Friday 21 March 2008

PEMANFAATAN KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL BERDASARKAN UU NO. 34/2000 OLEH PEMDA UNTUK MENARIK PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

PEMANFAATAN KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL BERDASARKAN UU NO. 34/2000 OLEH PEMDA UNTUK MENARIK PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH : Suatu Studi di Kota Bogor
Oleh :
Achmad Lutfi*
Abstrak
Diimplementasikannya UU No. 34/2000 telah memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah. Kebijakan ini direspon positif oleh daerah. Seluruh daerah di Indonesia seakan-akan berlomba untuk menerbitkan perda untuk menggali potensi pajak daerah dan retribusi daerah yang dimilikinya. Dalam payung desentralisasi fiskal, respon yang diberikan daerah ini sangatlah tepat. Namun, respon yang berlebihan dapat menjadi bumerangt bagi daerah. Tulisan ini mengulas respon yang diberikan oleh Kota Bogor dalam rangka diimplementasikannya UU Bno. 34/2000 berikut peraturan pelaksanaannya.
Key word : Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Desentralisasi Fiskal.
Pendahuluan
Perubahan pola hubungan yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah setelah diberlakukannya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 memberikan implikasi yang cukup signifikan, antara lain dalam pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh daerah otonom akibat dijalankannya desentralisasi fiskal. Salah satu aspek penting yang terjadi akibat dilaksanakannya desentralisasi fiskal adalah kemampuan yang diberikan kepada daerah untuk menerapkan pajak daerah dan retribusi daerah yang baru sejalan dengan diamendemennya peraturan perundangan yang mengatur pajak daerah dan retribusi daerah sebelumnya menjadi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
*
Penulis adalah Staf Pengajar Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, untuk Mata Kuliah Keuangan Daerah serta Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Selain mengajar, penulis juga memiliki perhatian yang besar pada kajian pemerintahan daerah, khususnya keuangan daerah.
(untuk selanjutnya disebut UU No. 34/2000). Dalam peraturan perundang-undangan yang baru ini secara jelas tercantum bahwa dengan peraturan daerah (untuk selanjutnya disebut perda), daerah diperkenankan untuk menetapkan pajak daerah dan retribusi daerah baru selain yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut sepanjang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan serta sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepadanya.
Diimplementasikannya kebijakan desentralisasi fiskal, sejalan dengan diberikannya otonomi yang lebih luas kepada daerah kabupaten dan daerah kota melalui pemberlakukan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999, telah membuka peluang bagi para pemerintah daerah untuk memaksimalkan pendapatan asli daerah. Salah satu upaya yang ditempuhnya adalah memaksimalkan pendapatan yang berasal dari perolehan pajak daerah dan retribusi daerah.
Kedua komponen ini merupakan komponen yang sangat menjanjikan dan selama ini pendapatan yang berasal dari perolehan hasil pajak daerah dan retribusi daerah merupakan komponen yang memberikan sumbangan yang besar dalam struktur pendapatan yang berasal dari pendapatan asli daerah. Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan pendapatan yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah, yaitu menyempurnakan dan mengoptimalkan penerimaan dari pajak daerah dan retribusi daerah yang telah ada serta menerapkan pajak daerah dan retribusi daerah yang baru. Untuk menempuh kedua cara itu, pemerintah daerah dapat menyempurnakan perda yang mengatur pajak daerah dan retribusi daerah yang telah ada serta membuat perda baru untuk menerapkan pajak daerah dan retribusi daerah yang baru.
Tabel 1.
Jumlah Perda Pungutan Setelah Otonomi Daerah di Beberapa Daerah

Provinsi Sumatera Utara Kabupaten Deli Serdang Simalungun Karo Jumlah Perda Pungutan pada Tahun 2001 51 26 21 Perda Pungutan Baru Setelah Otonomi Daerah 21 0 0 Perda Pungutan Baru dalam Proses -32 4
Sulawesi Utara Minahasa Bolmong Gorontalo 18 21 32 103 10 89 23 75
Jawa Barat Cirebon Garut Ciamis 22 38 34 2 1713 18 10 0

Sumber: Harian Umum Kompas, 14 Agustus 2003, Hlm. 15. Dikutip dan diolah dari hasil penelitian Tim SMERU.
Dilihat dari data tabel diatas, maka jelas terlihat sejumlah daerah melakukan upaya untuk memanfaatkan peluang yang terdapat dalam kebijakan desentralisasi fiskal untuk menarik pajak daerah dan retribusi daerah baru. Jika dikaji lebih jauh, sebenarnya hampir semua daerah, baik daerah propinsi, daerah kabupaten, maupun daerah kota memiliki kecenderungan yang sama. Mereka semua seakan berlomba-lomba untuk membentuk perda yang pada akhirnya bertujuan untuk menambah pundi-pundi pendapatannya dengan menarik pajak daerah dan retribusi daerah baru. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa mereka memerlukan penerimaan asli daerah yang cukup untuk membiayai kewenangan yang didesentralisasikan kepadanya. Membuat suatu perda memang merupakan kewenangan yang dimiliki oleh daerah. Kepala daerah dapat menetapkan perda dengan persetujuan dewan perwakilan daerah. Keduanya dapat mengajukan raperda untuk selanjutnya dibahas sebelum pada akhirnya disetujui dan ditetapkan.
Permasalahan
Terjadinya desentralisasi fiskal, sejalan dengan implementasi kedua undang-undang tersebut, memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk menggali potensi keuangan yang ada di daerahnya guna mendukung pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan yang diterima oleh daerah otonom. Salah satu potensi keuangan yang menarik untuk diperhatikan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah kemampuan pemerintah daerah untuk menggali penerimaan melalui pajak daerah dan retribusi daerah. Adapun pokok permasalahan yang akan diajukan dalam tulusan ini adalah bagaimana pemanfaatan kebijakan desentralisasi fiskal berdasarkan UU No. 34/2000 oleh pemerintah daerah untuk menarik pajak daerah dan retribusi daerah ? Dalam rangka penelitian dalam penyusunan ini, penelitian akan difokuskan pada studi di Daerah Kota Bogor.
Kerangka Teori
Desentralisasi fiskal merupakan varian dari pelaksanaan desentralisasi yang ditempuh suatu negara. Desentralisasi fiskal ini dapat didefinisikan sebagai devolusi (penyerahan) tanggung jawab fiskal dari pemerintah pusat kepada tingkatan pemerintahan yang ada dibawahnya, sub-national levels of government, seperti negara bagian, daerah, propinsi, distrik, dan kota.1 Namun demikian, sebenarnya definisi ini tidaklah cukup komprehensif. Pada kenyataannya, isu yang berkembang dan menarik dalam kajian desentralisasi fiskal atau federalisme fiskal adalah pemberian tanggung jawab fiskal yang lebih jelas pada tingkatan pemerintahan yang tepat. Tanggung jawab ini, mencakup mulai dari merancang hingga menerapkan beragam aspek yang terkait dalam hubungan keuangan intrapemerintahan, menimbulkan sejumlah pertanyaan menarik, seperti:
1 Jenis pengeluaran apa yang harus dilakukan oleh suatu tingkatan pemerintahan tertentu ? (expenditure assignment)
2 Jenis penerimaan apa yang harus dipungut dan berapa tarif pajak yang harus dibuat oleh tingkatan pemerintahan tertentu ? (revenue assignment)
3 Bagaimana seharusnya bantuan intrapemerintahan dan bagi hasil harus digunakan untuk mengatasi kesenjangan antara pengeluaran dan penerimaan di tingkat pemerintahan daerah dan dapat memberikan insentif yang tepat bagi daerah ?
4 Tingkatan pemerintahan yang mana yang tepat untuk membiayai pengeluarannya melalui pinjaman yang berasal dari dalam atau luar negeri, swasta, atau publik ?
5 Tingkatan pemerintahan yang mana yang bertanggung jawab terhadap sistem administrasi perpajakan dan manajemen pengeluaran publik ?
6 Tingkatan pemerintahan yang mana yang harus mendesain dan menjalankan seluruh peraturan ?
7 Bagaimana seharusnya peraturan-peraturan seharusnya dapat diharmonisasikan dengan baik dan secara menyeluruh, komprehensif, didalam tingkatan pemerintahan yang berbeda ?

1 Hamid R. Davaodi, Http;//.www.imf.org/external.Pubs/FT/irb/2001/eng/02/ indeks.htm #sum2.
Sumber pendapatan utama yang sering kali menjadi parameter untuk menentukan derajat otonomi fiskal yang dimiliki oleh suatu daerah adalah pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah, yaitu pendapatan yang diterima yang berasal dari sumber-sumber yang dikelola oleh pemerintah daerah itu sendiri (local source). Yang termasuk ke dalam kategori pendapatan ini adalah pajak daerah (local tax, sub national tax), retribusi daerah (local retribution, fees, local licence) dan hasil-hasil badan usaha (local owned enterprises) yang dimiliki oleh daerah. Ketiga jenis pendapatan ini merupakan pendapatan yang digali dan ditangani sendiri oleh pemerintah daerah dari sumber-sumber pendapatan yang terdapat dalam wilayah yurisdiksinya. Seorang pakar dari World Bank2 berpendapat bahwa batas 20 % perolehan PAD merupakan batas minimum untuk menjalankan otonomi daerah. Sekiranya PAD kurang dari angka 20 %, maka daerah tersebut akan kehilangan kredibilitasnya sebagai kesatuan yang mandiri.
Tanzi berpendapat bahwa desentralisasi fiskal harus diimbangi dengan kemampuan daerah untuk untuk membiayai sejumlah pengeluaran yang dialihkan kepadanya dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi dengan jalan memberikan kewenangan untuk menarik pajak yang telah dialihkan kepadanya, menarik pajak yang telah di-assign kepadanya.
Sejalan dengan Tanzi, Mc Lure3, sebagai mana dikutip oleh Bird, mengemukakan bahwa ada sejumlah prinsip yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan tax assignment kepada daerah.
2 Glynn Cochrane. “Policies For Strengthening Local Government In Developing Countries”. World Bank Staff Working Paper No. 582. Management and Developing Series No. 9. Washington D.C.: The World Bank, 1983.
3 Charles E. McLure, Jr. “The Tax Assignment Problem: Conceptual and Administrative Considerations in Achieving Subnational Fiscal Autonomy”. Paper presented at the Seminar on Intergovernmental Fiscal Relations and
Indeed, the simple rule he posess is, it may be argued, the key to unraveling the whole tangled mess of “what be taxed and by whom”. That rule is simply that (1) subnational government need to control their own revenues in order to facilitate effective decentralized control of spending, but that (2) control in this sense simply requires that they can affect the volume of own revenues significantly at the margin through their own policy choice, in particular, by choosing tax rates. That is, if subnational government are expected to act responsibly, such government must be able to increase or decrease their revenues by means that make them publicly responsible for the consequences of their actions.
Pajak daerah yang diterapkan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal
diharapkan mampu memberikan penerimaan yang signifikan dan berdampak pada
kemampuan daerah dalam membiayai tanggung jawab fiskalnya. Untuk memperoleh
penerimaan pajak daerah yang cukup signifikan dalam rangka desentralisasi fiskal, maka
daerah harus memiliki kewenangan untuk menetapkan tarif pajak daerah yang tepat.
Subnational taxes should thus in principle satisfy two main criteria. First, they should provide sufficient revenue for the richest subnational units to be essentially fiscally autonomous. Second, they should clearly impose fiscal responsibility at the margin on subnational governments. As noted earlier, the simplest and probably best way to achieve this goal is by allowing this governments to establish their own tax rates.4
Selain pemberian kewenangan untuk menarik pajak daerah baru, elemen kedua
yang sangat direkomendasikan dalam rangka implementasi kebijakan desentralisasi fiskal
dalam rangka meningkatkan kemampuan pembiayaan pemerintah daerah adalah
penerapan retribusi daerah. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa dimanapun
pemerintah dapat mengenakan retribusi kepada masyarakatnya sejalan dengan usaha
yang dilakukan oleh pemerintah untuk lebih mengintrodusir mekanisme pasar dalam
pembiayaan pelayanan yang diberikan kepada rakyatnya.
Perhaps the most obvious recommendation with respect to revenue structures at any level of governments that appropriate user charges should be employed whenever possible. Not only does this accord with the conventional view of tax assignment, but it also has all virtues usually
Local Financial Management organized by the National Economic and Social Development Board of the Royal Thai Government and World Bank, Chiang Mai (Thailand), February 24 - March 5, 1999. 4 Richard M. Bird. “Rethinking Subnational Taxes: A New Look at Tax Assignment”. IMF Working Paper No. 165/1999. Washington D.C.: International Monetary Fund, 1999. Hlm. 10.
associated with introducing market elements into public sector decision
process.5
Penerapan retribusi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang cukup berati bagi penerimaan daerah, khususnya yang berasal dari pendapatan asli daerah (own resources). Namun demikian, perlu juga diperhatikan bahwa pemerintah daerah harus mempu mendisain retribusi daerah yang baik sehingga ia dapat membiayai pengeluaran pemerintah daerah serta memberikan arahan apa yang harus diperbuat daerah. Dalam kenyataannya, seperti yang dipraktekkan di negara-negara berkembang, penerapan retribusi daerah dapat berdampak bagi masyarakat lokal sehingga penerapannya harus dilakukan secara bijaksana.
Retribusi daerah merupakan komponen pendapatan daerah yang sangat potensial, dan merupakan ide yang tepat untuk diimplementasikan oleh pemerintah daerah mengingat sumbangannya yang diharapkan cukup signifikan dalam memenuhi pembiayan pemerintah daerah. Namun demikian, pemerintah daerah juga harus harus diperhatikan juga aktifitas-aktivitas yang dilakukannya.
Keterkaitan antara implementasi kebijakan desentralisasi fiskal dengan kemampuan daerah untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah dan retrinbusi daerah akan berdampak pada peningkatan perolehan pendapatan daerah, dimana pajak daerah dan retribusi daerah merupakan dua komponennya. Implementasi kebijakan fiskal ini akan berwujud pada pemberian keleluasaan kepada daerah dari pemerintah atasnya untuk memperoleh penerimaan (earning), serta kewenangan untuk membelanjakannya (spending), sebesar kewenangan fiskal yang didesentralisasikan kepadanya yang berwujud pada otonomi fiskal. Derajat otonomi ini tentunya ditentukan atas dasar peraturan perundang-undangan yang ada.
Aturan hukum yang mengatur derajat otonomi fiskal tidaklah terlepas dari dasar hukum yang mengatur mengenai hubungan antar tingkatan pemerintahan yang ada. Aturan yang mengatur hubungan antar tingkatan pemerintahan ini mengatur segala aspek pemerintahan termasuk fungsi-fungsi pemerintahan, baik fungsi rutin maupun
5 Richard M. Bird. Ibid.. Hlm. 11 - 12.
pembangunan, yang didesentralisasikan kepada tingkatan pemerintahan yang lebih rendah. Salah satu aspek yang harus diatur didalamnya adalah fungsi-fungsi pembiayaan dan pembelanjaan (aspek keuangan). Aturan-aturan ini haruslah memberikan kerangka hukum transparan dan memberikan kejelasan atas fungsi-fungsi serta peranan masing-masing tingkatan pemerintahan yang ada.
Dalam kaitannya dengan peningkatan penerimaan dari pajak daerah dan retribusi daerah akibat diimplementasikannya kebijakan daerah, tentunya harus disusun kerangka hukum (legal framework) yang jelas. Kerangka hukum ini merupakan seperangkat aturan yang saling kait mengkait, melibatkan seluruh tingkatan pemerintahan yang ada, dan tentunya tidak boleh saling bertentangan satu dengan lainnya. Di tingkat pusat, seperangkat peraturan perundang-undangan perlu dibuat untuk mengatur atau memberikan kerangka acuan yang jelas bagi daerah dalam upayanya untuk meningkatan penerimaan dari sumber penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah. Operasionalisasi dari aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang lebih tinggi harus dapat dijabarkan dalam peraturan yang lebih rendah, dan tentunya lebih operasional, oleh tingkatan pemerintahan yang ada dibawahnya dengan tetap mengacu pada aturan yang telah ditetapkan tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi.
Daerah sesuai dengan kewenangannya untuk memperoleh penerimaan dan derajat otonomi fiskal yang dimilikinya dapat mengeluarkan peraturan-peraturan daerah yang mengatur tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Dengan Perda, pemerintah daerah dapat menetapkan jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang dapat dipungutnya dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya.
Temuan dan Pembahasan Hasil Studi
Terkait dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal, Pemda Kota Bogor merespon kebijakan ini dengan melakukan penyempurnaan pada sejumlah perda maupun menebitkan beberapa perda baru untuk menarik jenis pajak daerah maupun retribusi daerah yang baru. Sejumlah perda telah ditetapkan sebagai bentuk pemanfaatan ketentuan di dalam UU No. 34/2000 yang telah membuka peluang bagi daerah untuk menarik sejumlah jenis pajak daerah maupun retribusi daerah yang baru.
Sejumlah keuntungan dapat diperoleh Pemda Kota Bogor akibat diimplementasikannya UU No. 34/2000. Dengan diimplementasikannya peraturan perundang-undangan ini, pemerintah daerah memiliki ruang gerak yang lebih leluasa untuk menarik pajak daerah dan retribusi yang baru. Mekanisme pengawasan atas perda-perda baru yang mengatur penarikan pajak daerah dan retribusi daerah juga mengalami penyederhanaan yang sangat menguntungkan pemerintahan daerah. Kedua hal ini dapat disebut sebagai anugrah yang diberikan oleh pemerintah untuk memperkuat kemampuan keuangan daerah yang bersumber dari perolehan pendapatan daerah, khususnya dari komponen pajak daerah dan retribusi daerah.
Sejalan dengan diimplementasikannya UU No. 34/2000, pemerintah daerah memiliki keleluasaan ruang gerak yang lebih baik dalam menyusun dan menetapkan pungutan berbentuk pajak daerah dan retribusi daerah. Keleluasaan ini ditandai dengan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk memungut jenis-jenis pajak daerah serta retribusi daerah selain yang telah secara tegas dicantumkan dalam UU No. 34/2000. Pemerintah Daerah Kota Bogor merespon hal ini dengan menetapkan sejumlah perda baru. Perda-perda yang terkait dengan pemanfaatan keleluasaan ini dicerminkan dengan ditetapkannya Perda No. 3/2001 tentang Retribusi Pengelolaan Limbah Cair, Perda No. 4/2001 tentang Retribusi Pemasukan dan Penampungan serta Pengeluaran Hewan/Ternak, Perda No. 5/2001 tentang Retribusi Pemeriksaan Susu Murni, Perda No. 6/2001 tentang Retribusi Pemeriksaan Pemotongan dan Pemasaran Daging Ayam, Perda No. 7/2001 tentang Retribusi Pemakaian Jalan untuk Angkutan Barang, Perda No. 11/2002 tentang Retribusi Pengujuan Kendaraan Bermotor, dan Perda No. 13/2002 tentang Retribusi Ijin Usaha Jasa Konstruksi. Seluruh perda ini merupakan perda baru yang mengatur pengenaan pajak daerah dan retribusi daerah di Kota Bogor. Namun demikian, walaupun sebenarnya baru, beberapa perda tersebut merupakan perda yang melahirkan kembali sejumlah retribusi yang telah dipungut pada pada era pemberlakuan UU Drt. No. 11/1957 dan UU Drt. No. 12/1957 dan sempat dicabut pemberlakuannya pada masa penerapan UU No. 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Reinkarnasi pemungutan perda yang sempat dicabut pada masa pemberlakuan UU No. 18/1997 bukanlah suatu hal yang tidak diperkenankan. Hal ini merupakan salah satu bentuk pemanfaatan keleluasaan yang dibenarkan dalam undang-undang serta dilakukan oleh Pemda Kota Bogor. Dari hasil wawancara yang dilakukan, diperoleh pemahaman bahwa hal ini tidak bisa dipungkiri dan terhindarkan. Alasan ini terkait dengan sulitnya mencari potensi penerimaan retribusi daerah yang dapat dikenakan. Peraturan-peraturan yang terkait dengan masalah reinkarnasi retribusi daerah ini adalah Perda No. 4/2001 tentang Retribusi Pemasukan dan Penampungan serta Pengeluaran Hewan/Ternak, Perda No. 5/2001 tentang Retribusi Pemeriksaan Susu Murni, Perda No. 6/2001 tentang Retribusi Pemeriksaan Pemotongan dan Pemasaran Daging Ayam, dan Perda No. 7/2001 tentang Retribusi Pemakaian Jalan untuk Angkutan Barang. Seluruh perda ini sebenarnya pernah diberlakukan dalam periode pemberlakukan undang-undang pajak daerah dan retribusi sebelumnya (masa pemberlakuan UU Drt. No. 11/1957 dan UU Drt. No. 12/1957). Pengenaan retribusi daerah yang diatur dalam perda-perda tersebut terkait dengan pelayanan yang sejak dahulu sebenarnya telah diberikan oleh jajaran Pemda Kota Bogor bagi warga masyarakat, sehingga adalah tepat untuk selanjutnya pemda memungut retribusi atas jasa layanan yang diberikannya. Dalam pengenaan retribusi daerah, Pemda kota Bogor sangat memperhatikan apakah pungutan retribusi itu terkait dengan layanan yang diberikan dan kewenangan yang dimilikinya, kalau tidak mereka tidak akan mengada-adakan pungutan retribusi daerah yang tidak terkait dengan layanan yang mereka berikan serta kewenangan yang sebenarnya bukan dimiliki oleh tingkatan pemerintahan kota.
Sejumlah perda memang baru disusun oleh Pemda Kota Bogor untuk memanfaatkan potensi pendapatan yang dimilikinya. Peraturan-peraturan daerah ini adalah Perda No. 3/2001 tentang Retribusi Pengelolaan Limbah Cair, Perda No. 6/2001 Retribusi Pengujuan Kendaraan Bermotor, dan Perda No. 13/2002 tentang Retribusi Ijin Usaha Jasa Konstruksi. Pengenaan retribusi daerah ini oleh Pemda Kota Bogor terkait dengan adanya pelimpahan wewenang yang diterimanya (Perda No. 13/2002), adanya pemanfaatan asset milik daerah (Perda No. 3/2001), serta melakukan formalisasi pungutan yang telah dipungut sebelumnya namun belum diatur dalam suatu perda (6/2001).
Selain memanfaatkan keleluasaan dengan bentuk-bentuk tersebut, Pemda Kota Bogor juga melakukan sejumlah penyempurnaan terhadap sejumlah perda yang telah diberlakukan sebelumnya. Alasan utama yang dikemukakan dalam kaitan dilakukannya penyempurnaan ini adalah perlunya secara terus menerus perda-perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah ini disesuaikan substansinya, terutama tarif, agar perolehan yang diterima dari pengenaan pajak daerah dan retribusi daerah ini dapat tetap memberikan penerimaan yang baik bagi perolehan pendapatan asli daerah yang diterima oleh Kota Bogor. Mengenai penyesuaian tarif bagi pajak daerah dan retribusi daerah, alasan penyesuaian tarif lebih ditujukan agar perolehan hasil yang diterima dapat mengikuti laju inflasi dan sesuai dengan perkembangan biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan layanan.
Hal lain yang terkait dengan penarikan retribusi daerah, Pemda Kota Bogor juga melakukan pemisahan pengaturan antara aturan tentang obyek yang dikenakan pungutan retribusi dengan peraturan yang mengatur tentang mekanisme pengenaan retribusi yang dikenakan terhadap obyek retribusi tertentu. Sepanjang periode 2000-2003, Pemda Kota Bogor telah mengeluarkan sejumlah peraturan “payung” yang menjadi landasan atas pengenaan sejumlah retribusi. Sejumlah aturan tersebut antara lain adalah :
Tabel 2. Ilustrasi Keterkaitan Perda yang Memayungi Penarikan Retribusi Daerah dengan Perda yang Mengatur tentang Penarikannya
No. Jenis Retribusi Daerah Peraturan Daerah
Dasar Penarikan Retribusi Daerah Mekanisme Penarikan Retribusi daerah
1. Izin Mendirikan Bangunan Perda Kota Bogor No. 2 Tahun 2002 Perda Kota Bogor No. 10 Tahun 2002
2. Biaya Cetak Pelayanan Kependudukan Perda Kota Bogor No. 4 Tahun 2002 Perda Kota Bogor No. 12 Tahun 2002
3. Izin Usaha Jasa Konstruksi Perda Kota Bogor No. 5 Tahun 2002 Perda Kota Bogor No. 13 Tahun 2002

Sumber : Data primer, diolah kembali
Langkah pemisahan ini dilatarbelakangi keinginan Pemda Kota Bogor untuk melakukan pengaturan yang lebih komprehensif atas sejumlah urusan/kewenangan atau pelayanan yang diberikan oleh Pemda kepada warganya. Khusus tentang perda yang mengatur mengenai dasar penarikan retribusi daerah, sebagaimana dicontohkan dalam tiga perda diatas, Pemda Kota Bogor berupaya untuk lebih komprehensif mengeluarkan peraturan yang memuat aturan mengenai :
1 Pembangunan pemukiman/perumahan, jasa perdagangan, dan pusat keramaian umum yang kesemuanya memerlukan pengendalian terkait dengan perkembangan pembangunan di Kota Bogor yang demikian pesat (Perda No. 2/2002).
2 Pengaturan yang dibuat oleh Pemda kota Bogor dalam rangka penyelenggaran kewenangan di bidang kependudukan agar tercapai tertib administrasi pendaftaran penduduk serta memperlancar pelayanan kepada masyarakat (Perda No. 4/2002).
3 Pengaturan yang dibuat dalam rangka mewujudkan ketertiban penyelenggaraan jasa konstruksi serta untuk menciptakan kondisi yang kondusif dalam usaha dan/atau pekerjaan jasa konstruksi dengan cara peningkatan kualifikasi dan kinerja bagi para pengusaha jasa konstruksi.

Sedangkan ketiga peraturan berikutnya, Perda No. 10/2002, Perda No. 12/2002, dan Perda No. 13/2002, lebih banyak mengatur tentang hal-hal yang teknis menyangkut mekanisme penarikan retribusi daerah yang terkait dengan ketiga perda yang mengatur dasar penarikan retribusi daerah tersebut diatas.
Sebenarnya, kedua jenis perda tersebut tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam penarikan retribusi daerah di Kota Bogor. Pengaruh hanya terjadi akibat pemisahan pengaturan suatu penarikan retribusi tertentu yang tadinya hanya satu perda menjadi dua perda. Namun demikian, jajaran Pemda Kota Bogor menganggap bahwa pemisahan perda ini dapat bermanfaat karena dasar pengenaan dapat diatur lebih komprehensif pada satu perda yang “memayungi” penarikan retribusi daerah. Sementara mekanisme penarikan retribusi daerah, seperti penarikan retribusi-retribusi daerah lainnya, dapat diatur dalam perda lainnya yang terpisah.
Khusus mengenai pajak daerah, pemanfaatan keleluasaan dalam menarik pajak daerah dan retribusi daerah baru ini tidaklah optimal dilakukan oleh Pemda Kota Bogor. Hal yang dilakukan oleh Pemda Kota Bogor dalam periode 2001-2004 hanya memisahkan pengaturan tentang pajak hotel dan pajak restoran serta mengantisipasi dengan menyampaikan raperda tentang pajak parkir kepada pihak legislatif. Untuk pajak parkir, Pemda Kota Bogor yanya memanfaatkan peluang yang diberikan untuk menarik jenis pajak tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Tidak ada inovasi yang dilakukan oleh Pemda Kota Bogor dalam menarik jenis-jensi pajak daerah yang baru. Mereka hanya menarik pajak-pajak daerah yang telah secara tegas dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memang merupakan pajak daerah yang diperuntukkan bagi pemerintah daerah kota. Ketiadaan inovasi ini terkait dengan sulitnya mengidentifikasi objek-objek pajak daerah yang baru. Hasil temuan dilapangan mengindikasikan bahwa Pemda Kota Bogor merasakan sangat sulit untuk memperoleh objek yang dapat dikenakan pajak daerah di wilayah Daerah Kota. Selain itu, hal yang menjadi perhatian dan pertimbangan Pemda Kota Bogor adalah mereka tidak ingin membebankan warga masyarakat dengan beragam pajak daerah baru yang dapat mengganggu aktivitas warga masyarakat, terutama pajak daerah yang dapat mendistorsi kegiatan ekonomi di Kota Bogor. Pemerintah Kota Bogor beranggapan bahwa penerapan beragam pajak daerah baru belum tentu tepat untuk dikenakan, karena potensi masing-masing daerah berbeda serta masing-masing daerah berhak dan memang diperkenankan untuk menarik beragam pajak daerah sepanjang sesuai, tidak bertentangan, dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Dalam memanfaatkan peluang yang tersedia dengan diimplementasikannya UU No. 34/2000, Pemda Kota Bogor dapat saja melakukan hal serupa dengan menetapkan dan menarik beragam jenis pajak daerah dan retribusi baru. Namun demikian pemanfaatan ini hendaknya dilakukan dengan hati-hati. Sebagai ilustrasi, pemanfaatan ini dapat dikenakan terhadap sektor-sektor yang masih memiliki potensi dan memiliki kontribusi yang cukup signifikan terhadap PDRB Kota Bogor.6
6 Rincian Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor menurut Lapangan Usaha atas dasar Harga Konstan Tahun 1999-2001 terlampir pada lampiran.
Tabel 3. Persentase Kontribusi Sektor menurut Lapangan Usaha terhadap PDRB Kota Bogor atas dasar Harga Konstan Tahun 1999-2001
No. Jenis Sektor Tahun
1999 2000 2001* 2002**
1. Pertanian 0,40 0,41 0,41 0,39
2. Pertambangan dan Penggalian 0,00 0,00 0,00 0,00
3. Industri Pengolahan 25,66 25,89 26,07 26,16
4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 4,45 4,45 4,50 4,55
5. Bangunan 8,66 8,44 8,28 8,07
6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 29,92 29,59 29,34 29,01
7. Pengangkutan dan Komunikasi 10,74 10,87 10,94 11,04
8. Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 10,89 11,30 11,69 12,14
9. Jasa-jasa 9,28 9,05 8,78 8,64
Total 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber : Bogor dalam Angka 2002, diolah kembali. Keterangan: * Angka Perbaikan.
** Angka Sementara.
Dari data kontribusi diatas, maka dapat dilihat bahwa sektor perdagangan, hotel, dan restoran merupakan sektor yang paling besar kontribusinya terhadap kegiatan ekonomi yang ada di Kota Bogor. Secara berturut-turut tiga sektor lainnya yang juga memberikan kontribusi diatas 10 % terhadap kegiatan ekonomi di Kota Bogor adalah Sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan; Sektor Pengangkutan dan Komunikasi; dan Sektor Jasa-jasa. Dari kontribusi yang diberikan dari sektor-sektor tersebut pada PDRB Kota Bogor, kiranya Pemda dapat memanfaatkan peluang yang ada di sektor-sektor dimaksud untuk mengoptimalkan pendapatan dari pajak daerah dan retribusi daerah dengan mengenakan sejumlah retribusi daerah maupun pajak daerah yang relevan dan terkait dengannya7. Kontribusi sektor-sektor tersebut terhadap perolehan PDRB Kota Bogor yang cukup besar ini sangat terkait dengan potensi pariwisata yang dimiliki oleh Kota Bogor dan posisi Kota Bogor yang relatif dekat dengan Ibukota Negara.
Hal lain yang menjadi peluang yang memberikan keleluasaan daerah dalam menarik pajak daerah dan retribusi daerah baru sejalan dengan diberlakukannya UU No.
7 Sebagai Informasi saat ini Pemda Kota Bogor sedang menunggu pengesahan sejumah retribusi yang terkait dengan sektor-sektor yang memberikan kontribusi cukup besar pada PDRB, seperti Retribusi di Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Retribusi Izin Usaha Kepariwisataan, dan Retribusi Perizinan di Bidang Perindustrian dan Perdagangan.
22/1999, UU No. 25/1999 serta UU No. 34/2000 adalah mengenai mekanisme pengawasan atas perda-perda baru yang mengatur penarikan pajak daerah dan retribusi daerah. Mekanisme pengawasan ini mengalami penyederhanaan yang sangat menguntungkan pemerintahan daerah. Dalam hal penetapan perda-perda baru, termasuk didalamnya perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah, pemerintah daerah tidak perlu lagi melakukan mekanisme pengesahan dari tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi. Hal ini terkait dengan perubahan mekanisme pengawasan preventif menjadi mekanisme pengawasan yang represif. Dalam mekanisme yang berlaku sesuai dengan UU No. 22/1999, peraturan daerah perlu disampaikan selambat-lambatnya 15 hari setelah ditetapkan serta tidak ada mekanisme pengesahan dari tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi.
Walaupun terjadi perubahan mekanisme pengawasan atas peraturan-peraturan daerah, pengawasan terhadap peraturan-peraturan daerah yang mengatur tentang pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tetap dijalankan. Untuk perda jenis ini, Menteri Dalam Negeri dapat membatalkan perda yang telah dibuat dan siap diterapkan oleh daerah kabupaten/kota dengan memperhatikan pertimbangan rekomendasi yang diberikan oleh Menteri Keuangan. Dalam rangka memberikan rekomendasi ini, Menteri Keuangan telah mengeluarkan sejumlah surat rekomendasi, antara lain:
Tabel 4. Beberapa Surat Rekomendasi Menteri Keuangan dalam rangka Pembatalan Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
No. Nomor Surat Menteri Keuangan Tgl. Surat Jumlah perda yang direkomendasikan untuk dibatalkan
1. S-486/MK.07/2001 2 November 2001 69
2. S-523/MK.07/2001 12 Desember 2001 12
3. S-70/MK.07/2002 14 Maret 2002 40
4. S-26/MK.07/2002 18 Desember 2002 52
5. S-006/MK.07/2003 17 Januari 2003 1
6. S-184/MK.07/2003 20 Mei 2003 1
7. S-018/MK.07/2003 30 Juni 2003 33
8. S-025/MK.07/2003 29 Agustus 2003 3
9. S-026/MK.07/2003 29 Agustus 2003 11
10. S-030/MK.07/2003 12 November 2003 1
11. S-031/MK.07/2003 12 November 2003 2
12. S-011/MK.07/2004 14 April 2004 1
Jumlah 226

Sumber : data primer, diolah.
Sejumlah alasan telah diberikan oleh Menteri Keuangan sebagai bahan pertimbangan dan rekomendasi kepada Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan perda pajak daerah dan retribusi daerah yang telah dibuat dan siap diimplementasikan oleh daerah kabupaten/kota. Beberapa alasan pembatalan perda mengenai pajak daerah dan retribusi daerah tersebut antara lain adalah :8
1 Pungutan atas pajak daerah dan retribusi daerah dapat menghambat/merintangi arus barang dan jasa, baik antar daerah maupun untuk kepentingan ekspor-impor.
2 Pungutan atas pajak daerah dan retribusi daerah dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi, karena dapat menambah unsur biaya yang berpotensi meningkatkan harga jual barang dan jasa yang dikenakan kepada konsumen.
3 Pungutan atas pajak daerah dan retribusi daerah tumpang tindih dengan pungutan resmi lainnya, baik yang dikenakan oleh pemerintah pusat maupun tingkatan pemerintahan daerah lainnya (seperti Provisi Sumber Daya Hutan, PPN, dan PBB).

8 Analisis terhadap Surat Rekomendasi Menteri Keuangan No. S-486/MK.07/2001, No. S-523/MK.07/2001, No. S-70/MK.07/2002, No. S-26/MK.07/2002, No. S-006/MK.07/2003, No. S-184/MK.07/2003, No. S-018/MK.07/2003, No. S-025/MK.07/2003, No. S-026/MK.07/2003, No. S-030/MK.07/2003, No. S-031/MK.07/2003, dan No. S-011/MK.07/2004.
1 Pungutan atas pajak daerah dan retribusi daerah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan peraturan perundang-undangan yang bersifat lebih teknis, perundang-undangan sektoral (misalnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).
2 Pengenaan retribusi daerah tidak terkait dengan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah.
3 Pengenaan retribusi daerah yang satu tumpang tindih dengan retribusi lainnya.
4 Pengenaan retribusi daerah tumpang tindih dengan pengenaan pajak daerah.
5 Retribusi daerah dikenakan terhadap pelayanan umum yang seharusnya dibiayai oleh penerimaan umum.
6 Pengenaan pungutan retribusi tidak terkait dengan pengendalian dan pemberian izin oleh pemerintah daerah karena tidak ada kepentingan umum yang perlu dilindungi.
7 Pungutanretribusi daerah lebih bersifat pajak dibandingkan dengan sifat atau karakteristik retribusi.
8 Pungutan yang bersifat retribusi terhadap beragam bentuk sumbangan bertentangan dengan kepentingan umum, sebab seharusnya sumbangan itu bersifat sukarela dan tidak ada unsur paksaan.
9 Pengenaan pungutan, baik berbentuk pajak daerah maupun retribusi daerah, tidak efektif.
10 Jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah, yang dikenakan retribusi daerah, tidak memberikan manfaat secara langsung (nyata) dan/atau khusus bagi pembayar retribusi daerah.

Dalam proses penetapan perda mengenai pajak daerah dan retribusi daerah, Pemda Kota Bogor beserta lembaga legislatif di daerah memanfaatkan mekanisme pengawasan ini dengan optimal. Keleluasaan yang diperoleh terkait dengan proses pengawasan dipergunakan dalam melakukan proses penyusunan perda. Walaupun ada keleluasaan, rambu-rambu perundang-undangan tetap diperhatikan oleh eksekutif maupun legislatif di Daerah Kota Bogor. Dalam melakukan proses penyusunan raperda maupun pembahasannya sehingga dapat menghasilkan perda, mereka memperhatikan ketentuan yang ada yang terkait dengan pajak daerah maupun retribusi daerah yang akan dikenakan kepada warga masyarakat. Mereka tidak ingin perda yang dihasilkan akan bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Mereka melakukan interpretasi yang cukup cermat atas peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perda yang sedang mengalami pembahasan.
Terdapat sejumlah hal yang menjadi patokan bagi Pemda Kota Bogor untuk menerbitkan perda baru yang mengatur jenis-jenis pajak daerah maupun retribusi daerah. Hal ini didasari pertimbangan agar perda yang telah ditetapkannya tidak bertabrakan dengan peraturan dan kebijakan nasional, terutama di bidang pajak daerah dan retribusi daerah. Sejumlah parameter itu antara lain adalah :
1 Peraturan daerah harus mengatur dengan jelas jenis pungutan yang akan dikenakan.
2 Pungutan yang dikenakan, terutama terkait dengan retribusi daerah, harus dikaitkan dengan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah.
3 Pelayanan yang dikenakan maupun mekanisme perizinan yang dikenakan retribusi bukanlah pelayanan atau mekanisme perizinan yang diada-adakan, namun memang merupakan pelayanan dan mekanisme perizinan yang sesuai dengan kewenangan yang dimiliki pemda.
4 Dalam rangka melakukan penyesuaian dengan perkembangan yang terjadi, pemerintah daerah dapat melakukan penyesuaian dan penyempurnaan terhadap peraturan-peraturan daerah yang telah diberlakukan selama ini.

Pemda Kota Bogor terlihat sangat hati-hati dalam mengeluarkan perda dalam rangka merespon kebijakan yang memberi keleluasaan dalam memungut pajak daerah dan retribusi daerah. Walaupun sudah memiliki tingkat kehati-hatian yang cukup tinggi, masih saja terjadi mis-interpretasi. Hal ini ditandai dengan dibatalkannya dua produk perda yang mengatur tentang retribusi daerah.
Walaupun telah memiliki sejumlah parameter seperti telah disebutkan diatas, dalam dua kasus perda (Perda No. 4/2001 dan Perda 7/2001) Pemda Kota Bogor harus melakukan pembatalan pemberlakuan perda yang telah ditetapkannya. Dari analisis yang dilakukan ditemukan bahwa penyebab utama dari pembatalan kedua perda ini adalah ketidaksamaan persepsi terhadap pemahaman peraturan perundang-undangan yang mengatur pajak daerah dan retribusi daerah. Ketidaksamaan pemahaman ini terutama terjadi dalam memahami kriteria untuk menetapkan dan menarik jenis-jenis retribusi daerah baru selain yang secara tegas telah digolongkan ke dalam tiga kategori yang ada.
Berdasarkan analisis terhadap sejumlah pajak daerah dan retribusi daerah yang ada dan surat rekomendasi yang diberikan oleh Menteri Keuangan, terdapat suatu fenomena menarik. Fenomena ini juga terlihat di Daerah Kota Bogor. Dimana fenomena tersebut adalah semangat daerah yang sangat menggebu-kebu, bahkan cenderung kebablasan, dalam memanfaatkan keleluasaan yang diberikan kepadanya untuk menarik beragam jenis pajak daerah dan retribusi daerah, sementara di pihak lain terjadi ketidaksepahaman antara pemerintah pusat daerah kabupaten/kota dalam melakukan interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan yang memberikan keleluasaan kepada daerah kabupaten kota untuk menarik pajak daerah dan retribusi daerah. Kedua hal ini menyebabkan terjadinya benturan antara perda yang telah ditetapkan oleh daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang-undangan yang ada lebih tinggi tingkatannya.
Besarnya semangat ini terlihat dari beragamnya perda yang ditetapkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota. Keberagaman yang sangat nyata dapat dilihat dari beragamnya jenis-jenis retribusi daerah dipungut oleh daerah kota/kabupaten dalam kurun waktu 2001-2004. Sedangkan untuk pajak daerah, sejumlah daerah juga menerapkan beragam jenis pajak, namun tidak seberagam jenis-jenis retribusi daerah yang ada. Beragam jenis retribusi daerah dan pajak daerah ini banyak berbenturan dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Pemerintah daerah kabupaten/kota berpendapat dengan diberikannya keleluasaan seluas-luasnya, mereka dapat menarik jenis-jenis pajak daerah serta retribusi daerah yang sesuai dengan potensi yang ada dan sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Sementara itu, pemerintah pusat sebenarnya telah memberikan rambu-rambu yang dapat dilihat dalam sejumlah peraturan perundang-undangan yang ada untuk membatasi keleluasan yang dimiliki oleh daerah kabupaten/kota dalam menarik jenis-jenis pajak daerah serta retribusi daerah. Pemerintah pusat berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan tersebut perlu diindahkan agar jenis-jenis pajak daerah serta retribusi daerah tidak menimbulkan masalah-masalah yang tidak perlu dalam penerapannya, misalnya perda-perda tersebut mendistorsi kegiatan ekonomi di daerah dan memberatkan beban yang harus ditanggung oleh masyarakat.
Untuk mencegah terjadinya ketidaksamaan pemahaman antara daerah kabupaten/kota terhadap pengaturan tentang penarikan pajak daerah dan retribusi daerah yang diberlakukan saat ini, perlu diambil langkah yang tepat. Salah satu langkah yang tepat adalah melakukan pembenahan institusional dengan menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang ada serta melakukan sosialisasi yang tepat terhadap produk-produk hukum tersebut. Penyempurnaan dilakukan dengan cara semakin memperjelas aturan main (rules of the games) dalam menetapkan serta menerapkan jenis-jenis retribusi baru maupun jenis-jenis pajak baru. Kejelasan ini pun harus didukung dengan penegakan hukum yang tegas disertai dengan konsistensi pelaksanaan aturan main. Setelah kerangka institusional ini disempurnakan, aturan-aturan main ini harus disosialisasikan dengan baik kepada daerah-daerah.
Penyusunan ataupun penyempurnaan rules of the game ini bukanlah dalam artian kembali membatasi jumlah pajak daerah maupun retribusi daerah yang dapat dipungut maupun mempersulit daerah dengan mempersempit ruang geraknya dalam memungut jenis-jenis pajak daerah maupun retribusi daerah baru. Daerah tetap perlu diberikan kemampuan dan ruang gerak yang lebih bebas untuk memungut jenis-jenis pajak daerah maupun retribusi daerah baru. Namun, aturan yang memungkinkan hal ini perlu semakin diperjelas.
Penutup
Dari hasil analisis semua perda yang mengatur pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dalam kurun waktu 2001-2003 di Kota Bogor, sejumlah kesimpulan dapat dibuat, yaitu :
1. Pola yang terjadi dan dilakukan oleh Pemda Kota Bogor dalam merespon kebijakan desentralisasi fiskal dalam memungut jenis-jenis pajak daerah maupun retribusi daerah baru dapat dikategorisasi dalam tiga kategori. Pembagian kategori tersebut adalah (a) Menyusun perda baru untuk merespon perubahan ketentuan penarikan jenis pajak daerah maupun retribusi daerah yang diatur dalam UU No. 34/2000 serta
peraturan pelaksananya, seperti memisahkan pengaturan yang mengatur pemungutan Pajak Hotel dan Pajak Restoran; (b) Menyusun perda baru untuk merespon dimungkinkannya penarikan jenis pajak daerah maupun retribusi daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 34/2000 serta peraturan pelaksananya, antara lain dengan menyusun perda yang mengatur pemungutan kembali jenis retribusi yang telah dicabut pada saat diimplementasikannya UU No. 18/1997 serta menyusun perda retribusi daerah baru yang terkait dengan kewenangan yang didesentralisasikan kepada daerah kabupaten/kota; dan (c) Menyusun perda baru untuk merespon perubahan ketentuan yang disusun oleh pemerintah daerah dengan dilahirkannya perda baru yang memayungi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.
2 Dalam memanfaatkan pelaksanaan kebijakan fiskal berdasarkan UU No. 34/2000, Pemerintah Daerah Kota Bogor masih melakukan penyimpangan dalam menetapkan peraturan daerah guna merespon kesempatan yang ada untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah.
3 Dari data yang diperoleh, Pemda Kota Bogor masih dimungkinkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan yang diberikan untuk menarik pungutan pajak daerah dan retribusi daerah baru.
4 Di sejumlah daerah, masih terjadi ketidaksamaan pemahaman antara pemerintah pusat dan daerah atas pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam memanfaatkan kesempatan yang ada untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah dengan mengaturnya dalam suatu peraturan daerah.

Daftar Pustaka
Buku-buku
Bird, Richard & Francois Vaillancourt (Ed.)., Desentralisasi Fiskal di Negara-negara Berkembang. Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama 2000.
Devas, Nick. et.al.. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1989
Iksan, M. dan Salomo, Roy V.. Keuangan Daerah di Indonesia. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi LAN Press, 2002.
Kaho, Josef Riwu. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia: Identifikasi Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995.
Koswara, E.. Otonomi Daerah: Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat. Jakarta: Yayasan Pariba, 2001.
Patersen, John F. dan Strachoto, Dennis F. (Eds.). Local Government Finance: Concepts and Practices. Chicago, Illinois, USA: Government Finance Officers Association, 1991.
Smith, B. C.. Decentralization: The Territorial Dimension of The State. London: George Allen & Unwin. 1985.
Artikel dan Makalah
Azfar, Omar. et. all.. “Decentralization, Governance, and Public Services The Impact of Institutional Arrangement: A Review of the Literature”. Working Paper. Maryland, USA: IRIS Center, University of Maryland, College Park, September 1999.
Bird, Richard dan Wallich, Christine. “Fiscal Decentralization and Intergovernmental Relations in Transition Economies: Toward a systemic framework of analysis”. Working Paper. Washington: World Bank Working Paper No. 1122 WPS, March, 1993.
Bahl, Roy. “Implementation Rules for Fiscal Decentralization”. Working Paper. Atalanta, Georgia: International Studies Program, School of Policy Studies, Georgia State University, Working Paper No. 99-1, January, 1999.
Bϋntjen, Cludia. Fiscal Decentralization in Indonesia: The Challenge of Designing Institutions. Laporan. Laporan P4D 1988-11. Proyek Pendukung Pemantapan Penataan Desentralisasi (P4D)/Support for Decentralization Measures (SfDM), Kerjasama antara Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia dan Deutsche Gesellschaft fϋr Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, 1998
Bird, Richard M.. “Rethinking Subnational Taxes: A New Look at Tax Assignment”. Working Paper. International Monetary Fund Working Paper No. 165/1999. Washington D.C.: International Monetary Fund, 1999.
Cochrane, Glynn. Policies For Strengthening Local Government In Developing Countries. Working Paper. World Bank Staff Working Paper No. 582. Management and Developing Series No. 9. Washington D.C.: The World Bank, 1983
Ebel, Robert D. dan Yilmaz, Serdar. “Intergovernmental Relations: Issues in Public Policy”. Paper, presented at Intergovernmental Fiscal Relations and Local Financial Management, A Partnership of The Asian Development Bank and World Bank Institute in Manila, October 11-15 1999. Washington D.C.: World Bank Institute, 1999.
McLure, Jr., Charles E.. “The Tax Assignment Problem: Conceptual and Administrative Considerations in Achieving Subnational Fiscal Autonomy”. Paper presented at the Seminar on Intergovernmental Fiscal Relations and Local Financial Management organized by the National Economic and Social Development Board of the Royal Thai Government and World Bank, Chiang Mai (Thailand), February 24 - March 5, 1999
North, Douglass C.. “Institution and a transaction-cost: Theory of exchange.” Dalam James E. Alt dan Kenneth A. Shepsle (Eds.). Perspective on Positive Political Economy. New York: Cambridge University Press, 1994.
Rondinelli, Dennis A.. “Decentralization in Developing Countries: A Review of Recent Experience”. Paper. World Bank Working Paper Series No. 581, Management and Development Series No. 8, July 1983. Washington D.C.: The World Bank, 1983.
__________________. What Is Decentralization ?. Dalam Jennie Litvack dan Jessica Seddon (Eds.). Decentralization: Briefing Note. World Bank Institute. 2nd Printing. Washington D.C.: The World Bank, 2000.
Vito Tanzi. “Pitfalls on the Road to Fiscal Decentralization”. Working Paper. Working Paper No. 19, Global Policy Program, Economic Reform Project. Washington D.C.: Carnegie Endowment for International Peace, 2001.
United Nations (DDMS and UNDP). Report. Report of The United Nations Global Forum on Innovative Policies and Practices in Local Governance, Gothenburg, Sweden, 23-27 September 1996.
Prud’homme, Remy. The Dangers of Decentralization. Dalam The World Bank Research Observer. Vol. 10, No. 2 (August 1995). Washington D. C.: International Bank for Reconstruction and Development/World Bank, 1995.

0 comments: