Friday 21 March 2008

REORIENTASI PLATFORM KIPRAH PERUM PERUMNAS: Menggeser Arah Kebijakan Strategis

REORIENTASI PLATFORM KIPRAH PERUM PERUMNAS:
Menggeser Arah Kebijakan Strategis dari Sekadar Berorientasi pada Kelayakan dan Keterjangkauanmenuju Basis Good Corporate Governance
Syakrani
Dosen Tetap Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIPOL Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Ia adalah Kandidat Doktor Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB dan sedang menulis disertasi tentang Pengembangan SDM Berbasis Komunitas.
endapatkan tempat tinggal (baca: rumah) yang layak huni bukan sekadar kebutuhan penduduk yang harus dipenuhi, terutama oleh pemerintah, tetapi juga merupakan salah satu hak asasi manusia yang fundamental. Konsep layak huni di sini perlu dipahami dengan lebih cerdas.
Terlepas dari muatan maknanya yang sangat relatif, tetapi ada satu titik acu yang bisa disepakati. Dalam konteks ini, jelas rumah bukan sekadar tempat manusia berlindung dari terik matahari dan guyuran air hujan. Ungkapan Rumahku adalah surgaku (al-Hadits) menggambarkan bahwa rumah, berapa pun tipenya, harus bisa menjadi wadah bagi terwujudnya fungsi fisik-biologik, edukasi atau sosialisasi, sosial-budaya, ekonomi, dan pengembangan kecerdasan emosional-spiritual manusia penghuninya antar atau lintas-generasi. Dengan kata lain, rumah harus bisa memberi tempat kepada penghuninya agar mampu menjalankan fungsi totalitas kemanusiannya. Titik acu ini memang sangat sulit ditransformasi ke dalam kriteria obyektif yang universal. Tetapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta bertambah banyaknya jumlah pakar yang menekuni bidang ini lebih memudahkan terformulasikannya kriteria yang lebih mudah diterima sebagai ukuran-ukuran obyektif, sesuai dengan kondisi sosial-budaya setempat.
Menurut data terakhir, di Indonesia masih cukup banyak penduduk atau keluarga belum memiliki rumah. Kalau data ini ditambah dengan jumlah keluarga yang sudah punya rumah, tetapi tidak layak huni, maka jumlah keluarga yang tidak bisa mememuhi hak-hak dasarnya mungkin akan menjadi dua kali lipat. Perkembangan ekonomi yang akhir-akhir ini sulit diprediksi, harga bahan-bahan yang cenderung naik, dan ketahanan ekonomi sebagian besar keluarga yang belum pulih menimbulkan dua hal yang sangat paradoksal. Pertama, harga rumah akan semakin mahal. Rumah RSS tipe 36 misalnya, yang dibangun oleh Perum Perumnas atau pengembang lainnya, yang nota bene sebenarnya “kurang” layak huni, sekarang hanya bisa dijangkau oleh pegawai bergolongan pangkat III ke atas atau penduduk yang setara penghasilannya dengan mereka. Untuk kasus Banjarbaru, Propinsi Kalimantan Selatan misalnya, harga jual rumah tipe RSS 36 per November 2002 sebesar Rp. 40.745.000 dengan uang muka berkisar antara Rp. 13.745.000 sampai Rp. 17.745.000 dengan angsuran berkisar antara Rp. 401.494 (15 tahun) sampai Rp. 744.093 (5 tahun). Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, harga jual naik menurut logika pasar; bukan berdasarkan kenaikan penghasilan penduduk. Kedua, penghasilan sebagian besar keluarga dalam waktu dekat atau bahkan lima tahun ke depan tidak akan beranjak baik, sehingga akses mereka ke kredit pemilikan rumah semakin terbatas. Dua kondisi paradoksal ini memudahkan kita untuk memprediksi bahwa setidak-tidaknya untuk lima tahun ke depan, jumlah keluarga tak berumah layak huni akan semakin banyak. Dengan demikian, statistik pelanggaran hak asasi manusia bidang pemenuhan kebutuhan tempat tinggal yang layak ini di Indonesia akan semakin menanjak. Persoalannya sekarang adalah, bagaimana mengendalikannya?
A. Rumah dan Fungsi Kemanusiaan.
Cerita tentang perkembangan sosiologis sebuah komunitas, katakanlah dari masyarakat berburu ke masyarakat peramu, menunjukkan betapa pentingnya peran tempat tinggal bagi mereka (lihat Sanderson, 1993). Selintas, rumah bagi warga komunitas berburu (hunting society) yang mengembangkan pola pemukiman tak menetap hanyalah dijadikan sarana untuk melindungi bubuhannya dari serangan binatang, musuh, atau serangan alam secara fisik. Walaupun kesimpulan ini tidak terlalu benar, karena relasi promiskuitas antar-pasangan juga dilakukan di rumah-rumah itu, tetapi fungsi rumah dari dulu hingga sekarang mengalami perkembangan yang dramatis.
Berger (1991) mengemukakan, manusia berbeda dari hewan; manusia adalah makhluk yang belum selesai saat dilahirkan. Karena itu, ia lahir dengan sangat sedikit pengetahuan, tetapi punya banyak potensi untuk belajar. Sedangkan hewan lahir dengan banyak pengetahuan, tetapi sangat sedikit potensi untuk belajar. Potensi belajar yang dimiliki oleh manusia memungkinkannya untuk menunaikan tugas atau fungsi finishing kemanusiannya. Perkembangan peradaban atau setidak-tidaknya kebudayaan dan masyarakat mengikuti dan merupakan fungsi dari perkembangan potensi belajarnya. Fungsi-fungsi kebudayaan, di mana rumah atau tempat tinggal merupakan salah satu bentuk ekspresi potensi berbudaya manusia, yang merupakan hasil dan sekaligus sarana serta pembentuk pengembangan potensi dan fungsi kemanusiannya juga berkembang secara adaptif. Begitulah, kalau rumah dijadikan contoh kasus, maka fungsi rumah mengalami perubahan dramatis. Tapi sampai di sini kita baru melihat hubungan manusia dan rumah, yang merupakan salah satu bentuk ekspresi karya, karsa, dan rasa (kebudayaan) manusia secara nondialektik.
Berger (1991) mengingatkan, manusia pada satu momen adalah pembentuk atau pencipta kebudayaan. Tetapi pada momen yang lain atau bahkan yang bersamaan, kebudayaan justeru dapat mempengaruhi manusia secara individu dan kolektif (masyarakat). Hubungan manusia (masyarakat) dan kebudayaan secara dialektik ini digambarkan oleh Berger berlangsung melalui proses eksternalisasi, obyektivikasi, dan internalisasi. Eksternalisasi menandai sebuah proses pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia baik dalam aktivitas fisik yang menghasilkan kebudayaan maupun aktivitas mental yang menghasilkan peradaban. Obyektivikasi merupakan proses penyandangan produk-produk budaya yang dibuatnya sendiri dalam bentuk suatu faktasitas yang eksternal dan berbeda dari penciptanya sendiri. Sedangkan internalisasi merupakan proses penyerapan kembali atau transformasi faktasitas itu ke dalam kesadaran subyektifnya; sebuah proses tak terhindarkan yang pada akhirnya mempengaruhi pembentukan watak, karakter, atau aktualisasi kapabilitas utama manusia (central human functional capabilities).
Diskusi di atas memberikan justifikasi filosofis atau setidak-tidaknya pembenar teoretik pernyataan bahwa memiliki tempat tinggal yang layak huni memang merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat signifikan. Konsekuensinya, rumah harus dipandang sebagai sebuah produk budaya; bukan sekadar komoditas ekonomi. Sebagai sebuah produk budaya, maka sejatinya rumah juga dipahami sebagai sarana dan/atau wadah produktif dan kondusif bagi pengembangan central human functional capabilities penghuni atau keluarga yang menempati. Konsep layak huni idealnya dan seharusnya dirujukkan pada strategisnya aktualisasi dan pengembangan central human functional capabilities penghuninya secara lintas-generasi.
Nussbaum (1997) mengemukakan setidak-tidaknya 10 central human functional capabilities manusia yang harus dikembangkan agar manusia bisa melakukan totalitas fungsi kemanusiannya, yakni (1) life: kemampuan untuk bisa hidup panjang (longevity) secara normal tanpa gangguan apa pun yang menyebabkan manusia mati sebelum waktunya (dying premature); (2) bodily health: kemampuan untuk bisa hidup sehat, yang mencakup kesehatan reproduksi, cukup gizi, dan aman atau terlindung dari gangguan manusia, alam, dan hewan (good shelter); (3) bodily integrity: kemampuan untuk secara bebas bergerak dan beraktivitas serta dihargai kedaulatan atas raganya, yang memungkinan ia bebas dari gangguan atau ancaman pelecehan seksual dan diskriminasi, atau ancaman lain; (4) sense, imagination, and thought: kemampuan untuk memaksimalkan potensi rasa, imajinasi, dan akal; kemampuan untuk menggunakan potensi rasa, imajinasi, dan akal sebagai manusia yang utuh; (5) emotion and spiritual: kemampuan mengoloh potensi emosi dan spiritual dengan sehat: rasa cinta, empati, peduli, kecewa, marah, takut, trust, peduli, percaya diri, motivasi, jujur, toleran, beriman, taat, patuh, pemaaf, dsb. (baca: kecerdasan emosional-spiritual); (6) practical reason: kemampuan membentuk pengertian tentang yang baik dan menentukan pilihan masa depan; (7) affiliation: kemampuan untuk hidup bersama dan dengan orang lain atas dasar rasa cinta dan toleransi; (8) other species: kemampuan mencintai makhluk-makhluk lain; (9) play: kemampuan hidup santai, tertawa, bercanda dan rasa humor; dan (10) control over one’s environment: kemampuan mengelola dan menguasai sumberdaya alam, serta berpartisipasi dalam ambil keputusan pengelolaan lingkungan. Penghuni atau keluarga yang bisa hidup dalam rumah yang kondusif untuk fungsi-fungsi ini akan menjadi keluarga seperti yang dibayangkan oleh Suzanne Gordon (1991), yakni a heaven in a heartless world, sebuah surga di dunia yang makin tak bernurani. Keluarga atau rumah tangga yang mendiami rumah semacam ini akan menjadi Departemen Pendidikan, Kesehatan, dan Departemen Kesejahteraan paling orisinil bagi penghuninya (Barnett dalam Fremann, 1999) yang menjadi wadah untuk pengembangan keterampilan-keterampilan unggul (Rich, 1997), kebajikan-kebajikan moral (Popov dkk., 1997), atau kapabilitas-kapabilitas utama (Nussbaum, 1997). Kegagalan keluarga mengembangkan potensi-potensi dasar ini pada anggotanya, terutama pada anak-anak, tidak dapat diganti oleh lembaga apa pun, termasuk sekolah.
Memang banyak faktor yang menyebabkan optimasi pengembangan kapabilitas utama ini. Tetapi rumah, yang tidak dipahami atau dipahami sebagai produk budaya dan wadah produktif-kondusif bagi pengembangan kapabilitas utama manusia memegang peran yang sangat strategis dalam pembentukan kapabilitas utama tersebut.
Rapoport (1976) dalam laporan penelitiannya yang berjudul The Mutual Interaction of People and Their Built Environment: A Cross-cultural Perspective mengemukakan, di kebudayaan mana pun, rumah sangat mempengaruhi perkembangan (fisik dan mental) penghuninya. Cardwell dan Bradley (1984) mengemukakan, rumah yang ditata berdasarkan selera teknis atau keinginan orangtua semata potensial untuk menghambat perkembangan anak-anaknya. Bronfenbrenner (1977) dan Berns (1997) menjelaskan bahwa proses sosialisasi paling awal dan paling utama dilakukan tidak dalam situasi hampa spasial, tetapi dilakukan dalam konteks spasial oleh significant others, khususnya orangtua dalam sebuah wahana yang kita kenal dengan konsep rumah. Begitu strategisnya rumah sehingga Schmallenbach (2001) harus mengakui bahwa banyak gagasan yang bisa menyelamatkan dunia dimulai dari rumah: 101 ideas to save our world start at home. Sekali lagi, ini hanya mungkin tercapai bila rumah oleh siapa pun, termasuk oleh Perum Perumnas, dipahami tidak hanya sebagai sebuah komoditas ekonomi yang diproduksi menurut kaidah pasar dan prinsip-prinsip kapitalisme, tetapi sebagai sebuah produk budaya, yakni hasil karya, rasa, dan karsa sebagai resultanta dari totalitas pencurahan kedirian manusia baik melalui aktivitas fisik maupun mental, yang melalui proses obyektivikasi dan internalisasi hasil totalitas pencurahan itu ditransformasi sendiri oleh sang penciptanya ke dalam kesadaran subyektifnya, yang kemudian secara signifikan mempengaruhi pembentukan sikap, karakter, atau aktualisasi central human functional capabilitiesnya. Alangkah mulyanya bila Perum Perumnas berkomitmen dan berpartisipasi dalam pengembangan kapabilitas-kapabilitas utama ini melalui Reorientasi kelembagaan dengan cara menggeser secara revolusioner arah kebijakan dari sekadar berbasis keterjangkauan dan kelayakan menuju pada basis pengembangan potensi manusia.
Peluang atau bahkan keniscayaan Perum Perumnas untuk berpartisipasi dalam pengembangan potensi atau kapabilitas ini bukan tanpa titik rujuk yang kuat. Titik rujuk ini dapat diamati dari upaya serius dari banyak kalangan dalam mengarus-utamakan paradigma the children on the universe (Etzioni, 1993). Munculnya paradigma ini bertepatan dengan kuatnya desakan diterapkannya prinsip-prinsip good governance dalam pengelolaan sumberdaya penduduk, yang menghendaki agar urusan publik tidak didominasi pengelolaannya oleh sektor negara, tetapi ada keterlibatan dan komitmen kuat dari sektor swasta dan civil society organizations (CSOs).
Salah satu preskripsi dari paraigma the children on the universe adalah bahwa tumbuhkembang anak (baca: pengembangan SDM sejak usia dini) bukan hanya tanggung jawab orangtua, tetapi juga tanggung jawab pemerintah dan pihak-pihak lain. Orangtua, keluarga, dan masyarakat luas akan sama-sama mendapat keuntungan dari tumbuhkembang anak yang sehat sejak dini ini. Sebaliknya, orangtua, keluarga, dan masyarakat luas akan sama-sama mendapat kerugian dari tumbuhkembang anak yang tidak sehat sejak dini ini. Dalam konteks ini, kira-kira pada aspek mana saja Perum Perumnas bisa memberi kontribusi yang signifikan pada pengembangan kapabilitas-kapabilitas fungsional manusia, dengan keyakinan kuat bahwa kontribusinya itu akan memberi keuntungan finansial dan nonfinasial kepada dirinya secara kelembagaan?
B. Wacana Good Governance.
Bagi Perum Perumnas atau pengembang lainnya tidak mudah memang merancang sebuah paduan kreatif antara logika pasar dan basis budaya dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan, terutama kebijakan penyediaan tempat tinggal bagi penduduk. Sebagai sebuah institusi ekonomi atau semi-bisnis, Perum Perumnas memang dituntut untuk bukan hanya servive, tetapi juga harus berkembang. Masalahnya adalah, bagaimana institusi ini harus dikelola agar bisa survive atau bahkan berkembang?
Ilmu pengetahuan, khususnya management science, dalam beberapa tahun terakhir ini berkembang cukup pesat. Pandangannya tentang manusia dan prinsip-prinsip yang mendasari pencapaian tujuan bersama mengalami pergeseran cukup signifikan. Dari dulu hingga sekarang, setiap kali konsep manajemen didefinisikan, sekurang-kurangnya ada tiga pilar yang ditekankan, yakni (1) value-creation: goals and objectives statement; (2) how to get things done through and with other people to achieve the goals or objectives, (3) principles statement underpinning the achievement of the goals or objectives. Pilar ketiga mengalami perubahan lebih revolusioner daripada pilar pertama dan kedua. Morgan (1986) dalam bukunya Images of Organization mengemukakan, model organisasi paling awal yang secara ilmiah diciptakan oleh manusia adalah organization as machines. Menurut dia, ini sekadar metafora tentang sebuah organisasi yang dirancang dan digerakkan oleh prinsip presisi. Menurut Gouillart dan Kelly (1995), organisasi semacam ini “… has been economic agents in an efficient market system ….” Selain itu, ibarat sebuah mesin, ia hanyalah instrumen untuk mencapai efisiensi, efektivitas, atau produktivitas. Tetapi value-creation yang paling utama, khususnya di institusi bisnis, adalah profit making. Menurut Drucker (1997), sekarang organisasi bisnis sekali pun tidak boleh dikelola hanya berdasarkan metafora dan menetapkan value-creation seperti itu. Organisasi masa depan harus menganggap dirinya sebuah social entity, yakni sebuah unit pranata sosial yang tidak terisolasi dari komunitasnya, serta harus peka, peduli, dan bertanggungjawab pada pembangunan komunitas (community development).
Preskripsi wacana atau konsep good governance lebih moderat daripada tuntutan Drucker. Menurut United Nations Development Programme (1997), governance merupakan “... the exercise of political, economic and administrative authority to manage a nation’s affairs.” Pengelolaan urusan-urusan negara atau urusan publik seperti penyediaan barang dan jasa publik dalam konteks good governance tidak harus dimonopoli oleh sebuah institusi, tetapi bisa merupakan hasil kolaborasi (sinergi atau kemitraan) antara dua atau tiga bentang kelembagaan, yakni sektor negara, swasta, dan organisasi masyarakat madani (CSOs). Jadi, dalam semangat wacana good governance, semua pengelolaan urusan publik, termasuk penyediaan rumah untuk penduduk, harus diselenggarakan berdasarkan mekanisme sinergi atau kemitraan. Di sini ada tuntutan lain kepada setiap sektor atau pelaku, yakni untuk menentukan fungsinya masing-masing: kapan dan untuk aspek apa saja dalam pengelolaan urusan publik itu sebuah sektor harus berfungsi sebatas rowing (menyelenggarakan semua aspek penyelenggaraan dari awal sampai akhir), steering (mengarahkan saja), dan enabling atau facilitating (memudahkan terselenggara dan tercapainya tujuan kesejahteraan rakyat).
Selain soal kolaborasi, wacana good governance menyediakan sejumlah prinsip yang mendasari penyelenggaraan urusan publik sampai mencapai tujuan kesejahteraan rakyat. Selain prinsip dasar yang menjadi ciri pembeda dari setiap sektor, profit making misalnya untuk sektor swasta atau semi-swasta, kiprah setiap sektor harus dilandasi oleh prinsip-prinsip lain, seperti akuntabilitas publik, keadilan, kemitraan, partisipasi, pluralisme, keberpihakan kepada kebutuhan penduduk (voice of the customers), subsidiaritas, taat hukum, transparansi, tanggung jawab, efisiensi, efektivitas, dan sustainabilitas. Prinsip-prinsip ini merupakan bagian integral dari seluruh mekanisme pengelolaan (baca: manajemen publik) urusan publik oleh lembaga apa pun.1 Sekarang
1Tjokroamidjojo (2002) mengemukakan, penerapan prinsip-prinsip good governance pada sektor swasta (private sector governance) disebut good corporate governance.
pertanyaannya adalah, bagaimana semangat wacana good governance ini diterapkan pada pengelolaan urusan penyediaan (kredit) rumah bagi penduduk oleh Perum Perumnas?
Good governance sebagai paradigma terbaru bagi pengelolaan urusan publik, tidak mengharamkan realisasi nilai utama dari sebuah institusi bisnis atau semi-bisnis seperti Perum Perumnas, yakni profit making melalui maksimalisasi efektivitas dan efisiensi internalnya. Tetapi, realisasi nilai utama akan menjadi persoalan atau dipersoalkan manakala ia mengabaikan kaidah-kaidah lain. Kaidah atau prinsip akuntabilitas publik setidak-tidaknya mempertanyakan dua hal, yakni (1) atas dasar apa sebuah tindakan atau kebijakan (publik dan bisnis) diambil, (2) untuk apa sebuah tindakan atau kebijakan diambil. Yang pertama berkaitan dengan prinsip taat hukum (rule of the law): apakah dasar hukum yang melandasi sebuah tindakan atau kebijakan sudah sah? Dalam konteks kiprah Perum Perumnas misalnya harus dipertanyakan, apakah dasar implementasi kebijakan pembangunan RSS atau penaikan harga jual sah secara hukum?
Yang kedua mungkin lebih rumit lagi. Ini berkaitan dengan soal asas manfaat: apakah sebuah tindakan atau kebijakan bisa memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Dalam hal kebijakan penyediaan rumah bagi rakyat, terutama bagi rakyat marjinal, apakah kebijakan ini hanya mempertimbangkan perlindungan fisik dengan mengabaikan manfaat fungsi pengembangan central human functional capabilities penghuninya?
Asas manfaat juga berkaitan dengan persoalan siapa yang punya hak sah untuk menentukan dan mendefinisikan nilai manfaat, misalnya kelayakan huni, sebuah tempat tinggal? Diakuinya good government sebagai paradigma terbaru dari manajemen urusan publik berkaitan dengan mainstreaming kearifan-kearifan modial yang harus dijadikan landasan dalam setiap urusan yang berkaitan dengan kepentingan rakyat. Antara lain adalah demokratisasi.
Paham demokrasi mengajarkan kepada kita bahwa pemilik sah kedaulatan adalah rakyat baik secara individu maupun kolektif. Menurut Seligman (1992), kedaulatan yang secara operasional mencakup sumberdaya ekonomi, politik, dan sumberdaya sosial-budaya awalnya diamanatkan kepada sektor negara pengelolaannya. Tetapi menurut dia, kinerja sektor negara dalam menyelenggarakan amanat ini sangat mengecewakan. Rakyat sebagai pemilik sah semua sumberdaya tersebut mencari sektor atau institusi alternatif, yakni sektor swasta untuk mengelola sebagian sumberdaya, yakni sumberdaya ekonomi. Tetapi kinerja sektor ini juga sangat mengecewakan. Jadi, baik sektor negara maupun swasta kurang mampu menyelenggarakan amanat itu, dalam pengertian kurang mampu menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Munculnya sektor ketiga, CSOs, merupakan pencarian rakyat untuk mendapatkan sektor alternatif lain yang bisa mendampingi dua sektor sebelumnya dalam menyelenggarakan amanat tadi.
Wacana di atas sebenarnya akan mengemukakan, bahwa penentuan asas manfaat dari produksi dan penyediaan barang dan jasa publik bukan masanya lagi ditentukan secara sepihak oleh pihak penyedia barang dan jasa publik, atau bahkan penyedia komoditas ekonomi. Kriteria layak huni dari sebuah rumah, tipe berapa pun, oleh Perum Perumnas tidak boleh didasarkan pada penilaian lembaga penyedia atau producer semata, baik atas dasar kriteria teknik maupun non-teknis. Suara atau kebutuhan konsumen atau pelanggan harus menjadi tolok ukur atau landasan bagaimana sebuah produk barang dan jasa harus diproduksi dan/atau dipasarkan. Dalam manajemen pemasaran modern (lihat misalnya Kotler dan Armstrong, 1996) dan Total Quality Service (lihat misalnya Stamatis, 1996), suara konsumen, yang dipresentasikan dengan konsep quality, menjadi titik fokus dari semua aktivitas bauran pemasaran atau proses pemasaran dan penyediaan pelayanan. Kualitas, yang didefinisikan sebagai paduan atribut dan keistimewaan langsung maupun tak langsung dari sebuah produk barang dan/atau jasa yang bisa memenuhi atau melebihi kebutuhan dan harapan konsumen (lihat Gaspersz, 1997), menjadi fisolosofi atau kultur kerja (baca: paradigma kerja) semua unsur organisasi; bukan hanya tanggung jawab salah satu divisi tertentu, misalnya divisi produksi atau pemasaran. Stephen Burnett (Kotler dan Armstrong, 1996) mengemukakan bahwa, “In a truly great marketing organization, you can’t tell who’s in the marketing department. Everyone in the organization has to make decisions based on the impact on the customers.” Jadi, tujuan to create customer satisfaction merupakan urusan semua orang dan divisi dalam sebuah organisasi. Dalam konteks ini berlaku kaidah, barang atau jasa yang bermutu adalah barang atau jasa yang bisa memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen; bukan harapan yang memproduksi. Kebutuhan atau manfaat dari sebuah barang dan jasa di sini tidak didefinisikan oleh penyedia barang dan jasa, tetapi oleh pengguna. Berkaitan dengan ini, prinsip keragaman, baik budaya maupun selera, mestinya menjadi perhatian serius dari penyedia, yang dalam hal ini adalah Perum Perumnas (kaidah ini sangat relevan dengan himbauan untuk menilai kembali kebijakan penyeragaman bentuk rumah kredit). Dalam kaitannya dengan mutu produk barang dan jasa, yang didefinisikan seperti di atas, sekarang berkembang dawai konseptual baru, yakni the six sigma way. Dawai ini oleh banyak ahli, misalnya Pyzdek (2002), Pande, Neuman, Cavanagh (2002), dan Gaspersz (2002), dianggap lebih progresif daripada TQM atau TQS.2 Tetapi dawai konseptual baru ini tetap memposisikan kebutuhan dan harapan pelanggan sebagai titik fokus produksi barang dan jasa, serta peningkatan mutu. Perusahaan dan birokrasi publik di Indonesia tampaknya belum sempat mempertimbangan penerapan inovasi ini. Beberapa perusahaan tahun-tahun terakhir ini baru menerapkan sebagian dari prinsip-prinsip TQS atau TQM seperti penerapan tiga perilaku tidak: no delay, no special payment, dan no error. Tetapi perusahaan ini, mungkin juga Perum Perumnas, belum pernah menghitung berapa DPMO yang pernah dicapai dalam setiap sejuta kesempatan memberi pelayanan atau membangun rumah untuk rakyat, atau belum pernah mempertimbangkan penerapan kaidah-kaidah budaya manajemen baru untuk peningkatan mutu. Menurut Drucker (1997), dalam menghadapi globalisasi, lembaga apa pun harus mulai memikirkan untuk menggeser atau bahkan mengganti kaidah-kaidah lama dengan kaidah-kaidah manajemen baru – Drucker menggunakan istilah culture of management, agar bisa disebut sebagai organisasi masa depan dan mampu berkompetisi dengan lembaga lain.
C. Strategi Reorientasi Kelembagaan: Business Transformation.
Bagaimana Perum Perumnas harus dikelola sehingga bukan hanya bisa servive, tetapi juga bisa berkembang dalam bingkai kultur manajemen baru, yakni good corporate governance? Ada dua kasus menarik untuk dikemukakan berkaitan dengan persoalan ini.3 Kasus pertama menceritakan tentang upaya keras sebuah perusahaan kosmetika di Amerika Serikat melakukan revitalisasi, setelah beberapa tahun terakhir mengalami
2Pyzdek, Pande, Neuman, Cavanagh dan Gaspersz mengemukakan, the six sigma way merupakan perkembangan terbaru. Sebelumnya hanya mampu dicapai sampai level tiga (the three sigma). Perusahaan yang berhasil mencapai the six sigma bisa memastikan bahwa setiap sejuta kesempatan penyediaan barang dan jasa kepada konsumen hanya terjadi cacat sebesar 3.4 (3.4 defect per million opportunities/3.4 DPMO). Satu contoh bisa dikemukakan. Perusahaan A adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa. Sekarang ia mendapat pekerjaan untuk mencuci karpet seluas 1500 m2. Karena perusahaan ini sudah mencapai the six sigma, maka karpet yang tidak tercuci dengan bersih (defect) hanya sekitar 0.005 m2.
3Dua kasus ini diceritakan dalam dua buku menarik, yakni The Organization of The Future (Hesselbein, 1997) dan Principles of Marketing (Kotler dan Armstrong, 1996).
penurunan omset dan keuntungan. Hasil penelitian menunjukkan, penurunan ini disebabkan oleh penolakan penduduk secara diam-diam dan missal terhadap produk perusahaan lantaran perusahaan ini tidak peduli terhadap kerusakan lingkungan hidup, yang juga menjadi sumber dari sebagian bahan mentah produknya. Manajemen perusahaan memutuskan untuk menyisihkan sebagian keuntungannya guna membantu penduduk mengatasi masalah lingkungan hidup. Tahun-tahun pertama langkah ini memang memberatkan. Tetapi setelah itu, lambat laun kehidupan perusahaan berjalan normal seperti sebelum terjadi penurunan omset dan keuntungan.
Kasus kedua adalah cerita sebuah perusahaan yang bergerak di bidang finansial. Sama dengan kasus pertama, dalam beberapa tahun terakhir profit yang diperoleh mengalami penurunan drastis bahkan sebagian besar angsuran kredit macet. Dalam sebuah rapat untuk membahas masalah tersebut, setiap divisi saling menyalahkan divisi lain sebagai penyebabnya. Tapi pimpinan perusahaan meminta bagian pemasaran untuk meneliti penyebab utamanya. Hasilnya adalah bahwa penyebab utama semua itu adalah menurunnya pendapatan sebagian besar penduduk di wilayah operasinya. Persis sama dengan langkah yang diambil oleh perusahaan kosmetika, perusahaan ini juga memutuskan untuk meluncurkan sebuah program sosial yang bertujuan meningkatkan penerimaan penduduk. Awalnya memang menjadi beban, tetapi lambat tetapi pasti, masalah yang dihadapi oleh perusahaan dapat diatasi bersamaan dengan makin membaiknya pandapatan keluarga di wilayah operasinya.
Program sosial yang ditempuh dua perusahaan ini adalah sebuah contoh yang menggambarkan dua hal sekaligus: (1) digesernya pemahaman lama tentang eksistensi sebuah lembaga dari sekadar institusi bisnis menjadi sebuah social entity yang bertanggungjawab dan peduli terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapi penduduk, meskipun kepedulian itu jauh di luar visi dan misi utamanya; (2) kesadaran bahwa program sosial merupakan salah satu strategi ampuh untuk revitalisasi perusahaan.
Wacana good corporate governance menyediakan strategi alternatif lain bagi Perum Perumnas untuk melakukan reorientasi kelembagaan, yakni partisipasi dan kemitraan untuk menuju sustainabilitas. Sekurang-kurangnya ada dua sasaran yang bisa ditetapkan dari reorientasi ini, yakni kepedulian terhadap masalah sosial dan memadukan secara kreatif rumah sebagai komoditas ekonomi dan produk budaya. Reorientasi kelembagaan ini dilakukan melalui proses tertentu. Misalnya, pertama, yang paling strategis adalah sosialisasi dan internalisasi kepada semua divisi dan karyawannya di semua level bahwa Perum Perumnas bukan hanya sebuah institusi bisnis atau semi-bisnis, tetapi juga sebuah social entity yang memiliki kepedulian dan tanggung jawab sosial terhadap masalah-masalah sosial penduduk, terutama masalah pengembangan kapabilitas utama manusia. Perubahan atau penggeseran secara sistematik eksistensi dirinya sangat strategis, karena ini menyangkut evaluasi dan reorientasi platform kiprah, visi, misi, dan manajemen strategisnya. Dengan kata lain, hasil sosialisasi dan internalisasi ini tentu akan mengakibatkan perubahan visi dan misi Perum Perumnas: bergeser jauh dari sekadar economic-driven institution tetapi juga social profit-driven institution. Pergeseran ini juga akan sangat mempengaruhi panduan-panduan nilai yang memandu perusahaan ini dalam mewujudkan visi dan misinya: bergeser jauh dari sekadar technical professionalism, transparency and responsibility, internal efficiency and effectiveness, tetapi juga social accountability, quality and equity.
Kedua, harus ada kesadaran dan sekaligus pengakuan tulus bahwa platform, visi, misi dan manajemen strategis baru ini cukup atau sangat sulit diwujudkan tanpa kemitraan dan partisipasi institusi lain baik pengembang dan kekuatan-kekuataan lain yang tumbuh pada level akar rumput (civil society organizations). Perusahaan ini harus mampu meningkatkan kemampuan seluruh divisi dan karyawannya dalam mengembangkan kemitraan atau linkage (enabling linkages, functional linkage, normative linkages) dengan berbagai pihak atau stakeholder untuk mewujudkan misinya: menyediakan rumah layak huni dalam pengertian bukan sekadar tempat berlindung, tetapi juga wadah kondusif bagi pengembangan kapabilitas fungsional utama manusia) bagi penduduk, terutama penduduk marjinal.
Ada beberapa keuntungan potensial bila kemitraan ini bisa diwujudkan. Antara lain adalah: (1) Perum Perumnas bisa memproduksi rumah layak huni (baca: rumah mewah yang bisa langsung menjadi wadah kondusif bagi pengembangan kapabilitas fungsional utama manusia) bagi segmen pasar tertentu menurut logika pasar dengan motif utama economic profit seeking; (2) Perum Perumnas terus bisa melanjutkan program pembangunan rumah tumbuh (RS atau RSS) untuk segmen pasar tertentu berdasarkan kaidah social entity, sehingga citra kelembagaan dari perusahaan ini bertambah baik: berubah dari organization as machine menjadi organization as culture and transformation (Morgan (1986); atau dari mechanistic description menjadi biological corporation (Gouillart dan Kelly, 1995); bukan sekadar penghasil komoditas ekonomi dan pencari keuntungan ekonomi, tetapi juga sebagai pendukung perkembangan budaya dan transformasi fungsi-fungsi kemanusiaan. Agar penduduk bisa mengakses kebijakan ini, atau penghuni (keluarga) yang sudah mendiami rumah tumbuh ini bisa mengembangkan rumahnya sampai menjadi wadah kondusif bagi pengembangan kapabilitas fungsional utama manusia, Perum Perumnas dengan kemampuan mengembangkan kemitraan bisa melakukan program sosial dan/atau community-based partnership (sifatnya bisa berupa program karitas, tetapi yang ideal harus bersifat pengembangan) untuk tujuan setidak-tidaknya: (1) meningkatkan akses penduduk, terutama penduduk tak mampu sehingga bisa memanfaatkan kredit rumah, dan sekaligus (2) meningkatkan ketahanan ekonomi penghuninya sehingga mereka dengan kemampuannya sendiri secara bertahap bisa mengembangkan rumah tumbuhnya menjadi wadah kondusif bagi pengembangan kapabilitas fungsional utama manusia. Dengan cara demikian, Perum Perumnas bisa memberi kontribusi terhadap pencegahan pelanggaran salah satu hak asasi fundamental manusia dan sekaligus dapat berperan dalam pengembangan SDM sejak dini dalam koridor atau bingkai nilai wacana good corporate governance dan paradigma the children of the universe.
D. Dawai Konseptual Reorientasi.
Bingkai good corporate governance dan paradigma the children of the universe merupakan landasan utama untuk melakukan reorientasi kelembagaan. Ibarat sebuah bangunan, konsep good corporate governance dan paradigma the children of the universe merupakan fondasi reorientasi kelembagaan Perum Perumnas menuju a organization as culture and transformation, social entity atau organisasi masa depan. Di atas fondasi ini harus didirikan pilar-pilar konseptual yang juga kokoh, agar dihasilkan bangunan yang kokoh pula.
Ada sejumlah pilar konseptual pilihan bisa digunakan oleh Perum Perumnas beserta mitra kerja yang berhasil dikembangkan untuk melakukan reorientasi, misalnya the fifth discipline (Senge, 1990), the four Rs of transforming organization (Gouillart dan Kelly, 1995), the five Cs strategy (Osborne and Plastrik, 1996), atau capacity-building (Deborah, 1997). Dawai konseptual the four Rs of transforming organization atau yang lebih dikenal pendekatan biological corporation dari Gouillart dan Kelly
diterapkan dalam kajian ini. Gambar 1. Model Teoretik Biological Corporation Bila dipadukan dengan prinsip voice of the customer, maka model dawai ini akan menjadi instrument atau landasan yang dasyat untuk proses revitalisasi (lihat Gambar 1). Menurut Gouillart



BODY & dan Kelly, organisasi ENVIRONMENT BODY WITHIN sebagai sebuah social entity mirip seperti manusia. Ia
punya spirit, body, mind, dan hidup dalam sebuah lingkungan tertentu (body and environment). Rahasia sukses sebuah organisasi menjadi a bio-corporation terletak pada kemampuan seluruh komponen organisasi, terutama unsur manajemen “… to orchestrate the simultaneous transformation of all its systems in a unified pursuit of common goal” (Gouillart dan Kelly, 1995). Sistem ini memiliki 12 kromosom, yang terbagi ke dalam empat kelompok besar seperti disajikan pada Tabel 1.
Preskripsi model ini sangat cocok untuk diterapkan oleh Perum Perumnas untuk melakukan kapasitasi, revitalisasi, atau reorientasi kelembagaan agar tetap bisa eksis sebagai sebuah badan usaha dan berkiprah tangguh sekarang dan di masa depan dalam persaingan global dan dalam mememuhi harapan seluruh stakeholder-nya. Tidak cukup banyak pilihan bagi badan usaha atau lembaga publik dan swasta apa pun untuk menghadapi masa depan kecuali menjadikan kearifan-kearifan mondial seperti akuntabilitas publik, social responsibility, suara pelanggan (stakeholder), quality-oriented, atau prinsip good corporate governance sebagai budaya manajemen Perum
Perumnas. Pendek kata, untuk bisa berkiprah tangguh di masa depan Perum Perumnas harus berusaha keras mereorientasikan dirinya sebagai sebuah a bio-corporation. Bagaimana caranya? Model ini mengajarkan satu pendekatan yang paling mungkin, yakni business transformation, yakni “the orchestrated redesign of the genetic architecture of the corporation, achieved by working simultaneously – although at different speed – along the four dimensions of reframing, restructuring, revitalization, and renewal (the four Rs).”
Reframing adalah proses atau tindakan mengubah konsepsi tentang diri, dan keberadaan, apa yang dapat dicapai dan dilakukan: bukan sekadar agen ekonomi yang memproduksi komoditas ekonomi untuk dijual agar mendapatkan untung, tetapi juga sebagai a social entity yang berkomitmen terhadap masalah sosial, termasuk terhadap pengembangan SDM sejak diri. Menurut Gouillart dan Kelly (1995), organisasi sebagai a bio-corporate sama dengan manusia; ia mengalami masa-masa kemandegan dalam berfikir dan kehilangan kemampuan untuk mengembangkan fresh mental model dalam menghadapi persaingan atau masalah internal organisasi. Untuk mengatasi hal ini, Gouillart dan Kelly menyarankan untuk melakukan tiga hal, yakni (1) achieving mobilization: proses pengerahan energi mental yang dibutuhkan untuk memberi daya terhadap proses transformasi. Ini menyangkut pengembangan motivasi dan komitmen seluruh komponen organisasi (shared motivation and commitment) untuk menghadapi masa depan yang ditandai dengan perubahan; (2) create the vision: formulasi dan internalisasi visi organisasi baru yang menantang (inspiring vision) sesuai dengan gambaran masa depan yang akan dihadapi dan bentuk kiprah yang akan dimainkan; dan (3) build a measurement system: menerjemahkan secara bersama-sama visi itu menjadi misi, tujuan, sasaran, kebijakan-kebijakan, prinsip-prinsip, dan tindakan-tindakan nyata yang terukur. Create the new and inspiring vision sangat penting dalam hal ini, karena reorientasi visi ini akan memayungi pergeseran platform kiprah kelembagaan, manajemen strategis, dan kebijakan yang akan diambil.
Restructuring menyangkut peningkatan stamina fisik sebuah organisasi yang mempengaruhi kesehatan organisasi secara keseluruhan: alokasi sumberdaya, strategi operasi, pembagian dan arus kerja dalam organisasi. Pendek kata, proses ini berkaitan dengan pembenahan stuktur organisasi (body within) agar bisa lincah, tangguh, adaptif, memiliki vitalitas dan kemampuan self-renewal dalam menghadapi globalisasi,

Kromosom
Sistem Terkait
Fokus Terapi
Aspek

4. Construct an Cardiovascular economic model
System
Restructuring Body Within
6. Redesign work architecture



Sense of Gratification
Renewal Spirit
Sense of Community
10. Create reward structure
12. Develop the organization
persaingan, atau tuntutan social responsibility, setelah melakukan reframing, atau setidak-tidaknya usai creating the new and inspiring vision.
Revitalization merupakan proses igniting perubahan, perkembangan, dan vitalitas organisasi dengan cara mengaitkan semua ini dengan lingkungan. Reframing dan restructuring sangat penting. Tetapi ia baru menyangkut soal-soal internal organisasi (mind and body within) dan pernyataan serta komitmen formal lembaga terhadap social responsibility-nya. Motivasi dan komitmen bersama, terciptanya visi baru, dan vitalitas organisasi (lincah dan tangguh) baru ada arti strategisnya bila ia dipersiapkan untuk menghadapi lingkungan, baik itu lingkungan bisnis, sosial-budaya, politik, dan globalisasi. Lingkungan bisnis antara lain berkaitan dengan kompetisi dan kaidah-kaidah etika bisnis baru. Lingkungan sosial mungkin berkaitan dengan tuntutan akan tanggung jawab sosial sebuah lembaga. Lingkungan politik barangkali akan memperhadapkan sebuah perusahaan atau badan usaha seperti Perum Perumnas dengan dinamika politik nasional dan lokal seperti otinomi daerah dan dinamika organisasi masyarakat madani, kebijakan-kebijakan, perubahan landasan hukum, dan tuntutan untuk terlibat atau memberi kontribusi pada demokratisasi dan kapasitasi atau pemberdayaan penduduk. Sedangkan globalisasi mungkin akan menyangkut tuntutan akan kepatutan-kepatutan berbisnis secara global, seperti transparansi, eco-labeling, ISO, mutu, prinsip-prinsip perdagangan bebas, dan hak-hak asasi manusia. Semua ini akan menjadi faktor-faktor konteks yang harus dihadapi baik sebagai peluang atau tantangan bagi sebuah badan usaha seperti Perum Perumnas. Dengan kata lain, proses revitalisasi atau reorientasi memungkinkan Perum Perumnas bukan hanya harus memperhatikan tuntutan, kebutuhan, tanggung jawab, norma, dan kepatutan domestik, tetapi juga internasional dan global.
Terakhir adalah renewal, yakni proses perbaikan vitalitas organisasi melalui peningkatan secara terus menerus kemampuan, profesionalisme, responsibility, kompetensi, dan keterampilan individu – personal mastery menurut Senge (1990) --dalam organisasi. Investing in human capital menjadi kata kunci dalam proses ini. Setidak-tidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan, yakni menciptakan dan mendukung terbentuknya lingkungan organisasi sebagai wadah pembelajaran (learning organization), dan mengembangkan struktur atau sistem penghargaan yang mendorong proses pembelajaran.
Empat roda ini harus diputar secara terus-menerus, bertahap, dan terpadu. Pada tahap awal, idealnya proses transformasi atau reorientasi Perum Perumnas harus dimulai dari reframing. Tapi setelah itu, Perum Perumnas bisa memulainya dari mana saja sesuai dengan masalah atau hambatan yang terjadi.
Proses ini menuntut kesabaran, keuletan, keterlibatan semua komponen, dan tekad yang kuat. Kesabaran dibutuhkan, karena output dan outcome proses ini baru bisa dinilai dalam jangka panjang. Pada tahap memulai akan banyak tantangan dan penolakan, karena ia menuntut pengorbanan semua komponen; all the beginning is difficult. Oleh karena itu dibutuhkan keuletan, terutama dari unsur manajemen untuk tetap mempertahankan proses ini, mengatasi konflik dan shock, mengatasi penolakan, dan godaan untuk tidak meneruskan perubahan. Kerap perusahaan harus meminta jasa konsultan untuk merancang atau mendampingi orang yang diberi tanggung jawab untuk memprakarsai dan menyelenggarakan proses ini.
Perjuangan berat akan terasa lebih ringan bila perusahaan bisa melibatkan semua orang sejak dari proses inisiasi, perancangan, implementasi, dan evaluasi program transformasi. Tanpa keterlibatan semua komponen, hari-hari akan dihadapi semakin berat. Senge dkk. (1999) mengingatkan, proses transformasi atau perubahan mendasar (profound change) dalam organisasi akan menghadapi berbagai tantangan (challenges), yakni (1) tantangan saat memulai (the challenges of initiating) seperti dari mana dan bagaimana harus memulai, siapa yang harus memulai, bagaimana menumbuhkan kebutuhan untuk berubah, pihak-pihak mana yang harus dimintai bantuannya, kekhawatiran terhadap penolakan, limit waktu dan biaya, dsb. (2) saat mempertahankan perubahan (the challenges of sustaining transformation) misalnya keletihan, kejenuhan, hasil sementara yang belum sesuai dengan harapan, dan rasa takut akan dampak negatif dari perubahan terhadap kepentingan individu, dan (3) tantangan pada tahap perancangan dan pemikiran ulang (the challenges of redesigning and rethinking) antara lain seperti tuntutan otonomi dan gairah untuk melakukan learning process yang dikondisikan oleh keberhasilan mengatasi tantangan pertama dan kedua.
Senge dkk. (1999) juga mengemukakan, sekali roda perubahan dikayuh, maka bersamaan dengan itu banyak alternatif yang tersedia bagi pembaru atau konsultan untuk mengatasi itu. Yang paling penting adalah tetap fokus, mempertahankan networking dan dukungan pimpinan, meningkatkan komunikasi dengan semua komponen dalam organisasi, dan tetap meminta bantuan konsultan (terbuka). Menurut Lippit dkk. (1958) dan Caiden (1969), tantangan-tantangan ini akan dapat diatasi bila konsultan atau orang yang diberi tanggung jawab program transformasi (1) bisa mempertahankan hubungannya dengan client system, (2) bisa tetap dipercaya secara kemampuan dan kepribadian, (2) bisa terus meyakinkan client system bahwa perubahan dan gagasan yang ada di dalamnya akan menguntungkan, dan (3) mempertahan semangat kerja secara teamwork. Kondisi ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa proses transformasi bukan hanya perlu komitmen dari semua komponen, terutama unsur manajemen dalam perusahaan atau organisasi, tetapi juga harus diserahkan kepada orang yang memiliki kepemimpinan yang tangguh, yakni kemampuan untuk memanfaatkan semua tantangan dalam proses transformasi menjadi peluang untuk sukses. Meminjam istilah Paul G. Stoltz (2000), proyek atau proses transformasi tidak boleh diserahkan kepada sembarang orang, tetapi harus diserahkan kepada orang atau orang-orang yang memiliki adversity quotient (AQ) yang tinggi, yakni climbers: tipe orang atau orang-orang yang tidak mudah menyerah, kreatif, dan memiliki keyakinan kuat bahwa segala sesuatu bisa terlaksana, meskipun orang lain memandang negatif. Karena itu Paul G. Stoltz (2000) mengemukakan, di tangan climbers atau pendakilah, perubahan bisa diwujudkan. Masalahnya sekarang adalah, seberapa banyak Perum Perumnas sekarang memiliki orang dengan tipe pendaki, atau menemukan orang-orang tipe pendaki untuk melakukan proses transformasi menuju a biological corporation, yakni sebuah proses menjadikan PerumPerumnas sebagai sebuah lembaga atau badan usaha yang tangguh dalam persaingan global dan mampu memenuhi harapan seluruh stakeholder; sebuah badan usaha yang tidak hanya peduli terhadap dirinya sediri, tetapi juga terhadap tanggung jawab sosial; sebuah lembaga yang tidak hanya mampu membangun rumah sebagai komoditas ekonomi, tetapi juga sebagai produk budaya?
Daftar Pustaka
Berger, P.L. 1991. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial. LP3ES, Jakarta.
Berns, R.M. 1997. Child, Family, School, Community: Socialization and Support. 4th Edition. Harcourt Brace College Publishers, Philadelphia.
Bigner, J.J. 1979. Parent-Child Relations: An Introduction to Parenting. Macmillan Publishing Co., Inc. New York.
Bronfenbrenner, U. 1979. The Ecology of Human Development. Harvard University Press Cambridge.
Caldwell, B.M. and R.H. Bradley. 1984. Home Observation for Measurement of the Environment. University of Arkansas, Little Rock.
Caiden, G.E. 1969. Administrative Reform. Aldine Publishing Company, Chicago.
CIVICUS. 1999. Civil Society at the Millennium. Kumarian Press, Connecticut.
Deborah, E. 2000. Capacity-Building: An Approach to People-Centered Development. Oxfam, UK.
Drucker, P.F. 1985. Innovation and Entrepreneurship. Harper and Row, New York.
Etzioni, A. 1993. Children of the Universe: Who Care about Kids. Dalam Utne Reader Mei/Juni 1993: 52 – 61.
Frame, R.M., R. K. Hess and W.R. Nielsen. 1982. The Organizational Development Sourcebook: A Practitioner’s Guide. Jossey-Bass, San Francisco.
Fremann, W.B. 1999. Apa Kata Tuhan tentang Orangtua. Terjemahan. Harvest Publication House, Jakarta.
Gaspersz, V. 1997. Manajemen Kualitas: Penerapan Konsep-Konsep Kualitas dalam Manajemen Bisnis Total. Gramedia, Jakarta.
---------------------. 2002. Pedoman Implementasi Program Six Sigma. Gramadia, Jakarta.
Gordon, S. 1991. Prisoners of Men’s Dreams: Striking Out for a New Feminine Future. Little, Brown and Company, Boston.
Gouillart, F.J. and J.N. Kelly. 1995. Transforming the Organization. McGraw-Hill, Inc., New York.
Hatch, M.J. 1997. Organization Theory. Modern, Symbolic, and Postmodern Perspectives. Oxford University Press, New York.
Hesselbien, F. et. al. 1997. The Future of the Organization. Terjemahan. Alex Media Komputindo, Jakarta.
Hauser, P. M. et al. 1985. Penduduk dan Masa Depan Perkotaan. Terjemahan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
http://magnet.undp.org/cdrb/GENGUID.htm. General Guidelines for Capacity Assessment and Development.
Jablonski, J.R. 1996. Implementing TQM: Competing in the Nineties Through Total Quality Management. Policy. 2nd Edition. Pfeiffer, San Diego.
Kotler, P. and G. Armstrong. 1996. Principles of Marketing. 7th Edition. Prentice Hall, Inc., New York.
Lippit, R. et. al. 1958. The Dynamics of Planned Change. Harcourt Brace
McAuslan, P. 1986. Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata. Terjemahan. Gramedia, Jakarta.
Morgan, G. 1986. Images of Organizations. Sage Publications, Beverly Hill.
Murison, H.S. and J.P. Lea (eds.). 1978. Housing in Third World Countries: Perspectives on Policy and Practice. The Macmillan Press Ltd., London.
Nussbaum, M.C. 1997. Women and Human Development: The Capabilities Approach. Cambridge University Press, Cambridge.
Osborne, D. and P. Plastrik. 1997. Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government. Addison Wesley Publishing Company, New York.
Pande, P.S. et. al. 2002. The Six Sigma Way. Terjemahan. Andi Yogyakarta, Yogyakarta.
Popov, L.K. et. al. 1997. The Family Virtues Guide: Simple Ways to Bring Out the Best in Our Children and Ourselves. A Plume Book, New York.
Pyzdek, T. 2002. The Six Sigma Handbook. Terjemahan. Salemba Empat, Jakarta.
Rapoport, A. (ed.). 1976. The Mutual Interaction of People and Their Built Environment: A Cross-cultural Perspective. The Hague, Mouton.
Rich, D. 1997. MegaSkills: Building Children’s Achievement for the Information Age. Houghton Mifflin Company, New York.
Sanderson, K. 1993. Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial. Terjemahan. Rajawali Press, Jakarta.
Schmallenbach, M. 2001. 101 Gagasan Menyelamatkan Dunia: Diawali di Rumah. Terjemahan. Alex Media Komputindo, Jakarta.
Seligman, A.B. 1992. The Idea of Civil Society. Free Press, New York.
Senge, P. 199o. The Fifth Disciplines: The Art and Practices of the Learning Organization. Doubleday, New York.
Senge, P. et. al. 1999. The Dance of Change: The Challenges to Sustaining Momentum in Learning Organizations. Currency Doubleday, New York.
Stamatis, D.H. 1996. Total Quality Service: Principles, Practices, and Implementation. SSMB Publishing Division, Singapore.
Stoker, G. 1988. Governance as Theory: Five Propositions. UNESCO.
Stoltz, P.G. 2000. Adversity Quotient: mengubah Hambatan menjadi Peluang. Terjemahan. Gramedia, Jakarta.
Stretton, H. et. al. 1994. Public Goods, Public Enterprise, Public Choice: Theoretical Foundations of Contemporary Attack on Government. St. Martin’s Press, London.
Tjokroamidjojo, B. 2001. Good Governance: Paradigma Baru Manajemen Pembangunan. LAN RI, Jakarta.
Wahab, S.A. 2001. Globalisasi dan Pelayanan Publik dalam Perspektif Teori Good Governance. Dalam Jurnal Administrasi Negara. Vol. II. No. 1. September 2001: 43 – 58.
Widodo, J. 2001. Good Governance: Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi. Insan Cedekia, Surabaya.

0 comments: