Saturday 22 March 2008

STRATEGI PENGEMBANGAN PEREKONOMIAN RAKYAT DAN KOPERASI DI DAERAH

STRATEGI PENGEMBANGAN PEREKONOMIAN RAKYAT DAN KOPERASI DI DAERAH
Choirul Saleh
Drs. Choirul Saleh, M.Si., adalah Staf Pengajar pada Jurusan Administrasi Negara dan Program Pascasarjana Unibraw. Memperoleh gelar Sarjana dalam bidang Administrasi Negara Unibraw dan Magister dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kini menjabat Sekretaris Jurusan Administrasi Negara FIA Unibraw.


Pendahuluan
Pembahasan tentang strategi pengem-bangan perekonomian rakyat pada umumnya meliputi beberapa bidang yang meliputi; pengembangan ekonomi sektor informal, home industri, industri kecil, Industri mene-ngah dan Koperasi. Secara konseptual pem-bahasan perekonomian rakyat tersebut meru-pakan bahasan bidang ekonomi makro yang banyak dipengaruhi oleh keberlakukan sis-tem ekonomi yang dianut oleh suatu negara. Itulah sebabnya maka pemahaman tentang sistem ekonomi negara menjadi prasyarat mutlak bagi kita sebelum melakukan pem-bahasan mendalam tentang strategi pengem-bangan sektor informal, home industri, industri kecil, menengah dan Koperasi.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa sistem ekonomi yang berlaku di negara kita hingga Orde Reformasi ini adalah masih berpijak pada Sistem Ekonomi Pancasila yang selanjutnya lajim disingkat dengan istilah SEP, yang secara yuridis formal mengacu pada pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Keberlakuan Sistem Ekonomi Pancasila ini masih dianggap relefan bagi Indonesia sebab hingga saat ini struktur ekonomi masyarakat kita masih berupa dual society structures yang terdiri dari Traditional society dan Industrial society. Traditional society adalah masyarakat
Golongan Ekonomi Lemah (GEL) yang merupakan kelompok mayoritas dari masya-rakat kita. Golongan ini dalam menjalankan aktivitas ekonominya masih sangat meng-andalkan pada kegiatan usaha yang intensif tenaga kerja dan teknologi sederhana. Se-dangkan Industrial society adalah masya-rakat Golongan Ekonomi Kuat (GEK), yang di dalam menjalankan aktivitas usahanya lebih mengandalkan pada kegiatan usaha yang intensif modal dan teknologi modern.



Kegiatan Usaha Perekonomian Rakyat Dalam Sektor Industri
Pada dasarnya usaha perekonomian rak-yat dalam sektor industri lebih ditekankan pada kegiatan usaha yang dilakukan oleh masyarakat Golongan Ekonomi Lemah (GEL) yang tersebar diberbagai pelosok Indonesia. Hingga saat ini keberadaan sektor informal masih relatif belum tersentuh oleh kebijakan negara sedangkan keberadaan home industri, industri kecil dan industri sedang pengklasifikasiannya masih belum seragam, dan belum teridentifikasi secara jelas, sehingga menyulitkan pihak pemerin-tah dalam melakukan pembinaan secara efektif dan terarah. Ketidak seragaman ter-sebut tampak ketika kita membicarakan ten-tang pengertian dan pengklasifikasian ten-tang apa yang disebut dengan home industri, industri kecil maupun industri menengah/ sedang, dimana masing-masing instansi/ lembaga pemerintah memiliki ketentuan yang berbeda-beda atau memiliki kreteria yang bersifat doble standard. Berbagai kreteria yang bersifat double standard tersebut diantaranya dapat dilihat pada uraian di bawah ini.



Menurut Biro Pusat Statistik dalam mengklasifikasi besar kecilnya kegiatan in-dustri didasarkan pada jumlah tenaga kerja-nya dengan ketentuan sebagai berikut; (1) Industri rumah tangga (Home Industri) ada-lah kegiatan usaha yang mempekerjakan tenaga kerja kurang dari lima orang. (2) Industri kecil mempekerjakan tenaga kerja antara 5 sampai 19 orang. (3) Industri seda-ng mempekerjakan tenaga kerja antara 20 hingga 99 orang dan (4) Industri besar mem-pekerjakan tenaga kerja lebih dari 100 orang. Namun apabila dilihat dilapangan ketentuan tersebut banyak yang tidak sesuai, bahkan banyak ditemui sektor home industri yang mempekerjaan tenaga kerja lebih dari 20 orang, yang menurut ketentuan pihak BPS Industri ini telah memasuki wilayah industri kecil, dan banyak pula industri kecil yang mempekerjakan tenaga kerja lebih dari 20 orang, yang berarti telah memasuki wila-yah industri sedang berdasarkan kreteria yang disusun oleh pihak BPS.
Berbeda dengan pihak BPS, pihak Depar-temen Perdagangan menyusun klasifikasi besar kecilnya Industri didasarkan pada as-pek permodalannya, sedangkan pihak De-partemen Perindustrian mengklasifikasi be-sar kecilnya industri berdasarkan pada pemi-likan aset usahanya.
Akibat dari adanya kreteria yang bersifat double standard itu menyebabkan tingkat kesulitan yang tinggi bagi pihak pemerintah pusat untuk menyusun pedoman pembinaan yang bersifat universal. Oleh karena di era reformasi ini sistem pemerintahan di Indo-nesia lebih ditekankan pada sistem yang bersifat desentralistik dengan memberikan otonomi luas bagi Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu maka, sudah selayaknya apabila pihak pemerintah daerah harus bisa berkon-sentrasi penuh dalam melakukan pembinan kepada sektor ekonomi ini dengan hasil yang lebih baik, sebab didasarkan pada asumsi bahwa pihak pemerintah daerahlah yang lebih mengetahui seluk beluk mereka secara detail dan rinci. Dengan semakin besarnya peran yang dipegang oleh pihak pemerintah daerah ini, maka keterlibatan pihak DPRD dalam menyusun strategi pembinaan dan pengawasan terhadap pelak-sanaan pembinaan menjadi sangat berarti. Oleh sebab itulah pihak DPRD dituntut untuk selalu meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya dalam menyusun kebijakan perekonomian daerah, khususnya dalam me-ngembangkan kegiatan usaha masyarakat Golongan Ekonomi Lemah di sektor Indus-tri.
Menurut (Mudrajad Kuncoro, 1997: 315) perbedaan persepsi dan pengklasifika-sian besar kecilnya industri ini mengakibat-kan pembinaan yang bersifat sector oriented, dimana masing-masing Instansi pembina dalam melakukan pembinaannya hanya menekankan pada bidang yang ber-beda-beda sesuai dengan persepsinya masi-ng-masing. Pembinaan semacam ini paling tidak mengakibatkan terjadinya dua hal negatif yakni; (1) Arah pembinaan menjadi kurang bahkan tidak efektif dan (2) berupa Tiadanya indikator keberhasilan yang seragam.
Berkaitan dengan masih terdapatnya ke-simpangsiuran tentang pendefinisian dan pengklasifikasian besar kecilnya kegiatan usaha perekonomian rakyat tersebut, maka disarankan agar pengklasifikasian yang di-maksud sebaiknya didasarkan pada faktor-faktor dibawah ini;



1 Faktor pembagian tugas, dengan asumsi apabila dalam kegiatan usaha itu tidak didasarkan pada pembagian tugas yang jelas antara kegiatan administratif dan kegiatan operasional, maka kegiatan usaha ini diklasifikasi sebagai kegiatan usaha home industri atau industri kecil.
2 Sistem kepemilikan usaha, dengan asumsi bahwa pada umumnya home industri dan industri kecil pemilik usaha sekaligus merangkap sebagai pengelola serta memanfaatkan anggota keluarga (unpaid famely worker) sebagai tenaga kerja utamanya.
3 Sistem pembukuan, dengan asumsi bah-wa hampir semua indutri rumah tangga dan industri kecil tidak dilengkapi de-ngan sistem pembukuan yang rapi, sehi-ngga sulit diprediksi berapa besar laba usaha yang diperolehnya.
4 Sumber permodalan, dengan asumsi bahwa sebagian besar home industri dan industri kecil dimodali secara pribadi dan kurang memanfaatkan lembaga finansial (Perbankan).
5 Status pendirian, dengan asumsi bahwa keberadaan home industri dan industri kecil sebagain besar tidak dilengkapi dengan badan hukum.
6 Pemanfaatan teknologi dan tenaga kerja, dengan asumsi bahwa dalam proses pro-duksi home industri dan industri kecil lebih banyak memanfaatkan teknologi sederhana dengan tenaga kerja yang berpendidikan rendah, dan tingkat kete-rampilan/keahlian yang rendah pula.



Pentingnya Pengembangan Perekonomian Rakyat Bagi Daerah
Sebagaimana kita ketahui bahwa pembangunan sektor industri formal (besar) yang telah dicanangkan oleh reijim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soe-harto yang seolah-olah tumbuh pesat itu, ternyata mengandung berbagai kelemahan bagi kemajuan ekonomi nasional di Indo-nesia. Berbagai kelemahan yang dimaksud dapat dilihat pada angka-angka dibawah ini.
Tingkat pertumbuhan ekonomi secara nasional mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 14% dengan menyumbangkan ke-naikan PDB sebesar 17% pada tahun 1970 dan melonjak tajam menjadi 31% pada tahun 1991, dan merupakan peningkatan yang sangat fantastis bagi sebuah negara berkembang. Namun dibalik itu semua kebe-radaan industri besar pada kurun waktu yang sama hanya mampu menyediakan kesempat-an kerja hanya sebesar 11% menjadi 13% saja dari seluruh angkatan kerja yang ter-sedia di Indonesia. Lebih dari itu ketika ke-beradaan industri besar dan menengah me-nguasai sebesar 82% nilai tambah ternyata hanya mampu menyerap tenaga kerja se-banyak 33%, sedangkan keberadaan sektor ekonomi rakyat yang terdiri dari, sektor in-formal, home industri dan industri kecil yang menguasai nilai tambah hanya sebesar 18% ternyata mampu menyerap tenaga kerja sebesar 67% (BPS;1993). Berdasarkan ke-nyataan yang semacam itu, dapat dilihat betapa perkem-bangan sektor industri besar dan menengah pada saat itu tidak hanya menyebabkan munculnya akibat negatif baik yang berupa; terjadinya kesenjangan ekono-mi dan disparitas pendapatan serta mem-bengkaknya angka pengangguran.
Sudah barang tentu munculnya berbagai dampak yang negatif tersebut merupakan akibat dari pola kebijakan pembangunan di Indonesia yang berorientasi pada pertum-buhan yang bertumpu pada pendekatan yang bersifat liberalistik. Ironisnya pola kebijakan semacam ini hanya bisa diapresiasi oleh mereka yang bermodal kuat, dimana mereka yang bermodal kuat ini jumlahnya masih sangat sedikit. Sedangkan pada sisi lain keberadaan perekonomian rakyat yang le-mah modal (sektor informal, home industri dan industri kecil) yang jumlahnya sangat besar itu masih belum mampu mengapresiasi kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah. Akibatnya meskipun pembangunan ekonomi berjalan pesat dan mengalami pertumbuhan yang tinggi. Ternyata masih banyak rakyat yang merasa tergilas oleh roda pembangunan itu sendiri.



Mungkin pihak pemerintah pada waktu itu sudah mengantisipasi kondisi semacam itu, sehingga pemerintah telah menggalak-kan kegiatan perkoperasian. Namun sayang keberadaan lembaga Koperasi yang disebut sebagai soko gurunya perekonomian Indone-sia itu, sebagain besar masih belum mampu berbuat banyak untuk mengangkat harkat dari para anggotanya yang sebagian besar terdiri dari para golongan ekonomi lemah itu. Menurut beberapa pengamat perkopera-sian, kecilnya peran koperasi dalam meng-angkat dan meningkatkan perekonomian ter-hadap para anggotanya itu, salah satunya adalah masih dominannya campur tangan dari pihak birokrat (pemerintah). Hal ini bukan berarti bahwa peran pemerintah harus dihilangkan, tetapi hendaknya peran peme-rintah itu jangan lagi bersifat “intervensi”, melainkan hanya sekedar “pembinaan”.



Strategi dan Perencanaan Pengembangan Perekonomian Rakyat
Berbicara tentang strategi perekonomian rakyat yang meliputi; sektor informal, home industri, industri kecil dan koperasi bukan-lah merupakan pekerjaan yang mudah, oleh sebab itu harus dilakukan penuh kesung-guhan, sistematis, terarah dan benar-benar tepat sasaran sesuai dengan permasalahan yang benar-benar dan dialami oleh masing-masing sektor. Pernyataan tersebut intinya adalah untuk mengingatkan kita, walaupun keberadaan perekonomian rakyat di berbagai sektor tersebut hingga saat ini sebagian besar kondisinya belum baik bukan berarti bahwa pemerintah Orde Baru lalu tidak melakukan pembinaan dan pengembangan, tetapi pembinaan dan pengambangannya ku-rang didasarkan pada strategi yang tepat, kurang terarah, kurang sistematis sehingga tidak mengena pada sasaran yang sesu-ngguhnya. Dikatakan dimikian sebab, pada masa itu sedikitnya ada delapan (8) Instansi Pemerintah yang telah berperan melakukan pengembangan perekonomian rakyat, namun hasilnya masih belum banyak bisa dirasakan oleh para pengusaha yang berkecimpung dalam sektor perekonomian rakyat tersebut. Kedelapan (8) Instansi Pemerintah tersebut terdiri dari; Deperindag, Depdikbud, Dep-naker, Depsos, Depkeu, Bappenas dan Dep-kop. Kurang maksimalnya hasil kerja berba-gai instansi tersebut dalam melakukan pem-binaan dan pengembangan sektor perekono-mian rakyat dikarenakan oleh beberapa faktor yang diantaranya adalah;
1 Ketidak tepatan pihak pemerintah pusat pada waktu itu dalam memilih para-digma pembangunan, yakni paradigam pembangunan yang berorientasi pertum-buhan semata.
2 Unsur “modal” dianggap sebagai faktor utama yang bisa menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi oleh sektor per-ekonomian rakyat, sehingga pihak pe-merintah cenderung menggelontor ber-bagai macam jenis pinjaman (kredit), tanpa perhitungan matang, yang meng-akibatkan kucuran kredit tidak tepat sasaran dan banyak kredit yang tidak dapat dikembalikan. Berbagai macam kredit itu diantaranya; BIMAS INMAS, KUPEDES, KUK, KIK, KMKP KCK, IDT dan KUT serta berbagai paket kredit yang lain.
3 Unsur SDM dalam melakukan pembina-an relatif terabaikan, sehingga kemam-puan mereka dalam menjalankan proses produksi relatif lemah dan tidak ber-kembang, yang berakibat pada lemahnya daya saing mereka dengan pihak-pihak lain terutama para industri besar.




1 Kurangnya perhatian terhadap pembina-an manajemen usaha, sehingga kebera-daan sektor perekonomian rakyat kurang bisa dikelola dan dimanag secara efisien, boros dan tipisnya keuntungan atau laba usaha yang diperoleh.
2 Penyusunan kreteria yang dibuat oleh masing-masing instansi dalam menentu-kan besar kecilnya lembaga industri per-ekonomian rakyat masih bersifat double standard, sehingga tidak ada kesatuan gerak dan langkah dalam melakukan pembinaan.
3 Dalam melakukan pembinaan, pada umumnya tidak didasarkan pada tinda-kan analisis situasi sebagai langkah pen-dahuluan untuk menentukan masalah yang benar-benar dihadapi oleh masing-masing sektor perekonomian rakyat.

Disamping itu masih banyak lagi ber-bagai kelemahan pembinaan yang pernah dilakukan pemerintah selama Orde Baru pada saat itu. Barangkali berbagai kelemah-an atau kesalahan yang pernah diperbuat oleh pemerintahan orde baru dalam melaku-kan pengembangan dan pembinaan pereko-nomian rakyat pada waktu itu, masih bisa dipermaklumkan, sebab pada waktu itu sis-tem pemerintahan Indonesia relatih masih bersifat sentralistik. Sebagaimana kita keta-hui bahwa pada sistem pemerintahan yang sentralistik itu bahwa hampir semua peren-canaan dan kebijakan pembangunan ekono-mi telah ditentukan oleh pihak pusat. Se-mentara itu pihak pusat pada umumnya kurang menguasai kondisi dari masing-ma-sing daerah. Oleh sebab itu apabila dalam menyusun perencanaan dan kebijakan pem-bangunan kurang berhasil dengan baik ada-lah masih wajar. Namun dalam Orde Refor-masi seperti saat sekarang ini, serta telah disusunnya UU tentang Sistem Pemerintah-an Daerah yang berintikan pada otonomi daerah yang diperluas seyogyanya berbagai kesalahan tersebut diatas bisa diminimalisir kalau toh tidak bisa dihilangkan sama sekali.
Hal ini merupakan tuntutan yang logis sebab dengan otonomi daerah yang diperluas, pi-hak pemerintah daerah mempunyai kelelua-saan yang besar dalam menyusun dan mem-buat kebijakan pembangunan ekonomi, khu-susnya sektor perekonomian rakyat yang terdiri dari sektor informal, home industri, industri kecil dan Koperasi yang tersebar di daerah. Mengapa pembinaan dan pengem-bangan yang dilakukan pemerintah daerah harus lebih baik ?, sebab telah diasumsikan bahwa pihak pemerintah daerah adalah me-rupakan instansi pemerintah yang dianggap paling tahu situasi dan kondisi daerahnya masing-masing. Namun demikian, baik ti-daknya pihak pemerintah daerah dalam men-jalankan tugasnya, sangat tergantung dari kualitas pikir dan kualitas kerja dari pihak DPRD dalam melakukan fungsi kelegisla-tifannya, yang diantaranya adalah fungsi perencanaan dan fungsi pengawasan. Fungsi perencanaan bagi lembaga pemerintah digu-nakan sebagai pedoman yang harus diambil dalam mencapai suatu tujuan yang telah di-tetapkan. Itulah sebabnya Siagian (1989 : 108)
Suatu perencanaan jelas ditujukan pada pencapaian yang dicitakan di masa yang akan datang, oleh sebab itu agar perencana-an yang dibuat oleh organisasi betul-betul realistis maka dibutuhkan daya forecasting (prakiraan) yang benar-benar logis, dari seorang perencana. Seorang perencana yang baik agar dapat membuat suatu rencana yang baik dan realistis paling tidak harus mampu mengenali situasi dan kondisi lingkungan yang ada disekitarnya baik itu lingkungan dalam organisasi maupun lingkungan luar organisasi yang dikelolanya.
Agar perencanaan benar-benar bersifat realistis dalam rangka mencapai tujuan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang perencana antara lain;
1. Know the nature of the problems (me-ngetahui secara hakiki dari masalah yang dihadapi)



1 Collect data (kumpulkan data)
2 Analysis of the data (penganalisaan data)
3 Determination of several alternatives (penentuan beberapa alternatif)
4 Selection of the seemingly best way from among alternatives (Menentukan alter-natif terbaik dari beberapa alternatif yang ada)
5 Execution (Pelaksanaan)
6 Evaluation of results (Penilaian/evaluasi terhadap hasil yang dicapai)

Sebenarnyalah bahwa antara perencanaan dan strategi memiliki skala yang berbeda, namun keduanya mempunyai hubungan hi-rarkhis yang sangat kuat, bahkan dapat dika-takan bahwa perencanaan tanpa strategi tidak mungkin bisa mencapai tujuan, sasaran maupun target secara efektif dan efisien. Se-dangkan tanpa perencana an strategi tidak mungkin terbentuk, sehingga tidak ada pe-doman yang dapat dipakai sebagai pijakan operasional dalam pencapaian tujuan. Atas dasar itulah maka perencanaan dan strategi sangat dibutuhkan keberadaannya dalam mengembangkan sektor perekonomian rak-yat dan koperasi.
Terlebih lagi dalam perspektif teori orga-nisasi modern yang berkembang belakangan ini yang berasumsi bahwa organisasi baik itu lembaga perekonomian rakyat maupun koperasi adalah merupakan sebuah sebuah organisasi dengan sistem terbuka yang selalu berinteraksi dengan lingkungan disekitar or-ganisasi itu berada, maka keterkaitan antara perencanaan dan strategi semakin kentara. Dalam pandangan teori organisasi modern tersebut, mengkalisifikasi jenis lingkungan organisasi menjadi dua bagian besar yang terdiri dari;
1 Internal environment (lingkungan dalam)
2 External environment (lingkungan luar) Kedua jenis lingkungan ini secara inten-sif mempunyai pengaruh yang sangat kuat bagi kelangsungan hidup organisasi. Apabila sebuah organisasi tidak mampu membaca bahkan menguasai lingkungan, maka eksis-tensi organisasi tersebut bisa terancam. Sejalan dengan pengklasifikasian jenis lingkungan di atas, secara teoritis Siagian

lebih jauh mengklasifikasi kondisi lingkung-an organisasi menjadi tiga yang terdiri dari:
1 Predictable environment
2 Semi predictable environment
3 Unpredictable environment

Sedangkan John H. Jackson dan Cyril
P. Morgan juga membagi kondisi lingku-ngan menjadi tiga karakteristik yang terdiri dari;
1 Certainty environment (lingkungan yang stabil)
2 Changing environment (lingkungan yang berubah)
3 Turbelent environment (lingkungan ber-gejolak)

Dimana letak pentingnya pemahaman lingkungan dengan berbagai karakteristik tersebut diatas dengan penyusunan rencana dan strategi dari sebuah organisasi ?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, barang kali ada baiknya apabila kita perhatikan diagram atau gambar di bawah ini;


Jurnal Administrasi Negara, Vol. I, No. 1, September 2000 : 28 - 36
Gambar 1 Perencanaan Pengembangan Perekonomian Rakyat & Koperasi
Lingkungan Eksternal Dimensi Lingkungan Internal


Dengan memahami gambar atau dia-gram tersebut, dapat diilustrasikan bahwa, mungkin ada dua organisasi atau lebih yang memiliki Tujuan/sasaran atau target yang sama, sehingga mempunyai aspek-aspek rencana yang sama pula, tetapi strategi masing-masing organisasi harus berbeda ter-gantung dari situasi dan kondisi lingku-ngannya masing-masing. Sejalan dengan kajian teoritik tersebut maka langkah awal dalam menyusun strategi dan perencanaan pengembangan perekonomian rakyat mau-pun koperasi faktor utama yang sebaiknya diperhatikan dahulu adalah faktor lingku-ngannya, baru kemudian memperhatikan faktor-faktor lainnya. Secara skematis lang-kah-langkah penyusunan strategi pengem-bangan lembaga perekonomian rakyat (sektor informal, home industri, industri kecil, industri menengah) dan koperasi dapat disusun sebagai berikut;


Gambar 2. Langkah-langkah Penyusunan Strategi Pengembangan Perekonomian Rakyat & Koperasi
Analisa Situasi


Dengan menggunakan langkah-langkah tersebut maka strategi pengembangan lem-baga perekonomian dan koperasi dapat disusun secara lebih terarah karena berbagai permasalahan yang ada dapat dikenali dengan baik. Bertolak dari pengenalan ma-salah yang tepat itulah maka strategi pe-ngembangan dapat dibuat dan metode dapat ditempuh secara operasional.


Penutup
Demikianlah prasaran yang bertopik strategi pengembangan perekonomian rak-yat dan koperasi ini disampaikan dalam acara Pentaloka Anggota Legislatif DPRD Kabupaten Ngawi. Somaga uraian ini mem-bawa manfaat yang positif bagi pihak-pihak yang memerlukan. Paling tidak dapat dijadi-kan sebagai bahan reverensi dalam rangka pengembangan lembaga perekonomian rak-yat dan koperasi yang ada di wilayah ini.



DAFTAR BACAAN

Abdul Madjid dan Sri Edi, S, 1981, Wawasan Ekonomi Pancasila, Penerbit, UI Press, Jakarta
Choirul Saleh, 1999, Sistem Ekonomi Indonesia, Suatu Pengantar, Lembaga Penerbitan FIA, Universitas Brawi-jaya, Malang
Gunawan Sumodiningrat, 1998, Memba-ngun Perekonomian Rakyat, Penerbit, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Johanes Mardinin, 1996, Dimensi Kritis Proses Pembangunan di Indonesia, Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Mudrajad Kuncoro, 1987, Ekonomi Pem-bangunan, Teori, Masalah dan Kebijakan, Penerbit UPP AMP YKPN, Yogyakarta
Tom Gunadi, 1981, Sistem Perekonomian Menurut Pancasila Dan UUD 1945, Penerbit, Angkasa, Bandung
Revrison Baswir, 1997, Agenda Ekonomi Kerakyatan, Penerbit, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Soekanto Reksohadiprojo, 1982, Organisasi Perusahaan, Teori, Struktur Dan Perilaku, Penerbit, BPFE UGM, Yogyakarta
Zulkarnain Djamin, 1993, Perekonomian Indonesia, Penerbit, Fakultas Ekonomi Indonesia, Jakarta


Strategi Pengembangan Perekonomian…(Choirul Saleh)

0 comments: