Friday 21 March 2008

RELASI KORUPSI DAN KEKUASAAN: Antara Cermin Budaya dan Penanggulangannya

RELASI KORUPSI DAN KEKUASAAN: Antara Cermin Budaya dan Penanggulangannya
Oleh Dr. Agus Suradika
Dosen PNS dpk FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta

Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan “pintu masuk” bagi tindak korupsi. Inilah hakekat pernyataan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad 19. Dengan adagium-nya yang terkenal ia menyatakan: Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut).1
Ada postulat yang mengatakan korupsi mengikuti watak kekuasaan. Jika kekuasaan berwatak sentralistis, korupsi pun mengikutinya berwatak sentralistis. Semakin tersentral kekuasaan, semakin hebat pula korupsi di pusat kekuasaan itu. Jenis ini ditemukan di masa Orde Baru.
Sebaliknya, jika yang terjadi adalah otonomi, seperti otonomi daerah, maka korupsi pun mengikutinya sejajar dengan otonomi tersebut. Karena kekuasaan berpindah dari satu pusat kekuasaan ke banyak pusat kekuasaan yang otonom, korupsi pun mengikutinya berpindah dari satu pusat kekuasaan kepada banyak pusat kekuasaan. Jenis ini dialami sekarang, di zaman pasca Orde Baru.2 Bisa dibayangkan jika yang terjadi otonomi yang seluas-luasnya. Menurut postulat ini, korupsi pun akan mengikutinya: juga terjadi seluas-luasnya di banyak pusat kekuasaan yang otonom itu.
Desentralisasi justru menimbulkan banyak masalah yang bisa membahayakan program itu sendiri. Selain mengurangi efisiensi, desentralisasi ternyata juga menyuburkan korupsi. Sehingga seakan antara pusat dan daerah berlomba untuk melakukan korupsi. Sedemikian kencang perlombaan terjadi sehingga sekarang tidak jelas lagi, manakah yang lebih hebat dan “berprestasi” dalam melakukan korupsi. Otonomi dan desentralisasi telah menyebabkan korupsi menyebar ke daerah-daerah. Bahkan, jika di era sebelumnya yang umumnya melakukan korupsi adalah jajaran eksekutif, sekarang sudah melanda jajaran legislatif. Keduanya adu cepat melalap uang negara dan mengisap uang rakyat. Korupsi sebagai virus ganas rupanya mendapatkan medium penyebaran yang efektif melalui otonomi dan desentralisasi.
Reformasi memang menghasilkan DPR yang lebih berkuasa dibanding presiden, sedangkan otonomi menghasilkan DPRD yang tidak kalah berkuasanya dibandingkan kepala daerah. Bahkan, even laporan pertanggungjawaban (LPJ) kepala daerah dan pemilihan kepala daerah dijadikan ajang korupsi secara gotong royong.
1Lihat dalam Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1995).
2Dalam tulisan ini sengaja tidak menggunakan istilah era reformasi. Reformasi sejatinya terkait dengan segala upaya ke arah perubahan yang lebih baik dari era sebelumnya. Sejalan dengan pemaknaan pengertian ini semestinya era reformasi harus lebih baik dari era Orde Baru. Kenyataannya, dalam hal menyangkut perilaku politik, ekonomi, hukum dan sebagainya, era sekarang tidak lebih baik dari era Orde Baru. Sehingga terlalu riskan bila penamaan era pasca Orde Baru disebutnya dengan istilah era reformasi.
Hal itu jelas mengancam masa depan negeri ini. Kajian Political and Economic Risk Consultancy (Oktober 2001) mengisyaratkan akan adanya faktor yang paling membahayakan bagi masa depan pembangunan bangsa Indonesia yang melebihi gerakan militer atau transisi politik yang kacau. Faktor itu adalah korupsi!
Makna dan Jenis Korupsi
Banyak ragam definisi tentang korupsi. Dari beragam definisi tersebut korupsi didefinisikan sebagai prilaku yang menyimpang dari aturan etis formal yang menyangkut tindakan seseorang dalam posisi otoritas publik yang disebabkan oleh motif pertimbangan pribadi, seperti kekayaan, kekuasaan dan status.3
Korupsi juga sering dimengerti sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Namun korupsi juga bisa dimengerti sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”. Artinya dalam pengambilan kebijakan di bidang ekonomi, apakah itu dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau oleh pejabat publik, hubungan pribadi atau keluarga tidak memainkan peranan. Sekali prinsip “mempertahankan jarak” ini dilanggar dan keputusan dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga maka korupsi akan timbul. Contohnya konflik kepentingan dan nepotisme. Prinsip mempertahankan jarak ini adalah landasan untuk organisasi apa pun untuk mencapai efisiensi.4
Sementara dari ragamnya, korupsi sebagaimana dinyatakan oleh Yves Meny,5 ada empat macam. Pertama, korupsi jalan pintas. Banyak dipraktekkan dalam kasus penggelapan uang negara, perantara ekonomi dan politik, sektor ekonomi membayar untuk keuntungan politik. Bila masuk dalam kategori ini kasus para pengusaha menginginkan agar UU Perburuhan tertentu diberlakukan; atau peraturan-peraturan yang menguntungkan usaha tertentu untuk tidak direvisi. Lalu partai-partai politik mayoritas memperoleh uang sebagai balas jasa.
Kedua, korupsi-upeti. Bentuk korupsi yang dimungkinkan karena jabatan strategis. Berkat jabatan tersebut seseorang mendapatkan persentase dari berbagai kegiatan, baik dalam bidang ekonomi, politik, budaya, bahkan upeti dari bawahan, kegiatan lain atau jasa dalam suatu perkara, termasuk di dalamnya adalah upaya mark up. Jenis korupsi yang pertama dibedakan dari yang kedua karena sifat institusional politiknya lebih menonjol. Money politics masuk dalam kategori yang pertama meski pertukarannya bukan langsung dari sektor ekonomi.
Ketiga, korupsi-kontrak. Korupsi ini tidak bisa dilepaskan dari upaya mendapatkan proyek atau pasar; masuk dalam kategori ini adalah usaha untuk mendapatkan fasilitas pemerintah. Keempat, korupsi-pemerasan. Korupsi ini sangat terkait dengan jaminan keamanan dan urusan-urusan gejolak intern maupun dari luar; perekrutan perwira menengah Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau polisi menjadi manajer human recources departement atau pencantuman nama perwira tinggi dalam dewan komisaris perusahaan. Penggunaan jasa keamanan seperti di Exxon Mobil di Aceh
3Nye, J.S., “Corruption and political development: a cost-benefit analysis”, dalam American Political Science Review, Vol LXI, No. 2, 1967.
4Vito Tanzi, “Corruption, Governmental Activities and Markets”, dalam IMF Working Paper, Agustus 1994.
5Sebagaimana dikutip dalam Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta: Kompas, 2003), hal. 124-125.
atau Freeport di Papua adalah contoh yang mencolok. Termasuk dalam kategori ini juga adalah membuka kesempatan pemilikan saham kepada “orang kuat” tertentu.
Dengan penyebutan ragam yang hampir sama, Amien Rais,6 membagi jenis korupsi yang harus diwaspadai dan dinilainya telah merajalela di Indonesia ke dalam empat tipe. Pertama, korupsi ekstortif (extortive corruption). Korupsi ini merujuk pada situasi di mana seseorang terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atas hak dan kebutuhannya. Sebagai misal, seorang pengusaha terpaksa memberikan sogokan (bribery) pada pejabat tertentu agar bisa mendapat ijin usaha, perlindungan terhadap usaha sang penyogok, yang bisa bergerak dari ribuan sampai miliaran rupiah.
Kedua, korupsi manipulatif (manipulative corruption). Jenis korupsi ini merujuk pada usaha kotor seseorang untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi-tingginya. Sebagai misal, seorang atau sekelompok konglomerat memberi uang pada bupati, gubernur, menteri dan sebagainya agar peraturan yang dibuat dapat menguntungkan mereka. Bahwa kemudian peraturan-peraturan yang keluar akan merugikan rakyat banyak, tentu bukan urusan para koruptor tersebut. Ketiga, korupsi nepotistik (nepotistic corruption). Korupsi jenis ini merujuk pada perlakuan istimewa yang diberikan pada anak-anak, keponakan atau saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon. Dengan preferential treatment itu para anak, menantu, keponakan dan istri sang pejabat dapat menangguk untung yang sebanyak-banyaknya. Korupsi nepotistik pada umumnya berjalan dengan melanggar aturan main yang sudah ada. Namun pelanggaran-pelanggaran itu tidak dapat dihentikan karena di belakang korupsi nepotistik itu berdiri seorang pejabat yang biasanya merasa kebal hukum. Keempat, korupsi subversif. Korupsi ini berbentuk pencurian terhadap kekayaan negara yang dilakukan oleh para pejabat negara. Dengan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya, mereka dapat membobol kekayaan negara yang seharusnya diselamatkan. Korupsi ini bersifat subversif atau destruktif terhadap negara karena negara telah dirugikan secara besar-besaran dan dalam jangka panjang dapat membahayakan eksistensi negara.
Menurut Indonesian Corruption Watch (ICW), korupsi di Indonesia dapat dilihat dari empat aspek yaitu korupsi di lingkungan pejabat, korupsi di lingkungan departemen, korupsi di lingkungan BUMN dan korupsi bantuan luar negeri.7
Tahapan Korupsi di Indonesia
Sebagaimana disebutkan dalam novel Korupsi karya Pramudya Ananta Toer,8 soal pelanggaran hukum dalam kaitan dengan pejabat negara, sudah mulai bersemai
6Amien Rais, “Suksesi sebagai suatu Keharusan,” Makalah, disampaikan dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah, Yogyakarta, 1993.
7Realitas ini juga pernah ungkapkan oleh Kwik Kian Gie selaku Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Kwik menduga –namun tidak mengada-ada– akan terjadinya kebocoran dalam pemanfaatan dana pinjaman dari Consultative Group on Indonesia (CGI). Pemerintah bahkan secara resmi mengakui dana miliaran dolar AS, yang diwujudkan dalam berbagai proyek infrastruktur, setiap tahun bocor sampai 20%. Kwik menambahkan bahwa selama ini dana CGI yang disalurkan puluhan miliar dolar. Namun dana itu bocor, karena proyek tak dikerjakan sesuai dengan rencana atau malah diselewengkan sehingga tak ada proyek sama sekali. Lihat dalam Kompas, 24 Januari 2003.
dengan baik sejak awal kehadiran republik ini. Bahkan Hamid Basyaib menyatakan bahwa jika mau diruntut ke belakang, VOC yang runtuh di akhir tahun 1799 itu tidak disebabkan oleh gempa bumi atau badai angin, tetapi oleh salah urus atau korupsi.9 Akibatnya, negara kolonial yang diwarisi republik tak lain selalu mengidap penyakit yang sama. Pada akhirnya rakyat itu jatuh dalam kehinaan, miskin, dan bodoh serta perlu ditolong di awal abad XX dengan etische politiek.
Kenyataan ini sama artinya bahwa soal penyalahgunaan kekuasan yang melanggar aturan yang dibuat oleh penyelenggara kekuasaan adalah hal yang harus diterima dalam sistem negara modern. Soal pagar makan tanaman bukan tabiat sekarang ini saja, tetapi sudah melekat pada watak negara modern yang selalu menggantikan kekuasaan absolut di satu tangan dialihkan pada sebuah badan, kelompok atau gerombolan yang disebut birokrasi. Sebab jika kekuasaan ada di satu tangan, korupsi disebut upeti yang dibelandakan dengan hernsdienst. Ketika yang menjadi birokrat itu juga aristokrat, soal korupsi tidak terlalu merisaukan, karena hal semacam itu dalam rasa keadilan masyarakat tidak terlalu mengganggu. Korupsi seperti terjadi di awal republik hanya menjadi masalah elite politik sendiri, dalam arti bagaimana mungkin terjadi sama-sama berkecimpung dalam kekuasaan, kok pendapatan bisa berlainan? Artinya korupsi adalah soal hukum, melanggar hukum, dan fatsoen politik. Kenyataan ini oleh Emanuel Subangun,10 disebutnya sebagai tahapan awal korupsi di Indonesia.
Tahapan berikutnya adalah ketika penguasa negara melakukan pemberantasan korupsi dengan “salah urus”. Selepas berhasil menumbangkan kekuasaan Orde Lama, Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto awalnya juga berusaha melakukan pemberantasan korupsi dengan membentuk KAK (Komite anti-Korupsi) dan semua pernik-perniknya, termasuk undang-undang dan imbauan-imbauan. Pendek kata soal upeti dan herndienst itu diributkan lagi, dan karena di masa itu kelompok penguasa gemar berkongkalikong dengan sekitar 200 konglomerat Cina, maka korupsi diganti nama dengan “pungli” yang tak lain adalah akronim biasa dari “pungutan liar”. Dalam bahasa hukum, dengan sendirinya disebut sebagai menyalahgunakan kekuasaan untuk mendapatkan manfaat finansial secara tak wajar, seperti disebut dalam sumpah jabatan para pemimpin politik, termasuk kepala negara kita.
Dalam imbauan, karena hukum tidak cukup efisien memberantas korupsi, tetapi malah memungkinkan korupsi berjalan secara aman dan damai di tempat basah seperti kantor bendahara negara atau tempat lain, maka diimbau agar para pejabat tidak melakukan komersialisasi jabatan. Jadi pungli adalah ihwalnya, dan komersialisasi jabatan adalah prosesnya.
Seperti dalam setiap imbauan yang bersifat politik, sekarang maupun sepanjang Orde Baru, korupsi tumbuh dalam irama alamiahnya. Tidak susut tetapi tumbuh subur setara dengan rate of growth kita yang hebat itu. Karena imbauan tak lain adalah afirmasi dari sebuah keberadaan, korupsi tidak lagi semata dan utamanya adalah masalah legal dan politik, tetapi masalah jual beli jabatan dalam birokrasi. Jabatan itu artinya dekat dengan sumber daya yang langka dan utamanya finansial. Maka komersialisasi jabatan
8Lihat lebih jauh Pramoedya Ananta Toer, Korupsi, (Jakarta: Hasta Mitra, 2002).
9Lihat Hamid Basyaib, “Penyebaran Korupsi Luar Biasa”, dalam Jurnal Resonansi, Edisi Khusus Akhir Tahun 2003 dan Awal Tahun 2004, hlm. 67-72.
10Emanuel Subangun, “Tiga Tahap Sejarah Korupsi di Indonesia”, dalam Kompas, 8 Juli 2002.
tak lain adalah meletakkan jabatan itu rangkaian prosedur komersial yang sedang berlaku. Bentuk paling khas di zaman itu adalah hadirnya semua ragam pejabat sebagai komisaris pada perusahaan konglomerat!
Di sinilah letak perbedaan korupsi masa Orde Baru dengan masa Orde Lama. Pada masa Orde Lama, korupsi adalah masalah perbedaan penghasilan dalam jenjang kepangkatan, artinya masalah keadilan di antara para pelakunya yang notabene adalah elite penguasa. Memasuki masa Orde Baru, masalah yang muncul tidak lagi terkait dengan masalah keadilan, hukum, dan politik, tetapi adalah suatu hal yang wajar karena dalam perluasan pasar yang terjadi, jabatan negeri adalah salah satu mata rantai yang penting untuk kelancaran usaha yang namanya adalah jaminan keamanan dalam berbisnis!
Tahapan ketiga, ketika zaman reformasi tiba dan rezim datang silih berganti, wajah korupsi kian kaleidoskopik. BJ Habibie yang genius sibuk dengan urusan teknologi canggih, dan urusan uang diserahkan pada anak buahnya seperti sekarang muncul di pengadilan, Rahardi Ramelan atau Akbar Tandjung. Hal yang sama dilakukan Abdurrahman Wahid yang justru harus jatuh dengan dalih korupsi juga, semata karena Abdurrahman Wahid juga tak terlalu peduli dengan arus kas dirinya sendiri.
Zaman BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid adalah masa peralihan dalam sejarah penyalahgunaan wewenang resmi untuk ditukar dengan uang. Zaman baru mulai merebak saat Megawati dilantik menjadi presiden dan serentak mengumpulkan semua anggota keluarganya untuk tidak mempraktikkan KKN. Tindak simbolik itu seakan tindakan nyata, sehingga praktis banyak pihak terkesima.
Akan tetapi, tidak berapa lama menjadi presiden, segera budaya korupsi itu menemukan bentuknya yang bisa dicapai secara peradaban. Tidak lagi sekarang ini soal pemasukan tidak sah dalam kantung (Orde Lama), bukan juga sekadar komersialisasi jabatan (Orde Baru), tetapi lebih cantik dan indah lagi yang terjadi. Seluk-beluk masalah yang disebut korupsi itu dibingkai dalam istilah KKN (mirip kuliah kerja nyata), tetapi dalam kenyataan riil adalah para pegawai politik di semua lapis, jajaran, dan jabatan kian mengerti dan paham nilai finansial dari kedudukan itu. Kini, jabatan bukan lagi sebuah mata rantai dari sistem komersial yang sedang tumbuh, tetapi sedang menjadi salah satu mata dagangan yang strategis karena komoditas yang lain tidak layak jual, sistem produksi tidak jalan, dan bangunan moneter/finansial terus goyah. Dalam keadaan semua tidak menentu itu, satu-satunya komoditas yang layak jual adalah jabatan dalam politik! Entah itu di perwakilan rakyat, di pemerintahan, di dinas militer, jaksa, hakim, dan sebagainya.11
Negeri Sarat Korupsi
Praktik korupsi, tampaknya sudah membudaya dan bukan semata milik strata atas dalam jajaran pemerintahan. Berkaitan dengan persoalan ini, secara hierarki, korupsi dianggap sudah menjadi fenomena yang lekat mulai dari level instansi tingkat kelurahan, kabupaten/kotamadya hingga tingkat provinsi. Institusi pendidikan, kesehatan dan bahkan keagamaan pun tak luput dari tudingan melakukan praktik korupsi.
Beberapa penelitian menunjukkan betapa terpuruknya citra bangsa ini. Peringkat citra "negara (ter)korup" nyaris selalu melekat sepanjang tahun. Hasil pengkajian
11Ibid.
Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) tahun 1996 lalu, misalnya, menempatkan negeri ini pada urutan ketiga terkorup di antara negara-negara Asia lainnya, setelah China dan Vietnam.
Pada tahun yang sama, Transparency International –sebuah koalisi global antikorupsi–mengeluarkan indeks tahunan mengenai persepsi masyarakat bisnis dan akademisi tentang korupsi pada lebih dari 50 negara. Dari indeks tersebut, Indonesia termasuk ke dalam 10 besar negara dengan derajat korupsi tertinggi.
Malah, kondisi yang lebih buruk kembali ditunjukkan oleh lembaga Transparency International (TI) pada tahun 1999. Indonesia ditempatkan sebagai negara ketiga terkorup di dunia, dan posisi itu belum berubah ketika pada tahun berikutnya lembaga ini mengumumkan corruption perceptions index (CPI) terhadap 99 negara. Baru pada tahun 2001, peringkat berubah meskipun tidak banyak berarti mengingat cap sebagai negara paling korup keempat di dunia dinyatakan kembali oleh TI. Padahal, Cina dan Vietnam yang beberapa tahun terakhir bersaing dalam soal korupsi dengan Indonesia, kini sudah jauh meninggalkan Indonesia menuju ke arah yang lebih baik setelah mengampanyekan gerakan antikorupsi dengan menghukum mati para pejabat teras mereka yang terlibat korupsi.
Sementara dalam hal penerapan good corporate governance selama tiga tahun terakhir dari sepuluh negara Asia (Singapura, Hongkong, Taiwan, India, Korea, Malaysia, Cina, Thailand, Filipina, dan Indonesia) yang diteliti oleh Bank Pembangunan Asia, Indonesia berada pada posisi paling buncit.12 Sebelumnya di awal 1990-an, begawan ekonomi Indonesia, Sumitro Djojohadikusumo berulang kali menyatakan telah terjadinya kebocoran anggaran negara sebesar 30 persen setiap tahun.
Ada banyak sebab yang mengakibatkan “prestasi” Indonesia dalam soal korupsi begitu hebat. Selain beberapa yang telah disebutkan di atas, korporatisme (tepatnya state corporatisme)13 juga menjadi faktor yang cukup determinan. Dalam khasanah literatur ekonomi-politik, korporatisme sering disepadankan dengan praktek politik di mana pemerintah (regimes) berinteraksi secara tertutup dengan sektor swasta besar. Dalam ketertutupan tersebut, transaksi ekonomi mapun politik terjadi hanya untuk kepentingan segelintir kelompok kepentingan (interest group) yang terlibat di dalamnya. Biasanya transaksi politik maupun eknomi yang seperti ini terjadi secara informal dalam tatanan hukum yang kabur atau tatanan hukum yang memihak kepentingan kelompok kecil tersebut.14
Berlakunya korporatisme bukan hanya menjadi gejala tidak bekerjanya mekanisme politik dan ekonomi yang partisipatif, tapi juga merupakan bukti distorsi dari sistem ekonomi dan politik yang demokratis. Di mana pun sistem korporatisme akan menimbulkan ketidakstabilan yang akhirnya akan ambruk dengan sendirinya karena kekuatan rakyat (yang selama ini dirugikan) terpaksa dan harus menyingkirkan sistem seperti ini.
12Faisal Basri, “Analisis Ekonomi: Mewaspadai Politik Uang”, Kompas, 16 Februari 2004.
13Meminjam istilah Ramlan Surbakti. Lihat Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 1993), hlm. 198.
14Didik J. Rahbini, Ekonomi Politik: Paradigma, Teori dan Perspektif Baru, (Jakarta: CIDES, 1996), hlm. 92.
Dalam prakteknya, korporatisme biasanya “berselingkuh” dengan praktek “haram” lainnya yang disebut dengan rent seeking (memburu rente) yang dilakukan oleh para elite penguasa atau pun keluarga di lingkup elite. Rent seeking dalam prakteknya adalah menjualbelikan jabatan publik yang dimiliki oleh pejabat publik guna memperoleh kekuntungan ekonomi, yang prakteknya berwatak “koruptif”.
Praktek korporatisme dan rent seeking ini tampak begitu selama berkuasanya rezim Orde Baru. Akumulasi dan distribusi modal hanya dinikmati oleh segelintir orang (sekitar 10%) dengan cakupan modal cukup berlimpah (sekitar 90%). Sementara kebanyakan orang (90% lainnya) sangat kesulitan untuk mengakses mendapatkan modal yang hanya sedikit (hanya sekitar 90%).
Kenyataan pahit ini ditambah dengan perubahan paradigma pembangunan nasional dari yang sebelumnya lebih berorientasi pada politik menjadi lebih berorientasi pada ekonomi. Kebanyakan negara yang mengedepankan aspek ekonomi, maka konsekwensinya, arah pembangunan lebih dititikberatkan pada aspek pertumbuhan ketimbang pemerataan.
Negara yang berorientasi pada pertumbuhan biasanya akan menjadikan makro ekonomi sebagai alat ukur. Parameter pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, nilai tukar rupiah, indeks harga saham gabungan (IHSG) selalu akan menjadi alat ukur. Padahal parameter tersebut tidak selalu menggambarkan realitas sesungguhnya di lapangan.
Pendapatan per kapita misalnya, selama Orde Baru berkuasa pendapatan per kapita negara kita tergolong cukup baik –meskipun masih kalah bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga lainnya. Namun apakah pendapatan per kapita tersebut menggambarkan realitas yang sesungguhnya? Jawabnya tentu tidak! Sebagian besar masyarakat kita (sekitar 30 juta saat itu) hidupnya di bawah garis kemiskinan. Lantas berapa masyarakat kita yang hidup di garis kemiskinan?
Pemerintah saat itu selalu berdalih bahwa model pertumbuhannya adalah menganut konsep resapan ke bawah (tricle down efect). Artinya pertumbuhan yang kelak diharapkan, modalnya tidak saja berputar di lingkup pengusaha besar, namun resapannya juga akan dinikmati oleh masyarakat banyak.
Pembangunan dengan model seperti ini semua sudah menyaksikan hasilnya. Bangunan ekonomi makronya cukup bagus, namun tidak dibarengi dengan fundamental ekonomi –dan tentu saja fundamental politik– yang kuat. Negara mengalami krisis ekonomi yang cukup parah. Sementara “pertumbuhan” yang ditawarkan tidak menghasilkan apa-apa, kecuali kesengsaraan ekonomi sebagian besar masyarakat.
Gaya Normatif Pemberantasan Korupsi
Setiap pemerintahan baru selalu berjanji akan memberantas korupsi. Akan tetapi, setelah kekuasaan itu berjalan, korupsi tidak juga berkurang, bahkan ada kecenderungan terjadi peningkatan. Bung Hatta pernah mengkonstatir bahwa di era pemerintahan Orde Baru, korupsi di Indonesia sudah sampai pada tahap membudaya. Pernyataan tersebut meski memperoleh tanggapan beragam dalam masyarakat, tetapi kebenarannya tidak terbantahkan. Berikut perkembangan upaya pemberantasan korupsi “gaya normatif” dari waktu ke waktu.
Era Orde Lama
Pada era ini, di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi, namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Adapun perangkat hukum yang digunakan adalah Undang-undang Keadaan Bahaya dengan produknya yang diberi nama Paran (Panitia Retooling Aparatur Negara). Badan ini dipimpin oleh A. H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Mohammad Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan –istilah sekarang mungkin disebut daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran akan tetapi langsung kepada presiden.
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda). Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian hari dikenal dengan istilah "Operasi Budhi" di mana sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.
Dalam kurun waktu tiga bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebanyak kurang lebih Rp 11 miliar, suatu jumlah yang cukup banyak untuk ukuran pada saat itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan.
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumumkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan, Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pj Presiden, di depan anggota MPRS menjelang Hari Kemerdekaan RI tangal 16 Agustus 1967, menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidakseriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena diangap sebagai sarang korupsi dan ''pat gulipat''.
Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan “tokoh-tokoh tua” yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lainnya.
Namun komite ini hanya ''macan ompong'' karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah. Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat.
Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Laksamana Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara, di mana Nasution menganggap bahwa apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, maka harus dimulai dari atas. Di samping itu, Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa menimbulkan bekas sama sekali.
Era Pasca Orde Baru
Presiden BJ Habibie mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo. Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang bisa mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.
Kita mungkin masih ingat pertemuan Gus Dur dengan Tommy Soeharto di Hotel Borobudur, padahal Tommy saat itu sedang tersangkut kasus korupsi tukar guling Goro dan penembakan Hakim Agung Syafiudin. Kemudian konglomerat Sofyan Wanandi melalui Jaksa Agung Marzuki Usman diberinya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate.
Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi ditempatkan sebagai Menneg BUMN yang dalam pola pikirnya hanya bagaimana cara menjual aset negara untuk meraih uang. Di masa pemerintahan Megawati pula kita melihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri.
Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elite pemerintah sebenarnya tidak serius dalam upaya memberantas korupsi. Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional.
Pemberantasan Korupsi Model Shleifer dan Vishny15
Model yang ditawarkan Shleifer dan Vishny ini tergolong “aneh”, karena ia menawarkan pemberantarasan korupsi justru melalui “transaksi korup”. Pemberantasan korupsi model Shleifer dan Vishny ini mengasumsikan birokrat pemerintah menyajikan penawaran terbatas pada suatu rentang hak yang berguna (seperti bermacam lisensi yang dipersyaratkan untuk membangun suatu usaha). Shleifer dan Vishny membedakan tiga kasus seperti ditunjukkan dalam Tabel 1. Pertama, ketika pemerintah terpusat dan satu agen (single agency) tunggal menjadi penyedia seluruh hak yang relevan. Birokrat pemerintah memaksimalkan pendapatannya dari suap dengan membatasi penawaran bersama berbagai hak sampai tingkat keuntungan maksimal. Kasus kedua, ketika beberapa agen pemerintah bersaing dalam pemberian hak yang saling melengkapi. Karena itu, satu agen dapat memberikan hak impor atas bahan baku, yang lainnya memberikan hak untuk membangun pabrik, dan yang ketiga menyajikan akses ke kredit. Jika agen-agen yang berbeda tidak terpusat dan bebas untuk mencoba memaksimalkan keuntungan untuk mereka, masing-masing akan menghadapi dilema narapidana (prisoner's dilemma). Ketika mencoba memaksimalkan sewa untuk mereka, masing-masing bisa meningkatkan harga sewa tertentu yang ditawarkan begitu tinggi sehingga kegiatan secara keseluruhan menyusut, dan total sewa yang dikumpulkan oleh para agen akan jatuh. Kasus ketiga, ketika ada beberapa agen, tetapi mereka masing-masing dapat melayani seluruh hak yang relevan. Ini mirip dengan beberapa negara kecil dalam suatu negara, yang bersaing untuk membagikan usaha. Hasilnya secara radikal berbeda. Masing-masing negara kecil ini berusaha melayani suatu paket tawaran ke pembeli dengan hak pelengkap yang diperlukan untuk membangun usaha. Kompetisi di antara negara-negara kecil sekarang memiliki hasil teoretik yang diharapkan, dengan menekan harga paket sewa ke nol, dan karena itu total sewa yang dikumpulkan juga nol.
15 Shleifer, A. and Vishny, R.W., Corruption, Quarterly Journal of Economics Vol 108 No 3, 1993.
Tabel 1 Klasifikasi Shleifer-Vishny tentang Korupsi Struktur Agen yang Menyediakan Hak
Satu Agen Menyediakan Seluruh Hak Agen-agen Berkompetisi Menyediakan Hak yang Melengkapi Agen-agen Berkompetisi Masing-Masing Menyediakan Seluruh Sewa
Pengumpulan Suap Keseluruhan Tertinggi Menengah Terendah
Tingkat Masingmasing Suap Menengah Tertinggi Terendah

Kesimpulan kebijakan Shleifer dan Vishny adalah sederhana. Penyelesaian korupsi paling baik dengan meningkatkan kompetesi di antara birokrat dan memungkinkan lebih banyak agen menyediakan hak yang sejenis. Tujuannya adalah mencapai kolom ketiga. Kasus terburuknya, agen yang berkompetisi menyediakan masukan yang saling melengkapi (kolom 2 dalam Tabel 1). Di sini, hambatan koordinasi di antara agen-agen mengakibatkan rendahnya total sewa yang dikumpulkan karena tingkat aktivitas ekonomi telah menyusut. Kasus monopoli absolut (kolom 1) secara marginal lebih baik. Suap untuk masing-masing hak yang dijual lebih rendah di sini, tetapi total suap yang dikumpulkan lebih besar karena ekonomi beroperasi pada tingkat aktivitas yang lebih tinggi.
Klasifikasi Shleifer-Vishny berguna untuk membedakan kasus ekstrim kelemahan birokrat. Ketika sejumlah besar masing-masing agen pemerintah memonopoli beberapa bagian, tetapi tidak keseluruhannya hak yang penting untuk aktivitas ekonomi, kita memiliki suatu transisi ke kolom 2, dengan kenaikan tingkat suap dan kejatuhan total suap yang diambil. Akan tetapi, apakah perbedaan antara struktur agen ini dapat memperkirakan pengamatan berbeda kinerja negara berkembang yang korup?
Fragmentasi pemerintah yang diuraikan dalam kolom 2 relevan untuk negara-negara yang baik dalam jalan anarkhi. Ini mempersyaratkan agen pemerintah bawahan menyatakan kebebasan dan mampu menekannya. Hal ini penting untuk mengerti apa yang dibutuhkan. Artinya, suatu agen seperti halnya yang menyediakan lisensi industri, dapat menekan suatu tingkat suap terhadap haknya secara bebas dari agen lainnya, dan tanpa mempertimbangkan apa yang terjadi pada tingkat agregat aktivitas ekonomi. Ini bukan kasus dengan hak yang penting, bahkan dalam pemerintah yang biasanya lemah seperti Pakistan atau Banglades.
Hak yang berhubungan dengan proyek penting, yang mensyaratkan ijin dari beberapa agen, biasanya ditransaksikan pada tingkat pemerintah yang cukup tinggi sampai ke agen-agen, yang saling melengkapi. Tentunya, beberapa bentuk kasus paling buruk seperti Haiti di bawah Duvalieer, Bangladesh di bawah Ershad atau Filipina di bawah Marcos, mendekati kasus monopoli kolom 1 daripada kolom 2. Pemimpin besar mempunyai jalur di setiap tempat, dan secara jelas memiliki kepentingan dalam memaksimalkan total sewa yang dikumpulkan.
Di sisi lain, beberapa negara yang kebanyakan berhasil, tidak berhubungan dengan kasus penyediaan kompetisi seperti kolom 3, tetapi juga lebih mendekati kolom 1. Shleifer dan Vishny mengakui bahwa pemerintah Korea Selatan diperkirakan dalam model monopolistik dan menemukan hal membingungkan bahwa itu tidak mengalami nasib sama seperti penyedia monopoli lainnya. Secara jelas, ada beberapa perbedaan dalam struktur organisasi birokrasi pemerintah yang menyediakan hak di antara berbagai negara, dan gambaran sisi penawaran ini dapat menjelaskan perbedaan pengaruh korupsi di antara mereka. Akan tetapi, kebanyakan struktur organisasi yang relevan untuk menyediaan hak melalui korupsi terletak di antara kasus monopolistik dan oligopolistik, seperti tertera dalam kolom 1 dan 2 pada Tabel 1. Perbedaan di antara mereka (walaupun tetap cukup penting) tidak muncul cukup besar untuk menjelaskan perbedaan dramatis antara Haiti dan Taiwan atau Korea Selatan dan Banglades.
Model yang ditawarkan oleh Shleifer dan Vishny ini memang tidak serta merta dapat mengurangi angka korupsi secara drastis, namun setidaknya akan mampu membuat jera pelaku-pelaku korupsi dan pada akhirnya diharapkan akan mampu meminimalisir terjadinya korupsi.
Kekuasaan yang Amanah sebagai Jalan Keluar Terakhir
Gambaran buram tentang kekuasaan dikarenakan kita sering merujuk praktik kekuasaan yang digenggam oleh politisi busuk. Akan tetapi, adagium “kekuasaan itu cenderung korup” sebenarnya bisa ditepis ketika hadir kekuasaan yang amanah, adil dan demokratis serta memiliki visi dan komitmen yang jelas tentang clean government dan good governance. Kepemimpinan yang amanah adalah kepemimpinan yang mengedepankan keteladanan, transparansi dan akuntabilitas dalam memegang kekuasaan. Kepemimpinan yang adil adalah kepemimpinan yang mengedepankan supremasi hukum dan memberlakukan hukum bagi semua pihak atas dasar rasa keadilan masyarakat tanpa sikap diskriminatif. Kepemimpinan yang demokratis adalah kepemimpinan yang partisipatif dan dalam konstelasi checks and balances antar unit-unit suprastruktur politik maupun infrastruktur politik.
Di sinilah urgensinya kita menghasilkan kepemimpinan baru yang memenuhi kriteria itu. Tanpa kepemimpinan baru yang kredibel, kapabel dan akseptabel, korupsi akan sulit untuk dibasmi. Bagaimana mungkin kita menyapu lantai dengan sapu yang kotor. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elite pemerintahan menjadi faktor penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia.
Perubahan kepemimpinan itu, kini telah menemukan kembali momentumnya melalui pemilihan presiden secara langsung tahap kedua pada 20 September 2004 mendatang. Dalam perspektif demokrasi, pemilu memiliki dua fungsi pokok. Pertama, sebagai sarana memperbarui dan memperkokoh legitimasi politik penguasa yang sedang berjalan. Jika pemerintah dan partai yang berkuasa aspiratif bagi kepentingan rakyat, melaksanakan agenda reformasi, menegakkan keadilan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat, maka fungsi pemilu adalah memperbarui legitimasi politik. Para pemilih datang ke bilik suara untuk mengamanahkan kembali kedaulatan politik yang berada di tangannya. Pemerintahan dan partai itu layak mendapat kepercayaan kembali untuk mengelola negara dan mewakili kepentingan rakyat banyak. Keberadaan partai-partai lain dalam pemilu dimaksudkan untuk melahirkan kekuatan checks and balances sehingga pemerintah tidak melakukan abuse of power yang menyimpang dari agenda reformasi.
Kedua, sebagai sarana mendelegilitimasi pemerintahan lama dan membentuk pemerintahan baru. Jika pemerintah dan partai yang berkuasa tidak aspiratif, mengabaikan amanah reformasi, dikendalikan oleh politisi busuk dan tidak kapabel menjalankan roda pemerintahan, maka pemilu menjadi momentum untuk melakukan suksesi kepemimpinan nasional, baik pada level eksekutif maupun legislatif, dari pusat hingga ke daerah. Pemilihan umum seharusnya menjadi mimpi buruk bagi rezim yang korup, politisi busuk, partai yang gemar obral janji pembela wong cilik dan siapa saja yang mendukung mereka. Para pemilih akan “mengeksekusi” mereka di bilik-bilik suara dan mengalihkan legitimasinya pada pemimpin baru dan partai alternatif yang aspiratif dengan kepentingan mereka.
Persoalannya adalah apakah para pemilih memiliki tingkat budaya politik yang tinggi sehingga memahami makna pemilu itu dan mampu mengevaluasi secara kritis rezim yang berkuasa? Ataukah mereka justru tidak memiliki memori kolektif yang agak panjang dan mampu mengingat perilaku penguasa yang tidak amanah, tidak adil dan korup selama mereka berkuasa? Jika kesadaran politik rakyat rendah dan memori politiknya pendek, maka mereka dengan mudah dihibur dan diberi “gula-gula politik” oleh penguasa sehingga pemilu hanya akan berfungsi sebagai momentum memperbarui kontrak politik dan peneguh kekuasaan, meskipun kinerja mereka mengecewakan.
Akhirnya, tulisan ini akan diakhiri dengan mengutip pernyataan seorang filsuf Yunani Socrates di muka pengadilan: "Tuan-tuan, kekuasaan tuan-tuan dapat membuat hukum semau-maunya. Tetapi kekuasaan tuan-tuan pada akhirnya akan dapat dikalahkan perasaan keadilan dari rakyat yang tidak dapat dimatikan atau ditindas. Lama setelah saya mati nanti, tuan-tuan sebagai hakim akan dikenal sebagai contoh-contoh, di mana hukum tidak sama dengan keadilan. Hukum datang dari otak manusia, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat...." Wallahu a’lam bi Al-Shawaab.
DAFTAR PUSTAKA
Basri, Faisal, “Analisis Ekonomi: Mewaspadai Politik Uang”, Kompas, 16 Februari 2004. Basyaib, Hamid, “Penyebaran Korupsi Luar Biasa”, dalam Jurnal Resonansi, Edisi
Khusus Akhir Tahun 2003 dan Awal Tahun 2004. Budhiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1978). Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta: Kompas, 2003), hal. 124-125. Kompas, 24 Januari 2003 Nye, J.S., “Corruption and political development: a cost-benefit analysis”, dalam
American Political Science Review, Vol LXI, No. 2, 1967. Rahbini, Didik J., Ekonomi Politik: Paradigma, Teori dan Perspektif Baru, (Jakarta:
CIDES, 1996). Rais, Amien, “Suksesi sebagai suatu Keharusan,” Makalah, disampaikan dalam Sidang
Tanwir Muhammadiyah, Yogyakarta, 1993. Shleifer, A. and Vishny, R.W., Corruption, Quarterly Journal of Economics Vol 108 No
3, 1993.
Subangun, Emanuel, “Tiga Tahap Sejarah Korupsi di Indonesia”, dalam Kompas, 8 Juli 2002.
Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 1992)
Tanzi, Vito, “Corruption, Governmental Activities and Markets”, dalam IMF Working Paper, Agustus 1994.
Toer, Pramoedya Ananta, Korupsi, (Jakarta: Hasta Mitra, 2002).

0 comments: