisan masyarakat. Implementasi otonomi yang sekarang ini berjalan juga dijalankan dengan tergesa-gesa, sehingga memberi kesan akan adanya kebutuhan popularitas politik pemerintahan era Habibie pada saat itu.
Kedua, pada tingkat pemerintah daerah diperlukan suatu pra-kondisi yang cukup memadai (sufficient) baik itu dalam elit politik di daerah, birokrasi pemerintah daerah maupun masyarakat daerah. Banyak ketidak harmonisan yang terjadi di daerah selama implementasi otonomi daerah, hal ini disebabkan karena tidak adanya cara pandang yang sama antar semua lapisan (segmen) yang ada dalam suatu daerah, tentang esensi dari otonomi daerah.
DPRD telah menjadi musuh politik pemerintah daerah (eksekutif), bupati telah menjadi penguasa yang memiliki otonom secara absolut, hubungan antara pengusaha (dunia swasta) dengan pemerintah yang tidak lagi harmonis, dimana banyak pemerintah daerah yang dengan bangga telah menetapkan Perda yang kemungkinan akan mengusir pengusaha di daerahnya.



C. Pergeseran ParadigmaPemerintahan
Pembahasan tentang otonomi daerah sebagai langkah maju pemerintah pusat dalam memberdayakan pemerintah daerah, serta lebih meningkatkan kulitas pelayanan kepada masyarakat luas. Memerlukan pemahaman tentang pergeseran peran pemerintah secara ideal. Sehingga akan tercipta arahan yang harmonis dan terkontrol tentang apa yang akan dicapai melalui otonomi daerah.
Tidak dapat dipungkiri juga bahwa pemerintah Indonesia selama ini cukup banyak berpihak pada kekuasaannya sendiri dibanding mengemban amanah konstitusi. Pergeseran peran pemerintah harus melibatkan masyarakat dan dunia swasta secara luas dalam kegiatan pembanguana (Thoha, 1999, Tjokroamidjojo, 1999, Idrus, 1999).
Diperlukan perubahan paradigma dari sentralisasi kekuasaan menjadi desentralisasi kewenangan. Sistem kekuasaan tidak boleh lagi hanya berada pada satu pusat kekuasaan, melainkan bisa berada pada beberapa pusat kekuasaan. Desentralisasi kekuasaan merupa-kan isu paling kuat dalam paradigma baru (Thoha 1999).
Pergeseran paradigma dalam pemerintahan dapat dikatakan mendapat perhatian yang cukup serius setelah Osborne dan Gaebler (1992) menulis buku tentang Reinventing Government. Dimana mereka merumuskan sepuluh prinsip pemerintahan wirausaha. Satu diantara prinsip tersebut adalah decentralized government :from hierarchy to participation and teamwork.
Pemerintah pusat secara umum dapat nilai lamban dalam mengambil keputusan atau membuat kebijakan yang diperlukan bagi daerah. Birokrasi yang panjang dan sentralistik membuat daerah kabupaten dan kota sering kehilangan momentum yang penting untuk kepentingan pembangunan daerahnya. Menurut Hardjosoekarto desentralisasi berbagai dimensi fungsi dan kewenangan birokrasi ternyata memang menjadi kebutuhan riil pembangunan masa kini (1995).
Dalam konteks pergeseran paradigma pemerintah daerah menurut pandangan Leach dan Stewart, ada tiga dimensi yang dapat diidentifikasi dalam arah local government yaitu :
1 dimensi ekonomi; yaitu melihat pada perbedaan pandangan (penekanan) dalam melihat pilihan antara pasar dan lembaga sektor publik dalam pengadaan dan pendistribusian barang (kebutuhan) daerah dan pemberian pelayanan.
2 dimensi pemerintahan; yaitu membedakan antara peran pemerintah daerah yang lemah dan peran pemerintah daerah yang kuat. Hal ini menunjukkan dilema yang sudah populer dari hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang telah berlangsung lama dalam perdebatan tentang peran pemerintah daerah.
3 dimensi bentuk demokrasi lokal (daerah) ; dimensi ini membedakan antara dua dasar (pondasi) yang berbeda atas jangkauan keputusan pemerintah daerah. Hal ini dilihat pada perbedaan penekanan atas representative democracy dan participatory democray (Leach dkk, 1994:236-237)


Secara konsepsional dikenal empat tipe dari sistem pemerintahan daerah yaitu :
traditional bureaucrate authority, the residual enabling authority, the market oriented enabler, dan the community oriented enabler (Leach, Stewart, Walash, 1994:283).

0 comments: