Saturday 22 March 2008

Pengejawantahan Rakyat Kecil

SUKRASANA
Pengejawantahan Rakyat Kecil
…………………,Walau demikian Sukrasana tetap mencintai kakaknya, dan arwah Sukrasana melayang; berkatalah ia:”Kakang Sumantri, kau tahu bahwa aku mencintaimu. Ketahuilah kepergianku berarti kehancuranmu”.
(Marsekal Pertama Ir. Sri Mulyono Djojosupadmo)
abstrak
Kegagalan yang yang terjadi dalam pembangunan suatu negara, diantaranya, tidak terlepas dari ketidak fahaman pelaku perencana terhadap sejarah kebudayaan. Pembangunan tanpa dilandasi oleh serangkaian nilai esensial masyarakat, lambat atau cepat akan menemukan kesia-siaan.
Pola pembangunan mengacu pada pertumbuhan ekonomi model barat telah dinyatakan tidak berhasil. Konsep spill over theory, Trickle down effect dalam rangka pemerataan, di Indonesia ternyata tidak terbukti.
Indonesia memiliki sejarahnya sendiri. Sejarah sebagai tumpuhan membangun masa depan. Membangun organisasi – organisasi modern, membangun sistim politik yang demokratis, membangun sistim pertumbuhan ekonomi, hankam yang kuat, “tata tentrem karta rahaja”.
Setiap rencana merupakan rangkaian hipotesis (kausalitas). Kecermatan pengukuran tergantung indikator yang digunakan. Semakin banyak antar hubungan yang ditemukan, semakin tepat dengan kenyataan. Dwijowijoto mengatakan; kesalahan selama ini adalah menggampangkan masalah dan akhirnya memasukkan indikator tertentu dalam zona yang salah.
Untuk memasukkan masalah dalam zona – zona tertentu tidak mudah. Tidak hanya dibutuhkan pendekatan kwantitatif, tapi juga pendalaman masalah inspirasi dan nilai. Perencanaan yang unggul apabila dapat mengelola masalah – masalah dengan sensitif. Tantangan yang dihadapi para perencana pembangunan adalah inspiratif, disiplin, dan belajar dari hari ke hari sesuai dengan perubahan. Perencanaan di Indonesia cenderung melihat pembangunan sebagai dimensi tunggal, ekonomi. Tinggi rendahnya perkembangan masyarakat dilihat dari siklus ekonomi. Pengembangan kemampuan manusia melepaskan diri dari ikatan nilai psykhologis tradisional belum banyak tersentuh.
Sisi sejarah budaya, Indonesia memiliki cerita yang panjang dalam menggalang persatuan dan kesatuan. Sejarah raja-raja menunjukkan pluralitas tidak mudahnya mengembangkan aneka ragam kebudayaan menjadi budaya besar Indonesia. Harris melihat beberapa kendala yang dihadapi oleh negara baru merdeka sejak berakhirnya perang dunia II: Revolusi kesetaraan (Revolution of equality) meliputi: pertama, perjuangan kemerdekaan penuh (total independence); kedua, pengembangan administrasi pemerintahan (administration equality); dan ketiga, perjuangan kesetaraan budaya (cultural equality). Dan masih kentalnya sikap mental kolonial (colonial administrator mentality) yang tidak disadari telah mematikan kreativitas masyarakat untuk pengembangan budaya kerja.
Cara budaya merupakan pendekatan yang mulai dilirik, meskipun masih meraba dalam ketidaktahuan. Dengan seksama mendiskusikan “nilai budaya” yang banyak mengilhami para perencana dalam pengembangan paradigma pembangunan yang tidak semata-mata ekonomi. Drucker melihat keterbelakangan atau kemajuan sebuah negara lebih ditentukan oleh budaya manajemen – there is no underdeveloped country, there is only undermanaged country. Dinamika masyarakat difungsikan sebagai titik tolak perencanaan pembangunan - people centered development.
Pergeseran pendekatan perencanaan mulai memperhatikan nuansa komunitas (community development). Perencanaan pembangunan model komunitas bukan hanya belum terbiasa, tetapi memang tidak gampang menetapkan formulasinya. Dari sisi paradigma sosio-kultural, kapasitas komunitas dapat dilihat dari ide, perilaku, dan hasil karya yang muncul disetiap “kebudayaan” masyarakat (cultural Universal).

INDIKATOR KUALITATIFDALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN
(DIMENSI SOSIAL BUDAYA)
Oleh : Drs. Riyanto, M. Hum
(Dosen FIA Unibraw, Pengamat Sosial Humaniora)
Manusia bisa membangun diri dengan melihat keberadaan orang lain. Melihat yang kaya agar bersemangat untuk lebih maju. Melihat yang miskin untuk menyadari bahwa manusia diciptakan dengan segala problema. Tapi janganlah sekali-kali ingin menjadi mereka. Jadilah manusia dengan karakter dan potensi yang dimiliki. Membangun dengan karakter dan potensi yang telah dikodratkan, Gandi melihat, pembangunan adalah realisasi potensi diri, itulah pembangunan yang sebenarnya.
Bukan tindakan tabu, negara negara sedang berkembang mengejar ketertinggalannya dengan melihat keberhasilan negara lain. Melihat Jepang yang “mencengangkan” Amerika setelah dua puluh lima tahun Hirosima Nagasaki diporak porandakan bom atom. Melihat negara belahan utara dengan lompatan kedepan revolusi industri. Inggris sebagai negara yang tidak pernah tidur, dan lain sebagainya. Tapi yang perlu dicermati dan disadari, kalau tidak ingin jadi bulan-bulanan, jadilah diri sendiri. Perbedaan sejarah, potensi wilayah, kultur, dan rahmat agraria jadikan tumpuhan membangun masa depan, membangun organisasi – organisasi modern, membangun sistim politik yang demokratis, membangun sistim pertumbuhan ekonomi, hankam yang kuat, “tata tentrem karta rahaja”.
Krisis multidimensi Indonesia jangan dianggap sebagai cobaan menuju jalan terang. Pandang sebagai bahan pelajaran, bahwa kita masuk dalam track yang tidak benar. Pola pembangunan mengacu pada pertumbuhan ekonomi model barat telah dinyatakan tidak berhasil. Konsep spill over theory, Trickle down effect dalam rangka pemerataan ternyata tidak terbukti.
Keterpurukan harus dibangun dengan kesadaran bahwa ada satu faktor yang sangat penting, yang selama ini diabaikan, yakni sejarah kebudayaan. Pembangunan tanpa dilandasi oleh serangkaian nilai esensial masyarakat, lambat atau cepat akan menemukan kesia-siaan.
Potensi wilayah, sejarah pergerakan, dan sisi-sisi empirikal mengambil posisi yang sangat penting. Tidak mungkin perencanaan pembangunan hanya bersifat imajiner. Tapi yang lebih penting, dan sering terabaikan, adalah memasukkan unsur-unsur nilai inspiratif jiwa bangsa. Melihat nilai sebagai rangkaian konsep idea yang dipercaya, menguntungkan, dan akhirnya dipakai pedoman dalam menata kehidupan masyarakat. Pertanyaan yang muncul, nilai inapirasi mana yang digunakan dalam menata kehidupan ? Bagaimana mengolah bersama dalam proses perencanaan ?
Sebagai contoh sederhana, ada masyarakat (modern) berpedoman konsep sehat dihitung dari jumlah nutrisi yang dapat diserap tubuh. Ada pula masyarakat (tradisional) melihat dari buncitnya perut (warek, jw). Materi dipandang sebagai kesuksesan, masyarakat tertentu memandang sebagai kekekeringan rohani, gagalan hidup.
Setiap rencana merupakan rangkaian hipotesis (kausalitas). Kecermatan pengukuran tergantung indikator yang digunakan. Semakin banyak antar hubungan yang ditemukan, semakin tepat dengan kenyataan. Dwijowijoto mengatakan; kesalahan selama ini adalah menggampangkan masalah dan akhirnya memasukkan indikator tertentu dalam zona yang salah. Ada empat zona masalah (Dwijowijoto: 2001); pertama, computation zone. Pada wilayah ini pekerjaan hanya pada masalah fisik, perhitungan matimatik, (pembuatan jalan, bendungan/ sulit orang tidak setuju dengan pekerjaan ini); ke dua, negoziating zone. Masalah disini sulit disetujui, tapi caranya masih mudah (keluarga berencana): ke tiga, judgement zone. Kita tahu kemiskinan harus dihapus, tetapi kreteria kemiskinan sangat beragam dan tidak mudah menentukan yang cara terbaik (idt, kut, gkd. dsb); ke empat, inspiration zone. Sulit disetujui (contoh; besarnya dana) sulit pula caranya. Kasus Timor Timur dan Timor Barat: Timtim temperamental/ sembrono sebaliknya untuk kondisi masyarakat Timbar.
Untuk memasukkan masalah dalam zona – zona tertentu tidak mudah. Tidak hanya dibutuhkan pendekatan kwantitatif, tapi juga pendalaman masalah inspirasi dan nilai yang telah kita sebutkan di atas. Perencanaan yang unggul apabila dapat mengelola masalah – masalah dengan sensitif. Tantangan yang dihadapi para perencana pembangunan adalah inspiratif, disiplin, dan belajar dari hari ke hari sesuai dengan perubahan setempat.
Selaras dengan sistim Zona, dua pendekatan yang biasa digunakan dalam melihat perkembangan masyarakat; yakni, pendekatan struktural dan pendekatan kultural. Pendekatan pertama melihat rendahnya perkembangan masyarakat karena struktur perekonomian dan sosial yang tidak menguntungkan rakyat sehingga mereka tidak mampu berkembang. Masyarakat tidak mampu untuk mengakses faktor modal karena struktur yang tidak menjamin terjadinya aliran modal dengan baik (state centered development). Tidak mampu berproduksi karena aturan pemerintah memberikan batasan pada jenis dan pola tanam. Pasar sebagai harapan terakhir juga tidak dapat diandalkan sebagai tempat menjual barang. Masayarakat tidak lebih sebagai asset penguasa dan pengusaha. Pendekatan kedua melihat rendahnya perkembangan masyarakat karena mereka tidak memiliki kompetensi untuk mengembangkan diri, baik kompetensi yang diwariskan maupun kompetensi yang dipelajari (Sumodiningrat: 2001). Selama ini perencanaan di Indonesia cenderung melihat pembangunan hanya satu demensi, ekonomi. Tinggi rendahnya perkembangan masyarakat dilihat dari siklus ekonomi. Pengembangan kemampuan manusia melepaskan diri dari ikatan nilai psykhologis tradisional belum banyak tersentuh.
Dari sisi sejarah, Indonesia memiliki cerita yang panjang dalam menggalang persatuan dan kesatuan. Pluralitas mencerminkan tidak mudahnya mengembangkan aneka ragam kebudayaan menjadi budaya besar Indonesia. Banyak kendala yang menghambat pembangunan bangsa yang baru merdeka. Diungkapkan Harris (Budisantoso:2001), negara yang baru merdeka sejak berakhirnya perang dunia II menghadapi kendala: Revolusi kesetaraan (Revolution of equality) meliputi: pertama, perjuangan kemerdekaan penuh (total independence); kedua, pengembangan administrasi pemerintahan (administration equality); dan ketiga, perjuangan kesetaraan budaya (cultural equality).
Kebanyakan negara bekas penjajah tidak mau meninggalkan daerah bekas jajahan begitu saja. Dengan berbagai cara berusaha menciptakan ketergantungan, baik sosial, pemerintahan, pertahanan, apalagi kesepakatan ekonomi. Dengan demikian mereka masih tetap mempertahankan kepentingannya. Bahkan dalam kontek tertentu, kesepakatan-kesepakatan dapat memperpanjang kesengsaraan. Karena itu negara bekas jajahan harus berusaha menghilangkan sifat ketergantungan pada pihak asing. Hal ini tidak mudah, terutama bagi negara – negara dengan komposisi penduduk yang majemuk seperti Indonesia.
Tampaknya untuk mendapatkan sumberdaya manusia yang trampil tidak sulit. Berbagai jenjang pendidikan dapat diciptakan relatif mudah. Akan tetapi pada negara yang baru berkembang, jabatan yang dilandasi tingkat pendidikan/ ketrampilan belum siknifikan dengan sikap mental membangun. Mereka beranggapan bahwa masyarakat masih bodoh, tidak mungkin diajak berdiskusi, akhirnya hanya dijejali pola pembangunan dari atas model kolonial (colonial administrator mentality). Semua itu tidak disadari telah mematikan kreativitas masyarakat untuk pengembangan budaya membangun.
Pentafsiran nilai budaya tidak boleh diabaikan. Berkembangnya kebudayaan yang terencana berkaitan erat dengan meningkatnya kesadaran membangun, dan tertibnya administrasi pemerintahan yang diperlukan dalam mengelola negara. Karakteristik negara yang majemuk hendaknya mengarah pada kristalisasi keyakinan masyarakat yang digunakan sebagai pandangan hidup dan semangat kebangsaan.
Perjuangan bangsa dalam menggapai kemerdekaan penuh, pembangunan administrasi, dan kesetaraan budaya harus dilakukan serempak. Kebijakan pembangunan tidak dapat dilakukan secara parsial. Penekanan faktor ekonomi tidak dapat mengabaikan faktor sosial budaya. Meningkatnya sektor ekonomi seyogyanya akibat meningkatnya kesadaran budaya. Pembangunan semesta berencana masa lalu yang “cepat kaki ringan tangan, tulus hati ramah tamah” penting dikobarkan kembali. Model apapun, pembangunan yang akan dilaksanakan hendaklah mengacu pada semangat dan kebutuha masyarakat (society oriented definition problem). Usaha meningkatkan sektor ekonomi secara umum, titik-titik pertumbuhan lokal hendaknya disangga dimensi sosial budaya yang telah tertata.
Perencana maupun praktisi pembangunan selama ini cenderung melihat pembangunan dari sisi ekonomi, tidak dari sisi non ekonomi, khususnya cara budaya. Pendekatan ini memang tidak meninggalkan faktor manusia, namun perlu disadari bahwa disana berakhir pada perlakuan masyarakat hanya sebagai obyek penguasa dan pengusaha. Koentjaraningrat dengan seksama mendiskusikan “nilai budaya” yang banyak mengilhami para perencana dalam pengembangan paradigma pembangunan yang tidak semata-mata ekonomi. Drucker melihat keterbelakangan atau kemajuan sebuah negara lebih ditentukan oleh budaya manajemen – there is no underdeveloped country, there is only undermanaged country. Managemen bukan sekedar mengarahkan kerjasama, bagaimana orang berfikir, bersikap, dan berbuat, tapi manajemen itu sendiri adalah kebudayaan. Manajemen dalam kontek kebudayaan melihat masyarakat sebagai subyek yang dinamis. Dinamika masyarakat difungsikan sebagai titik tolak perencanaan pembangunan -
people centered development.
Untuk mendapatkan peradaban tidak hanya diperlukan tranfer tehnologi perangkat keras, tapi juga diperlukan adanya disiplin, penciptakan sistim, dan kemauan keras untuk belajar. Disiplin menunjukkan ketegasan dalam rentang pencapaian tujuan, sistim adalah penataan kerja yang saling berhubungan, dan belajar sebagai kunci mengantisipasi perubahan yang tidak mungkin dihindari.
Usaha mendapatkan pengakuan kesetaraan (cultural equality) dalam hubungan internasional, pengembangan kebudayaan sebagai ujud “kesetaraan” dengan bangsa-bangsa lain sangat penting, sama pentingnya dengan kemerdekaan penuh, perubahan mental kolonial, dan administrasi yang baik. Untuk itu konsep “kebudayaan nasional” yang kondusif perlu ditegaskan. Konsep “berdikari” sebagai cerminan bangsa mandiri, “adiluhung”, bangsa yang menjujung nilai moral bukan sekedar slogan.
Orde lama maupun pembangunan nasional pada masa orde baru merupakan cermin pemerintahan yang tidak memperhatikan faktor dominan sosial dan kebudayaan masyarakat majemuk Indonesia. Mereka hanya memahami pembangunan dari politik dan ekonomi. Akibatnya pembangunan tidak dapat memicu munculnya titik-titik baru pertumbuhan sebagai realisasi masyarakat ikut berperan aktif didalamnya. Bahkan telah terungkap keberhasilan orde baru hanya keberhasilan politik masa lalu, tidak lebih dari itu. Sektor pertanian Indonesia pernah menikmati era swasembada beras. Tapi tidak lebih dari lima tahun sejak Indonesia mendapatkan penghargaan dari badan PBB, muncul berita kontradiktif, Indonesia salah satu pengimpor beras terbesar di dunia. Penciptaan sawah sejuta hektar di Kalimantan Tengah menambah kinerja pemerintah jatuh. Tidak kurang dua setengah trilyun dana negara lenyap.
Pada tahun 1994 pemerintah Indonesia mengarahkan kebijaksanaan pada broad based spectrum dan tehnologi tinggi, dengan mengesampingkan (kalau tidak boleh dikatakan mematikan) sektor lain. Tiba-tiba masyarakat dikejutkan oleh pengiriman kapal-kapal perang rusak Jerman ke perairan Indonesia. Pesawat kebanggaan IPTN “Tetuko” di tukar beras ketan dari Thailan. Petani di buat bulan-bulanan oleh Industri pertanian. Harga pupuk tidak terkendali, monopoli, harga gabah tidak pernah menguntungkan. Koperasi sebagai saka guru perekonomian tidak dapat berfungsi secara ekonomis. Penyaluran dana untuk pembelian gabah petani berubah menjadi unit simpan pinjam. Keramah tamahan petani sebagai bayangan orde baru “wong cilik gumuyu” tidak lebih hanya bayangan.
Model pembangunan di Indonesia selama ini telah memicu para pengusaha meningkatkan kemampuan exploitasi sumber daya tanpa terkendali dalam mengejar keuntungan materi. Tidak mengherankan dengan prinsip optimalisasi keuntungan akhirnya terjadi penggusuran-penggusuran terhadap pengusaha kecil dan penggusuran penduduk kawasan yang kaya dengan sumber daya.
Berdasarkan kenyataan tersebut, timbul pertanyaan: Perencanaan pembangunan itu untuk siapa ? Bila untuk pemerintah, terbukti sistim birokrasi kita telah gagal. Bila untuk masyarakat, ternyata masyarakat belum mampu mengangkat harkat hidupnya sendiri. Bahkan cenderung kesejahteraan menurun. Saat ekonomi dikatakan meningkat ternyata dikuti kesejahteraan menurun. UNDP menyebutkan bahwa peringkat Indonesia pada index kesejahteraan malah merosot dua tingkat dari urutan 110 menjadi 112 diantara 117 negara.
Keadaan semacam ini sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip good governance. Kondisi masyarakat yang sulit memberikan partisipasi yang luas terhadap pembangunan. Kenyataan seperti itu, sangat dibutuhkan berbagai intervensi strategis, khususnya kapasitas masyarakat. Pergeseran pendekatan perencanaan hendaknya memperhatikan nuansa komunitas (community development), baik orientasi pemenuhan kebutuhan (community oriented), sumberdaya yang ada dalam masyarakat (community based), maupun pengelolaan atas partisipasi masyarakat (community managed). Sekedar untuk diketahui, mengapa pendekatan semacam ini tidak banyak disentuh. Perencanaan pembangunan tersebut bukan hanya belum terformulasi, tetapi memang tidak gampang menetapkan formulasinya.
Dari sisi paradigma sosio-kultural, kapasitas masyarakat dapat dilihat dari ide, perilaku, dan hasil karya yang muncul disetiap “kebudayaan” masyarakat (cultural Universal). Cukup bervariasi, ada beberapa fenomena yang dapat di pakai jalan masuk membangun masyarakat dalam membuat perencanaan.


BAHASA
Dengan bahasa, para pakar dapat mengetahui ide yang berkembang dalam masyarakat. Nilai-nilai apa yang perlu dilestarikan atau dirubah. Ketika ada orang bertanya kepada “Khong Hu Chu”, tindakan apa yang pertama – tama dilakukannya apabila ia diberi kesempatan mengurus negara, maka Khong Hu Cu menjawab, bahwa ia akan memperbaiki bahasa.
Dalam khasanah budaya diperkenalkan bahasa sebagai lambang komunikasi verbal dan non verbal. Lambang komunikasi verbal dapat dilihat pada bahasa tulis, media cetak, syair-syair “tembang”, dan cerita-cerita rakyat. Pernahkah dalam Community development seorang perencana memperhatikan cerita rakyat. Sadarkah kita selama ini (di sekolah) para guru sangat senang mengajarkan perilaku korupsi (kancil nyolong timun). Atau dalam bahasa non verbal, sangat jarang dijabarkan mengapa Burung Garuda berwarna kuning emas, perisai warna merah putih, pohon beringin warna hijau, dan rantai segi empat bergandeng dengan bulat. Pemanfaatan bahasa bukan sekedar menentukan bagaimana masyarakat berfikir, tapi juga menentukan apa yang harus di fikir. McClelland dalam penelitiannya menyimpulkan, bahwa struktur nilai-nilai yang dominan pada suatu masa tertentu di suatu masyarakat tercermin pula pada produk-produk artistik mereka. Selain itu, cerita rakyat populer adalah cerminan dari pola pikir masyarakat yang memiliki cerita tersebut. Sebab jika tidak demikian halnya, maka cerita-cerita tadi tentunya tidak akan menjadi populer (Zulkarimen: 2002).


ILMU PENGETAHUAN.
Filosof Charles Pierce menuliskan empat cara masyarakat mengetahui dan menjelaskan gejala alam: Pertama adalah metode keteguhan (method of tenacity); orang berpegang teguh pada suatu pendapat karena pendapat itu sudah diyakini sejak lama. Kedua, metode otoritas (method of authority); kebenaran pernyataan dibuktikan dengan menunjuk pada pernyataan orang yang dianggap ahli. Ketiga, metode intuisi (method of intuition); pendapat kita dibuktikan dengan menegaskan bahwa keyakinan kita sudah jelas benarnya, tidak perlu dibuktikan. Keempat barulah disebut (scientific method) metode ilmiah (Jalaluddin: 1991).
Van Peursen mengungkapkan, ada tiga tahap cara berfikir manusia; Pertama adalah mitis; sikap manusia yang merasa dirinya terkepung oleh kekuatan supranatural sekitarnya. Kedua ialah sikap ontologis; manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan yang secara bebas ingin meneliti kausalitas. Ketiga disebut fungsional; ia ingin mengadakan relasi-relasi baru suatu kebertautan dalam lingkungannya (Peursen: 1976).
Pada tahap mitis manusia tidak banyak memiliki ruang untuk berpartisipasi dalam aktifitas. Dominasi kekuatan ada diluar dirinya, sehingga dalam gerak kehidupannya banyak diwarnai perintah “gaib”. Ontologis mengacu pada pendapat yang diyakini, bahwa sesuatu yang ada bukan berdiri sendiri. Segala sesuatu tidak terjadi secara serampangan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi mengikuti peraturan yang teratur. masalah-masalah non empiris dikesampingkan.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa mayoritas penduduk dunia ada di dunia ketiga (termasuk Indonesia). Sebagian besar penduduk ada di pedesaan dan hidup dengan berbagai masalah, yang hanya dapat dilihat dari perspektif masyarakat itu sendiri, pendidikan, kesehatan, pangan dan sebagainya. Sampai saat ini masalah tersebut masih merupakan tantangan serius yang perlu dicermati.
Ketika perencanaan pembangunan dianggap sebagai community development, maka indikator-indikator ideologis perlu difahamkan terlebih dahulu. Pemerhati topik-topik antropologi, sosiologi, komunikasi, psikologi perlu dikedepankan.


MATA PENCAHARIAN DAN TEHNOLOGI
Selaras dengan tahap perkembangan berfikir manusia, Peursen melihat tiga tahap dalam proses belajar manusia merubah rencana kebudayaannya: pertama, vegetasi (mitis), cara hidup yang semata-mata mengandalkan pada kemurahan alam; kedua, produksi (ontologis), tenaga diarahkan pada benda-benda mati, kepada alam materiil semata-mata untuk membuat sesuatu yang serba beru; ketiga, konsumsi (fungsional), masyarakat sudah masuk dalam tahap dimana kekayaan melimpah. Featherstone memberikan tiga perspektif utama budaya konsumen. Pertama, pandangan bahwa budaya konsumen dipremiskan dengan exspansi produk komoditas kapitalis yang memunculkan akumulasi besar-besaran budaya dalam bentuk barang-barang konsumen dan tempat-tempat belanja dan konsumsi. Kedua, cara-cara yang berbeda dalam rangka menciptakan ikatan-ikatan atau perbedaan masyarakat. Ketiga, adanya masalah kesenangan emosional untuk konsumsi, mimpi-mimpi dan keinginan yang ditampakkan dalam bentuk kenikmatan jasmaniah (Featherstone: 2001)


ORGANISASI SOSIAL
Uraian organisasi sosial yang sangat rinci banyak dimunculkan oleh ahli-ahli sosio antropologi. Dari institusi yang paling kecil dan sederhana yang disebut dengan keluarga “nuclear” (kelompok) dengan ciri familistik, dasar organisasi adat, hubungan berazas perseorangan, sampai dengan terbentuknya organisasi komplek yang bersifat kontraktual (perkumpulan). Kontraktual dianggap satu organisasi yang paling rasional, Weber mengistilahakn dengan “birokrasi”. Sistim otorita yang ditetapkan berdasar peraturan secara rasional yang di jalankan dengan legal.
Birokrasi secara rasional hendaknya dapat menjalin kerjasama dengan rakyat, yaitu dengan ditandai perencanaan pembangunan dengan program-program sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat. Menciptakan komunikasi dalam rangka memperkuat hubungan timbal balik sehingga timbul “sharing” informasi pemerintah dengan sumber daya masyarakat.
Permasalahan yang muncul dari tuntutan legal rasional di Indonesia adalah bercampur aduknya antara rasional dan irrasional. Ketaatan, kepatuhan dan ketundukan masyarakat sering diwarnai oleh pertimbangan ‘kharisma” individu. Sebagai misal, kepatuhan konsep Jawa. Fachry Ali melihat kepatuhan masyarakat Jawa ajarkan lewat perasaan “wedi, isin, sungkan”. Di Jawa tidak ada kemungkinan untuk menyapa seseorang tanpa melihat bagaimana orang menafsirkan kedudukan sosial dibanding dengannya (Ali: 1986). Karakteristik indikator kualitatif semacam ini yang perlu diperhatikan agar konsep “clean and good governance” dapat diserasikan dengan legal rasional model Weber.
Dalam menganalisis karakteristik dan sosok birokrasi di Indonesia, Rahman sering memunculan keragu-raguan yang disebabkan oleh sejarah kerajaan-kerajaan yang lebih bersumber pada birokrasi tradisional di dalam kerangka otoritas tradisional. Alam pikirannya lebih mengutamakan terwujudnya keharmonisan hirarkhis yang hakekatnya mencerminkan pandangan kosmologisnya. Berkaitan dengan ketundukan, Kunto Wijoyo melihat pada buku “piwulang” sebagai wujud kebaktian dan kepatuhan kepada raja sebagai puncak nilai ( Rahman:1998).
Sejarah raja – raja, pucuk pimpinan tertinggi adalah “warana Allah”. Rasionalisasi dan legitimasi didasarkan pada ciri – ciri dan sifat sakral religius. Mereka memiliki sifat pemersatu sekaligus mampu memberikan legitimasi pada pejabat bawahannya. Gelar – gelar kebangsawanan, sampai sekarang, merupakan ujud nyata kekuasaan yang diterimakan. Gelar – gelar tersebut merupakan tanda penguasaan pemersatu terhadap jumlah orang. Bahkan penguasaan terhadap sektor ekonomi diterjemahkan dalam bentuk upeti dan sistim persen. Kegoncangan yang terjadi dalam masyarakat bukan ditimpakan pada para pejabat tetapi murni kesalahan rakyat kebanyakan. Bangunan kerjasama dalam “menggelindingnya” roda pemerintahan didasarkan pada tanda –tanda kebesaran dan kentalnya “suratan” metafisika.
Pertimbangkan kontradiksi dua kondisi diatas, tradisional dan modern. Pemerintah dalam suatu negara modern, pertimbangan – pertimbangan legal rasional (Weber: Birokrasi) merupakan perhatian utama dalam menggerakkan roda kerja sama. Secara ideal tatanan organisasi bersifat sangat rasional serta impersonal, tanpa ciri subyektif apapun. Legitimasi birokrasi didasarkan pada peraturan yang berjalan dan dikenakan pada siapapun tanpa pandang bulu. Kekuasaan yang diberikan pada negara dalam menggerakkan masyarakat didasarkan pada aturan yang jelas dan rasional. Dalam keadaan dimana terjadi pergantian tampuk kekuasaan, “birokrasi” tetap dapat berjalan dengan sendirinya. Lain sama sekali dengan sistim tradisional, runtuhnya kekuasaan secara otomatis diikuti berubahnya tatanan kenegaraan. Otomasisasi birokrasi dan runtuhnya tatanan berkaitan dengan runtuhnya penguasa adalah pada tingkatan “ exstrim”.
Jelas terlihat, Indonesia yang diwakili kultur raja – raja dan negara maju dengan Birokrasi memiliki sejarah masa lalu berbeda. Oleh karena itu bukan pada tempatnya meletakkan Indonesia pada posisi birokrasi modern dengan foto copy. Begitu juga dalam membuat perencanaan pembangunan.
Dari latar belakang realitas dua contoh fenomena tersebut, perencana harus memahami dengan baik hakekat perencanaan berbasis masyarakat. Utamanya tugas – tugas dan kewajiban perencana dalam mengantisipasi pemanfaatan nilai sosial budaya.
Sebagai birokrasi yang lahir dari kandungan masyarakat tradisional, Indonesia lebih banyak mendekati sistim patrimonial. Satu sistim yang ditandai dengan kuatnya hubungan kekeluargaan, kekerabatan, dan emosional. Sehingga kelekatan kerjasama yang ditunjukkanpun tidak lepas dari masalah keluarga, kerabat, dan emosi yang sama. Eisenstadt mengidentifikasi birokrasi patrimonial dengan ciri-ciri : Pertama, pejabat-pejabat disaring atas dasar kreteria pribadi dan politik. Kedua, jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan. Ketiga, pejabat-pejabat mengontrol, baik fungsi politik maupun administasi, karena tidak ada pemisahan antara sarana-sarana produksi dan administrasi. Keempat, setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik (Hariandja: 1999).
Kondisi patrimonial cenderung pada sifat penghambaan dengan prinsip “asal bapak senang”.
Ketika suatu kelompok sedang berhadap hadapan, maka yang berbicara adalah siapa aku, bukan menyapa dengan tugas dan tanggung jawab pekerjaan. Alur pemikiran selalu meleleh dari atas kebawah, tidak memberikan kesempatan yang dibawah untuk memiliki pendapat demi perbaikan. Kerjasama yang dibangun bukan “the right man in the right place” model birokrasi modern. Mereka yakin bahwa masing-masing memiliki tempat yang semestinya, “the right place”. Di tengah-tengah masyarakat tidak pernah ada kisah-kisah mengenai raja (pejabat; penulis) yang tamak, pangeran yang rakus, dan rakyat yang bijak (Koentowijoyo: 1999).
Indonesia merupakan masyarakat ada dalam persimpangan. Sedang mengalami benturan – benturan nilai. Kaki satu melangkah menginjakkan tatanan modern, kaki yang lain melekat pada akar tradisional (Riggs: Prismatik society). Boke melihat sebagai masyarakat berposisi ganda. Terdapat dua nilai yang tetap eksis “tradisional dan modern” berjalan beriringan menunjukkan jati diri masing-masing (Boke: Dual Society).
Sementara itu Indonesia sekarang menghadapi dua tantangan besar, kesenjangan antar wilayah dan kesenjangan antar budaya. Konsep yang jelas dalam mengorganisasi antar kepentingan masih belum mendapatkan posisi stabil. Pertanyaan mendasar adalah, bagaimana kita memulai membentuk perencanaan yang handal. Pertanyaan yang sulit tapi mesti mendapatkan jawaban. Nugroho mengatakan, bahwa semua itu bisa diuraikan dengan baik dengan melihat “siapa” sebenarnya aktor yang paling berpengaruh di dalam membawa misi (Nugroho: 2001).


PARTISIPASI DALAM PEMBANGUNAN
Kegagalan yang menimbulkan krisis multidimensinal menyadarkan pemerintah akan pentingnya peran serta masyarakat dalam pembangunan. Pemerintah tidak “imajiner” dalam membuat perencanaan. Masyarakat merupakan sumber informasi yang terpercaya. Kondisi, permasalahan, dan kebutuhan masyarakat dapat diketahui dengan pasti, termasuk nilai yang hidup di tengah-tengahnya. Keefektifan dan efisiensi dari program pembangunan akan mudah dicapai. Dengan partisipasi masyarakat, pemerintah lebih jeli dalam meningkatkan suasana demokrasi sekaligus meredam konflik.
Dengan melihat berbagai permasalahan masyarakat secara universal di atas, model pembangunan di negara berkembang model Rostow (tinggal landas) yang dikembangkan oleh pemerintah orde baru dapat diterjemahkan lebih baik. Termasuk memberikan terapi terhadap terjadinya kemiskinan di negara berkembang model konvensional maupun radikal.
Yang mendasar dalam perencanaan pembangunan di Indonesia, perhatikan kehidupan masyarakat. Arahkan dengan pelayanan kebanggaan kerja membangun. Buat seorang aktor pemimpin yang “cocok”, Perot menambahkan, seorang pemimpin haruslah jujur (orang tidak akan mau mengikuti seseorang yang tidak jujur). Pemimpin harus memiliki motivasi diri yang tinggi. Mereka harus mengasihi orang lain dan senang bekerjasama dengan orang lain (Shelton: 2002).
Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Ki Hajar Dewantara diIlhami prinsip-prinsip kebebasan, kebudayaan dan agama didalam membentuk akal budi dan perasaan manusia (Tilar: 2002).
Singkatnya, Indikator dalam dimensi perencanaan pembangunan bukan hanya physical capital stock (yang terbukti gagal), tapi diawali dari human capital stock, nilai-nilai inspiratif hubungan masyarakat. Pembangunan tidak dimulai dari barang – barang, tapi mulai dari realisasi potensi manusia dengan pendidikan, organisasi, dan disiplinnya. Setiap negara yang memiliki tingkat pendidikan, organisasi, dan disiplin yang tinggi, pasti mengalami keajaiban ekonomi (Schumaker). Para perencana sering mengimajinasikan sebagai pembangunan berbasis masyarakat. Karena kurang fahamnya perencana terhadap nilai-nilai inspiratif, saya menyebut perencanaan imajiner.
Ali. Fakri : Reflesi Paham “Kekuasaan Jawa” Dalam Indonesia Modern, PT. Gramedia, Jakarta 1986.
Budisantoso, S: ANTROPOLOGI INDONESIA, Indonesian Jurnal of Social and Cultural Anthropology, Universitas Indonesia, Th. XXV, No. 64, Jakarta 2001.
Featherstone, Mike (terjemah; Misbah Zulfa Elizabeth): Posmodernisme Budaya dan Konsumen, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta 2001.
Kuntowijoyo, DR: Budaya dan Masyarakat, edisi revisi sampul, PT. Tiara Wacana Yogya 1999.
Nugroho D, Riant: Reinventing INDONESIA Menata Ulang Managemen Pemerintahan Untuk Membangun Indonesia Baru Dengan Keunggulan Global, Gramedia, Jakarta 2001.
Nasution, Zulkarimen: Komunikasi Pembangunan, Pengenalan Teori dan Penerapannya,PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002.
Perot. H. Ross (editor, Ken Shelton, terjemah Oka): Paradigma Baru Kepemimpinan (A New Paradigm of Leadership), PT. Alex Media Komputindo 2002.
Peursen, van c.a (terjemah Dick Hartoko): Strategi Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta 1976.
Rahman, Arifin: Sistim Politik Indonesia Dalam Perspektif Struktural Fungsional, LPM IKIP Surabaya, 1998.
Rakhmat, Jalaluddin: Metode Penelitian Komunikasi, Remaja Rodaskara, Bandung 1985.
Sumodiningrat, Gunawan: Menuju Swasembada Pangan, Revolusi Hijau II: Introduksi Managemen Dalam Pertanian, RBI, Jakarta2001.

0 comments: