Friday 21 March 2008

KOMPETENSI DI TINGKAT OPERASIONAL DALAM PELAYANAN PUBLIK DI PERKOTAAN

KOMPETENSI DI TINGKAT OPERASIONAL DALAM PELAYANAN PUBLIK DI PERKOTAAN
Oleh : Bambang Supriyono
A. Pendahuluan Berlakunya Undang-Undang No 22 tahun 1999 menunjukkan luasnya peranan Pemerintah Daerah dalam bidang pelayanan publik, sebagai bentuk perwujudan penerapan prinsip otonomi yang luas. Luasnya peranan tersebut tercermin dalam pasal yang menyebutkan adanya kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, yaitu meliputi bidang : pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Khusus untuk daerah kota yang bercorak urban terdapat pula kewenangan tambahan yang harus dilaksanakan sesuai kebutuhan yaitu menyangkut bidang : pemadam kebakaran, kebersihan, pertamanan, dan tata kota. Berdasarkan kewenangan tersebut, setiap Pemerintah Kabupaten maupun Pemerintah Kota sesuai dengan keinginan dan pilihan masyarakatnya (local choice dan local voice) dapat membentuk institusi Dinas, Badan, Kantor, maupun lembaga teknis lainnya agar dapat memberikan pelayanan yang memuaskan bagi masyarakatnya. Pemerintah Daerah dapat berperan besar (strong public sector) dalam bidang pelayanan publik. Di samping itu sesuai dengan berlakunya Undang-Undang No 22 tahun 1999, Pemerintah Daerah Kabupaten maupun Pemerintah Kota juga dapat mengatur berperannya kelompok masyarakat maupun pihak swasta dalam pelayanan publik. Pengalaman di negara-negara maju hal ini memang dimungkinkan dengan adanya dukungan sistem pemerintahan daerah yang telah bergeser dari berperannya brirokrasi tradisional (traditional bureaucratic) ke arah
birokrasi modern (modern bureaucratic). Steve Leach, dkk (1994 : 238-244); mengemukakan adanya beberapa alternatif; apabila memungkinkan pelayanan publik dapat dikelola oleh masyarakat (community oriented enabler), dapat pula dikelola oleh sektor swasta (market oriented enabling authority), atau pemerintah mengelola pelayanan publik yang tidak memungkinkan ditangani oleh pemerintah maupun swasta (residual enabling authority).
Kapan pelayanan publik dikelola oleh masyarakat, swasta, atau pemerintah sangat dipengaruhi oleh beberapa dimensi; yaitu dimensi politik, ekonomi, sosial, maupun dimensi pemerintahan. Dalam hal ini dimensi pemerintahan memegang peranan penting sebagai regulator kapan pelayanan publik dapat dikelola oleh masyarakat sendiri, swasta, atau bahkan secara monopoli dikelola oleh pemerintah. Fenomena di Indonesia, dari hasil penelitian Moch Ichsan dkk (2003) diantaranya menunjukkan bahwa dengan birokrasi tradisional Pemerintah Daerah masih berperan besar dalam bidang pelayanan publik. Apabila dikaitkan dengan pendapat Steve Leach, maka pelayanan publik di Indonesia cenderung menggambarkan besarnya peranan Pemerintah Daerah dengan model birokrasi tradisional.
Menurut kajian beberapa pakar; Osborn & Gabler (1992), Oakeshott (1994), Osborn & Plastrik (1997), mengemukakan bahwa dalam pelayanan publik sebenarnya tidak mempersoalkan tentang besar-kecilnya peranan pemerintah asalkan memuaskan keinginan dan kebutuhan masyarakat. Hasil penelitian yang dilakukan McKevitt (199) menunjukkan beberapa variasi peranan pemerintah dalam pelayanan publik. Pelayanan publik di bidang pendidikan tingkat menengah sebagai contoh; di Inggris peranan pemerintah cenderung dominan, di Jerman peran kelompok masyarakat yang cenderung dominan, dan di Selandia Baru peranan sektor swasta cenderung dominan. Di semua negara tersebut pendidikan tingkat menengah dapat memuaskan keinginan masyarakat. Demikian pula pelayanan street level public organization (SLPO) yang lain, bidang kesehatan, transportasi, kepolisian, dan pelayanan sosial.
Lain halnya yang terjadi di Indonesia. Survei Governance dan Desentralisasi yang dilakukan PSKK UGM diantaranya membuktikan bahwa praktik penyelenggaraan pelayanan publik di Kabupaten dan Kota di Indonesia masih belum memenuhi kualitas yang diharapkan (Dwiyanto, 2003) yaitu ditandai dengan :
1 Tidak adanya kepastian biaya, waktu, dan cara pelayanan. Prosedur pelayanan tidak pernah mengatur kewajiban dari penyelenggara pelayanan dan hak warga sebagai pengguna.
2 Banyaknya biro jasa hampir di setiap instansi pelayanan publik yang menunjukkan besarnya oportunity cost bagi masyarakat untuk mengurus pelayanan publik.
3 Adanya diskriminasi pelayanan oleh para pejabat birokrasi baik menyangkut faktor pertemanan, afiliasi politik, etnis dan agama. Diskriminasi menurut etnis dan agama cenderung lebih buruk di luar Jawa-Bali daripada di Jawa-Bali.
4 Rendahnya peranan masyarakat dan stakeholders dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pemerintah memonopoli pengaturan, penyelenggaraan, distribusi dan pemantauan dan masyarakat ditempatkan sebagai pengguna yang pasif.
5 Birokrasi dan para pejabatnya sering gagal menempatkan dirinya sebagai abdi masyarakat dan justru menjadikan dirinya sebagai penguasa yang lebih menuntut pelayanan daripada melayani masyarakat.

Hasil penelitian tersebut menggambarkan masih belum berkualitasnya pelayanan publik di tingkat operasional, yang akan menjadi pokok bahasan dalam kajian ini.
Kajian ini lebih khusus akan mengulas tentang pelayanan publik di perkotaan karena beberapa pertimbangan. Pertama, masyarakat perkotaan memiliki struktur sosial yang heterogen baik menyangkut struktur horisontal maupun struktur vertikalnya. Ciri struktur horisontalnya ditandai dengan beragamnya suku bangsa (ethnic), agama, bahasa, mata pencarian, adat istiadat, maupun ciri sosial lainnya. Secara vertikal masyarakat perkotaan juga ditandai dengan adanya stratifikasi di bidang politik, ekonomi, maupun sosial. Kondisi yang demikian menuntut adanya pelayanan publik di tingkat operasional yang lebih bervariasi.
Kedua, peranan Pemerintah Kota dalam pelayanan publik memiliki cakupan yang lebih luas. Di samping tercermin dari kewenangan wajib yang harus diselenggarakan sesuai dengan berlakunya Undang-Undang No 22 tahun 1999 juga melaksanakan kewenangan tambahan di bidang pemadam kebakaran, kebersihan, pertamanan, dan tata kota. Dapat dipahami bahwa fenomena kurang berkualitasnya pelayanan publik jauh lebih tampak di lingkungan masyarakat perkotaan, khususnya menyangkut operasionalisasi pelayanan di tingkat street level public organization, seperti halnya pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, maupun pelayanan di bidang sosial.
Mencermati fenomena tersebut, menurut pendapat penulis bukan berarti bahwa kualitas pelayanan publik melalui peran birokrasi Pemerintah Daerah tidak dapat ditingkatkan. Kasus-kasus di negara maju seperti yang diungkapkan oleh Osborne dan Gaebler (1992), Chris Painter (1994), diantaranya menunjukkan bahwa terdapat hasil yang positif dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat baik melalui restrukturisasi peran pemerintah ke arah privatisasi, maupun tetap melalui peningkatan/optimalisasi peran pemerintah dalam memberikan pelayanan publik secara efektiv dan efisien. Bahkan upaya tersebut dapat dilakukan oleh perangkat birokrasi dengan belajar dari kegagalan-kegagalan yang selama ini berlangsung pada sistem pemerintahannya (Robert D Behn, 1998). Atas dasar pertimbangan tersebut, tulisan ini akan menempatkan pentingnya kompetensi dan kemampuan Pemerintah Kota termasuk aparat birokrasinya di tingkat operasional dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik di perkotaan.

B. TANTANGAN PEMERINTAH KOTA DALAM PELAYANAN PUBLIK DI TINGKAT OPERASIONAL
Saat ini telah terjadi perubahan perhatian dalam penelitian pelayanan publik (public services research) di perkotaan, terutama sejak diadakannya Anglo American conference pada tahun 1982 dengan thema Public Provision and Urban Development. Fokus pembahasan pada konferensi tersebut adalah : local public goods, urban service or collective consumption, dengan harapan dapat memberi penjelasan secara memuasakan mengenai pola public sector provision dan pengaruhnya terhadap pembangunan perkotaan baik di negara maju maupun di negara sedang berkembang.
Secara umum dikemukakan adanya tiga pendekatan public services provision yang berperan dalam pembangunan perkotaan (Kirby, Knox and Pinch, 1984) yaitu : the public choice approach, the neo-Weberian approach, dan neo-Marxist approach. Di samping itu dalam pembangunan perkotaan juga tidak dapat mengabaikan peranan tata ruang (the role of space). Ketiga peran tersebut dapat saling dimanfaatkan dengan dukungan penataan ruang untuk penyediaan layanan publik.
Peranan teori public choice menyangkut kuatnya etos bisnis dan mementingkan masalah efisiensi dalam masalah perkotaan. Dalam kondisi masyarakat perkotaan hal tersebut ditandai dengan tingginya fragmentasi masalah perkotaan, luasnya devolusi kekuasaan, pemisahan eksekutif dan legislatif, tingginya isu politik lokal secara alamiah, dan tinngginya tingkat permainan politisi lokal dan tekanan kelompok. Kondisi yang demikian menuntut adanya keseimbangan antara peran Pemerintah Kota dalam menyediakan barang dan jasa, dengan alternatif pilihan publik sebagai pengguna dengan prinsip saling menguntungkan kedua belah pihak.
Neo-Weberian atau pendekatan menejerialis adalah menekankan pada besarnya kekuasaan birokrasi Pemerintah Kota dalam mengelola pelayanan publik. Hal ini ditandai dengan besarnya kebebasan mengalokasikan sumberdaya yang terbatas, mementingkan peranan tingkatan institusi, organisasi dan profesionalisasi. Besarnya peranan birokrasi berusaha ditempatkan dalam konteks yang luas menyangkut aspek sosial, ekonomi dan politik dalam lingkungan masyarakat perkotaan. Peran birokrasi di tingkat manajerial dan tingkat operasional dalam hal ini menjadi sangat penting dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan.
Peranan teori Neo-Marxist adalah menekankan pada pentingnya perkembangan hubungan klas dan direpresentasikan dalam berbagai bentuk local state. Dalam sistem negara federal terdapat peranan yang penting antara pemerintah federal dan terutama pemerintah negara bagian dalam penyediaan pelayanan publik di perkotaan. Demikian pula dalam negara kesatuan, terdapat peranan yang penting antara pemerintah pusat dan pemerintah kota. Demikian pula kategori kota besar memerlukan penyediaan layanan publik yang berbeda dengan kategori kota sedang maupun kota kecil, yang kesemuanya perlu disediakan secara memuaskan.
Penataan ruang (role of space) juga merupakan aspek penting yang harus diperhatikan karena menyangkut letak dan efektivitas jangkauan pelayanan. Secara ekologis pengembangan kawasan perkotaan dalam suatu wilayah tertentu perlu mempertimbangkan faktor lokasi, jarak dan ukuran permukiman perkotaan (the location, spacing and size of urban settlements). Hal tersebut adalah menyangkut adanya kawasan terpusat sebagai central places yang diperlukan oleh kawasan sekitarnya untuk memperoleh pelayanan (Johnson, 1977 : 170).
Norton (1994:47) mengemukakan bahwa karena masalah efisiensi ekonomi, batasan administratif kewenangan lokal perlu mempertimbangkan stabilitas yaitu seberapa jauh sistem akan berjalan baik dengan menghindari pertambahan biaya secara organisatoris; fleksibilitas dan dayatanggap yaitu seberapa jauh sistem memiliki potensi untuk melakukan penyesuaian secara inkremental. Karena itu atas pertimbangan stabilitas, fleksibilitas dan responsivitas, batasan wilayah dalam kawasan perkotaan memungkinkan untuk dilakukan perubahan. Tentunya perubahan tersebut harus dilakukan dengan pertimbangan yang cermat.
Fenomena yang terjadi di Kota Malang sebagai contoh; ruang kota tertentu yang dalam Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) dijadikan paru-paru kota dan hal ini telah disepakati masyarakat. Dalam perkembangannya terdapat keinginan dari Pemerintah Kota untuk merubah RUTRK tersebut menjadi kawasan pemukiman elit yang kemudian menjadi polemik berkepanjangan. Pemerintah Kota dengan legitimasi kekuasaan berhadapan dengan masyarakat yang tidak menyetujui rencana perubahan RUTRK. Hal ini seharusnya tidak terjadi apabila Pemerintah Kota berpihak pada kepentingan masyarakat dalam pengelolaan tata ruang sebagai bentuk pelayanan publik.
Ketiga pendekatan tersebut (pengutamaan pilihan publik, kemampuan manajerial, mengurangi adanya kesenjangan sosial) dan penataan ruang kota perlu dijadikan pertimbangan oleh Pemerintah Kota dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik. Sebagaimana dikemukakan dalam pendahuluan, bahwa dalam era reformasi pengaruh diskriminasi politik dan etnis justru menyebabkan rendahnya kualitas pelayanan publik, rendahnya kontrol terhadap birokrasi oleh masyarakat dan stakeholder, manajemen pelayanan yang jauh dari prinsip efektivitas dan efisiensi. Khususnya di negara berkembang, menurut Leonard Wrigly (1994 : 71) pelayanan publik di bidang health, education, welfare, and security (HEWS) perlu mendapatkan perhatian penting. Beberapa bidang tersebut dapat dijadikan contoh untuk menggambarkan penyelenggaraan pelayanan publik di perkotaan.
Tantangan yang dihadapi Pemerintah Kota dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik sesui dengan kerangka pendekatan di atas menghadapi banyak tantangan di tingkat operasional. Tantangan utamanya adalah menyangkut tiga hal penting (McKevitt, 1998) yaitu : perlunya konsep sebagai upaya terus menerus untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik (concept of progress or redress), menyamakan persepsi yang seringkali berbeda antara pemerintah sebagai penyedia layanan dan masyarakat sebagai pengguna layanan (differential information) dan adanya agenda pemerintah yang jelas untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik secara menyeluruh.
Konsep peningkatan kualitas pelayanan secara terus menerus diperlukan karena adanya tiga asumsi :
1. Masyarakat adalah personalitas historis yang menyatu dengan negara bangsa (nation state) , bekerja dan dilayani melalui rancangan-rancangan, memiliki tradisi dan adat istiadat yang beraneka ragam,
sehingga dalam masyarakat yang demikian selalu terjadi dinamika dan perubahan.
2 Masyarakat dalam jangka panjang akan membutuhkan pengorganisasian dirinya sendiri untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa secara optimal. Terjadi pergeseran dari keadaan yang kurang/belum optimal ke keadaan optimal.
3 Keadaan yang optimal akan terpenuhi apabila terjadi aktivitas pengelolaan sumberdaya yang dapat meningkatkan partisipasi masyarakat untuk mewujudkan keadaan yang lebih sejahtera.

Dengan asumsi tersebut, upaya perbaikan mutu layanan dalam masyarakat perkotaan yang heterogen perlu dilakukan secara terus menerus ke arah peningkatan partisipasi masyarakat. Dikatakan oleh Potter (1994 : 254) bahwa untuk menjamin kepuasan pelanggan maka upaya perbaikan (redress) perlu dilakukan secara terus menerus. Perbaikan tersebut adalah menyangkut beberapa dimensi; dimensi politik, dimensi pemerintahan; dimensi ekonomi dan dimensi sosial budaya.
Dimensi politik adalah menyangkut perwujudan demokratisasi dalam pengelolaan pengaturan pelayanan publik di perkotaan. Pemerintah Kota secara demokratis dan aspiratif perlu memperhatikan keinginan obyektif dari masyarakat tentang penyediaan barang dan jasa yang diperlukan. Banyaknya anggota dewan yang diberhentikan (recalled) oleh partainya karena secara kritis membela kepentingan masyarakat, gerakan yang akhir-akhir ini muncul untuk menolak politisi busuk dan korup sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah, diantaranya membuktikan bahwa selama ini anggota dewan sebagai elected member belum benar-benar dapat memperjuangkan aspirasi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik dari Pemerintah Kota.
Dimensi pemerintahan adalah menyangkut luas tidaknya kewenangan Pemerintah Kota untuk mengatur dan mengurus pelayanan publik. Pemerintah Kota memiliki kewenangan yang luas (general purpose) untuk mengatur dan mengurus penyediaan pelayanan publik, terbukti dengan adanya kewenangan wajib, kewenangan tambahan, dan kewenangan lainnya yang dikelola institusi Pemerintah Kota setingkat Dinas, Badan, Kantor, maupun BUMD. Pemerintah Kota lebih berperan dominan dalam inisiatif membentuk institusi pelayanan perkotaan (positive mode of operation). Masalahnya, selama ini banyak persoalan yang menunjukkan ketidakpuasan masyarakat tentang pelayanan publik yang dikelola Pemerintah Kota, seperti halnya kelambanan dalam penataan pedagang pasar pasca kebakaran, penataan dan penggunaan ruang kota yang tidak konsisten, rendahnya subsidi dana pendidikan, dan masih banyak lagi keluhan-keluhan lainnya.
Dimensi ekonomi, adalah menyangkut besarnya peran Pemerintah Kota dalam mengelola pelayanan publik yang bersifat monopoli atau semi monopoli, maupun pengaturan terhadap besarnya peran sektor swasta dan masyarakat dalam pelayanan publik. Dalam dimensi ini, Pemerintah Kota menunjukkan peran yang besar (strong public sector) baik diwujudkan dalam bentuk berperannya institusi pemerintah maupun badan-badan usaha milik daerah. Masalahnya adalah banyaknya institusi dan badan usaha yang belum dikelola secara efektif dan efisien. Pengelolaan pariwisata, pasar, unit-unit pelayanan sosial, dan lain-lain cenderung tidak berkualitas.
Dimensi sosial budaya, adalah menyangkut budaya masyarakat maupun budaya Pemerintah Kota dalam mengelola pelayanan publik. Masyarakat perkotaan memiliki struktur sosial yang heterogen di bidang lapangan kerja, perilaku sosial, stratifikasi sosial ekonomi dan lain-lain. Sementara dalam kondisi masyarakat yang demikian, pengelolaan pelayanan publik cenderung bersifat tradisional (traditional bureaucratic). Hal ini tentunya merupakan tantangan yang menuntut peran Pemerintah Kota untuk terus melakukan perbaikan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan sesuai kebutuhan masyarakat.
Menyamakan persepsi yang berbeda antara kemauan pemerintah dalam memenuhi pelayanan (termasuk perilaku aparat birokrasi) dengan keinginan masyarakat yang dilayani juga sangat diperlukan. Dalam bidang pelayanan kesehatan, masyarakat membutuhkan pelayanan dengan cepat waktu, biaya rendah, dan kualitas memadahi. Sementara, dokter sebagai tenaga profesional menginginkan efektivitas, efisiensi, dan keuntungan pribadi; sehingga terdapat perbedaan persepsi dan kepentingan antara dokter sebagai provider dan masyarakat sebagai consumer. Menurut McKevitt (1988) dalam hal ini diperlukan asosiasi profesional (professional associations) yang dapat menjembatani perbedaan persepsi melalui penerapan kode etik profesional.
Kejelasan tentang agenda pemerintah juga merupakan tantangan yang harus diwujudkan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik. Agenda yang memadahi adalah mencakup berbagai bidang, utamanya bidang politik (political), ekonomi (economic), dan kesejahteraan sosial (social welfare). Sebagaimana dikemukakan McKevitt (1998 : 20) bahwa aktivitas pemerintah termasuk aparat birokrasinya dalam menyususn agenda untuk kepentingan publik adalah menyangkut :
1 Pertimbangan untuk sektor publik di bidang politik, isunya adalah menyangkut identitas dan kedaulatan. Aktivitas pemerintah disini adalah menyangkut pertahanan (defence), penegakan hukum dan peraturan (law and order), hubungan luar negeri (foreign affairs), perpajakan (taxation), perdagangan dan industri (trade and industry), dan lain-lain.
2. Pertimbangan untuk sektor publik di bidang ekonomi, isunya adalah
menyangkut monopoli alamiah (natural monopolies). Aktivitas pemerintah disini adalah menyangkut bidang telekomunikasi (telephone), listrik (electricity), penyediaan air bersih (walter suply), gas, dan lain-lain.
2 Pertimbangan untuk sektor publik di bidang kesejahteraan sosial, isunya adalah menyangkut informasi yang selektif dan distribusi barang dan jasa secara adil dan merata. Aktivitas pemerintah disini adalah menyangkut bidang kesehatan (health), pendidikan (education), dan bidang-bidang sosial lainnya.

Kinerja pemerintah dan perangkat birokrasinya di berbagai bidang tersebut dalam memberikan pelayanan publik memerlukan persyaratan utama yaitu adanya kemampuan untuk berkompetisi (competitive ability) maupun kemampuan untuk bersaing (competitive advantage). Kemampuan berkompetisi dan berdaya saing adalah baik dalam lingkungan internal organisasi Pemerintah Daerah Kota; antar institusi dalam lingkup pemerintahan daerah di tingkat Dinas, Badan, Kantor maupun antar lembaga teknis lainnya. Di samping itu, kompetisi dan daya saing juga diperlukan dengan lingkungan eksternalnya; yaitu antar Pemerintah Kota dalam suatu negara maupun antar Pemerintah Kota antar negara.
C. PENTINGNYA KETRAMPILAN INTI DALAM PELAYANAN PUBLIK
Sejak tahun 1970, terdapat konsep yang umum digunakan menyangkut inti pelayanan dalam sektor privat dengan pengertian yang hampir sama, seperti halnya kompetensi inti (core competence) atau kemampuan inti (core capability). Dalam kenyataannya dengan konsep tersebut perusahaan adalah sebagai entitas kehidupan, sebagai komunitas pekerjaan yang memiliki struktur dari dalam (inner structure), sebuah kekuatan dinamis dari dalam (inner dynamic force), ketrampilan inti (core skill) yang memungkinkan perusahaan tersebut berfungsi. Peusahaan tersebut memiliki rancangan organis yang mencerminkan kekuatan dalam lingkungan eksternal dan pasar yang kompetitif.
Apabila dicermati, hal yang paling penting adalah menyangkut core skill sebagai suatu konsep yang dapat digunakan untuk menjelaskan kinerja organisasi dalam pelayanan publik di tingkat operasional. Menurut Wrigley dalam McKevitt (1998 : 23), core skill adalah :
The colective knowledge, skills, habit of working together, as well as the collective experience of what the market and technology will bear, that is required in dhe cadre of managerial and technical personnel if the firm is to survive and grow in a competitive market ... It is a collective knowledge not just of a market or of a technology, but of one in relation to the other.
Berdasarkan pengertian di atas, core skills dapat dipahami sebagai pengetahuan, ketrampilan, dan kebiasaan kolektif menyangkut kekuatan pasar dan teknologi yang saling terkait, yang diperlukan oleh kader manajerial dan teknik apabila perusahaan ingin bertahan dalam sebuah pasar yang kompetitif.
Konsepsi pentingnya core skill ini dapat dianalogikan dan digunakan untuk menjelaskan pentingnya peranan Pemerintah Kota dalam memberikan pelayanan publik. Penggunaan konsep tersebut secara teoritis dapat dilakukan sebagaimana pendapat McCallum (1983) bahwa pelayanan publik yang berkualitas perlu mengadopsi nilai-nilai privat (privat value) kedalam sektor publik demikian pula sebaliknya perlu pula mengadopsi nilai-nilai publik (public value) ke sektor privat. Selanjutnya juga dikemukakan bahwa pelayanan publik dapat dikelola oleh organisasi publik, organisasi privat, dan organisasi publik quasi privat.
Karena itu Pemerintah Kota sebagai suatu organisasi pelayan publik perlu memiliki core skills pada institusi-institusi pelayanannya di tingkat Dinas, Badan, Kantor, maupun unit-unit pelayanan teknis lainnya. Apabila dikaitkan dengan pendapat McKevitt, terutama pelayanan yang terkait dengan bidang kesehatan, pendidikan, keamanan, maupun kesejahteraan sosial. Bidang-bidang pelayanan ini melibatkan peran manajerial maupun para profesional yang seharusnya bekerja memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat.
Dalam mengembangkan core skill adalah diawali dengan adanya fungsi dasar yang harus dimiliki organisasi (perusahaan) yaitu pemasaran, operasional, dan finansial. Atas fungsi dasar tersebut dapat dikembangkan core skills yang saling terkait dengan fungsi-fungsi yang lain. Sebagaimana dikemukakan oleh McKevitt (1998 : 22) bahwa membangun dan menciptakan core skills adalah menyangkut berbagai substansi yang secara sinergis harus dapat dilakukan oleh individu atau kelompok. Beberapa substansi tersebut apabila digunakan untuk menjelaskan perlunya ketrampilan iti pada Pemerintah Kota adalah meliputi :
1 Core skills, pengetahuan dan ketrampilan yang harus dimiliki perangkat birokrasi baik menyangkut profesionalisme individual maupun profesionalisme kolektif untuk mengantisipasi perubahan teknologi dan pasar secara kompetitif.
2 Technicians, adalah kemampuan birokrat untuk menguasai aspek teknis secara profesional di bidang pekerjaan sehingga menunjukkan kinerja yang penuh rasa tanggung jawab (responsibility).
3 Management : kemampuan birokrat untuk dapat mengelola pekerjaan secara professional baik menyangkut kinerja individual, kinerja tim, maupun aspek managerial dan leadership.
4. Business knowledge, tuntutan terhadap pemahaman tentang pengetahuan bisnis khususnya menyangkut nilai-nilai keuntungan (provit
making) yang perlu diadopsi ke sektor publik dengan tidak mengabaikan aspek pemerataan dan keadilan.
4 Skills, ketrampilan khusus yang harus dimiliki oleh setiap aparatur khususnya menyangkut bidang pekerjaannya, termasuk penyesuaian terhadap proses perubahan.
5 Habits, membiasakan untuk bekerja secara profesional dengan tidak mengabaikan aspek etika dan moral sehingga akan tercipta kultur kinerja yang kondusif.
6 Cohesion, membiasakan bekerja secara sistemik atau keterpaduan antara berbagai komponen yang terlibat dalam organisasi untuk mencapai tujuan bersama.
7 Collective Experience; menjadikan pengalaman individu atau kelompok tentang keberhasilan atau kegagalan dalam bekerja sebagai pengalaman bersama.
8 Knowledge of environment, menyadari terjadinya perubahan setiap saat dalam suatu lingkungan sehingga pengetahuan tentang lingkungan untuk mengantisipasi perubahan sangat diperlukan.

10.Technology, diperlukan penguasaan teknologi sebagai persyaratan penting karena menguasai teknologi dapat diibaratkan menguasai dunia dan perubahan.
Dengan bekal ketrampilan inti yang dimiliki Pemerintah Kota beserta perangkat birokrasinya secara sinergis sebagaimana dikemukakan di atas, akan tercipta kompetensi inti atau kapabilitas inti (core competence or core capability) yang memiliki daya saing dalam pelayanan publik di perkotaan.
Berkembangnya ketrampilan inti yang saling berkaitan dengan unsur lain dalam organisasi tidak terjadi tiba-tiba melainkan melalui prose pembelajaran (learning process for all), suatu perubahan yang bersifat gradual dan evolusi (a gradual evolution). Karena itu diperlukan adaptasi bagi manajer publik maupun tenaga profesional menghadapi ketrampilan baru, kooperasi baru, konsensus-konsensus baru menyangkut kinerja, termasuk relasi baru menyangkut hubungan antara pemerintah sebagai provider dengan masyarakat sebagai client.

Berkembangnya ketrampilan inti juga berhubungan dan dipengaruhi oleh lingkungan, baik lingkungan internal maupun lingkungan eksternal. Jika lingkungan stabil, hubungan internal cenderung menjadi mekanis, tenang, dan tidak bergolak. Tetapi dalam lingkungan yang tidak stabil, hubungan internal cenderung organis, dinamis, tidak pasti, dan dikelola penuh dengan ketrampilan. Fenomena yang terjadi dalam pelayanan publik di perkotaan saat ini menunjukkan bahwa Pemerintah Kota berada dalam kondisi yang tidak stabil. Sebagaimana digambarkan; Pemerintah Kota mengahadapi banyak persoalan mengenai pelayanan publik yang belum berkualitas.
Menurut Flyn dan Mellon (1993 : 122-123) dalam lingkungan internal organisasi yang stabil bukan berarti tidak terjadi perubahan sama sekali. Perubahan tetap diperlukan dengan persyaratan sebagai berikut :
1 Menyediakan program dan kegiatan khusus yang dikategorikan sebagai perubahan kecil.
2 Terjadi komunikasi yang harmonis dengan stakeholder
3 Terdapat alasan-alasan yang mendasar tentang perlu dan tidaknya dilakukan perubahan dalam organisasi.
4 Pengaturan pelayanan secara terarah dengan komunikasi yang jelas
5 Meningkatkan aktivitas rutin secara berkualitas dan terus menerus

Sedangkan dalam lingkungan yang tidak stabil dimana hubungan internal organisasi cenderung dinamis dan penuh ketidakpastian maka perubahan perlu dilakukan dengan mempertimbangkan :
1 Mengetahui kebutuhan, harapan, dan pilihan masyarakat mengenai barang dan jasa yang yang harus disediakan.
2 Strategi dan kemampuan yang dimiliki untuk memenuhi keinginan dan harapan masyarakat.
3 Apabila organisasi berada dalam kompetisi, harus diketahui posisi dan strategi pesaing, dan terjadinya perilaku persaingan
4 Apabila organisasi tidak berada dalam kompetisi, menentukan pilihan yang dapat dilakukan sesuai dengan keinginan masyarakat
5 Melakukan perubahan dengan mempertimbangkan kemampuan internal dan pengaruh aspek eksternal; dan mengukur efektivitas dan efisiensi perubahan yang telah dilakukan.

Demikian pula yang terjadi pada Pemerintah Kota dalam mengelola pelayanan publik, mereka dihadapkan banyak persoalan menyangkut konsistensi kebijakan dan kualitas pelayanan. Belum teratasinya saluran dan resapan air diperkotaan pencegah banjir yang diakibatkan inkonsistensi kebijakan tata ruang kota, tidak terealisasinya kebijakan bebas SPP untuk pendidikan dasar dan menengah, semakin beratnya beban Kantor Sosial dalam mengurus masyarakat tuna susila, gelandangan, dan lain-lain. Contoh-contoh tersebut menggambarkan betapa pentingnya Pemerintah Kota untuk melakukan perubahan visi, misi, dan strategi pelayanan dengan memenuhi prinsip-prinsip sebagaimana dikemukakan di atas.
Di samping mempertimbangkan faktor lingkungan, berkembangnya core skill dalam organisasi pelayanan publik juga saling terkait dengan hubungan klien dengan warga negara dalam penyediaan pelayanan, berhubungan dengan kaum profesional, dan berhubungan dengan pemerintah menyangkut keuangan dan kontrol. Sebagaimana dapat dikemukakan dalam Gambar 1.

Gambar 1
CORE SKILLS AND THE ENVIRONMENT OF CORE PUBLIC SERVICES
(Source : McKevitt, 1996)


Dalam Gambar 1 terlihat bahwa pengembangan core skill saling dipengaruhi oleh hubungan antara klien dengan warga negara dalam penyediaan layanan; berhubungan dengan kaum profesional; dan berhubungan dengan pemerintah menyangkut keuangan dan kontrol. Berkembangnya core skill juga dipengaruhi faktor lingkungan yang dapat menentuka apakah organisasi berada pada kondisi stabil atau berada dalam kondisi yang cepat berubah dan penuh persaingan.
Khususnya berkaitan dengan pengaruh lingkungan (McKevitt, 1998 : 26) mengidentifikasi dan mengkategorikan adanya 5 (lima) aspek lingkungan yang berpengaruh terhadap organisasi pelayanan publik pada street level public organization (bidang kesehatan, pendidikan, keamanan, dan kesejahteraan), sebagaimana terdapat dalam Gambar 2.
Gambar 2
THE STREET LEVEL PUBLIC ORGANIZATION IN ITS ENVIRONMENT
(Source : McKevitt, 1998)


Dalam Gambar 2 terlihat bahwa pengembangan core skills dalam SLPO memiliki hubungan timbal balik dengan beberapa aspek yang sekaligus merupakan lingkungan yang berpengaruh terhadap SLPO. Aspek-aspek tersebut adalah pemerintah pusat, hubungan warga negara dengan klien, asosiasi-asosiasi profesional, SLPO terkait, dan pemasok-pemasok peralatan.
Hubungan timbal balik antara SLPO dengan Pemerintah Pusat sebagai lingkungan adalah terkait dengan politisi, departemen-departemen pusat, bendahara, pengadilan, dan auditor-auditor pusat. Hal yang berbeda dengan fenomena di Indonesia adalah adanya pengaruh Pemerintah Daerah sebagai pelaksana kewenangan wajib beberapa bidang SLPO seperti halnya bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Konsep yang dapat dipertimbangkan dalam hal ini adalah diperlukannya keterlibatan yang lebih besar dari Pemerintah Pusat terhadap SLPO menyangkut standarisasi kualitas pelayanan publik. Sebagai contoh; standar kualitas pendidikan dasar dan menengah yang berbeda antara Wilayah Kabupaten dengan Wilayah Kota, standar kualitas pelayanan kesehatan, maupun standar penanganan masalah sosial.
Hubungan warganegara-klien dan para komunitas keluarga juga mempengaruhi kinerja SLPO. Berdasarkan hubungan ini, kualitas pelayanan yang diberikan SLPO di lingkungan Pemerintah Kota harus dapat menjamin pemenuhan kebutuhan barang dan jasa bagi kelompok masyarakatnya sehingga masyarakat mendapatkan kesan (experience) yang positif terhadap pelayanan tersebut. Pengalaman postif dari masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan Pemerintah Kota akan menjadi dasar penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan berikutnya.
Keberadaan asosiasi-asosiasi profesional yang didalamnya terdiri dari para ahli di bidangnya juga sangat mempengaruhi kinerja SLPO. Dalam hal ini sering terjadi perbedaan kepentingan antara masyarakat dengan kaum profesional. Sebagai contoh; para dokter menginginkan penghasilan yang tinggi dalam pelayanan kesehatan, sementara masyarakat menginginkan biaya yang murah dengan kualitas pelayanan yang memuaskan; analogi yang sama juga terjadi di bidang pendidikan maupun unit pelayanan sosial lainnya. Asosiasi profesional dalam hal ini bisa menjembatani antar kepentingan yang berbeda tersebut, dengan seperangkat peraturan yang disepakati dan tidak mengabaikan aspek etika profesionalitas.
Street Level Public Organization (SLPO) yang terkait; misalnya klinik-klinik kesehatan, perpustakaan untuk menunjang pendidikan, balaibalai latihan kerja untuk membekali para tuna sosial; adalah merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap kinerja SLPO. Demikian pula pemasok-pemasok peralatan seperti halnya perusahaan obat dibidang pelayanan kesehatan, penyedia buku ajar bagi sekolah-sekolah, pemasok peralatan mekanis untuk kepentingan pelatihan dibidang ketenagakerjaan. Semua itu adalah merupakan aspek-aspek penting yang saling mempengaruhi kinerja SLPO yang telah dikembangkan Pemerintah Kota dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.
D. PENUTUP
Peningkatan kualitas pelayanan publik khususnya di perkotaan tidak hanya ditentukan oleh perangkat birokrasi di tingkat eksekutif maupun di tingkat manajerial. Lebih dari itu, kualitas nyata pelayanan publik adalah sangat ditentukan oleh perangkat birokrasi di tingkat operasional. Pada tingkatan ini sangat diperlukan institusi Pemerintah Kota dengan dukungan perangkat birokrasinya yang memiliki kompetensi inti (core competence) dan ketrampilan inti (core skills) terutama menyangkut pelayanan dibidang pendidikan, kesehatan, keamanan dan ketertiban, maupun pelayanan sosial (street level public organization). Selama ini Pemerintah Kota melalui institusi Dinas, Badan, Kantor, maupun unit-unit pelayanan teknis lainnya memiiliki peran yang dominan dalam penyediaan barang dan jasa untuk kepentingan publik. Dominannya peran tersebut ternyata belum diikuti dengan kualitas pelayanan yang memadahi. Hal ini menuntut perhatian Pemerintah Kota untuk mengembangkan institusi dan perangkat birokrasinya yang memiliki core skill. Hanya pemimpin yang memiliki komitmen besar yang mampu mewujudkannya karena mengembangkan core skill adalah terkait dengan beberapa aspek yang bersifat sinergis.


DAFTAR PUSTAKA
Agus Dwiyanto; 2003; Peran Masyarakat Dalam Reformasi Pelayanan Publik di Indonesia; Forum Inovasi Vol 8; PPS-PSIA FISIP; Universitas Indonesia.
Behn, Robert D; 1988; What Right Do Public Managers Have to Lead ? dalam Public Administration Review. Nomor 3 Vol. 58 Mei-Juni 1998
Flyn, Norman & Mellon, Elizabeth; 1990; Public Sector Management; Harvester Wheatsheaf; London.
Kirby, Andrew; Knox, Paul; and Pinch, Steven (edited); 1984; Public Service Provision and Urban Development; Croom Helm; London and Canberra.
McKevitt, David; 1998; Managing Core Public Service; Blackwell Publishers; USA.
-------------------; 1996; Strategic Managementin the Irish Civil Service : Prometheus unbound or Pkoenix redux?, Administration, Vol 43, No 4.
Moch Ichsan, dkk; 2003; Pelayanan Publik Dalam Era Desentralisasi (Studi tentang Variasi Cakupan dan Peranan Pemerintah Daerah Dalam Pelayanan Publik Pada Beberapa Daerah di Indonesia); Hasil Penelitian.
Johnson, James H; 1977; Urban Geography, An Introductory Analysis; Pergamon Press; Oxford.
Leach, Steve; John Stewart, and Kieron Walsh; The Changing Organization and Management of Local Government; London; McMillan Press Ltd; 1994.
Norton, Alan; 1994; International Handbook of Local and Regional Government, A Comparative Analysis of Advanced Democratices; Edward Elgar; Cheltenham, UK.
Osborne, D. & Gaebler, T. 1992. Reinventing government : how the entrepreneurial spirit is transforming the public sector. Reading, Massachussetts : A William Patrick Book.
Osborn, David & Plastrik, Peter; 1997; Banishing Bureaucracy : The Five Strategies for Reinventing Government; Perseus Books Publishing; US>
Oakeshott, Michael; 1998; Rationalism in Politics; Dalam David McKevitt and Alan Lawton (ed); Public Sector Management, Theory, Criticue, and Practice; Sage Publication; London.
Potter, Jeny; 1988; Consumerism and the Public Sector : how well does the coat fit? Dalam David McKevitt and Alan Lawton (ed); Public Sector Management, Theory, Criticue, and Practice; Sage Publication; London.

0 comments: