Saturday 22 March 2008

RESTRUKTURISASI ORGANISASI DALAM RANGKA REFORMASI ADMINISTRASI PEMERINTAH DAERAH

RESTRUKTURISASI ORGANISASI DALAM RANGKAREFORMASI ADMINISTRASI PEMERINTAH DAERAH
(Studi Pada Pemerintah Kabupaten Aceh UtaraProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam)
Restructurization Organization in Administrative Reformation Distric Govermnt (Study at Distric Goverment North Aceh, Province of Nanggroe Aceh Darussalam)

Muklir
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh Lhokseumawe
Ismani HP
Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang


Heru Ribawanto
Fakultas Ilmu AdministrasiUniversitas Brawijaya Malang
SUMMARY
Muklir, Public Administration Department, Specialization of Public Policy, Post-Graduate Program of Brawijaya University, December 11th 2003, Restructurization Organization In Administrative Reformation Distric Goverment (Study at North Aceh, Province of Nanggroe Aceh Darussalam).Supervisor:Prof.Drs.Ismani HP,MA, Co-Supervisor: Drs. Heru Ribawanto,MS.
Administrative reformation included aspects of structure, attitude and behavior that hasbeen very important substance on local development process, because of administrativecapacity weakness that caused development program not good efficiently and effectively working. Giving extensive autonomy to NAD province in special autonomy, based on UU No. 18 Year 2001, is the appropriate policy to enhance the local. This research aimed at describing, analyzing and interpreting organizational structure reformation, attitude and behavior alteration of public servants of North Aceh Regency on responding to special autonomy. This research used qualitative approach with interview, observation and documentation as data collection technique. Collected data was been analyzed with data analyzing of interactive model.
The result shown that organizationstructure that has been built was more aimed to local culture. Reformation of organizationstructure on special autonomy comprised name changing of organization/function on the government, those are: Regency/regent to be Sagoe / Wali Sagoe, Sub-District / Sub-District Head to be Sagoe Cut / Wali Sagoe Cut, formed again government of Mukim, Majelis Musyarawah Mukim, rapat Adat Mukim, Imum Chik / Peutua Chik and Panglima Laot / Panglima Lhok. Rural / Rural Head to be Gampong / Keuchik, formed Dinas Syariat Islam Sagoe, adding of Section Pelaksanaan Syariat Islam and Sub-Section of Custom Development Sub-Sectionat Secretariat of Sagoe Cut, Adding of Gampong instrument which comprises: Tuha Adat, Keujuren Blang and Peutua Seuneubok, LMD or Rural Society Organization to be Tuha Peuet, Perda (Local Regulation) and Peraturan Desa (Rural Regulation) to be Qanun Sagoe/Qanun Gampong and writing of the name board of Office/Institution with Arab-Malay (Jawi letter). With structure alteration and nomenclature of organization mirroring the higher of complexity, formalization and centralization.
Attitude and behavior alteration of apparatus to respond special autonomy on aspectof attention, understanding, receiving and retention actually just occurred at top level (Regent), at middle level just occurred in the attention, understanding and receiving, while at bottom level still not optimal yet, it was mirrored by the low of attitude alteration. The absence attitude alteration of apparatus at middle and bottom level was caused by low optimization of socialization process to special autonomy. Aparatus attitude agree with Syariat Islam stillbeen constrained by no Qanun Formil. The late of Qanun legalization about authority between Province of NAD and Sagoe/Banda have made different view to respond special autonomy.
Based on above phenomenon, suggestedto formulate and regulate Qanun Program that has been priority of special autonomy implementation, optimize socialization process,so then appeared retention for all apparatus. Tooptimize Qanun arrangement process, it is neededsuggestions from Academicians, Ulama, Custom Figure and other Organization who understand about special autonomy mission.
Keywords : Administrative Reformation, Special Autonomy.



RINGKASAN
Muklir, Program Studi Ilmu AdministrasiNegara, Kekhususan Kebijakan Publik Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, 11 Desember 2003, Restrukturisasi Organisasi Dalam RangkaReformasi Administrasi Pemerintah Daerah (Studi Pada Pemerintah Kabupaten Aceh Utara Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam). Komisi Pembimbing, Ketua: Prof,Drs.Ismani HP,MA Anggota:Drs.Heru Ribawanto, MS.


Dimensi reformasi administrasi meliputi aspek struktur, sikap dan perilaku yang merupakan unsur yang sangat penting dalam proses pembangunan daerah karena lemahnya kapasitas administratif mengakibatkan program pembangunan tidak dapat berjalan efektif dan efisien. Pemberian otonomi yang luas kepada Provinsi NAD dalam bentuk otonomi khusus berdasarkan UU No.18 Tahun 2001 merupakan kebijakan yang tepat untuk memberdayakan daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, menganalisis dan menginterpretasikan proses reformasi struktur organisasi, perubahan sikap dan perilaku aparatur Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dalam menyikapi otonomi khusus melalui pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi dan dokumentasi. Data yang diperoleh dianalisis dengan metode analisa data model interaktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur organisasi yang telah dibentuk lebih diarahkan pada budaya lokal. Reformasi struktur organisasi dalam otonomi khusus meliputi perubahan sebutan organisasi/jabatan dalam pemerintahan yaitu: sebutan Kabupaten/Bupati menjadi Sagoe/Wali Sagoe, Kecamatan/Camat menjadi Sagoe Cut/Wali Sagoe Cut, dibentuk kembali Pemerintahan Mukim di bawah Sagoe Cut dengan perangkat Mukim yang terdiri dari Sekretaris Mukim, Majelis Musyawarah Mukim, Rapat Adat Mukim, Imum Chik, Keujruen Chik/Peutua Chik dan Panglima Laot/Panglima Lhok. Desa/Kepala Desa menjadi Gampong/ Keuchik, dibentuk Dinas Syariat Islam Sagoe, Penambahan Seksi Pelaksanaan Syariat Islam dan Pengembangan Adat serta Sub Seksi PelaksanaanSyariat Islam dan Sub Seksi Pengembangan Adatdi Sekretariat Sagoe Cut, Penambahan perangkat Gampong yang terdiri dari Tuha Adat, Keujruen Blang dan Peutua Seuneubok, LMD menjadi Tuha Peut, Perda dan Peraturan Desa menjadi Qanun Sagoe/Qanun Gampong serta penulisan papan nama Kantor/Lembaga dalam Bahasa Arab-Melayu (huruf Jawi). Dengan perubahan struktur dan nomenklatur organisasi mencerminkan semakin tinggi kompleksitas, formalisasi dan sentralisasi.
Perubahan sikap dan perilaku aparatur dalammenyikapi otonomi khusus dari aspek atensi, pemahaman, penerimaan dan retensi ternyata hanya terjadi di tingkat pimpinan atas (Wali Sagoe/Bupati), di tingkat menengah hanya sebatas atensi, pemahaman dan penerimaan namun belumdiwujudkan dalam bentuk retensi. di tingkatbawah, atensi, pemahaman dan penerimaan masih belum optimal yang tercermin dari rendahnya perubahan sikap. Belum terjadinya perubahan perilaku aparatur di tingkat menengah dan tingkatbawah disebabkan masih belum optimalnya proses sosialisasi terhadap otonomi khusus. Perilaku aparatur yang didasarkan pada nilai-nilaiSyariat Islam masih terkendala karena belum adanya Qanun formil. Keterlambatan pengesahan Qanun tentang kewenangan antara Provinsi NAD dengan Sagoe / Banda telah menimbulkan perbedaan pandangan dalam menyikapi otonomikhusus.
Berdasarkan fenomena di atas penulis merekomendasikan agar segera merumuskan dan mengesahkan Rancangan Qanun yang menjadi perioritas sebagai aturan pelaksana otonomi khusus, mengoptimalkan proses sosialisasi, sehingga menimbulkan retensi bagi semua aparatur. Untuk mempercepat proses penyusunan Qanun dapat meminta masukan dari Akademisi, Ulama, Tokoh Adat dan Lembaga lainnya yangmemahami otonomi khusus
PENDAHULUAN Latar Belakang
Meningkatnya perhatian pada pendekatandesentralisasi dalam pembangunan negara-negara berkembang termasuk Indonesia terutama disebabkan berbagai kegagalan dengan pendekatan sentralistis yang menyebabkan terjadinya ketimpangan ekonomi dan sosial seperti semakin melebarnya kesenjangan (gap)antara yang kaya dan miskin, antar kota dan desa,antar sektor ekonomi dan daerah. Pada masa lalu terutama di era Orde Baru sistem pemerintahan Indonesia sangat sentralistis, hampir semua kebijakan publik diputuskan oleh pemerintah pusat dan secara seragam diberlakukan untuk seluruh Indonesia. Sistem sentralistik dan penyeragaman secara berlebihan mengakibatkanberbagai fenomena keberagaman kondisi, letak geografis, budaya dan sebagainya yang kenyataannya sangat beragam diabaikan, sehingga dapat menghambat kreativitas daerah untuk berkembang dan menciptakan kepatuhan masyarakat dan aparat di daerah
Penyelenggaraan otonomi daerah telah ditetapakan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah dan dilengkapi dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusatdan Daerah. Namun demikian bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, kedua UU tersebut dianggap belum menampung sepenuhnya hak asalusul keistimewaan yang dimiliki Provinsi ini, terutama substansi keistimewaan Aceh belum dapat terealisasi baik menyangkut masalah keadilan maupun kesejahteraan dan pembangunan daerah menjadi kurang seimbang dibandingkandengan pembangunan di Provinsi lain. Provinsi NAD dan khususnya Kabupaten Aceh Utara dengan kekayaan alam yang melimpah belum dapat memberikan kontribusi yang berarti untukkesejahteraan rakyat. Hal ini tercermin dari kondisi masyarakat hampir 60 % hidup dalamkeadaan miskin (Kompas,17 April 2001)

Permasalahan Aceh semakin rumit denganmunculnya masalah sosial politik dan konflik vertikal sehingga kondisi ini semakin terpuruk. Munculnya berbagai tuntutan masyarakat yangdianggap tepat untuk menyelesaikan persoalan ini ditanggapi oleh Pemerintah Pusat dengan mengeluarkan UU Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan ProvinsiDaerah Istimewa Aceh.
Dengan dikeluarkan UU Nomor 44 Tahun 1999 yang merupakan political will pemerintah pusat atas keistimewaan Aceh dalam bidangpenyelenggaraan kehidupan beragama, kehidupanadat dan peran Ulama dalam penetapan kebijakandaerah, memunculkan kembali berbagai tanggapan dan reaksi dari masyarakat karena dengan UU tersebut tidak cukup untuk dapat menyelesaikan berbagai persoalan.
Mencermati masalah Aceh yang sangat kompleks dan mendesak untuk dicarikan jalan penyelesaiannya secara adil, komprehensif dan berwawasan kedepan sebagai upaya untuk mengakomodasi, mengartikulasi aspirasi yang bervariatif maka substansi keistimewaan diatur lebih rinci dengan suatu UU yang kemudian terbitlah UU Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi NAD. Titik berat otonomikhusus berada pada Provinsi NAD yang pelaksanannya pada Kabupaten/Kota. Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten lainnya yang ada dalam Provinsi NAD disamping memiliki kewenangan yang luas berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 juga memiliki kewenangan pelaksanaan otonomi khusus berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2001 dan Qanun Provinsi NAD yang meliputi seluruh bidang Pemerintahan kecuali kewenangan bidang Politik Luar Negeri, Pertahanan Eksternal dan Moneter. Otonomi khusus menitikberatkan pada empat pondasi utama yaitu : (a) Pemberlakuan Syariat Islam
(b) Bagi hasil sumberdaya alam. (c) Pemilihan langsung kepala daerah dan d) Penerapan budayalokal ke dalam struktur pemerintahan daerah.
Dengan kewenangan yang dimiliki Provinsi NAD dan khususnya Kabupaten AcehUtara melalui otonomi khusus memberikan harapan akan terwujudnya pemerintahan dan pembangunan dalam segala aspek kehidupan masyarakat yang selama ini tertinggal jauh.Namun demikian hal ini sangat tergantung pada upaya pemerintah daerah dalam menyikapi otonomi khusus itu dengan gerakan-gerakan pembaharuan yang salah satu di antaranya melalui reformasi administrasi yang meliputiaspek struktur, sikap dan perilaku aparatur yangselaras dengan semangat otonomi khusus gunameningkatkan efektivitas organisasi atau terciptanya administrasi yang sehat untuk mencapai tujuan pembangunan.
Rumusan Masalah
1 Bagaimanakah proses reformasi struktur organisasi Pemerintah Kabupaten Aceh Utaradalam otonomi khusus ?
2 Bagaimanakah perubahan sikap dan perilakuAparatur Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dalam menyikapi otonomi khusus ?

Tujuan Penelitian
1 Mendeskripsikan, menganalisis dan menginterpretasikan proses reformasi struktur organisasi Pemerintah Kabupaten Aceh Utaradalam otonomi khusus
2 Mendeskripsikan, menganalisis dan menginterpretasikan perubahan sikap dan perilaku Aparatur Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dalam menyikapi otonomi khusus.

Manfaat Penelitian
1 Secara teoritis, diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran dalam mengembangkan konsep reformasi administrasi dan menjadi bahan komparasi bagi peneliti lain yang berkeinginan mengkaji masalah reformasi administrasi.
2 Secara praktis, diharapkan dapat menjadi masukan (input) bagi Pemerintah/DPRD Sagoe Aceh Utara dan Pemerintah dan DPRD Provinsi NAD dalam perumusan danimplementasi kebijakan reformasi administrasi.

METODOLOGI PENELITIAN



Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan maksud ingin memperoleh gambaran yang komprehensif dan mendalam tentang struktur organisasi, sikap dan perilakuaparatur pemerintah Kabupaten Aceh Utara dalam menyikapi otonomi khusus.
Fokus Penelitian
1. Proses reformasi struktur organisasi Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dalam otonomi khusus, meliputi kompleksitas, formalisasi dan sentralisasi
2 Perubahan sikap dan perilaku aparatur Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dalam menyikapi otonomi khusus, meliputi atensi, pemahaman, penerimaan dan retensi.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada PemerintahKabupaten Aceh Utara Provinsi NAD. Penentuanlokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive).


Sumber Data
1 Informan, yaitu ditentukan secara sengaja

(purposive) pada subjek yang dianggap
menguasai permasalahan. yaitu : Kalangan
Birokrat, Anggota DPRD, Pengamat
Pemerintah Daerah , Akademisi dan Tokoh


Masyarakat. 2 Peristiwa, yaitu berbagai peristiwa atausituasi, fenomena yang terjadi yang relevandengan fokus penelitian. 3 Dokumen, yaitu berbagai dokumen yang

memiliki relevansi dengan fokus penelitian.

Teknik Pengumpulan Data :
1 Wawancara,
2 Observasi dan
3 Dokumentasi.

Analisis Data
Teknik Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisa interaktif (interactive model of analysis) yaitu mulai dari data reduction, data display dan Verivication conclution / Verification drawing(Miles dan Huberman,1992:16-21)
Keabsahan Data
Dalam penelitian ini, keabsahan data menggunakan kritera credibility, transferability, dependability dan Confirmability (Moleong, 1997:173-175)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Profil Lokasi Penelitian
Kabupaten Aceh Utara merupakan salah satu Kabupaten yang berada dalam Wilayah Provinsi NAD. Dilihat dari konsepsi pembangunan wilayah ini termasuk kedalam kawasan industri. Luas wilayah 3.477,92 km2, berada 275 km sebelah timur kota Banda Aceh Ibu Kota Provinsi NAD terletak pada garis 96,20°sampai 97,21° Bujur Timur dan 4,54° sampai 5,18° Lintang Utara. berbatasan sebelah Utara dengan Selat Malaka, sebelah Selatan denganKabupaten Aceh Tengah, sebelah Timur dengan Kabupaten Aceh Timur dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bireuen yang merupakan Kabupaten Baru yang sebelumnyatermasuk dalam Kabupaten Aceh Utara.
Dilihat dari segi sosial ekonomi, sebagian besar Gampong masuk dalam peta Inpres Desa Tertinggal. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa di Kabupaten AcehUtara tedapat sebanyak 366 Gampong miskin dari 850 Gampong yang ada. Kenyataan ini menjadikan Kabupaten Aceh Utara sebagai Kabupaten yang memiliki Gampong miskin terbanyak dibandingkan dengan Kabupaten lainnya yang ada di Provinsi NAD.
Sesuai dengan potensi sumber daya alam yang dimiliki Kabupaten Aceh Utara, sekitar 65,82 % dari angkatan kerja bekerja pada Sektor Pertanian dan Perikanan, Sektor Perdagangansebesar 1,27 %, Sektor Industri 9,28 %, Sektor Jasa 5,80 % dan lain-lain sebesar 17,83 %.
Keadaan Pemerintahan
Kabupaten Aceh Utara dibagi dalam 17 Kecamatan, 56 Mukim dan 850 Gampong. 1 Sekretariat Daerah Sagoe, 1 Sekretariat DPRD Sagoe, 21 Dinas, 6 Badan, dan 6 Kantor.
Potensi Sumber Daya Aparatur
Jumlah aparatur pemerintah Kabupaten Aceh Utara sebanyak 1.551 orang, yangterbanyak berada pada Dinas Daerah yaitu 1.131 orang. Pegawai/aparatur yang memiliki golonganIII dan IV juga berada pada Dinas Daerah yaitu sebanyak 620 orang golongan III dan 115 orang golongan IV. golongan yang paling banyak dariseluruh Instansi yaitu golongan III mencapai 827 orang atau sebesar 53 % dari keseluruhan pegawai, sedangkan urutan berikutnya golongan II dan IV sebanyak 689 orang atau 44 %, golongan I merupakan golongan yang paling sedikit yaitu hanya 35 orang atau 2 %. Tingkat pendidikan SMU menunjukkan angka yang palingbesar yaitu 799 orang. berikut Sarjana sebanyak 539 orang dan yang berkualifikasi Magister hanya14 orang., Dilihat dari formasi jabatan sebanyak648 jabatan di jajaran Pemerintah Kabupaten Aceh Utara. Yang sudah mengikuti Diklat Pendidikan Penjenjangan adalah 499 orang atau77,5 %. Yang belum mengikuti Diklat Penjenjangan sebanyak 149 orang atau sebanyak22,5 % dari formasi jabatan yang sudah terisi..
Kemampuan Keuangan Daerah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) KabupatenAceh Utara mengalami fluktuasi. Pada dasarnyapendapatan Daerah naik cukup tinggi. Bila dilihatdari tahun 1997/1998 sampai tahun 1998/1999 mengalami penurunan yaitu sebesar Rp.
288.579.493 atau sebesar 1,07 % kemudian tahun 1999/2000 naik sebanyak Rp 11.343.747.591 atausebesar 26,67.%. Selanjutnya tahun 2000 turun lagi sebanyak Rp. 6.101.725.788 atau sebesar 60,05.%. kemudian tahun 2001 naik Rp. 3.190
993.283 atau sebesar 13,40 %.
Dengan diberikan otonomi khusus kepadaProvinsi NAD berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2001 maka Kabupaten Aceh Utara sebagaipenghasil gas alam mendapat porsi penerimaan yang cukup besar, sehingga total AnggaranPendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2002 yang telah ditetapkan dalam Qanun Nomor 3 Tahun 2002 Tanggal 29 Juni 2002 mencapaiRp. 962.145.047.

Proses Reformasi Struktur Organisasi Pemerintah Kabupaten Aceh Utara
Reformasi struktur organisasi PemerintahKabupaten Aceh Utara yang disoroti dalam penelitian ini meliputi tiga komponen yaitu kompleksitas, formalisasi dan sentralisasi. Pada dasarnya tidak terdapat perbedaan proses reformasi struktur organisasi sebelum dan selamaotonomi khusus. Struktur organisasi dalam otonomi khusus lebih diarahkan pada budaya lokal dengan tahapan/proses reformasi sebagai berikut : (a) Bupati meminta usulan struktur dari Dinas, Lembaga Teknis Daerah Sagoe (Badan dan Kantor), Sagoe Cut, Mukim dan Gampong.
(b) Dinas, Lembaga Teknis Daerah Sagoe, Sagoe Cut, Mukim dan Gampong mengirimkan usulan struktur kepada Wali Sagoe (Bupati) melalui Kabag Organisasi (c) Kabag organisasimeneruskan kepada Bagian Hukum untuk dibahas bersama dalam suatu kepanitiaan yang dibentukoleh Wali Sagoe (Bupati) (d) Selesai dibahas panitia mengembalikan lagi kepada Bagian organisasie (e) Dengan surat pengantar Wali Sagoe (Bupati) diajukan kepada DPRD Sagoe (f) DPRD Sagoe mengadakan sidang dengan menyampaikan pemandangan umum terhadap usulan struktur yang diajukan Wali Sagoe(Bupati) (g) Wali Sagoe (Bupati) memberijawaban atas pemandangan umum anggota Dewan (h) DPRD menerima usulan yang kemudian ditetapkan dalam Qanun Sagoe.
Jika dicermati proses reformasi struktur organisasi pada pemerintah Sagoe Aceh Utara sebagaimana disebutkan diatas maka terlihat dengan jelas bahwa reformasi struktur organisasipemerintah Sagoe Aceh Utara diproses dari bawah (buttom up), sehingga struktur yang dibentuk merupakan kebutuhan nyata daerah dalam upaya meningkatkan pelayanan kepadamasyarakat. Hasil dari proses reformasi struktur organisasi pemerintah Sagoe Aceh Utara sebagai berikut :
Struktur Organisasi Perangkat Daerah Sebelum Otonomi Khusus
Struktur organisasi perangkat dearah Kabupaten Aceh Utara sebelum otonomi khusus yang terdiri dari 1 Sekretariat Derah, 1 Sekretariat DPRD, 20 Dinas, 6 Badan 6 Kantor, 17 Kecamatan dan 56 Mukim dan 850 Gampong. Pembentukan dilakukan dengan beberapaPeraturan Daerah yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 84 tahun 2000 Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Strukturorganisasi tersebut merupakan perubahan dari struktur sebelumnya yatu sebagai berikut :1). Perubahan di Jajaran Dinas dan Lembaga
Teknis Daerah : .
a. Penggabungan Dinas Perkebunan dan Dinas Kehutanan menjadi Dinas Kehutanan dan Perkebunan
b. Pengembangan Dinas Perikanan menjadiDinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pariwisata menjadi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Sosial menjadi Dinas Kesejahteraan Sosial,
c. Perubahan Kantor Departemen Tenaga Kerja menjadi Dinas Tenaga Kerja, Kantor Departemen Koperasi menjadi Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah, Kantor Catatan Sipil menjadiDinas Pendaftaran Penduduk, Irwilkab menjadi Badan Pengawasan, Dinas PMDmenjadi Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Dinas Pendidikan, Kantor DepartemenPenerangan menjadi Dinas Informasi danKomunikasi.
d. Pembentukan Dinas baru yaitu Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Dinas Kependudukan dan Mobilitas Penduduk, Badan Kesatuan Bangsa danPerlindungan Masyarakat, Badan Diklat,Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL.PP), Kantor Arsip Daerah, Kantor Informasi Penyuluhan Pertanian, Peternakan, Perkebunan dan Kehutanan dan Dinas Pertahanan

2). Perubahan di Jajaran Sekretariat Daerah, meliputi :
a. Asisten Tata Praja yang sebelumnya empat Bagian terdiri dari Bagian Tata Pemerintahan, Bagian Pemerintahan Desa, Bagian Ketertiban dan Bagian Hukum menjadi dua Bagian yaitu : Bagian Ketertiban dan Bagian Hukum
b. Asisten Administrasi Pembangunan berubah menjadi Asisten Ekonomi dan Pembangunan yang sebelumnya empat Bagian yaitu : Bagian Perekonomian, Bagian Penyusunan Program, Bagian Sosial dan Bagian Lingkungan Hidup, tetap empat Bagian dengan perubahan nama Bagian menjadi Bagian Ekonomi, Bagian Pembangunan, Bagian Pemberdayaan Perempuan dan Bagian Sosial.

3). Perubahan di Jajaran Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) meliputi penambahan Bagian yaitu : Bagian Umum, Bagian Risalah dan Persidangan serta Bagian Keuangan, yang sebelumnya hanya memilikitiga Sub Bagian yaitu : Subbag Umum, Subbag Rapat dan Risalah dan Subbag Keuangan.



Struktur Organisasi Perangkat Daerah DalamOtonomi Khusus
Dengan keluarnya UU Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi NAD maka susunan organisasi yang telah dibentuk sebagaimana diuraikan di atas disesuaikan kembali dengan semangat otonomi khusus. Penyesuaiaan kembali dimaksud meliputi susunan organisasi, tugas dan kewenangan serta penamaan pemerintahan termasuk penamaan jabatan pada tingkat Provinsi, Kabupaten, Kecamatan, Mukim dan Desa.


Adapun susunan organisasi perangkat daerah dalam otonomi khusus yang terdiri dari 1 Sekretariat Sagoe, 1 Sekretariat DPRD Sagoe, 21 Dinas, 6 Badan, 6 Kantor, 17 Kecamatan, 56 Mukim, 850 Gampong.
Perubahan lainnnya selama diberlakukan otonomi khusus yaitu perubahan sebutan LMDmenjadi Tuha Peuet, Peraturan Daerah/Peraturan Desa menjadi Qanun Sagoe/Qanun Gampong dan Penulisan Papan nama Lembaga/Kantor yangsebelumnya ditulis dengan huruf Latin berubah penulisan dalam Bahasa Arab-Melayu (huruf jawi). Dengan perubahan struktur dan nomenklatur organisasi tercermin kompleksitas, formalisasi dan sentralisasi.
a. Kompleksitas
Kompleksitas organisasi pemerintahan Sagoe Aceh Utara telihat dari meningkatnyavolume pekerjaan, keikutsertaan aparatur dalampendidikan dan pelatihan dan dari penggunaansistem kerja. Meningkatnya volume kerja selamaotonomi khusus memerlukan penambahan Dinasdan Unit Kerja seperti Dinas Syariat Islam Sagoe (dan Seksi Pelaksanaan Syariat Islam dan Pengembangan adat serta Sub Seksi Pelaksanaan Syariat Islam dan Sub Seksi Pengembangan Adatdi Sekretariat Sagoe Cut (Kecamatan) sehinggakompleksitas horizontal tinggi. Demikian pula pembentukan tingkat pemerintahan Mukim dibawah Sagoe Cut menyebabkan organisasi pemerintahan menjadi relatif bertambah besar yang menuntut lebih banyak kontrol sehingga kompleksitas vertikal menjadi tinggi. Tingginyatingkat kompleksitas vertikal terjadi karena telahdihidupkan kembali tingkat pemerintahan Mukim dibawah Sagoe Cut berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2001 dan Qanun Provinsi NAD Tahun 2002, sehingga tingkat pemerintahan di Sagoe Aceh Utara menjadi tiga tingkat yaitu Sagoe,, Mukim dan Gampong yang sebelumnya hanyadua tingkat yaitu Kabupaten dan Desa.
b. Formalisasi
Formalisasi menyangkut sejauh mana pekerjaan dalam suatu organisasi itu distandarkan, dimasukkan dalam aturan-aturan, prosedurprosedur dan perintah-perintah yang tertulis.
Sebelum diberlakukan otonomi khusus, pemerintah Kabupaten Aceh Utara telah memiliki hak otonomi untuk mengurus rumah tangga sendiri berdasarkan UU Nomor 22 Tahun1999 Tentang Pemerintah Daerah dan dilengkapidengan UU Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusatdan Daerah. Dengan UU tersebut kedudukan pemerintah Daerah semakin kuat karena pemerintah daerah tidak lagi hanya menjalankankemauan dan aspirasi pusat akan tetapi beralihkepada semakin banyaknya aspirasi daerah sendiri yang penting untuk ditampung dan dipenuhi.
Mekanisme blue print atau populer dengan istilah Juklak/Juknis yang selama beberapa dekade menjadi parameter utama dalam setiap pengelolaan program pembangunan secara bertahap dapat dihilangkan. Sering kali mekanisme Juklak/Juknis tersebut membuat aparatur birokrasi terkungkung oleh sebuah aturanyang ketat sehingga tidak memungkinkan untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi sesuai dengan kondisi dan potensi lokal (Contectual setting). Pada akhirnya situasi yang demikian akan membuat daya nalar/pikir aparatur mengalami stagnasi serta kurang peka atau responsif terhadap permasalahan yang muncul ditingkat lokal.
Demikian pula setelah diberikan otonomi khusus kepada Provinsi NAD, kedudukan Provinsi dan Sagoe/Banda) dalam Provinsi NAD semakin mandiri dalam menentukan arah pembangunan di daerah tanpa harus menunggu Juklak/Juknis dari pemerintah pusat.
Dengan peyederhanaan aturan/ prosedur birokrasi melaui pemberian kewenangan untuk mengeluarkan Qanun sebagai aturan pelaksana UU tersebut maka dalam pelaksanaan otonomi khusus tidak ada lagi Juklak/Juknis dari Pemerintah Pusat sehingga semakin cepat dalam merespon keinginan/aspirasi masyarakat di Provinsi NAD. Namun dalam kenyataannyadengan penyederhanaan aturan birokrasi sebagai mana dijelaskan di atas Pemerintah Provinsi NAD justru belum dapat bekerja maksimal untukmeningkatkan pembangunan di daerah.
Ketidakjelasan hubungan antara Provinsi NAD dengan Sagoe/Banda karena belum disahkan Qanun tentang kewenangan Sagoe/Banda. Kewenangan yang luas yangdimiliki Provinsi NAD berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2001 telah menimbulkan kesan terlalu banyak mengatur Sagoe/Banda, terutama dalam pelaksanaan proyek pembangunan, padahal antara Sagoe/Banda) dengan Provinsi NAD samasama memiliki otonomi. Dalam kaitannya dengantingkat formalisasi organisasi pemerintah Sogoe Aceh Utara tercermin dari standarisasi tugastugas yang didasarkan pada buku manual, uraianpekerjaan dan kepatuhan aparatur terhadap aturanyang telah ditetapkan.
Salah satu wujud dari upaya pengentasankemiskinan tertuang dalam Program PembanunanGampong (PPG). Dari data dokumentasi menunjukkan bahwa pelaksanaan program tersebut dilakukan sesuai dengan mekanisme yang telah diatur Wali Sagoe Aceh Utara telah menetapkan standarisasi dalam bentuk prosedur yang diatur dalam juklak/juknis yang menjadi acuan bagi aparatur pelaksana ditingkat Sagoe, Sagoe Cut, Mukim dan Gampong. Pendekatan program ini bersifat bottom up dengan memberi peran yan luas kepada masyarakat untuk menentukan arah pembangunan ditingkat gampong. Pemerintah Sagoe Aceh Utara hanya memfasilitasi dana tiap - tiap Gampongmaksimum sebesar Rp.200.000.000. Standarisasisebagaimana telah dikemukakan merupakan salah satu contoh formalisasi yang di jalankan padaorganisasi Pemerintah Kabupaten Aceh Utara.



c. Sentralisasi
.Seperti diketahui bahwa UU Nomor 22Tahun 1999 tidak menggunakan sistem otonomibertingkat dalam arti Gubernur bukan merupakan atasan Bupati/Walikota. Keberadan Gubernur menjadi tidak banyak fungsinya jika hanya menyelenggarakan urusan-urusan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota . Menjadi tidak ada gunanya menghapus hubungan vertikal antara Bupati dan Gubernur yang dianggap inefisien itu jika inefisiensi ulang diciptakan melalui hubungan yang lebih vertikal lagi yakni dengan pemerintah pusat. UU Nomor 22 Tahun 1999 masih membuka ruang yang besar bagi adanyaintervensi pusat terhadap eksistensi Kepala Daerah
Lahirnya UU Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi NAD kembali memperkuat posisi Gubernur NAD karena titik berat otonomi khusus berada pada Provinsi. Besarnya kekuatan ini terlihat dari kewenangan pelaksanaan UU Nomor 18 Tahun2001 langsung dengan Qanun (Perda) yangmenurut hirarkhi perundang-undangan-undangan di Indonesia semestinya UU dilaksanakan denganPeraturan Pemerintah seperti halnya UU Nomor 22 Tahun 1999.
Sagoe/ Banda diberikan kewenanganpelaksanaan otonomi khusus yang diatur denganQanun Provinsi NAD. Saat ini Kabupaten/Kota dalam Provinsi NAD disamping memiliki otonomi yang luas berdasarkan UU Nomor 22Tahun 1999 juga melaksanakan Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Qanun Provinsi NAD dalam penyelenggaraan otonomi khusus.
Hubungan antara Kabupaten/Kota dengan Provinsi NAD berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 bersifat koordinasi, sedangkan berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2001 yang pelaksanaannyadiatur dalam Qanun Provinsi NAD disamping hubungan horizontal juga terjadi hubungan vertikal karena Wali Sagoe/Wali Banda jugaberkedudukan sebagai wakil pemerintah pusat didaerah yang berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Gubernur NAD,
Dengan kewenangan yang luas dimiliki Provinsi NAD maka pemerintah Provinsi menjadi motor utama untuk menggerakkan rodapemerintahan di Provinsi NAD dalam menjalankan otonomi khusus dengan cara membuat perangkat aturan hukum yang dibutuhkan sebagai aturan pelaksana UU Nomor 18 Tahun 2001.
Sentralisasi diukur dari proporsi tingkatkeikutsertaan dalam pengambilan keputusan dantingkat pelimpahan wewenang baik sentralisasi keputusan strategis maupun sentralisasi keputusantaktis. Ikut serta mengambil kuputusan terhadap alokasi sumber-sumber daya dan penentuan kebijakan organisasi mempengaruhi organisasisecara keseluruhan, hal ini dinamakan keputusanstrategis. Keputusan-keputusan strategis adalahkeputusan-keputusan yang bertalian denganmasalah kebijakan jangka panjang yaitu tentangalokasi sumber-sumber daya manusia dan uangkarena hal tersebut merupakan pusat bagikeputusan-keputusan yang paling mendasar dalam organisasi. Pengukuran kedua mengenaibagaimana kekuasaan itu didistribusikan diantaratugas-tugas pekerjaan yang merupakan tingkat hirarkhi wewenang, ini menyangkut keputusankeputusan mengenai kegiatan sehari-hari dari setiap tugas yang perlu untuk operasi yang efisiendan lancar. Sentralisasi semacam ini disebut sebagai sentralisasi keputusan-keputusan taktis.
Otonomi khusus merupakan salah satubentuk desentralisasi kewenangan dari pemerintahpusat kepada Provinsi NAD melalui UU Nomor 18 Tahun 2001. Dalam hal ini Provinsi NAD memiliki kewenangan dan tanggung jawab mengambil keputusan dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus, yang selanjutnya Provinsi juga melimpahkan kewenangan tersebut kepada Sagoe/Bandasebagai kewenangan pelaksanaan otonomi khusus yang diatur dalam Qanun. Keikutsertaan pemerintah Sagoe/Banda dalam pengambilankeputusan misalnya dalam penentuan prosentasebagi hasil penerimaan dalam rangka otonomi khusus antara Sagoe/Banda dengan ProvinsiNAD yang didasarkan atas kesepakatan bersama yang kemudian penggunaan dana merupakan tanggung jawab penuh Sagoe/Banda.
Dikaitkan dengan ruang lingkup pembangunan, Sagoe / Banda memiliki kewenangan yang luas untuk mengimplementasikan kebijakan -kebijakan pembangunan, karena telah memiliki landasan berpijak yang kuat untuk melaksanakan pembangunan di berbagai bidang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.dan potensi daerah. Kewenangan yang tegas Sagoe/Banda dalam penyelenggaraan otonomi khusus belum diatur. Dalam Rancangan Qanun Provinsi NAD hanya disebutkan kewenangan Sagoe/Banda mencakup kewenangan seluruh bidang Pemerintahan, kecuali bidang-bidang yang merupakankewenangan Provinsi yang sudah ada dan akanditetapkan dalam Qanun (pasal 4) Hal ini telahberdampak pada perbedaan persepsi menyangkutkewenangan masing-masing, sebagai contoh dalam kasus berbagai proyek pembangunan banyak memunculkan keluhan dari Sagoe/Banda karena dana yang menjadi hak Sagoe/Banda masih dikelola Provinsi, proyeknya saja di tempatkan di Sagoe/Banda sedangkan pimpinanproyek dan penunjukan kontraktornya dilakukanoleh Provinsi. Politik pemerintahan yangdemikian itu tidak jauh berbeda dengan politik pemerintahan di masa Orde Baru, daerah bawahan terus dieksploitasi untuk kepentingan tertentu atau kelompok.


Secara umum bahwa tingkat keberanian aparatur setingkat Kabag di jajaran Dinas dan Lembaga Teknis Daerah (Badan dan Kantor) dalam mengambil keputusan masih tergolong rendah, ketergantungan yang tinggi terhadap atasan melahirkan sikap pasif bawahan. Tingkat pengambilan keputusan atas dasar inisiatif individual atau deskresi sangat lemah karena masih adanya kekhawatiran dari aparatur melampaui wewenang pimpinan. Aparatur lebih merasa aman jika sudah mengikuti petunjukatasan untuk melindungi diri dari kesalahan danimplikasi lebih lanjut adalah semakin suburnyabudaya mohon petunjuk kepada atasan
Pendelegasian wewenang kepada bawahan sangat penting karena bawahan itu sebenarnya yang lebih mengetahui secara langsung kebutuhan masyarakat. Pendelegasianwewenang kepada bawahan akan merangsang memunculkan inovasi-inovasi yang berkembangdari bawahan yang melaksanakan pekerjaan yangberhubungan dengan masyarakat. Dampaknyaadalah munculnya semangat kerja bawahan yangtinggi, lebih banyak komitmen dan lebih produktif.
Perubahan Sikap dan Perilaku Aparatur Pemerintah Kabupaten Aceh Utara Dalam Menyikapi Otonomi Khusus
a. At e ns i
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sagoe Aceh Utara telah memberi perhatian untuk menjalankan otonomi khusus ini dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Atensi (perhatian) pemerintahdaerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sagoe Aceh Utara dalam menyikapi otonomi khusus mestinya didukung oleh pemerintah provinsi NAD karena Pemerintah Provinsi sebagai motor utama penggerak otonomi khususdengan menyiapkan berbagai Qanun sebagai aturan pelaksana UU Nomor 18 Tahun 2001 maupun penyaluran dana yang bersumber dari otonomi khusus seperti dana perimbangan dari sektor migas yang menjadi hak Sagoe/Banda yang selama ini sering terlambat disalurkan.
Adanya perhatian Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sagoe serta aparatur dijajarannya dalam penyelenggaraan otonomi khusus maka efek yangdihasilkan berupa perubahan keyakinan aparaturdalam menyikapi otonomi khusus.
b. Pemahaman
Sosialisasi UU Nomor 18 Tahun 2001 telah dilakukan kepada seluruh aparatur dijajaranPemerintah Sagoe Aceh Utara, namun tingkatpemahaman terhadap otonomi khusus sangat tergantung pada kemampuan aparatur dalam menyerap pesan yang disampaikan Bupati,. Otonomi khusus baru dipahami secara komprehensif oleh aparatur pimpinan tingkat menengah keatas, sementara aparatur tingkatbawah masih belum memahami secara mendalam.
Rendahnya efek perubahan sikap aparatur tingkat bawah disebabkan mereka belum memahami sepenuhnya misi otonomi khusus, komponen kognitif dan komponen afektif sukar untuk dirubah hanya oleh kekuatan komunikator (pimpinan puncak) semata. Terjadinya perubahansikap merupakan fungsi interaksi antara kemungkinan terjadinya pemahaman dan keyakinan diterimanya obyek sikap oleh aparatur
c. Penerimaan
Sikap aparatur tehadap otonomi khusus merupakan manifestasi dari tiga komponen sikapyakni kognitif, afektif dan konatif yang salingmemahami, merasakan dan berperilaku terhadapobyek sikap. Penerimaan terhadap otonomi khusus tercermin dari kesediaan aparatur untuk menerima dan merespon dalam bentuk perubahansikap. Aparatur menerima otonomi khusus jikaadanya kejelasan kewenangan dan hak-hak antaraSagoe dengan Provinsi NAD
Penerimaan aparatur terhadap otonomi khusus melalui proses perantara internal yangdipengaruhi oleh target akan menghasilkan efek perubahan sikap aparatur dalam merespon otonomi khusus.
d. R e t e n s i
Retensi menghasilkan efek perubahan perilaku aparatur. Perubahan perilaku dalam pola perencanaan pembangunan dari top down menjadi buttom up hanya terjadi pada pimpinan puncak (Wali Sagoe/Bupati). Perubahan perilaku jugaterjadi dalam hubungan kelembagaan Legislatif-Eksekutif berlangsung didasarkan atas etika politik. Sementara perubahan perilaku yang selaras dengan Syariat Islam masih terkendala karena belum adanya Qanun formil. Perubahan perilaku aparatur pemerintah Sagoe Aceh Utara hanya terjadi dari pimpinan puncak (Wali Sagoe)), sementara di jajaran pejabat pelaksana masih belum dapat memahami komitmen Wali Sagoe dalam arti masih menonjolkan model topdown sehingga apa yang diharapkan masyarakatbelum dapat terwujud secara maksimal. Retensiakan menghasilkan efek perubahan perilakuaparatur yang dimulai dari atas kebawah, artinya perilaku yang baik harus ditunjukkan oleh pemimpin/aparatur kepada masyarakat. Jika pemimpin/aparatur sudah berperilaku sejalan dengan nilai-nilai Syariat Islam maka rakyat akan memiliki kecendrungan mengikutinya.

Pembahasan


Proses Reformasi Struktur Organisasi Pemerintah Kabupaten Aceh Utara
Struktur organisasi perangkat daerah Kabupaten Aceh Utara yang telah dibentuk sebelum sebelum otonomi khusus dalam rangkamenunjang atau mendukung kelancaran pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata danbertanggung jawab dimana daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Djohan (2000:3)yang menyatakan bahwa dalam rangka otonomi daerah, lembaga daerah merupakan salah satu faktor penunjang tercapainya otonomi daerah, sebab kehadirannya dapat memacu percepatan laju perjalanan otonomi daerah .
Struktur organisasi perangkat daerah Kabupaten Aceh Utara disesuaikan dengan kondisi rill daerah (kebutuhan daerah dan masyarakat) terlihat lebih ramping sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi dalam pelaksanaan pemerintahan,pembangunan dan pelayanan publik.
Reformasi struktur organisasi memang diperlukan dalam meningkatkan kenerjaorganisasi, namum yang perlu dihindari adalahkecenderungan terjadinya pemekaran kelembagaan daerah yang kurang efisien dan kurang efektif. Sering terjadi struktur bukan lagimerupakan akomodasi fungsi atau kewenangan, namun lebih merupakan akomodasi terhadapbirokrat, seperti pembentukan Kantor Penyuluhan Pertanian, Peternakan, Perkebunan dan Kehutanan menjadi kurang efisien mengingat telah ada Dinas/Unit Kerja terkait yang membidangi hal tersebut. Robbins (1994:98)mengemukakan bahwa semakin besar organisasimaka kurang pula keefektivan organisasi..
Pembengkakan birokrasi telah terjadi penumpukan pegawai dengan tugas yang tidak jelas sehingga menimbulkan pemborosan dalampengelolaan birokrasi. Sejalan dengan pendapatIslamy (2001:22) bahwa pembengkakan birokrasi,perkembangan tugas-tugas pemerintahan yangbegitu pesat telah menyebabkan pembengkakanbirokrasi yang tidak terencana dengan baik sehingga bisa menjadi penghalang pengembangan akuntabilitas di kalangan aparatur pemerintah, situasi seperti ini juga mengakibatkanpengawasan, pengendalian dan koordinasi sangatsulit dilaksanakan yang pada gilirannyamenimbulkan penumpukan pegawai tanpa tujuanyang jelas, garis pertangung jawaban yang tidakjelas dan sangat sedikit pegawai yang profesional.
Dengan diberlakukan otonomi khusus bagiProvinsi NAD maka struktur organisasi perangkatdaerah diselaraskan dengan semangat otonomi khusus, baik susunan organisasi, tugas dan wewenang serta penamaan pemerintahan/sebutan jabatan mulai dari tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Mukim dan Desa. Terjadinya perubahan ini juga atas dasar kebutuhan daerah dan masyarakat dengan mengangkat kembali nilai-nilai adat dan menerapkan dalam sistem pemerintahan daerah.
Dalam hubungan dengan susunan organisasi pemerintahan di Provinsi NAD telah dihidupkan kembali lima tingkat pemerintahn yaitu Provinsi, Sagoe, Sagoe Cut, Mukim dan Gampong. Di tingkat Sagoe dibentuk Dinas Syariat Islam Sagoe dan di Sekretariat Sagoe Cutdibentuk Seksi Pelaksanaan Syariat Islam dan Pengembangan Adat serta Sub Seksi Pelaksanaan Syariat Islam dan Sub Seksi Pengembangan Adat. Disamping itu juga dihidupkan kembali tingkatpemerintahan Mukim dibawah Sagoe Cut dengan tujuan untuk mempercepat pelaksanaan Syariat Islam dan penembangan adat dalam mengisi otonomi khusus.
Dalam kaitannya dengan sebutan jabatan pemerintah daerah seperti Wali Sagoe/Wali Banda (Bupati/Walikota), Wali Sagoe Cut (Camat), Imum Mukim dan Keuchik, merupakan kekhususan yang diberikan pemerintah pusat kepada Provinsi NAD dan masih diberi peluang untuk menggunakan sebutan lain yang sesuai dengan nilai-nilai adat dan budaya masyarakat/sebutan-sebutan yang berkembang didaerah masing-masing, karena itu memungkinkanadanya perbedaan sebutan antar Kabupaten/Kotadalam Provinsi NAD. Demikian pula dalam penyebutan Perda Kabupaten menjadi Qanun Sagoe dan Peraturan Desa menjadi Qanun Gampong.
Pengakuan kembali Mukim dalam struktur Pemerintahan di bawah Camat (Sagoe Cut) sebagai langkah yang tepat dalam menghargai hak-hak adat masyarakat. Dengan dihidupkan kembali lembaga Mukim menurut peneliti suatu kebijakan yang menyentuh harapan masyarakat Aceh karena secara de facto eksistensi lembaga Mukim masih sangat dibutuhkan oleh masyarakatbaik dalam mengkoordinir urusan PemerintahanGampong, pengaturan Adat Istiadat maupun dalam mengadili dan menyelesaikan perkara perdata dan pidana yang tidak mampu diselesaikan oleh Keuchik. Lembaga Mukim ini sebenarnya telah terbentuk pada masa KesultananIskandar Muda (1607-1636) meskipun pada mulanya lebih bercirikan azas Islam yang menunjukkan suatu komunitas berdasarkan kepada kepentingan menjalankan ibadah shalat Jum’at. Pada tahap berikutnya lebih berperan sebagai lembaga koordinasi atas beberapa Gampong. Kedudukan lembaga ini selama masaKesultanan adalah perantara antara Ulee Balang dengan Gampong, keadaan serupa berlangsung sejak awal kemerdekaan sampai Tahun 1979. Apabila pada masa pra kemerdekaan Mukim merupakan lembaga dibawah Ulee Balang maka pada masa kemerdekaan berada dibawah Camat dengan status dan peran Imum Mukim begitu jelas sebagai koordinator Gampong-gampong yang ada dalam wilayah kekuasaannya.


Perubahan besar terjadi pada Tahun 1979dengan lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa. Pemerintah ProvinsiDaerah Istimewa Aceh mengkonversi 5.463 Gampong menjadi Desa di 591 Mukim yang pada masa sebelumnya merupakan kesatuan dari Gampong menjadi tidak jelas statusnya dalam struktur pemerintahan. Keadaan ini menjadi Lembaga Mukim dalam suatu delema yang dihadapkan pada dua pilihan yang sangat menyulitkan. Disatu pihak (secara yuridis) lembaga tersebut sudah dihilangkan namun dipihak lain (realitas masyarakat) eksistensinya masih terus dibutuhkan.
Sebagaimana dikemukan di atas bahwa eksistensi Lembaga Mukim dalam masyarakat Aceh dewasa ini sangat dibutuhkan bahkan kebutuhan terasa semakin solid seiring denganperkembangan masyarakat. Lembaga Mukim yangdinilai konvensional ini terasa terasa begitu berharga bagi mereka karena saat orang sibukdengan lembaga peradilan modern yang kadangkadang belum pasti menjanjikan rasa keadilan justru Lembaga Mukim eksis ditengah-tengah masyarakat sebagai tempat bermufakat, bermusyawarah dalam menyelesaikan segala permasalahan kemasyarakatan. Dengan UU Nomor 18 Tahun 2001 dan aturan pelaksananyayang diatur dalam Qanun Provinsi NAD maka tugas Mukim ditingkatkan fungsinya yang meliputi: Penyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan Syariat Islam.
Perubahan susunan organisasi perangkatdaerah sesuai dengan semangat otonomi khusus,baik penambahan dinas Syariat Islam Sagoe maupun penambahan tingkat pemerintahan Mukim di bawah Sagoe Cut maka organisasi pemerintah daerah menjadi lebih besar dan memerlukan lebih banyak kontrol sehingga kompleksitas vertikal menjadi tinggi. Demikian pula penambahan seksi pelaksanaan Syariat Islam dan Pengembangan Adat di Sekretariat Sagoe Cut menunjukkan lebih banyak kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan maupun spesialisasi perannya, karena itu kompleksitas horizontal menjadi tinggi.
a. Kompleksitas
Kompleksitas mempengaruhi efektivitas organisasi, dengan demikian perlunya keterampilan dan sistem kerja tertentu agardiperoleh keluaran-keluaran dari suatu organisasimaka diperlukan adanya spesialisasi dalam arti diperlukan berbagai macam ketrampilan maupun penambahan pengetahuan yang berkaitan dengan peran aparatur dalam organisasi pemerintah Sagoe Aceh Utara. Robbins (1994 : 67) menyatakan bahwa semakin banyak pekerjaan yang dilakukan maka dengan sendirinya juga memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus maka berarti semakin kompleks organisasitersebut. Dengan demikian semakin banyak tugas yang dilaksanakan dan dalam pelaksanaannyamenggunakan sistem kerja yang ada serta diikutidengan peningkatan pengetahuan dan ketrampilanterhadap tugas yang akan dilaksanakan maka akan memberi konstribusi yang lebih besar terhadap efektivitas oganisasi. Demikian pula pendapattentang adanya peningkatan volume kerja yangbertambah besar dan komplek baik di Sekretariatmaupun di Dinas dan Lembaga Teknis Daerah(Badan dan Kantor) selama otonomi khusus maka aparatur dituntut memiliki inisiatif, kreativitas dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggungjawabnya.
Diikutsertakan aparatur dalam pendidikandan pelatihan merupakan salah satu upaya untukmemberdayakan aparatur dan secara spesifik diharapkan adanya peningkatan kualitas, profesionalisme, budaya kerja, mentalitas dan disiplin aparatur dalam melaksanakan tugasnya. Kewenangan untuk memberdayakan aparatur terutama melalui Pendidikan dan Pelatihan sangatterbatas, sedangkan kewenangan yang sifatnya mempercepat proses pemberdayaan aparatur justru masih berada pada Pemerintah Pusat danProvinsi NAD.
Bila pernyataan tersebut di atas dihubungkan dengan kedudukan pemerintah Sagoe Aceh Utara terutama dalam aspek pemberdayaan aparatur maka terlihat bahwa apapun yang dilakukan tersebut masih jauh darikonsep otonomi. Kewenangan menyelenggarakan Pendidikan dan Pelatihan aparatur yang ada sangat tersentralisasi pada pemerintah pusat dan Penerintah Provinsi NAD, kecuali Diklatpim IV yang menjadi kewenanganSagoe untuk menyelenggarakannya. Padahal inisangat penting untuk mempercepat pencapaiankualitas Sumber daya di daerah yang selama ini menghadapi masalah. Sebagaimanadikemukakkan Heady dan Willis dalam Sutrisno (2002:2) bahwa masalah utama sumber daya manusia birokrasi pemerintah di era otonomi daerah ini adalah kekurang sumberdaya yangberkualitas, baik dari kepemimpinan, manajemenmaupun kemampuan tekknis yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan.
Pernyataan terbatasnya dana dalam penyelengggaraan Pendidikan dan Pelatihan Penjenjangan dan pendidikan formal merupakan sangat ironis disaat Provinsi NAD diberikan otonomi khusus. Pada hal dana pendidikan yangdiperoleh dari penerimaan otonomi khusus sebesar Rp.700 milyar pertahun dapatdimanfaatkan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia di Provinsi NAD, baik untuk masyarakat maupun aparatur. Adanya tingkatdeferensiasi horizontal yang merujuk pada tingkatdeferensiasi unit-unit berdasarkan orientasi para anggotanya, sifat dan tugas yang mereka laksanakan dan tingkat pendidikan dan pelatihannya dapat dikatakan bahwa semakin banyak jenis pekerjaan yang ada dalam organisasiyang membutuhkan ketrampilan yang istimewa, semakin kompleks pula organisasi tersebut (Robbins,1994:67)

Orientasi yang berbeda akan menyulitkan para anggota organisasi untuk berkomunikasi serta lebih sukar bagi manajemen untuk mengkoordinasikan kegiatan mereka. Misalnya jika organisasi menciptakan kelompok khusus atau memperluas tujuan Dinas yang ada maka akan mendeferensiasikan kelompok yang satudari yang lain, sehingga interaksi antar kelompokmakin kompleks. Jika organisasi diisi orang yang mempunyai latar belakang, ketrampilan dan pelatihan yang sama maka kemungkinan besar akan melihat permasalahan yang ada dengan carapandang yang sama. Karena itu ada kaitan erat antara tingkat kompleksitas dengan efektivitas organisasi.
Menurut Sutrisno (2002:8-9) dalam kontek pembangunan daerah dewasa ini peningkatan kualitas sumberdaya aparatur melalui jenjang pendidikan seharusnya diorientasikan pada human centered developmen, yakni sebuah paradigma pembangunan sumberdaya manusia yang menjangkau dimensi lebih luas dari sekedar membentuk manusia profesional dan trampil yang sesuai dengan kebutuhan sistem tidak dapat memberikan konstribusinya di dalam proses pembangunan. Pengembangan sumbedayaaparatur melalui jenjang pendidikan umum, diklatteknis dan fungsional serta Diklatpim harus mampu membentuk manusia yang mempunyaikemampuan kritis untuk melihat kendala sosial,ekonomi, politik, kultural dan sebagainya dari sistem yang ada dan mendorong alternatif- alternatif pemecahannya. Mereka akan melakukan valuative discord dengan dirinya dan dialogical encounter dengan sesamanya dalam proses transformasi sosial.
Jenis-jenis pendidikan dan pelatihan yangdilakukan untuk meningkatkan pengetahuan serta kemapuan berpikir otomatis akan berpengaruhterhadap perubahan perilaku dalam melaksanakanbebagai urusan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik. Terselenggaranyapelaksananaan pendidikan dan pelatihan aparatur tidak terlepas dari kondisi yang kondusif pemerintah daerah sendiri seperti keinginan dari para policy maker pemerintah daerah untuk menaruh perhatian yang besar terhadap perlunyasumber daya aparatur dengan memberikan kesempatan untuk mengikuti berbagai pendidikan dan pelatihan dan menyediakan anggaran Diklatsetiap tahun dalam APBD. Keinginan para aparatur untuk mengembangkan diri dan adanyapemahaman dari berbagai pihak bahwa kemampuan, kualitas, profesionalisme, budayakerja, inovasi, kreativitas, mentalitas dan disiplin aparatur akan dapat diperoleh dan meningkat apabila dilakukan melalui berbagai jenis pendidikan dan pelatihan.


b. Formalisasi
Tingkat fomalisasi pada organisasipemerintah Kabupaten Aceh Utara tercermin dari pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh aparatur di jajarannya. Seperti yang terungkap dalam hasil wawancarapeneliti bahwa pada umumnya tugas-tugasaparatur dijalankan atas dasar standarisasi, baikdalam buku manual, uraian pekerjaan maupun aturan-aturan dan prosedur. Jika sebuah pekerjaan sangat diformalisasikan maka pemegang pekerjaan itu hanya mempunyai sedikitkebebasan mengenai apa yang harus dikerjakan, bilamana mengerjakkannya dan bagaimana ia harus mengerjakannya Jika formalisasi rendah perilaku pegawai relatif tidak terprogram. Makin besar standarisasi makin sedikit pulajumlah masukan bagaimana suatu pekerjaan harusdilakukan oleh seorang pegawai. Standarisasi ini bukan saja melenyapkan kemungkinan para pegawai untuk berperilaku secara lain tetapi juga menghilangkan kebutuhan bagi pegawai untukmempertimbangkan alternatif (Robbins,1994:103)
Keadaan seperti tersebut di atas terkait dengan pendapat Thoha (1990:v) yang menyatakan bahwa pendekatan birokrasi yang hanya menekankan pada segi formalitas dan mengabaikan segi kemanusiaan membuat administrasi negara sebagai alat yang mekanis, kaku (rigidity) dan tidak inovatif. Karena itu pandangan aparatur Pemerintah Kabupaten Aceh Utara yang mengemukan tidak selamanya mempertimbangkan aspek formalitas disebabkan mereka lebih mementingkan substansi tugas-tugas mereka yang bersifat kompleks merupakan suatuperubahan kebiasaan aparatur yang cenderung terikat dengan formalisasi yang sudah dibakukan seperti buku manual, uraian pekerjaan dan prosedur-prosedur yang justru membuat aparatur kurang memiliki inisiatif dan kreativitas dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya kepada masyarakat.
Dengan demikian terlihat bahwa pada umumnya adalah benar pekerjaan yang sederhanadan berulang-ulang lebih cocok dengan tingkatformalisasi tinggi, tetapi makin besar profesionalisme sebuah pekerjaan maka makin kecil kemungkinan pekerjaan itu diformalisaikandengan tinggi. Formalisasi berbeda bukan hanyadalam hal pekerjaan itu tidak terampil (unskilled) atau profesional tetapi juga dalam tingkatan organisasi dan departemen fungsional. Pegawaipada tingkat lebih tinggi dalam organisasi makinbanyak terlibat dalam aktivitas yang kurang diulang maka dibutuhkan ketrampilan dan pemecahan yang unik, seperti tugas-tugas yang dilakukan Kepala Dinas dan Lembaga Teknis Daerah (Badan dan Kantor) tingkat formalisasinya rendah, apalagi di era otonomi daerah mereka dituntut memiliki kreativitas dan inisiatif dalam pelaksanaan tugasnya. Robbins (1994:112) menyatakan bahwa peraturan, prosedur, dan aturan yang mengatur pekerjaanseseorang ditetapkan secara rinci, dikodifikasi dan dilaksanakan melalui pengawasan merupakan ciriformalisasi yang diperuntukkan bagi pekerja yangtidak terampil.


Apapun petimbangannya, pelanggaran terhadap aturan dan prosedur selalu dartikan sebagai pelanggaran, oleh karena itu sebagian aparatur birokrasi pemerintah Sagoe Aceh Utara lebih memiliki kecenderungan menghindari pelanggaran terhadap aturan dan prosedur, kendati aturan dan prosedur itu tidak lagi memihak kepada kepentingan publik. Akhirnyaaparatur mengabaikan perwujudan misi birokrasi hanya untuk mematuhi prosedur yang mestinyatidak boleh terjadi dalam kehidupan birokrasi publik. Bertindak hanya atas dasar juklak/juknis seringkali menyebabkan aparatur menjadi lambandalam merespon perubahan dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, padahal aparatur dituntut untuk bekerja dengan cepat dalam mengantisipasi dinamika masyarakat. Diskresi masih dianggap sebagai bentuk pelanggaran prosedur dan aturan. Tindakan yang dilakukan diluar juklak/juknis, tetapi berada pada visi dan misi pelayanan masih belum berlaku sepenuhnyadikalangan aparatur birokrasi pemerintah Sagoe Aceh Utara, akibatnya aparatur lebih memilih menolak memberikan pelayanan kepada masyarakat jika menemui kesulitan. Dalam hal ini Dwiyanto (2002:16) menyatakan bahwa orientasi pada aturan dan prosedur harus ditanggalkan dan orientasinya pada hasil. Kepadapara pejabat birokrasi yang langsung behadapan dengan pengguna jasa perlu diberikan discretionary power yang memadai untuk mengkritisi peraturan dan prosedur yang dinilainya tidak lagi menguntungkan bagimasyarakat. Prosedur yang sudah tidak relevanboleh saja dengan pertimbangan dan kriteria tertentu dilanggar dan diganti dengan cara-carabaru yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Selanjutnya Dwiyanto menambahkan bahwa kepatuhan terhadapperaturan yang berlebihan ini sering menghambat kreativitas dan inovasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Kondisi seperti di atas masih ditemui dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintah Sagoe Aceh Utara, misal dalam pelaksanaan program pembangunan gampong telihat tingkat fomalisasi yang tinggi terungkap dalam wawancara peneliti dengan para pihak yangterlibat program tersebut, baik aparatur di tingkatKabupaen, Kecamatan, Mukim dan dalam Gampong yang pada prinsinya mereka menjalankan program itu sesuai dengan buku panduan (buku manual) dan uraian pekerjaanyang telah ditetapkan Bupati bersama Bappeda dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Demikian pula dalam pelaksanaan tugas-tugas rutin di jajaran Dinas dan Lembaga Teknis Daerah (Badan dan Kantor) mencerminkan hal yang sama. Prosedur yang ditetapkan itu untukmemastikan terjadinya standarisasi proses kerja sesuai dengan uraian pekerjaan masing-masing dan adanya keseragaman untuk mengatur perilaku aparatur pelaksana. Standarisasi pekerjaan melalui buku manual, uraian pekerjaan dan tingkat kepatuhan aparatur terhadap aturan sebagai cerminan formalisasi ternyata ditanggapi oleh sebagian kecil aparatur dengan tingkatkepatuhan yang sangat tergantung pada keadaandan masalah yang dihadapi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa formalisasi bukanlah peletakan aturan yang permanen karena keadaanyang menentukan tingkat formalisasi yang cocok dapat berubah.
Glouder dalam Paramita (1985:38) menyatakan bahwa jika terlalu memberatkan aturan-aturan dapat menimbulkan kerugian yangserius, seperti kekakuan yang akan mengurangi keluwesan dan kemampuan menyesuaikan diriorganisasi itu pada keadaan berubah dan dengan demikian akan mengurangi kemampuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Demikan pula meskipun dalam kondisi yang mantap danrutin, terlalu banyak aturan dapat merintangi prestasi. Karena itu dapat dikatakan bahwa ketaatan sepenuhnya pada semua aturan disetiapwaktu mungkin sekali tidak bermanfaat bagi organisasi.
c. Sentralisasi
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa sentralisasi menunjukkan pembagian kekuasaan menurut tingkatan (hirarkhi) dalam organisasi. Sebagaimanadikatakan Robbin (1994:102) bahwa sentralisasimenyangkut kekuasaan dalam pengambilan keputusan suatu organisasi.
Dilihat dari letak letak pengambilan keputusan dan hirarkhi struktur maka dapat dibedakan antara keputusan-keputusan yang dilakukan di tingkat hirarkhi teratas dan keputusan-keputusan yang dilakukan ditingkat hirarkhi lebih rendah, pengambilan keputusan pada tingkat hirarkhi terbawah disebut desentralisasi. Otonomi khusus merupakan desentralisasi politik (devolusi) untuk mengambil keputusan-keputusan politik dan administrasi serta kontrol tehadap sumber-sumber daya kepadaProvinsi dan kabupaten/kota dalam Provinsi NAD. Hal ini sejalan dengan pendapat Pide (1997:37) yang menyatakan bahwa devolusi disebut desentralisasi politik (political decentralization) karena yang didesentralisasikan adalah wewenang mengambil keputusan politik dan administrasi.
Kuchan dalam Abdul Wahab (1994:10) mengemukakan organisasi yang tersentralisasi memiliki kelebihan dan sekaligus kelemahan.

Kelebihannya antara lain dimilikinya peluang yang bagus untuk mencapai dan mempertahankankonsentrasi sumber-sumber, cepat dan konsistendalam pengambilan keputusan, bewawasan luas,memudahkan klien yang ingin memperoleh pelayanan. Sedangkan kelemahannya antara lainsaluran-saluran dan fasilitas-fasilitas komunikasi seringkali sarat beban dan tumpang tindih. Akibatnya sering menimbulkan tersendatnya implementasi kebijakan atau rusaknya sebagian atau seluruh sistem itu sendiri. Berdasarkan kelemahan yang melekat pada organisasi yangsentralistis tersebut maka banyak pakar strategi organisasi semisal Henry Minberg yang menyukaibentuk struktur yang terdesentralisasi. Alasannyaadalah segala keputusan tidak apat dipahami pada satu pusat, dengan demikian maka perlu desentralisasi sehingga memungkinkan organisasimenanggapi lebih luas
Pemerintah Sagoe Aceh Utara, disamping memperoleh desentralisasi kewenangan yang luas berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 juga memiliki kewenangan pelaksanaan otonomi khusus dari Pemerintah Provinsi NAD berdasarkan Qanun. Qanun tentang Kewenangan Sagoe / Banda dan Qanun-qanun lainnya dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus idealnya sudah dibentuk secara bertahappaling lambat setahun setelah disahkan UU Nomor 18 Tahun 2001. Keterlambatan pengesahan Qanun Provinsi NAD lebih disebabkan belum optimalnya tugas DPRD dalammembentuk Qanun-qanun yang menjadi perioritas dalam pelaksanaan otonomi khusus. Dengan demikian suatu hal yang wajar jika dinilai oleh seorang pejabat Sagoe Aceh Utara bahwa dengan otonomi khusus yang diharapkan dapatmembawa perubahan yang mendasar bagi kesejahteraan rakyat ternyata belum dapat diwujudkan secara optimal.
Dalam menjalankan tugas dan kewenangantersebut, Wali Sagoe Aceh Utara dibantu oleh perangkat daerah. Dalam pengambilan keputusan strategis, Wali Sagoe mengikutsertakan pimpinanDinas dan Lembaga Teknis Daerah Sagoe (Badan dan Kantor) serta Pimpinan Unit Kerja lainnya dijajarannya, meskipun keputusan akhir berada di tangan Wali Sagoe selaku pimpinan daerah. Sedangkan menyangkut keputusan-keputusan taktis didelegasikan kepada pimpinan Unit Kerja termasuk tanggung jawab, hal ini dimaksudkanuntuk meningkatkan efektivitas pengambilan keputusan di tingkat bawah. Sejalan dengan pendapat Hage dan Aiken (dalam Paramita, 1985:32) yang menyatakan bahwa sentralisasi keputusan-keputusan strategis yang menambah perubahan program dan mengakibatkan produktivitas yang lebih besar. Tingginya sentralisasi keputusan-keputusan strategismenyumbang pada tingginya tingkat efektivitas dan produktivitas. Sedangkan untuk pekerjaan rutin adanya sentralisasi tinggi mengenai keputusan-keputusan taktis akan membuat efektivitas dan produktivitas yang lebih tinggi.
Sentralisasi sebagaimana dijelaskan di atas merujuk pada tingkat dimana pengambilan keputusan dikonsentrasikan pada suatu titik tunggal di dalam organisasi. Konsentrasi yangtinggi adanya sentralisasi yang tinggi, sedangkan konsentrasi yang rendah menunjukkan sentralisas yang rendah atau disebut desentralisasi. Jadi sentralisasi yang dimaksudkan adalah sebagai jenjang kepada siapa kekuasaan formal untuk membuat pilihan-pilihan secara leluasa dikonsentrasikan pada seorang individu, unit atautingkatan dalam organisasi dan mengijinkan para aparatur tingkat rendah untuk mengambil keputusan dilingkungan unit organisasi yang dipimpinnya.
Diikutsertakan pimpinan terkait dalam pengambilan keputusan strategis dijajaran pemerintah Sagoe Aceh Utara, berarti memberi kesempatan untuk menyampaikan informasi yangmenjadi dasar pengambilan keputusan. Informasi ini tentunya telah disaring terlebih dahulu yang berarti pimpinan unit organisasi yang ada di jajaran pemerintah Sagoe Aceh Utara telah diberi wewenang untuk membuat pertimbanganpertimbangan dan interpretasi mengenai informasiyang harus diteruskan melalui penyaringan danmeneruskan informasi yang mereka inginkan agar diketahui dan menjadi bahan pertimbangan Bupati dalam mengambil keputusan strategik.
Di distribusikannya pengambilan keputusan taktis kepada Dinas dan Lembaga Teknis Derah (Badan dan Kantor) dijajaran pemerintah Sagoe Aceh Utara, memungkinkan organisasi dapat menanggapi atau merespon secara lebih cepat aspirasi-aspirasi yang berkembang dilingkungan unit organisasi yangbersangkutan dan juga akan menambah motivasi pimpinan unit organisasi karena diberikan kesempatan untuk turut serta dalam pengambilankeputusan. Dengan tingginya tingkat pelimpahanwewenang dari Wali Sagoe Aceh Utara kepadaPerangkat Daerah dijajarannya mencerminkan bahwa mereka diikutsertkan dalam pengambilankeputusan strategis dan diberikan kesempatan untuk mengambil keputusan-keputusan taktis sekaligus tanggung jawab masing-masingpimpinan unit organisasi perangkat daerah.


Perubahan Sikap dan Perilaku Aparatur Pemerintah Kabupaten Aceh Utara Dalam Menyikapi Otonomi Khusus
Efek suatu pesan tertentu berupa perubahan sikap akan tergantung sejauh mana pesan itu diperhatikan, dipahami, diterima dan retensi atau pengendapan isi yang telah disetujui.Dengan demikian dalam proses perubahan sikapmenimbulkan langkah-langkah atensi, pemahaman, penerimaan dan retensi. Masingmasing langkah tersebut dipandang sebagai suatukemungkinan adanya perubahan sikap.


a. A t e n s i
Adanya perhatian yang besar dari Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam menyikapi otonomi khusus ternyata belum dapat membawa perubahan yangmaksimal terhadap kesejahteraan masyarakat bilaPemerintah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi NAD sebagai motor pengerak otonomi khusus belum menyiapkanaturan pelaksana yang jelas dalam bentuk Qanun sebagai pelaksana UU Nomor 18 Tahun 2001Tentang Otonomi Khusus.
Sikap arogansi Pemerintah Provinsi NAD yang menonjolkan kekuasaan dan tidak transparan terhadap Sagoe/Banda seperti dalam penyaluran dana yang bersumber dari migas sebagai penerimaan otonomi khusus yang menjadi hak Kabupaten/Kota mestinyadihilangkan dan diganti dengan sikap yang ramahdan penuh perhatian terhadap kebutuhan Sagoe/Banda. Wasistiono (2000:19) mengemukakan hubungan kelembagaan mestinyaberlangsung dalam kerangka siapa, mengerjakan apa dan bagaimana caranya.
Perhatian yang ditunjukkan aparatur di Jajaran Dinas dan Lembaga Teknis Daerah dalam menyikapi otonomi khusus yang belum optimaldapatlah dipahami dalam kontek proses pembelajaran. Untuk pengubahan sikap aparatur di jajaran pemerintah Sagoe Aceh Utara, perhatian Wali Sagoe dipusatkan pada cara bagaimana yang harus ditempuh agar masingmasing langkah dalam proses persuasi itu terjadi dalam diri subyek yang hendak diubah sikapnya.Apabila dikembalikan kepada pendapat Hovland dalam Azwar (2002:63) maka tentulah perhatian tersebut harus diarahkan pada faktor sumber, pesan maupun faktor subyek penerima. Ketika individu (aparatur) dihadapkan pada pesan makamemikirkan pesan itu, memikirkan argumen apa yang terkandung didalamnya dan argumen apayang tidak. Pemikiran (elaboration) inilah yang membawa kepada penerimaan atau penolakan pesan yang disampaikan dan bukan pesan itu sendiri.
Suatu pesan persuasif yang isinya kompleks akan lebih mudah diperhatikan dan dipahami apabila apabila disampaikan melaluimedia cetak dari pada media audiovisual. Namun demikian apabila pemahaman telah terjadi makaaudiovisual lebih efektif dari pada media cetakguna mencapai proses penerimaan dan retensi (Chaikan et.al, dalam Azwar,2002:72) Perhatian Wali Sagoe terhadap aspek-aspek yang telah diuraikan di atas akan berdampak pada perubahankeyakinan paratur dalam menyikapi otonomi khusus. b.Pemahaman
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa pemahaman secara komprehensif terhadap otonomi khusus baru terjadi pada tingkat pimpinan menengah ke atas, ini bukan berarti sikap aparatur tingkat bawah menolak obyek sikap namun tingkat penamahaman mereka masih sangat terbatas. Karena itu diperlukan pemantapan sosialisasi secara intensif makna otonomi khusus sehingga akan memahami obyek sikap secara lebih mendalam yang akhirnya akan menghasilkan efek perubahan sikap yang diinginkan melaui komunikasi yang efektif. Midddlebrook dalam Azwar (2002;77) mengemukakan bahwa pada dasarnya komunikasi akan lebih efektif apabila disampaikan secara berhadapan (face-to-face). Teknik komunikasi yang efektif adalah dapat mengemukakan kesimpulan komunikasi secara eksplisit kepada subyek yang sikapnya hendakdiubah dan dengan mengulang-ulang (repitition and familiary) argumen yang mendukung sikap yang dituju. Hal ini didukung oleh pendapatCacioppo dan Petty dalam Azwar (2002:78) yang menyatakan bahwa pengulangan pesan akan menaikkan perubahan sikap.
Efektivitas penyampaian pesan yang bertujuan untuk pengubahan sikap akan sangat tergantung pada kredibilitas, daya tarik dan kekuatan pimpinan. Kredibilitas pimpinan dapat berupa keahlian dan kepercayaan. Rendahnya kredibilitas pimpinan akan mempengaruhi efek perubahan sikap bawahan yang rendah. Rendahnya perubahan sikap karena penolakanbawahan terhadap persuasi yang bersumber dari pimpinan yang kurang mendapat kepercayaan dankurang disukai. Pimpinan yang tidak disukai oleh bawahan akan menghasilkan efek perubahan sikap ke arah yang berlawanan dengan yang dikehendaki. Azwar (2002:83) mengemukan perubahan sikap akan mudah terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan (disonansi) kognitif diantara komponen sikap dalam diri individu,oleh karenanya strategi persuasi merupakan usaha menimbulkan disonansi dalam diri individu akan mudah menimbulkan perubahan sikap ke arah yang dikehendaki. Disamping itu bawahan yang menerima pesan juga dipengaruhi oleh pengetahuannya, bawahan yang memiliki pengetahuan yang luas akan lebih mudah menginterpretasikan ide atau pesan yang diterimanya. Sebaliknya pengetahuan bawahan yang kurang luas sangat memungkinkan pesan yang diterimanya menjadi kurang jelas atau kurang dapat dimengerti seperti yang telah diungkapkan dalam hasil penelitian yang menunjukkan masih rendahnya pemahahan otonomi khusus dikalangan aparatur yang beradapada tingkat bawah.
c. Penerimaan
Respon dalam bentuk penerimaan terhadapotonomi khusus tercermin dari sikap positif aparatur. Penerimaan merupakan prosesperantara internal dari target yang menghasilkan efek perubahan sikap. Sikap mempunyai dua arah yaitu mndukung (positif) dan tidak mendukung(negatif). Dalam hal ini aparatur pemerintah Sagoe Aceh Utara memiliki arah sikap yangpositif dalam bentuk mendukung otonomi khususjika adanya kejelasan kewenangan dan hak-hak antara Provinsi dengan Sagoe/Banda. Jika hal ini belum diatur secara jelas akan memiliki kecenderungan merespon terhadap obyek sikap pada arah yang negatif seperti dalam contoh alokasi dana pendidikan untuk Sagoe/Banda yang masih banyak campur tangan Pemerintah Provinsi NAD dan minimnya bantuan langsungdalam bentuk cash (block grand).

Demikian pula penerapan perilaku yang selaras dengan Syariat Islam di jajaranpemerintahan disambut baik, namun perlu diatur dalam sebuah sistem yang jelas dan tegas yangdapat dijadikan acuan dalam penerapannya.Syariat Islam telah mengakar dalam kehidupanmasyarakat di Aceh dan bahkan itu adalah way of life yang diyakini, namun hanya sebatas pengalaman yang bersifat ritual. Perbedaannya sekarang adalah syariat itu telah memiliki kekuatan hukum (low of power) dalam sebuah UU yang dijabarkan dalam Qanun. Penerimaan aparatur terhadap otonomi khusus menunjukkan adanya perubahan sikap aparatur dalam menyikapi otonomi khusus.


d. Retensi
Ada dua komitmen yang telah menjadi retensi Pemerintah Sagoe Aceh Utara dalam menyikapi otonomi khusus yaitu pertama perubahan pola perencanaan dari top down majadi buttom up dan kedua perubahan perilaku aparatur yang selaras dengan Syariat Islam. Munculnyakomitmen perubahan pola perencanaan dari topdown menjadi buttom up karena ingin mendobrak tradisi lama yang tidak menguntungkan denganmemberi kewenangan yang seluas-luasnya kepadaGampong untuk memberdayakan diri seperti dalam Program Pembangunan Gampong (PPG). Dalam program pembangunan gampong sebagianbesar yang terlibat dalam organisasi pengelolaandan pelaksanaan berada di tingkat gampong dan Mukim. Untuk tingkat gampong dibentuk Tim Pelaksana Kegiatan Gampong (TPKG) yang bertugas menyusun rencana pembangunan dan Daftar Usulan Rencana Pembangunan Gampong (DURPGA) yang dipandu oleh Tenaga PemanduKemukiman (TPK) dan mendata seta menindaklanjuti pengaduan masyarakat dengan bantuan Tim Pembina Pembangunan Gampong (TP2G). Ditingkat Kecamatan dibentuk Tim Koordinasi Pembangunan Gampong (TKPG), sedangkan di tingkat Kabupaten dibentuk Tim Pembina dan Pengendalian Program Pembangunan Gampong (TP4G).
Dari tanggapan Tokoh Masyarakat, Akademisi dan Anggota DPRD di Sagoe Aceh Utara meunjukkan bahwa perubahan perilaku berkaitan dengan komitmen diatas baru terjadi pada pimpinan puncak (Wali Sagoe) dan belumdiikuti oleh aparatur ditingkat bawah. Hal ini tercermin dari masih banyaknya keluhan dan kritik yang ditujukan terhadap komitmen tersebutkerena kenyataannya Program Pembangunan Gampong masih terkesan top down. Kenyataanini menunjukkan tidak adanya konsistensi antarakomitmen dengan tindakan aparatur yang berada dibawahnya. Menurut Sax dalam Azwar (2002:87) bahwa untuk dapat konsisten, sikap harus dapat bertahan dari diri individu untuk waktu yang relatif panjang.
Komitmen Wali Sagoe yang mengharapkan adanya perubahan perilakuaparatur yang selaras dengan Syariat Islam yangsaat ini sedang disosialisasikan masih terkendalakarena belum adanya Qanun formil yang mengatur tentang hal tersebut meskipun Wali Sagoe telah mempunyai komitmen memerangi semua bentuk kemaksiatan terutama yang dilakukan oleh para pejabat atau kalangan elit seperti korupsi, Kolusi dan nepotisme. Masyarakat tidak membutuhkan simbolisasi seperti yang sedang terjadi sekarang ini. Ada kesan bahwa penerapan Syariat Islam di Provinsi NAD dan khususnya di Sagoe Aceh Utara selama ini tidak menjurus kepada substansinya yang idealtetapi hanya bersifat simbol dan instruksi pemerintah daerah agar setiap Kantor atau Instansi Pemerintahan/Swasta memasang papan nama yang bertulisan Arab-Melayu (huruf Jawi). Pemberlakuan syariat islam di Kabupaten AcehUtara baru ditandai dengan penerapan kewajibanmengenakan jilbab, baik Pegawai Negeri Sipil, Karyawan Swasta, Aparat Kepolisian, Masyarakat dan Mahasiswa/Pelajar.
Islam memberi tuntunan kepada setiap muslim agar dalam bekerja dibidang apapun haruslah mempunyai sikap dan perilaku yang profesional. Widjajakusuma dan Yusanto (2000:157) mengemukakan sikap profesionalisme dalam pandangan islam dicirikan oleh tiga hal yakni : (1) Kafa’ah yaitu adanya keahlian dan kecakapan dalam bidang pekerjaan yang dilakukan, (2) Himmatul a’mal yakni memiliki semangat atau etos kerja yang tinggi (3) Amanah yakni terpercaya dan bertanggung jawab dalammenjalankan berbagai tugas dan kewajibannya serta tidak berkhianat terhadap jabatan yang didudukinya. Untuk mewujudkan pekerja muslim yang memiliki sikap dan perilaku yangprofesional Islam telah memberi tuntunan yang sangat jelas. Kafa’ah atau keahlian dan kecakapan diperoleh melaui pendidikan, pelatihan dan pengalaman. Himatu al-amal atau etos kerja yang tinggi diraih dengan jalan menjadikan motivasi ibadah sebagai pendorong utama disamping motivasi penghargaan (reward) dan hukuman (punishment) serta perolehan material. Amanah atau sifat terpercaya dan bertanggung jawab diperoleh dengan menjadikan tauhid sebagai unsur pendorong dan pengontrol utamaperilaku.


KESIMPULAN DAN SARAN Sagoe/Banda merupakan daerah otonom yangmemiliki otonomi. Tingkat formalisasi pada Kesimpulan organisasi Pemerintah Sagoe Aceh Utara
a. Reformasi struktur organisasi pemerintah masih tergolong tinggi dalam arti pelaksanaanSagoe Aceh Utara dilakukan melalui proses tugas-tugas aparatur didasarkan pada manual, dari bawah (buttom up). Masing-masing uraian pekerjaan dan prosedur. tingkat pemerintahan mulai dari Gampong, e. Sentralisasi tercermin dari keikutsertaan Mukim, Kecamatan dan Dinas/Lembaga aparatur dalam pengambilan keputusan dan Teknis Daerah diberi kesempatan untuk pendistribusian wewenang dan tanggung mengusulkan struktur yang sesuai denganjawab. Kewenangan antara Provinsi dan kebutuhan dan didasarkan pada budaya lokal.. Sagoe/Banda belum diatur secara tegas, hal ini
b. Terjadi perubahan sebutan organisasi, jabatantelah berdampak pada perbedaan persepsi dan sebutan lainnya yang meliputi sebutan menyangkut kewenangan masing-masing.Kabupaten manjadi Sagoe, Bupati menjadi Adanya keikutsertaan para Kepala Dinas danWali Sagoe, Kecamatan menjadi Sagoe Cut, Lembaga Teknis Sagoe dalam pengambilan Camat menjadi Wali Sagoe Cut, Pengakuan keputusan berikut diberikan tanggung jawab. kembali tingkat Pemerintahn Mukim dibawah Hal yang sama juga terjadi di jajaran aparaturSagoe Cut, perubahan sebutan Desa menjadi Dinas dan Lembaga Teknis Sagoe dan Gampong dan Kepala Desa menjadi Keuchik, bedanya adalah dalam pengambilan keputusanLMD menjadi Tuha Peuet Peraturan Daerah teknis harus bertindak sesuai dengan instruksi menjadi Qanun Sagoe, Peraturan Desa atasan, hal ini telah berdampak pada kebiasaan menjadi Qanun Gampong serta Penulisan aparatur tingkat bawah untuk selalu mohon Papan nama Kantor/Lembaga dalam bahasapetunjuk atasan dalam setiap pengambilan Arab-Melayu (huruf Jawi). keputusan.
c. Pembentukan Dinas Syariat Islam Sagoe,f. Atensi yang besar dari Pemerintah Sagoe dan Penambahan Seksi Pelaksanaan Syariat Islam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sagoedan Pengembangan Adat, Sub Seksi Aceh Utara mencerminkan adanya perubahan Pelaksanaan Syariat Islam dan Sub Seksi keyakinan dalam menyikapi otonomi khusus. Pengembangan Adat di Sekretariat Sagoe Cut. Atensi yang besar ini belum didukung denganPada tingkat Mukim dibentuk kelengkapan aturan pelaksana berupa Qanun. Pemerintah Mukim yang terdiri dari Sekretaris Mukim, Provinsi dan Dewan Perwakilan RakyatMajelis Musyawarah Mukim, Rapat Adat Daerah Provinsi NAD sampai saat ini belum Mukim, Imum Chik, Keujruen Chik atau mengesahkan Rancangan Qanun yang Peutua Chik dan Panglima Laot atau mengatur hubungan antara Sagoe/Banda Panglima Lhok. Pada tingkat Gampong dengan Provinsi NAD. Belum adanya Qanun dibentuk unsur pelaksana Gampong yang tersebut telah berdampak pada sikap arogansi terdiri dari Tuha Adat, Keujruen Blang dan dan kurang transparan Pemerintah Provinsi Peutua Seuneubok.NAD terhadap Sagoe/Banda.
d. Kompleksitasorganisasi Pemerintah Sagoe g. Pemahaman secara komprehensif terhadap Aceh Utara tercermin dari meningkatnya otonomi khusus hanya terjadi di kalangan vulume kerja, keikutsertaan aparatur dalam Pimpinan tingkat atas dan menengah, Diklat dan penggunaan sistem kerja. sedangkan di tingkat bawah tingkat Meningkatnya volume kerja mememerlukan pemahamannya masih sangat rendah. penambahan Dinas, Seksi dan Sub Seksi Pemahaman yang rendah menghasilkan efeksebagimana telah dikemukakan di atas perubahan sikap yang rendah. sehingga kompleksitas horizontal menjadi h. Penerimaan terhadap otonomi khusus tinggi. Dengan penambahan tingkat dikalangan aparatur Pemerintah Sagoe Aceh pemerintahan Mukim sehingga kompleksitas Utara tercermin dari kesediaan melaksanakan vertikal juga menjadi tinggi. misi otonomi khusus, namun dalam
e. Formalisasi tercermin dari pekerjaan yangimplementasinya belum adanya kejelasan distandarisasikan, dimasukkan dalam aturan-kewenangan dan hak-hak antara Provinsi aturan, prosedur-prosedur dan perintah-NAD dan Sagoe/Banda, sehingga masih perintah tertulis. Dengan penyederhanaan adanya kecenderungan campur tangan prosedur birokrasi melalui pemberian Pemerintah Pemerintah NAD terhadap kewenangan pelaksanaan UU Nomor 18 Sagoe/Banda dalam penyelenggaraanTahun 2001 langsung dengan Qanun otonomi khusus. Penerimaan aparatur tehadapmemungkinkan daerah mengembangkanobyek sikap menghasilkan efek perubahan kreativitas dan inovasi sesuai dengan kondisisikap aparatur dalam menyikapi otonomi lokal. Persoalan yang muncul adalah khusus. Pemerintah NAD memiliki kecenderungan i. Rentensi menghasilkan efek perubahan lebih banyak mengatur Sagoe/Banda, padahal perilaku aparatur. Perubahan perilaku yang antara Provinsi Nanggroe dengan telah terjadi yaitu menyangkut pola


perencanaan dari top down menjadi buttom up misal dalam proses pelaksanaan Program a. Pembangunan Gampong yang bersumber dari dana otonomi khusus. Perubahan perilakuberkaitan dengan hal tersebut di atas hanyaterjadi di tingkat pimpinan puncak Wali Sagoe dan belum diikuti oleh aparatur/pejabatpelaksana, hal ini terlihat dari penerapannya yang masih menonjolkan model top down sehingga apa yang diharapkan masyarakat belum dapat terwujud secara optimal. Perubahan perilaku dalam hubungan kelembagaan antara Legislatif dengan Eksekutif terlihat semakin kritis Lembaga Legislatif dalam mengawasi dan memberi penilaian terhadap kebijakan yang ditempuhEksekutif. Komitmen perubahan terhadapperilaku aparatur yang selaras dengan nilainilai Syariat Islam belum dapat terlaksanakarena sampai saat ini belum dibentuk Qanun formil.


Saran
Kepada DPRD dan Pemerintah Sagoe Aceh Utara
a. DPRD Sagoe harus menggunakan hak inisiatifnya menyusun Rancangan Qanun Sagoe yang diperlukan dalam penyelenggaraan otonomi khusus dan tidak hanya menunggu usulan dari Eksekutif. DPRD Sagoe dapat meminta masukan dari kalangan Akademisi, Ulama, Tokoh Adat dan Lembaga-lembaga lainnya untuk mempercepat proses pembentukan Qanun Sagoe.
b. Perubahan sikap dan perilaku aparatur Pemerintah Sagoe Aceh Utara tidak hanya terjadi di tingkat pimpinan puncak (Wali Sagoe), tetapi juga perlu diikuti oleh seluruhaparatur di jajaran Dinas dan Lembaga TeknisSagoe, karena itu perlu dioptimalkan prosessosialisasi misi otonomi khusus kepada semuajajaran untuk menimbulkan retensi bagi semua aparatur.
c. Komitmen yang tegas dari Wali Sagoe(Bupati) Aceh Utara untuk mengembangkanperilaku aparatur yang selaras dengan nilainilai Syariat Islam tidak hanya sebatas retorikatetapi perlu diwujudkan secara nyata dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, karenaitu perlu segera dibentuk Qanun formil, sehingga dapat dijadikan dasar bagi tindakantindakan aparatur yang menyimpang dari nilai-nilai Syariat Islam dalam menjalankantugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik
d. Budaya mohon petunjuk atasan yang masih terlihat dijajaran Dinas dan Lembaga TeknisSagoe perlu dihilangkan agar aparatur lebihkreatif dan responsif dalam melaksanakan tugas pelayanan publik

Kepada DPRD dan Pemerintah Provinsi NAD
a.. Harus segera mengesahkan Rancangan Qanun Tentang Pemerintahan Sagoe/Banda, Sagoe Cut, Mukim dan Gampong untuk menjadiacuan bagi pemerintah tingkat bawah dalammenjalankan otonomi khusus sehingga jelasbatas-batas kewenangan, hak antara Provinsi Nanggroe dengan Sagoe/Banda dalam Provinsi NAD, karena masing-masing merupakan daerah otonom yang memiliki otonomi, hal ini perlu segera dilakukan untukmenghindari terjadinya kesalahpahaman dan perbedaan persepsi dalam menyikapi otonomikhusus.
b.Kewenangan yang luas dimiliki Provinsi NADberdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2001 tetangOtonomi Khusus harus digunakan sebagaimodal untuk meningkatkan pembangunan diProvinsi ini, bukan sebaliknya menonjolkan kekuasaan dan sikap arogansi terhadap Sagoe/Banda.


DAFTAR PUSTAKA
AbdulWahab, Solichin, 1994, Kebijakan Desentralisasi Untuk Menjangkau Kaum Miskin, Pelopor, Malang.
Azwar, Saifuddin, 2002, Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya, Pustaka Palajar, Yogyakarta.
Dwiyanto, Agus, 2002, Membangun Sistem Pelayanan Publik Yang Memihak PadaRakyat, Bulletin, Populasi, Volume 13 Nomor 1, Yogyakarta.
Djohan, D, 2000, Reformasi Otonomi Daerah, Makalah pada Seminar Nasional Pemerintahan Daerah, Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Tanggal 21 September 2000.
Islamy, M, Irfan, 1998, Agenda Kebijakan Reformasi Administrasi Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Kebijakan Publik pada FIAUNIBRAW, Malang.
Milles, B, Bathew dan A. Michael Heberman, 1992, Analisa Data Kualitatif , UI Press, Jakarta.
Moleong, Lexy, J, 1994, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Paramita, 1985, Struktur Organisasi di Indonesia,UI, Jakarta.
Pide, Andi Mastari, 1997, Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI,Gaya Media Pratama, Jakarta.
Robbins, Stephen,1994, Organization Theory : Structure, Design and Applications, Terjemahan. Yusuf Udaya, Teori Organisasi : Struktur, Desain, dan Aplikasi, Arcan.
Soetrisno,R, 2002, Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Peranannya Dalam
Pembangunan Daerah, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Otonomi Daerah di UNIBRAW, Malang


.Thoha, Miftah, 1990, Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, CV.Rajawali, Jakarta.
Wasistiono, Sadu, 2000, Esensi UUNomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, Bunga Rampai, Bandung,
Kompas, 17 April 2001, Profil Kabupaten Aceh Utara
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi DaerahIstimewa Aceh Sebagai NAD.
Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Utara nomor : 002 Tahun 2001 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah, Kecamatan dan Kelurahan dalam Kabupaten Aceh Utara.
Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Utara nomor : 003 Tahun 2001 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja SekretariatDewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Aceh Utara.
Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Utara nomor : 004 Tahun 2001 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kabupaten Aceh Utara.
Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Utara nomor : 005 Tahun 2001 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Aceh Utara
Rancangan Qanun Provinsi NAD Tahun 2002 Tentang Susunan, Kedudukan dan Kewenangan Sagoe atau Banda dalamProvinsi NAD.
Rancangan Qanun Provinsi NAD Tahun 2002 Tentang Susunan Organisasi, Kedudukan, Tugas dan Fungsi Pemerintah Sagoe Cut dalam PropinsiNAD.
Rancangan Qanun Provinsi NAD Tahun 2002 Tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi NAD.
Rancangan Qanun Provinsi NAD Tahun 2002 Tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi NAD

0 comments: