Saturday 22 March 2008

REFORMASI MANAJEMEN PERSONALIA PUBLIK

REFORMASI MANAJEMEN PERSONALIA PUBLIK

M.R. Khairul Muluk
M.R. Khairul Muluk,S.Sos., M.Si, adalah Staf Pengajar pada Jurusan Administrasi Negara Unibraw. Menamatkan pendidikan sarjananya pada FIA Unibraw tahun 1994, dan pendidikan Magister dengan konsentrasi Pengembangan Sumber Daya Manusia pada Program Pascasarjana Unibraw (1999).


Sengaja istilah yang dipergunakan dalam tulisan ini adalah manajemen personalia publik bukan administrasi kepegawaian negara yang jauh lebih dikenal dan lebih lama ada dalam khazanah kepustakaan ilmu administrasi negara. Kesengajaan ini bukan didasarkan atas motivasi sekedar berbeda atau sekedar aneh-aneh mencari istilah baru, akan tetapi lebih didasarkan pada upaya membawa kemajuan guna menghindari ke-jumudan pada studi kepegawaian dalam bi-dang ilmu administrasi negara.
Selama puluhan tahun, mahasiswa ilmu administrasi negara disuguhkan dengan studi kepegawaian dalam judul yang sama, yaitu administrasi kepegawaian negara. Konse-kuensinya adalah kajian yang diberikan cenderung normatif dan sekedar menjelas-kan tentang berbagai peraturan kepegawaian yang sedang berlaku. Celakanya justru ter-jadi pada saat suatu peraturan tentang aspek kepegawaian tertentu berubah namun tidak diikuti dengan percepatan perubahan liter-atur yang ada. Literatur lama seringkali ma-sih dipertahankan sementara praktek dan ke-bijakan telah berubah. Tentu saja hal ini akan menyesatkan bagi mahasiswa atau me-reka yang belum mengetahui adanya peru-bahan. Kelemahan ini merupakan hal yang sering terjadi pada suatu bidang studi yang lebih menekankan diri pada sudut pandang normatif. Bidang studi tersebut akan cende-rung ketinggalan dari perkembangan dan kebutuhan riil yang dihadapi oleh masya-rakat.
Dalam bidang studi administrasi negara, menurut Rosenbloom setidak-tidaknya ter-dapat tiga pendekatan utama yang bisa didis-kusikan, yaitu pendekatan manajerial, poli-tik, dan legal.1 Masing-masing pendekatan tersebut menekankan nilai, susunan organi-sasi, pandangan individual, dan orientasi in-telektual yang berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, administrator publik bisa jadi lebih memainkan peran sebagai mana-jer, atau pembuat kebijakan, atau pelaksana re-gulasi konstitusional akan bergantung pada pendekatan mana yang lebih ditekankannya. Hal yang sama rupanya terjadi pula pada studi kepegawaian, yang mana selama puluhan tahun di Indonesia lebih berorienta-si pada pendekatan legal. Jadi, disadari atau
1 Lihat Rosenbloom, D.H. 1989. Public Administration: Understanding Management, Politics, and Law in the Public Sector. Second Edition, McGraw-Hill Book Company.



tidak studi kepegawaian dalam kerangka judul administrasi kepegawaian negara telah terjebak hanya pada satu pendekatan saja.
Meskipun istilah administrasi dapat di-mengerti dalam tiga dimensi, yaitu : perta-ma, dalam arti administrasi sebagai tata usa-ha; kedua ; administrasi jumbuh dengan ma-najemen; ketiga, administrasi sebagai proses kerja sama yang mencakup dua di-mensi terdahulu. Tentu istilah administrasi negara adalah administrasi dalam dimensi ketiga yang bermakna luas. Celakanya justru ter-jadi pada istilah administrasi kepegawaian negara yang terjebak pada ketata-usahaan daripada praktek kepegawaian institusi-institusi negara. Ini berarti istilah adminis-trasi dalam bidang tersebut hanya mencakup dimensi pertama saja, yang berarti hanya mengajarkan kepada mahasiswa bagaimana caranya melaksanakan peraturan kepegawai-an yang ada. Dengan demikian tugas dari administrasi kepegawaian hanyalah sebatas kegiatan ketata-usahaan dari bagian kepega-waian saja yang memiliki makna sebagai pendukung minor bagi unit atau bagian lain-nya, serta tidak memiliki makna yang terlalu strategis bagi pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan. Hal ini memang dapat dipahami karena memang ada sebagian ahli yang membatasi terminologi administrasi hanya dalam aktivitas-aktivitas pemerintah-an, terutama mereka yang berkecimpung di bidang hukum administrasi negara atau ilmu tata usaha negara.2



Stagnasi Administrasi Kepegawaian Negara
Sebagai akibat dari fenomena di atas maka kajian administrasi kepegawaian nega-ra akhirnya hanya menciptakan mahasiswa seperti ‘katak dalam tempurung’ karena ma-hasiswa tidak diajak untuk menganalisis mengapa suatu kebijakan kepegawaian di-ambil; apa kelebihan, kelemahan, tantangan,
2 Zauhar, S. 1996. Administrasi Publik. Penerbit IKIP Malang, Malang.
dan peluang yang ada pada suatu kebijakan kepegawaian tertentu; apakah ada alternatif yang lebih baik; bagaimana mencapai prak-tek pengelolaan pegawai yang efektif dan efisien pada kondisi tertentu; dan lain seba-gainya.
Hal yang sama sebenarnya terjadi tidak hanya di Indonesia saja, di Amerika Serikat jauh-jauh hari juga mengalami persoalan serupa. Klingner dan Nalbandian telah me-nunjukkan masalah tersebut sebagai masalah berat yang dihadapi oleh studi-studi kepe-gawaian pada sektor publik.3 Berbagai faktor mendukung kurang berkembangnya studi dan teori kepegawaian publik.
Pertama, Terlalu banyak bagian dari ad-ministrasi kepegawaian di atur oleh Undang-undang, Peraturan, dan berbagai jenis regu-lasi lainnya yang pada awalnya dimaksud-kan untuk membatasi adanya penyimpangan dan intervensi politik dalam manajemen sumber daya manusia di sektor pemerintah-an. Asumsi yang mendasari timbulnya faktor ini adalah upaya mencegah patronase politik dari pekerjaan publik sehingga efisiensi dan ketidak-berpihakan birokrasi lebih bisa dijamin. Akan tetapi pada kenyataannya ke-tidaknetralan birokrasi di Indonesia justru bukan disebabkan oleh sekian banyak pera-turan kepegawaian, melainkan sistem dan budaya politik yang berlaku sehingga biro-krasi justru menjadi kekuatan politik yang dominan.4
Kedua, Para Guru Besar administrasi negara seringkali memandang pengelolaan sumber daya manusia sektor publik ini se-bagai bidang yang gersang dan tandus bagi
3
Klingner, D.E. & Nalbandian, J. 1985. Public Personnel Management : Contexts and Strategies. Prentice-Hall, Inc. Englemood Cliffs, New Jersey.
4 Lihat Jackson, K.D. 1980. Bureacratic Polity : A Theoritical Framework for the Analysis of Power and Communication in Indonesia. Dalam Jackson, K.D. & Pye, L.W. Political Power and Communications in Indonesia. University of California Press, Berkeley. Lihat pula Schwarz, A. 1994. A Nation in Waiting : Indonesia in the 1990s. Allen & Unwin Pty Ltd, Australia.



studi-studi teoritis. Bahkan ada anggapan dari sebagian Guru Besar tersebut yang me-lihat bidang ilmu ini sebagai ‘ilmu tukang’ yang hanya mengajarkan mahasiswa untuk menjadi tukang-tukang dalam pekerjaannya karena tidak membutuhkan analisis yang tajam dan mendalam. Hal ini terjadi karena bidang personalia dianggap sebagai kegiatan administratif rutin belaka sehingga para pe-neliti bidang ini akhirnya cenderung untuk mencari solusi rutin atas permasalahan-per-masalahan dalam pengelolaan sumber daya manusia. Pendekatan legal-formal yang di-akibatkan persoalan pertama akhirnya me-rambah pada persoalan ke dua ini sehingga menyebabkan pengelolan sumber daya ma-nusia menjadi bagian yang tidak lagi menan-tang secara akademis karena telah dibatasi oleh koridor normatif yang telah ditetapkan. Pengembangan suatu teori dalam bidang tertentu membutuhkan perhatian dari sejum-lah variabel yang berfluktuasi dan menan-tang. Jika fluktuasi dan ruang lingkup varia-bel yang dikembangkan dibatasi maka aki-batnya adalah reduksi atas kemungkinan alternatif dan fluktuasi variabel yang bisa di-kembangkan sehingga bidang tersebut tidak lagi menggairahkan.
Dua persoalan di atas akhirnya merembet pada persoalan ketiga, yaitu berkembangnya pemikiran one best way dalam praktisi dan pemerhati manajemen personalia publik. Mereka hanya berpikir bahwa hanya ada satu cara terbaik saja dalam menjalankan ad-ministrasi kepegawaian serta menyusun so-lusi atas problem yang timbul di lapangan. Mereka tidak lagi berpikir untuk memiliki alternatif lain atau mengkritisi solusi yang telah ada. Akibatnya adalah matinya diskusi-diskusi yang menantang, di arena praktisi yang akhirnya berpengaruh juga di arena akademisi. Mereka memandang administrasi kepegawaian sebagai sekumpulan teknik administratif yang sudah pakem dan diyakini kebenarannya untuk berlaku dimanapun dan kapanpun sesuai dengan masa berlakunya peraturan yang meregulasinya. Semuanya bersifat rutin dan tersedia. Perubahan dan kondisi yang berbeda antar ruang dan waktu telah diabaikan, termasuk kelemahan dan ancaman dari suatu praktek tertentu tidak lagi diperhitungkan. Semuanya berjalan de-ngan baik karena hanya ada satu jalan atau cara terbaik. Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan, karena administrator per-sonalia tidak lagi mengembangkan kreativi-tas dan inovasi yang memadai untuk menye-suaikan persoalan yang muncul dengan ber-bagai alternatif solusi yang dimungkinkan.


Memilih Terminologi
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor di atas, maka tulisan ini lebih memilih menggunakan istilah manajemen personalia publik daripada administrasi kepegawaian negara. Pertama, istilah manajemen diper-gunakan dengan maksud menghindari je-bakan pengertian yang sempit dari istilah administrasi sebagaimana selama ini terjadi. Manajemen jelas bukanlah kegiatan yang bersifat ketata-usahaan belaka, akan tetapi kegiatan tersebut merupakan bahagian kecil dari cakupan manajemen.
Kedua, istilah personalia yang diperguna-kan tidak untuk mengganti istilah pegawai, akan tetapi dimaksudkan sebagai padanan saja yang dapat dipergunakan silih berganti antara kepegawaian dengan personalia atau bahkan dengan sumber daya manusia, mes-kipun telah banyak penulis berupaya mem-bedakan ke tiga istilah tersebut. Akan tetapi istilah personalia dirasakan lebih netral dan lebih luas ruang lingkupnya karena tidak memiliki nuansa dikotomis antara atasan dan bawahannya, atau antara pimpinan dan pe-gawainya. Dalam institusi pelayanan publik ataupun instansi pemerintahan, baik itu pim-pinan maupun bawahan semuanya merupa-kan bagian yang terlibat dalam manajemen personalia. Semuanya berinteraksi secara bersama-sama baik sebagai subyek dalam manajemen tersebut. Semuanya diatur dalam regulasi kepegawaian yang ada. Semuanya yang menentukan efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan organisasi.



Ketiga, istilah publik lebih dipilih untuk dipergunakan daripada istilah negara, karena yang pertama memiliki cakupan yang lebih luas daripada yang kedua.5 Jika memper-gunakan istilah negara maka terdapat ke-khawatiran bahwa ruang lingkup tulisan ini akan terjebak hanya pada pegawai negeri belaka, padahal cakupan tulisan ini jauh lebih luas lagi. Istilah publik membawa konsekuensi bahwa yang terlibat dan dilibat-kan dalam manajemen ini adalah mereka yang bekerja dalam institusi pelayanan pu-blik, baik itu yang berstatus pegawai negeri ataupun bukan. Terlalu banyak mereka yang berada dalam institusi pelayanan publik yang bukan pegawai negeri akan tetapi mereka juga harus dikelola dengan baik ka-rena telah menjadi bagian dari sistem pela-yanan publik itu sendiri. Jelas administrasi kepegawaian negara telah terjebak pada ke-sempitan untuk hanya membahas mereka yang berstatus pegawai negeri saja. Akibat-nya adalah pada bagian kepegawaian atau yang berwenang mengambil kebijakan ten-tang personalia untuk memperlakukan mere-ka yang bukan pegawai negeri secara ala kadarnya saja sebagaimana yang terjadi ter-hadap pegawai negeri. Mereka telah terjebak pada pikiran one best way sehingga mereka yang bukan pegawai negeri tidak lagi ter-kelola dengan baik karena pikiran tersebut justru telah mengeliminasi apa yang seharus-nya mereka ketahui dalam mengelola semua jenis pegawai yang ada dalam institusi ter-sebut.
Dengan demikian istilah manajemen per-sonalia publik diharapkan memiliki ruang lingkup yang jauh lebih luas serta mem-berikan tantangan yang lebih berarti dalam studi kepegawaian dalam bidang adminis-trasi negara. Ruang lingkup ini mencakup konten dari kajian itu sendiri, serta men-
5 Lihat Zauhar, S. Op.cit.
cakup subyek dari kajian itu sendiri. Konten kajian ini tidak hanya mencakup pendekatan legal akan tetapi juga mencakup pendekatan manajerial dan politik. Ruang lingkup sub-yek mencakup tidak hanya pegawai negeri saja tetapi juga mereka yang berada dalam institusi pelayanan publik atau instansi pe-merintahan. Sebagai contoh adalah mereka yang bekerja pada pemerintah desa selama ini tidak terjamah oleh administrasi kepega-waian negara, meskipun institusi tersebut jelas sebagai instansi pemerintahan. Tulisan ini jelas dimaksudkan untuk sampai pada berbagai kalangan seperti itu, dan bermak-sud untuk mencakup kekosongan yang ter-abaikan selama ini.


Evaluasi atas Pendekatan Legalistik
Dalam bagian sebelumnya telah dijelas-kan bahwa pendekatan legalistik telah ber-kembang begitu dalam pada administrasi ke-pegawaian negara. Pendekatan ini menim-bulkan akibat-akibat serius bagi kurang ber-kembangnya kajian sumber daya manusia di bidang administrasi negara. Selain itu, ter-jadi pula beberapa konsekuensi praktis yang dialami oleh para praktisi kepegawaian, akademisi, bahkan para pegawai itu sendiri baik yang secara langsung mereka sadari maupun tidak. Setidak-tidaknya ada tiga konsekuensi logis tersebut yang diung-kapkan oleh Klingner dan Nalbandian.6
Pertama, berkaitan dengan materi atau fungsi yang ada dalam pengelolaan perso-nalia, mulai dari perencanaan, rekrutmen, seleksi dan penempatan, penggajian, penilai-an prestasi kerja, pendidikan dan pelatihan, sanksi dan disiplin, sampai pada pemisahan. Berbagai fungsi tadi lebih dipahami sebagai sequence atau runtutan aktivitas. Jika satu aktivitas selesai maka tiba saatnya untuk melakukan aktivitas berikutnya, demikian seterusnya. Konsekuensinya terletak pada pemahaman yang sifatnya kronologis antara fungsi yang satu dengan fungsi lainnya,
6 Klingner, D.E. & Nalbandian, J. op.cit



sehingga kurang menyadari bahwa setiap fungsi tersebut mempunyai keterkaitan yang sangat erat antara fungsi yang satu dengan yang lain. Keterkaitan tersebut tidak sese-derhana hubungan sequential seperti di atas. Selain itu, setiap aktivitas atau fungsi tersebut tidaklah berdiri sendiri dan bebas memilih teknik yang terbaik tanpa meman-dang kesesuaiannya dengan fungsi-fungsi lainnya. Persoalan seriusnya justru terletak pada bagaimana menyesuaikan berbagai fungsi tersebut satu sama lain secara ber-sama-sama.
Kedua, Pendekatan legalistik telah mem-berikan teknik tertentu pada fungsi-fungsi tertentu dijalani dan diaplikasikan pada suatu organisasi sehingga sebagai konse-kuensi logisnya adalah menyebabkan para pengelola personalia secara implisit meng-abaikan dimensi nilai dalam keputusan dan penerapan kebijakan kepegawaian. Selain itu, mereka juga akan mendukung pendapat bahwa manajemen personalia atau adminis-trasi kepegawaian itu merupakan penerapan teknik-teknik manajemen yang bebas nilai. Jelas asumsi ini merupakan kebalikan dari lingkungan politik yang sarat nilai dimana sebenarnya para praktisi manajemen perso-nalia publik menjalankan tugasnya. Sebenar-nya terdapat banyak variasi pilihan kebija-kan di bidang personalia yang mempunyai dampak yang berbeda bagi para pegawai maupun bagi publik di luar itu yang berkompetisi memperebutkan sumber daya langka, yaitu pekerjaan sebagai pegawai pe-merintahan. Pilihan kebijakan tersebut se-sungguhnya memperlihatkan kepada kita bahwa pikiran one best way atau satu cara terbaik di bidang manajemen personalia tidaklah tepat.
Sebagai contoh, dapat dikemukakan da-lam aktivitas rekrutmen dan seleksi pegawai negeri sipil. Dalam menentukan siapa yang akan direkrut dan siapa yang akan lolos seleksi pastilah dihadapkan pada berbagai pilihan kebijakan seperti akan mendahu-lukan pertimbangan merit, atau pertimbang-an politis sehingga mereka yang dianggap terlibat atau sanak kadang dari yang terlibat G 30 S/PKI tidak dapat direkrut, atau per-timbangan isu gender, atau pertimbangan isu daerah, atau pertimbangan lain-lainya. Pili-han pertimbangan tersebut dapat menentu-kan teknik seleksi yang akan diterapkan dan menentukan pilihan tentang siapa dan berapa banyak yang harus diterima. Pikiran yang mendasarkan diri pada one best way tentu hanya akan melakukan pertimbangan sempit saja sebagaimana yang dituntut oleh ketentu-an dan regulasi yang sudah ada. Padahal jika regulasi tersebut benar-benar diterapkan mungkin akan menjadi persoalan politik yang serius. Katakanlah jika yang diterima sebagaimana ketentuan yang ada harus mempertimbangkan aspek merit maka siapa yang berkemampuan dan mempunyai nilai seleksi yang terbaik haruslah diterima mes-kipun sama sekali tidak ada putera daerah yang lolos seleksi. Secara politis tentu hal tersebut akan menjadi komoditas empuk untuk melontarkan isu terjadinya penjajahan di daerah tersebut.
Contoh di atas sebenarnya membuktikan kepada kita bahwa manajemen personalia publik merupakan praktek sarat nilai (value laden) bukan bebas nilai (value free) se-hingga memiliki banyak alternatif pilihan kebijakan kepegawaian yang mempunyai dampak serius bagi pilihan teknik manaje-men personalia yang bisa diterapkan dan dikembangkan. Pendekatan yang ada saat ini, menempatkan para pengelola personalia pada ketiadaan pilihan untuk memberikan jawaban-jawaban yang memadai atas terus berkembangnya persoalan-persoalan di bi-dang personalia publik. Pendekatan tersebut juga menghambat minat akademisi terhadap bidang studi personalia publik ini karena kurangnya variasi yang ditimbulkan akibat pembatasan yang dipaksakan terhadap fak-tor-faktor yang perlu dipertimbangkan seba-gai input, lalu keterbatasan terhadap alter-natif teknik dan keputusan yang bisa di-ambil, sekaligus mempersempit analisis ter-hadap dampak yang dihasilkan oleh pilihan kebijakan tersebut.



Ketiga, Berbagai kelemahan pendekatan yang terjadi saat ini juga membawa kon-sekuensi serius atas kurangnya perhatian ter-hadap dampak kumulatif penggunaan tek-nik-teknik administrasi kepegawaian negara bagi para pegawai itu sendiri. Meskipun ter-dapat banyak sekali sumbangsih pengeta-huan perilaku organisasi dalam teori admi-nistrasi negara, akan tetapi terjadi sedikit sekali transfer pengetahuan tersebut ke da-lam praktek manajemen personalia publik. Para pengelola kepegawaian, termasuk pim-pinan, di instansi pemerintahan kurang menghargai dan memperhitungkan dampak kumulatif keputusan kepegawaian yang di-ambil terhadap aspirasi dan sikap pegawai.
Sebagai contoh, dapat diungkapkan beta-pa job description didesain sedemikian rupa sehingga hanya mempertimbangkan kebu-tuhan organisasi pada saat ia disusun. Ia ti-dak disusun dengan mempertimbangkan ke-mungkinan perubahan pada masa-masa sesudahnya, bahkan para pengelola kepega-waian di Indonesia cenderung untuk enggan menyusunnya dan membeberkannya secara transparan kepada pegawai. Tentu hal ini membawa dampak dimana pegawai justru tidak mampu mengukur prestasi kerja-nya sendiri, bahkan ada kecenderungan ia juga tidak mampu mengenali apa sebenarnya tu-gas pokoknya. Pada kondisi seperti ini tentu yang dirugikan adalah si pegawai itu sendiri dan bahkan organisasi secara keseluruhan. Meskipun Santoso menyebutkan ada motif kekuasaan dibalik praktek tersebut, akan tetapi yang terpenting contoh ini menun-jukkan betapa para pengelola kepegawaian tidaklah begitu peduli atas dampak praktek dan keputusan kepegawaian yang diambil-nya terhadap pegawai.7
Dengan demikian, maka dapat disimpul-kan bahwa pendekatan manajemen persona-lia yang diterapkan pada saat ini tidak ber-kaitan dan memperhitungkan dampak kumu-latif daripada praktek kepegawaian yang terjadi terhadap nasib para pegawai. Pende-katan ini mengabaikan sebuah pertanyaan kritis dari pegawai, yaitu: apa yang bisa saya harapkan dari pekerjaan yang saya lakukan ini ?



Pengembangan Multi-value
Untuk itu diperlukan pendekatan alterna-tif dalam memandang manajemen personalia publik, yaitu dengan melihatnya sebagai interaksi empat nilai dominan bukan sekedar sebagai kumpulan teknik kepegawaian. Klingner dan Nalbandian mengungkapkan bahwa empat nilai tersebut mencakup administrative efficiency (efisiensi adminis-trasi), individual rights (hak-hak individu), political responsiveness (responsi politik), dan social equity (keadilan sosial). Nilai ini kiranya setara dengan nilai-nilai yang di-maksudkan oleh Rosenbloom8 yang mana administrative efficiency merupakan nilai dasar managerial approach, dan individual rights merupakan nilai utama dari legal approach, serta political responsiveness & social equity merupakan nilai-nilai yang terkandung dalam political approach.
Ilmuwan-ilmuwan tersebut sepakat bah-wa dalam administrasi negara, nilai-nilai dan pendekatan-pendekatan tersebut berinte-raksi satu sama lain sehingga tidak ada satu nilaipun yang dapat dipandang sebagai do-minan dalam administrasi negara. Panda-ngan demikian tentu merupakan pendekatan atau paradigma tersendiri dalam memandang administrasi negara pada umumnya sehingga
7 Santoso, P.B. 1993. Birokrasi Pemerintah Orde Baru : Perspektif Kultural dan Struktural. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
8 Lihat Rosenbloom, D.H. op.cit.



mempengaruhi pula pendekatan terhadap aspek-aspek yang ter-kandung di dalamnya, termasuk dalam manajemen personalia.
Keaneka-ragaman nilai ini memang sepa-tutnya dipahami jika kita kembali menengok aksioma pertama administrasi, yaitu bahwa suatu organisasi tidak beroperasi dalam ruang hampa.9 Selanjutnya Starling meng-ungkapkan bahwa administrasi publik paling tidak beroperasi dalam atmosfer politik, hukum, dan sosio-teknis, termasuk berbagai macam lembaga yang terkait dalam kehidup-an bernegara. Administrator publik harus memiliki pengetahuan yang memadai terha-dap institusi dan proses politik serta hukum. Bahkan pengetahuan saja sebenarnya tidak-lah memadai karena administrator publik seyogyanya juga memiliki political skill and management. Beragam kemampuan yang harus dimiliki di antaranya adalah kemam-puan menganalisa dan menginterpretasikan kecenderungan ekonomi, sosial, dan politik; kemampuan untuk menganalisa konsekuensi tindakan-tindakan administratif; dan ke-mampuan untuk memperjuangkan dan men-capai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan; serta kemampuan untuk berhubungan de-ngan berbagai instansi terkait baik publik, privat maupun LSM.
PERBANDINGAN
NILAI KLINGNER-NALBANDIAN

DENGAN PENDEKATAN ROSENBLOOM
Klingner & Nalbandian Rosenbloom
Administrative •Managerial Efficiency Approach
Individual Rights • Legal Approach
Political •Political Approach Responsiveness
Social Equity •Political Approach

Untuk itu, berbagai nilai dan pendekatan tersebut penting dikaji dan dipertimbangkan
9 Starling, G. 1998. Managing the Public Sector. 5th Edition. Harcourt Brace and Company, Florida.
karena nilai inilah yang membentuk dan mempengaruhi perkembangan dan peng-gunaan teknik-teknik manajemen personalia. Tidak seperti halnya manajemen personalia dalam organisasi profit-making-oriented yang sangat menekankan pada nilai efisiensi administrasi atau pendekatan manajerial, dan tidak seperti apa yang dimaksudkan dalam administrasi kepegawaian negara yang me-nekankan pada pendekatan legal, maka pen-dekatan ini memandang bahwa seluruh nilai tersebut berinteraksi satu sama lain dalam manajemen personalia publik. Hal ini di-sebabkan oleh lingkungan kerja dan ruang lingkup personalia publik merupakan bidang yang seringkali bergejolak karena interaksi dari nilai-nilai yang berubah pada setiap fungsi utama kepegawaian.
Fungsi-fungsi utama manajemen per-sonalia yang dijalankan oleh intansi-instansi pemerintahan agar karyawannya bekerja se-cara kompeten dalam suasana kerja yang memuaskan adalah : pengadaan pegawai; alokasi pekerjaan; pemberian imbalan; pengembangan kompetensi; termasuk pula pemeliharaan hubungan kerja. Oleh karena itu, yang terpenting bagi pemerhati masalah (termasuk mahasiswa) manajemen persona-lia publik adalah tidak hanya pemahaman atas fungsi-fungsi tersebut termasuk teknik-teknik yang ada di dalamnya, akan tetapi mencakup pula apresiasi terhadap nilai-nilai yang mendasari fungsi dan teknik tersebut serta interaksi atau bahkan konflik antar nilai yang terjadi dalam aplikasi fungsi ter-sebut. Interaksi atau konflik nilai ini bisa mempengaruhi pemilihan alternatif teknik yang akan dipergunakan dalam situasi ter-tentu.
Sebagai misal, pengisian jabatan publik yang sedang lowong bisa mempengaruhi pemilihan teknik seleksi yang akan diper-gunakan. Jika nilai yang mendasarinya adalah efisiensi administrasi maka teknik seleksi yang dipergunakan adalah berbagai teknik (misalnya SKA (Skill, Knowledge, and Ability) test) yang dapat menghasilkan pegawai yang memiliki kemampuan terbaik dengan mengabaikan faktor-faktor subyektif seperti suku, jenis kelamin, keturunan, alum-ni, agama dan lain sebagainya. Akan tetapi jika nilai yang dijadikan dasar adalah social equity maka teknik seleksi yang diperguna-kan adalah teknik yang mampu meng-akomodasi nilai tersebut (misalnya seleksi administrasi dikombinasi dengan teknik wawancara) sehingga pegawai yang terpilih akan lebih mempertimbangkan proporsi jenis kelamin, suku atau asal daerah, ketu-runan dan lain sebagainya secara seimbang.



Dari contoh tersebut dapat dipahami bah-wa nilai-nilai yang mendasari dapat mem-pengaruhi jenis teknik tertentu dalam fungsi kepegawaian tertentu. Bahkan nilai juga mampu mempengaruhi keputusan-keputusan kepegawaian yang akan diambil. Dalam setiap fungsi yang dijalankan terdapat in-teraksi nilai dan bahkan bisa berkembang menjadi konflik nilai jika terdapat perbedaan nilai dari berbagai pihak yang terlibat dalam pengambilan kebijakan kepegawaian.
Contoh di atas juga menunjukkan kepada kita bahwa fungsi dan teknik kepegawaian bukanlah hal yang bebas nilai (value free) akan tetapi justru sarat nilai (value laden). Juga menunjukkan betapa nilai tertentu tidak berlaku universal, kapan saja, dimana saja, oleh siapa saja, dan kepada siapa saja. Dengan demikian menjadi suatu hal yang menarik untuk dikaji bagaimana nilai-nilai tersebut berinteraksi dalam fungsi-fungsi utama manajemen personali publik.
Pendekatan nilai ini dianggap sangat membantu berbagai pihak yang terlibat da-lam aktivitas kepegawaian dalam menjawab berbagai persoalan mendasar yang timbul dari pendekatan terdahulu. Bagi para aka-demisi, pendekatan ini mampu menjawab pertanyaan bagaimana bagian-bagian dari manajemen personalia publik ini berkaitan satu sama lain atau dengan kata lain saling mempengaruhi, karena bagian-bagian ter-sebut tidak sekedar linear dari satu bagian ke bagian lainnya. Pendekatan ini memungkin-kan para akademisi untuk melihat adanya pilihan-pilihan diantara teknik-teknik perso-nalia dari perspektif teoritis.
Selain itu, pendekatan multi-value ini di-harapkan mampu memberikan dampak yang lebih luas bagi peningkatan kinerja lembaga-lembaga publik. Sebagaimana kita ketahui bahwa selama ini lembaga ini selalu dike-cam sebagai biang keladi dari berbagai per-soalan di dalam masyarakat. Dari fungsi yang semestinya dijalani sebagai pelayan masyarakat, justru masyarakat yang ber-fungsi sebagai pelayannya. Semua ini, ber-mula dari sumber daya manusia yang ada dalam institusi publik itu sendiri sehingga bila ingin memperbaikinya justru harus dimulai dari sumber daya manusia tersebut. Holzer dan Callahan juga telah meng-indikasikan hal tersebut dan perbaikan terhadap manajemen personalia di instansi publik akan menjadikan lembaga tersebut sebagai problem solver dari berbagai per-soalan di masyarakat yang seakan-akan tiada habis-habisnya.10
Berbagai studi lainnya tentang arti pentingnya sumber daya manusia di sektor publik ini (Pradhan & Reforma, 1991; Metcalfe & Richards, 1992; Rosen, 1993; Berman, 1998; Sluyter, 1998; Balogun & Mutahaba, 1999)11 juga telah menunjukkan
10 Holzer, M. & Callahan, K. 1998. Government at Work. Sage Publications, Inc. : California.
11 Pradhan, G.B.N. & Reforma, M.A. 1991. Public Management in the 1990s : Challenges and Opportunities. EROPA Secretariat General, Manila; Metcalfe, Les & Sue Richards (1992). Improving Public Management, California : Sage Publications; Rosen, Elle Doree (1993). Improving Public Sector Productivity, California : Sage Pubications; Berman, Evan M. (1998). Productivity in Public and Non profit Organizations, California : Sage Publications; Sluyter., Gary V. (1998). Improving Organizational Performance, California : Sage Publications; Balogun, M.J. & Mutahaba, G. 1999. “Redynamising the African Civil Service for the Twenty-first Century : Prospects for Non-bureaucratic Structure” dalam Henderson, K.M. & Dwivedi, O.P. (ed.) Bureaucracy



semangat yang sama, yakni perhatian utama yang diberikan terhadap sumber daya manu-sia justru akan meningkatkan kinerja dan produktivitas organisasi-organisasi publik. Bahkan dalam perspektif yang lebih luas Kunio juga menggambarkan hal yang senada.12 Menguatnya perhatian para akade-misi administrasi negara ini terhadap bidang manajemen personalia publik tentu mem-bawa angin segar bagi perkembangan kajian ini di masa mendatang. Hal ini juga merupa-kan bangkitnya kesadaran mereka akan betapa penting, menarik, dan menantangnya bidang ini secara akademis, serta membawa konsekuensi praktis yang cukup signifikan.



Purnawacana
Berdasarkan seluruh uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa sebelum ini per-kembangan kajian kepegawaian di lingkung-an institusi publik telah mengalami stagnasi yang cukup parah. Stagnasi ini disebabkan oleh begitu kuatnya pendekatan tunggal, yakni pendekatan legalistik, dalam mempe-ngaruhi bahan ajar dan praktika pengelolaan pegawai di lingkungan tersebut. Tentu hal ini tidak bisa diterima karena sebenarnya organisasi publik berjalan penuh dengan pergulatan nilai dan pengaruh lingkungan eksternal yang begitu kuat. Pendekatan tunggal telah mengungkung potensi, daya tarik, dan tantangan yang terkandung dalam khasanah bidang studi ini.
Untuk itu, perlu dilakukan reterminologi dalam pendidikan bidang tersebut menjadi manajemen personalia publik. Selain, per-soalan simbolik tersebut juga perlu pembe-nahan dalam domain substantif dengan memasukkan berbagai nilai yang relevan dalam bidang tersebut. Dengan perubahan ini, maka bidang pengelolan kepegawaian di
and the Alternatives in World Perspective. MacMillan Press, London.
Kunio, Y. 2000. Asia Per Capita : Why National Income differ in East Asia. Curzon Press, London.
lingkungan institusi publik tidak lagi kebal terhadap nilai-nilai yang ada akan tetapi justru diperkaya oleh nilai-nilai tersebut. Harapannya adalah praktisi atau adminis-trator publik akan menjadi lebih peka dan terampil baik dalam berhubungan dengan sumber daya manusia baik yang tersebar di lingkungan internal maupun eksternal. Bagi akademisi, tentu bidang ini akan menjadi jauh lebih menarik dan challenging, serta bagi mahasiswa akan memperoleh lahan kajian yang begitu rimbun dan lebat tidak lagi gersang.
Akhirnya, tentu perubahan ini diharapkan akan mampu membenahi kinerja lembaga-lembaga pemerintahan dan institusi publik lainnya sehingga mampu tampil sebagai pemecah masalah dan bukan lagi bagian dari masalah itu sendiri. Kinerja publik yang baik ini seyogyanya mampu meningkatkan citra lembaga tersebut di masyarakat sehingga mampu menaikkan pamor institusi dan personalia yang berada di dalamnya. Citra baik ini akan menaikkan dukungan publik terhadap institusi tersebut sehingga akan mempermudah perolehan dukungan masya-rakat dalam menjalankan berbagai aktivitas-nya.

0 comments: