Saturday 22 March 2008

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN (STUDI IMPLEMENTASI PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERKOTAAN)

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN (STUDI IMPLEMENTASI PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERKOTAAN DI KEL. BANDULAN KEC. SUKUN KOTA MALANG)
Community Participation in Poverty Eradication Program (Study of Implementation on Urban Poverty Project at Bandulan Village – Sukun Malang)

HADI SOEKAMTO
FMIPA Universitas Negeri Malang
RIYADI SOEPRAPTO
FIA Universitas Brawijaya



IRWAN NOOR
FIA Universitas Brawijaya
ABSTRACT
The development strategy which is oriented on the people centered development requirest direct involvement of the community as recipient of the development program (development paticipation). Since only with the program recipient’s participation, then the outcome of the development would fit to the aspiration and needs of the community. The community participation occurs if the conductor or the one in charge of the development program in the area are the people, organization, or institution with trusted integrity, and if the program has managed to touch the core of the problem that they suffered and can be beneficial to their welfare.
The autorization to local community which is not only to conduct the project or developmental program, but also to manage the project which will encourage the community to give all their potential and ability for the success of the project /program. In turn, the capability of the local community will increase as a result of the increasing ability and capacity of the community.
Key words: community participation, Urban Poverty Eradication Program.
ABSTRAK
Strategi pembangunan yang berorientasi pada pembangunan manusia (people centred development) dalam pelaksanaannya sangat mensyaratkan keterlibatan langsung dari masyarakat penerima program pembangunan (partisipasi pembangunan). Karena hanya dengan adanya partisipasi dari masyarakat penerima program, maka hasil pembangunan tersebut akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Partisipasi masyarakat akan terjadi apabila pelaku atau pelaksana program pembangunan di daerahnya adalah orang-orang, organisasi, atau lembaga yang telah mereka percaya integritasnya, serta apabila program tersebut menyentuh inti masalah yang mereka rasakan dan dapat memberikan manfaat terhadap kesejahteraan hidupnya. Pemberian kewenangan kepada masyarakat setempat yang tidak hanya untuk menyelenggarakan proyek atau program pembangunan, tetapi juga untuk mengelola proyek tersebut akan mendorong masyarakat untuk mengerahkan segala kemampuan dan potensinya demi keberhasilan proyek/program tersebut. Pada gilirannya keberdayaan masyarakat setempat akan menjadi lebih baik sebagai akibat dari meningkatnya kemampuan dan kapasitas masyarakat.
Kata kunci: Partisipasi Masyarakat, Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan



PENDAHULUAN
Dalam kondisi krisis ekonomi yang berkepanjangan dimana jumlah masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan bertambah banyak, maka sejak tahun 1999 pemerintah telah meluncurkan P2KP singkatan dari Proyek Pengentasan Kemiskinan di Perkotaan (Urban Poverty Project). Program ini masih berada dalam platform program jaring pengaman sosial (social safety net) dengan menitik beratkan pada upaya pemberdayaan komunitas (community empowerment) yang relatif berbeda dengan program JPS lainnya yang deterapkan sebelumnya. Dalam pelaksanaan pengentasan masyarakat dari kemiskinan, P2KP meletakkan sasaran utamanya kepada Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang tergolong kalangan ekonomi lemah untuk ditumbuhkan kemandiriannya. Sehingga bukan masyarakat miskin secara perseoranganlah yang akan diberdayakan, melainkan sejumlah orang dalam masyarakat yang tergabung dalam suatu wadah KSM yang dikenai tindakan (treatment) berupa pemberian bantuan kredit usaha ekonomi produktif.



Masalah kemiskinan yang dihadapi, terutama, oleh negara-negara yang sedang berkembang memang sangatlah kompleks. Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensional, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya (Sumodiningrat, 1998: 26). Seringkali pemikiran mengenai kemiskinan lebih banyak menekankan pada segi-segi emosional atau perasaan yang diselimuti oleh aspek moral dan kemanusiaan, ataupun masih bersifat partisan karena bersangkut paut dengan alokasi sumber daya, sehingga usaha memahami hakekat kemiskinan itu sendiri menjadi kabur. Akibat yang dialami dengan keadaan seperti ini adalah, usaha penanggunalangan kemiskinan bersifat parsial, tidak komprehensif, serta hasil yang dicapai dari segala upaya penanggulangan tersebut menjadi tidak tepat sasaran (Suparlan, 1993).
Untuk menanggulangi masalah kemiskinan diperlukan upaya yang memadukan berbagai kebijakan dan program pembangunan yang tersebar di berbagai sektor. Kebijakan pengentasan atau penanggulangan kemiskinan menurut Gunawan Sumodiningrat (1998: 46 -47) dapat dikategorikan menjadi 2 (dua), yaitu kebijakan tidak langsung, dan kebijakan yang langsung. Kebijakan tak langsung meliputi (1) upaya menciptakan ketentraman dan kestabilan situasi ekonomi, sosial dan politik; (2) mengendalikan jumlah penduduk; (3) melestarikan lingkungan hidup dan menyiapkan kelompok masyarakat miskin melalui kegiatan pelatihan. Sedangkan kebijakan yang langsung mencakup: (1) pengembangan data dasar (base data) dalam penentuan kelompok sasaran (targeting); (2) penyediaan kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan); (3) penciptaan kesempatan kerja; (4) program pembangunan wilayah; dan (5) pelayanan perkreditan.
Untuk menanggulangi masalah kemiskinan harus dipilih strategi yang dapat memperkuat peran dan posisi perekonomian rakyat dalam perekonomian nasional, sehingga terjadi perubahan struktural yang meliputi pengalokasian sumber daya, penguatan kelembagaan, pemberdayaan sumber daya manusia (Sumodiningrat, 1998). Program yang dipilih harus berpihak dan memberdayakan masyarakat melalui pembangunan ekonomi dan peningkatan perekonomian rakyat. Program ini harus diwujudkan dalam langkah-langkah strategis yang diarahkan secara langsung pada perluasan akses masyarakat miskin kepada sumber daya pembangunan dan menciptakan peluang bagi masyarakat paling bawah untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, sehingga mereka mampu mengatasi kondisi keterbelakangannya. Selain itu upaya penanggulangan kemiskinan harus senantiasa didasarkan pada penentuan garis kemiskinan yang tepat dan pada pemahaman yang jelas mengenai sebab-sebab timbulnya persoalan itu. Setiap upaya penanggulangan kemiskinan yang mengabaikan kedua hal tersebut tidak hanya cenderung tidak efektif, tetapi pada tempatnya dicurigai sebagai retorika belaka (Baswir, 1999:18).
Terdapat tiga pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat miskin. Pertama, pendekatan yang terarah, artinya pemberdayaan masyarakat harus terarah yakni berpihak kepada orang miskin. Kedua, pendekatan kelompok, artinya secara bersama-sama untuk memudahkan pemecahan masalah yang dihadapi. Ketiga, pendekatan pendampingan, artinya selama proses pembentukan dan penyelenggaraan kelompok masyarakat miskin perlu didampingi oleh pendamping yang profesional sebagai fasilitator, komunikator, dan dinamisator terhadap kelompok untuk mempercepat tercapainya kemandirian (Soegijoko dkk, 1997: 179). Arah baru strategi pembangunan diwujudkan dalam bentuk: (1) upaya pemihakan kepada yang lemah dan pemberdayaan masyarakat, (2) pemantapan otonomi dan desentralisasi, dan (3) modernisasi melalui penajaman arah perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat (Sumodiningrat, 1999: 82). Untuk merealisir arah baru pembangunan tersebut, maka pemerintah perlu lebih mempertajam fokus pelaksanaan strategi pembangunan yaitu melalui penguatan kelembagaan pembangunan masyarakat maupun birokrasi. Penguatan kelembagaan pembangnan masyarakat dilaksanakan dengan menggunakan model pembangunan partisipatif yang bertujuan untuk mengembangkan kapasitas masyarakat dan kemampuan aparat birokrasi dalam menjalankan fungsi lembaga pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan rakyat (good governance).



Model pembangunan yang partisipatif mengutamakan pembangunan yang dilakukan dan dikelola langsung oleh masyarakat lokal. Model yang demikian itu menekankan pada upaya pengembangan kapasitas masyarakat dalam bentuk pemberdayaan masyarakat (Sumodiningrat, 1999: 223). Berdasarkan model pembangunan tersebut, dapat dikemukakan bahwa suatu proyek atau program dapat digolongkan ke dalam model pembangunan partisipatif apabila program tersebut dikelola sendiri oleh masyarakat yang bersangkutan, bukan oleh aparat pemerintah. Pemberian kewenangan kepada masyarakat setempat yang tidak hanya untuk menyelenggarakan proyek/program pembangunan, tetapi juga untuk mengelola proyek tersebut akan mendorong masyarakat untuk mengerahkan segala kemampuan dan potensinya demi keberhasilan proyek/program tersebut. Pada gilirannya keberdayaan masyarakat setempat menjadi baik sebagai akibat dari meningkatnya kemampuan dan kapasitas masyarakat.
Penguatan kelembagaan di sini tidak hanya berarati penguatan secara fisik saja, seperti bangunan, struktur, atau hanya kelengkapan organisasi, tetapi lebih kepada penguatan fungsi dan perannya sebagai lembaga/organisasi yang diserahi tugas dan wewenang melaksanakan, memantau, atau menjaga program pembangunan di wilayahnya. Dengan menguatnya kelembagaan masyarakat setempat terutama berkaitan dengan fungsi dan peran sebagai lembaga masyarakat yang diterima dan dipercaya oleh warga masyarakatnya, jika program pembangunan diserahkan pelaksanaannya kepada lembaga tersebut, maka partisipasi masyarakat untuk mensukseskan program tersebut dapat dijamin tergolong tinggi. Partisipasi masyarakat akan terjadi apabila pelaku atau pelaksana program pembangunan di daerahnya adalah orang-orang, organisasi, atau lembaga yang telah mereka percaya integritasnya, serta apabila program tersebut menyentuh inti masalah yang mereka rasakan dan dapat memberikan manfaat terhadap kesejahteraannya.
Melalui kadar partisipasi dan peran aktif masyarakat yang tinggi, penguatan masyarakat sasasaran program dapat terwujud. Menguatnya kemampuan masyarakat miskin untuk meningkatkan taraf hidupnya, adalah hasil atau dampak dari semua aktivitas program penanggulangan kemiskinan. Penguatan masyarakat tersebut dapat dilihat dari: (1) dimensi pemberdayaan masyarakat miskin, (2) dimensi terwujudnya kemandirian masyarakat miskin, dan (3) dimensi perekonomian rakyat. Dimensi pemberdayaan masyarakat perlu diarahkan terutama dalam rangka pengembangan kegiatan sosial ekonominya. Dimensi kemandirian masyarakat dapat dicapai melalui asas gotong royong, keswadayaan dan partisipasi. Sedang dimensi perekonomian rakyat dapat ditandai oleh tersedianya dana untuk modal usaha guna dikembangkan oleh masyarakat miskin itu sendiri.
Berdasarkan uraian tersebut maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah kadar partisipasi masyarakat Kelurahan Bandulan dalam rangka implementasi P2KP?, (2) Bagaimanakah upaya BKM Kelurahan Bandulan dalam meningkatkan partisipasi masyarakat?, dan (3) Kendala apa saja yang dijumpai BKM Bandulan dalam meningkatkan partisipasi masyarakat? Untuk menjawab permasalahan tersebut, dalam penelitian ini berusaha mencari data dan informasi yang difokuskan pada: (1) Kadar partisipasi masyarakat dalam P2KP, (2) Upaya BKM meningkatkan partisipasi masyarakat, dan (3) Kendala yang dihadapi BKM dalam upaya meningkatkan kadar partisipasi masyarakat.



METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan suatu bentuk penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif (Qualilative Research). Yang dipilih sebagai lokasi pada penelitian ini adalah Kelurahan Bandulan Kecamatan Sukun Kota Malang. Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka peneliti mengumpulkan data atau informasi dari informan kunci (key informan) sesuai dengan fokus penelitian yang telah ditetapkan. Dari informan kunci inilah kemudian dilanjutkan mencari dan mengumpulkan data atau informasi dari para informan berikutnya dengan menggunakan teknik “snow ball sampling” atau bola salju yang menggelinding semakin lama semakin besar.
Adapun informan kunci yang dipandang sesuai dengan fokus penelitian dimaksud adalah Ketua BKM Kelurahan Bandulan, beberapa Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan Tokoh masyarakat dalam hal ini Ketua RW/RT tempat di mana KSM berada. Selain dari keterangan dari informan tersebut, peneliti memperoleh data atau informasi yang bersumber dari peristiwa atau fenomena yang dipandang cocok dan bermanfaat untuk mengungkap permasalahan atau fokus penelitian. Demikian juga dokumen-dokumen yang berfungsi memperjelas hakekat dan substansi dari permasalahan penelitian dijadikan sumber data berikutnya.
Untuk memperoleh data atau informasi yang diperlukan, dalam penelitian ini dilakukan 3 (tiga) tahap proses pengumpulan data yaitu:



. Pada Saat Memasuki Lokasi Penelitian (Getting in), peneliti melakukan pendekatan yang bersifat informal (informal approach) terhadap subyek penelitian agar tercipta kondisi yang menunjang berlangsungnya proses pengumpulan data secara akurat dan bebas bias.


. Saat Berada di Lokasi Penelitian (Getting along), peneliti berusaha untuk tetap diterima dilingkungan masyarakat setempat dengan cara tidak melakukan hal-hal yang dapat menyinggung perasaan mereka dan memperhatikan adat dan kebiasaan yang ada di lokasi penelitian.
. Saat Pengumpulan Data Penelitian (Logging the data), peneliti menggunakan seluruh kemampuannya untuk mencari dan mengunmpulkan data/informasi yang diperlukan, dengan menggunakan teknik: Wawancara mendalam (in-depth interview); Pengamatan langsung (direct observation); dan Dokumentasi (documentation)


Untuk menganalisis data penelitian di dalam penelitian ini, peneliti memilih menggunakan model analisis interaktif (interactive model of analysis) yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1992). Model analisis interaktif ini meliputi 3 (tiga) tahap, yaitu: Reduksi Data (data reduction); Penyajian Data (data display); Menarik Kesimpulan/Verifikasi (conclusion or verification).
Agar hasil yang diperoleh dari penelitian ini dapat diakui dan diterima oleh para pengambil manfaat (users), maka peneliti melakukan pemeriksaan terhadap keabsahan data yang diperoleh selama penelitian berlangsung.. Pemeriksaan keabsahan data dilakukan dengan cara mengecek: Derajat Kepercayaan (credibility), Keteralihan (transferability), Ketergantungan (dependebility), dan Kepastian (comfirmability)


HASIL PENELITIAN
P2KP memandang kemiskinan bukan sekedar persoalan ekonomi saja, akan tetapi lebih menekankan pada persoalan keadilan khususnya keadilan dalam memperoleh kesempatan berusaha. Untuk itu upaya penanggulangan kemiskinan diarahkan pada usaha memberantas sumber ketidak adilan, yakni dengan menggunakan tiga pilar, yaitu:
. Tersedianya aturan main (rule of the game) yang adil dan disepakati bersama oleh semua pihak
. Tersedianya institusi/lembaga yang dipercaya oleh semua pihak untuk menjalankan aturan main yang disepakati dengan jujur dan terbuka, dan
. Terciptanya kesadaran kolektif seluruh warga komunitas secara bersama menjaga, menegakkan, dan mengawasi pelaksanaan aturan main.

Dengan demikian P2KP memberi wewenang kepada masyarakat Kelurahan untuk membentuk kelembagaannya sesuai keinginan mereka sendiri.
Untuk membentuk kelembagaan komunitas yang memadai, maka diperlukan suatu proses yang cukup memakan waktu dan pemikiran sehingga P2KP memberi kebebasan kepada Masyarakat untuk menentukan apakah lembaga kemasyarakatan yang sudah ada (seperti LKMD, FMK, atau sejenisnya) dapat difungsikan atau tidak. Jika tidak, maka masyarakat perlu membentuk lembaga baru yang beranggotakan seluruh komponen masyarakat seperti Kelompok Swadaya Masyarakat, Tokoh Masyarakat, perwakilan RT/RW yang diberi nama Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). BKM inilah yang bertugas menjalankan upaya pemberdayaan komunitas warga kelurahan khususnya yang termasuk ke dalam kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Untuk melaksanakan tugas seperti dimaksud, maka BKM akan menghadapi tiga hambatan besar yakni:
. Hambatan yang melekat pada individu masyarakat seperti halnya ketrampilan, pengetahuan, dan motivasi masyarakat yang masih rendah,
. Hambatan yang terkait dengan ekonomi yaitu seperti kurangnya modal dan peralatan untuk berusaha, kemampuan/ketrampilan berusaha yang sangat minim, serta tidak memiliki akses terhadap pasar,
. Hambatan yang terkait dengan kondisi lingkungan, seperti halnya sanitasi yang tidak sehat, tempat tinggal yang kumuh, sarana prasarana penunjang untuk melakukan usaha tidak mendukung, dan lain sebagainya.




P2KP Kelurahan Bandulan



Agar terlepas dari ketiga hambatan tersebut, maka di dalam P2KP menggunakan strategi Tri Bina, yang meliputi
. Bina Sosial, yang berusaha menghilangkan hambatan individual dengan cara memberi bantuan dana hibah guna membiayai kegiatan pelatihan ketrampilan berusaha bagi masyarakat berpenghasilan rendah/miskin
. Bina Usaha/Ekonomi, yang dimaksudkan untuk menghilangkan hambatan berusaha yakni dengan menyediakan pinjaman dana bergulir untuk mengembangan usaha ekonomi produktif dengan bunga rendah, dan
. Bina Lingkungan, yang dimaksudkan untuk menghilangkan hambatan kondisi lingkungan yang buruk dengan jalan menyediakan bantuan dana hibah guna memperbaiki sarana/prasarana dasar lingkungan sehingga masyarakat dapat melakukan kegiatan usahanya dengan layak.

Selanjutnya program penanggulangan kemiskinan (P2KP) di Kelurahan Bandulan harus dilaksanakan dengan mengutamakan prinsip-prinsip sebagai berikut:


a. Prinsip Demokrasi
Setiap kebijakan atau pengambilan keputusan dalam P2KP harus mengutamakan dan menguntungkan lebih banyak orang daripada segelintir individu atau sekelompok kecil orang.
b. Prinsip Partisipasi
Setiap program yang dilaksanakan di BKM Kelurahan Bandulan harus melibatkan secara aktif semua komponen masyarakat yang terlibat dan terkena program baik dalam rangka perencanaan maupun pada pelaksanaan dan pengawasannya, sehingga masyarakat merasa ikut memiliki hasilnya serta menjaga keberlangsungannya. Oleh karena itu semua program P2KP harus dilaksanakan secara partisipatif berdasarkan inisiatif dari bawah dan maupun membangkitkan keterlibatan aktif sebagian besar warga masyarakat.
c. Prinsip Transparansi
Semua program yang telah dan akan dilaksanakan di BKM Kelurahan Bandulan harus dikelola secara terbuka dan dapat diketahui oleh semua pihak, baik yang secara langsung terkait dengan program maupun pihak lain yang memerlukan. Pengambilan keputusan mengenai kegiatan yang diajukan KSM dan didanai oleh P2KP, termasuk pengelolaan keuangannya harus dapat dilihat, disaksikan dan dinilai warga masyarakat. Demikian juga dengan pemberian penghargaan atau sanksi, harus didasarkan pada kesepakatan para pihak yang terkait.
d. Prinsip Akuntabilitas
Setiap pengelolaan program khususnya yang berkaitan dengan masalah keuangan yang dilaksanakan di BKM Kelurahan Bandulan harus dapat dipertanggung jawabkan kebenaran dan ketepatan sasarannya kepada seluruh warga masyarakat Kelurahan sebagai pemilik aset (stick holders). Oleh karena itu pengelolaan keuangan termasuk reputasi pengelolaannya harus dapat dipercaya, dapat dimonitor dan dievaluasi secara langsung, mudah dan murah oleh masyarakat. Seluruh pengeluarannya harus dapat dipertanggung jawabkan baik secara administrasi maupun kemanfaatannya.



e. Prinsip Desentralisasi
Setiap keputusan yang diambil di BKM Kelurahan Bandulan harus memberikan kewenangan kepada pihak yang paling dekat dengan penerima manfaat, yakni warga komunitas atas setidak-tidaknya anggota KSM.
Tujuan dari P2KP di Kelurahan Bandulan adalah untuk mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan seluruh warga masyarakat kelurahan, melalui:
1 Penyediaan dana pinjaman dalam mengembangkan kegiatan usaha ekonomi produktif dan pembukaan lapangan usaha baru,
2 Penyediaan dana hibah untuk keperluan peningkatan prasarana – sarana dasar lingkungan yang dapat menunjang kegiatan usaha warga masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung,
3 Peningkatan kemampuan dan ketrampilan perseorangan dan keluarga miskin melalui usaha bersama berlandaskan kemitraan, sehingga mampu menumbuhkan usaha baru yang bersifat produktif,
4 Penyiapan, pengembangan, pemantapan kelembagaan masyarakat di tingkat kelurahan sehingga dapat mengkoordinasikan dan memberdayakan masyarakat dalam rangka pelaksanaan program pembangunan, dan
5 Pencegahan menurunnya kualitas lingkungan, melalui upaya perbaikan prasarana – sarana dasar lingkungan.

Sasaran yang ingin dicapai dari program P2KP di Kelurahan Bandulan dapat di bagi menjadi sasarn umum dan sasaran khusus. Sasaran secara umumnya adalah bahwa segala bentuk bantuan yang disediakan oleh P2KP hanya ditujukan kepada keluarga miskin yang berdomisili di Kelurahan Bandulan. Sedangkan sasaran khususnya adalah bahwa penerima bantuan P2KP hanya kelompok swadaya masyarakat (KSM) yang terbentuk dari sekumpulan orang perorang yang berasal dari keluarga miskin guna secara bersama mengikatkan diri untuk menerima, mengelola, bertanggung jawab terhadap bantuan dana yang telah diterimanya. Bentuk bantuan yang disediakan oleh P2KP dapat berupa:



1 Bantuan kredit modal kerja bergulir untuk kegiatan usaha ekonomi produktif,
2 Bantuan dana hibah untuk biaya pembangunan atau perbaikan prasarana – sarana dasar lingkungan,
3 Bantuan dana hibah untuk biaya pelatihan ketrampilan kerja dalam rangka penciptaan lapangan usaha baru.



Partisipasi Masyarakat Kelurahan Bandulan Dalam Pelaksanaan P2KP
Partisipasi masyarakat Kelurahan Bandulan dalam program P2KP dapat dikategorikan cukup aktif. Hal ini tampak pada keberhasilan BKM Bandulan mencatatkan diri sebagai BKM pertama yang memperoleh Surat Perintah Membayar (SPM) dari KPKN untuk wilayah Kota dan Kabupaten Malang (Laporan Pertanggung-jawaban Pengurus BKM Periode tahun 2000/2001). Disamping itu juga BKM Bandulan merupakan BKM yang pertama kali merealisasikan pencairan bantuan dana kredit ke KSM, sehingga proses pencairannya harus dihadiri langsung oleh Pihak Penanggung jawab dari Pemerintah Daerah Kota Malang dalam hal ini Kepala BAPPEDA beserta jajarannya.
Keberhasilan tersebut tidak akan pernah diraih oleh BKM Kelurahan Bandulan, apabila kerja keras pengurus tidak didukung oleh adanya partisipasi dari masyarakat. Partisipasi dimaksud adalah berupa peran aktif masyarakat dalam mewujudkan atau membentuk kelembagaan BKM sebagai syarat utama penetapan lokasi menjadi Kelurahan target penerima bantuan P2KP. Hanya dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama (yaitu sekitar 1,5 bulan) seluruh komponen masyarakat Kelurahan Bandulan berhasil membentuk kepengurusan BKM, dalam suatu musyawarah warga Kelurahan Bandulan dengan acara tunggal rapat pembentukan dan pemilihan pengurus BKM pada tanggal 9 Februari 2000 (Berta Acara Pembentukan BKM, 2000).
Peran masyarakat khususnya warga kelurahan Bandulan yang tergolong pada keluarga kurang mampu sangat antusias merespon program BKM, terutama dalam mengajukan usulan kredit sebagai KSM. Partisipasi masyarakat tersebut bukan sesuatu yang dianggap sudah wajar adanya, sebab seseorang untuk mengajukan suatu usulan kredit (dalam P2KP) disyaratkan untuk terlebih dahulu membentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) serta membuat/mengisi Formulir Usulan Kredit yang menuntut suatu kecermatan dan keakuratan, utamanya menyangkut rincian kebutuhan, modal swadaya awal, perkiraan pemasaran, dan lain sebagainya. Mengingat tingkat pengetahuan dari warga masyarakat yang tergolong kurang mampu relatif masih rendah, maka keharusan membuat usulan yang istilah kerennya proposal membuat masyarakat harus berupaya lebih keras lagi seperti misalnya berkonsultasi dengan pengurus BKM atau dengan Fasilitator Kelurahan (FASKEL).
Walaupun menurut beberapa kalangan masyarakat adanya keharusan menyusun proposal bantuan kredit adalah sesuatu yang biasa, namun bagi masyarakat kalangan bawah yang tergolong miskin hal itu menjadi luar biasa dan sangat memberatkan. Ditambah lagi pada masa-masa awal pelaksanaan P2KP, di seluruh Indonesia umumnya dan di Kelurahan Bandulan Kecamatan Sukun Kota Malang khususnya, Form-form yang harus diisi oleh KSM calon penerima bantuan masih belum baku dan sering berubah-ubah. Dari keadaan yang demikian itu maka banyak KSM yang mengalami ‘frustasi’ dan tidak sudi lagi memperbaiki proposalnya, sehingga pada akhirnya mereka tidak jadi mengajukan usulan bantuan kredit dari P2KP.
Kadar partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program P2KP bisa dibilang cukup tinggi, walaupun hanya pada tahapan untuk mengikuti pelaksanaan program saja sedang pada tahapan perencanaan dan pengamanan terhadap keberlangsungan program masih belum nampak. Hal ini terlihat dari antusiasme masyarakat untuk mengikuti program P2KP di Kelurahan Bandulan sangat tinggi, walaupun kemampuan BKM untuk memenuhi keinginan para KSM relatif terbatas. Ini terlihat dalam antrian proposal yang sudah masuk di BKM, namun sampai penelitian dilaksanakan masih belum dapat direalisasikan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa walaupun terdapat hambatan yang dirasakan oleh masyarakat, namun toh pada akhirnya mereka bersedia berpartisipasi untuk mengikuti program yang disediakan oleh proyek. Dengan demikian masyarakat akan aktif berperan dalam suatu program pembangunan, apabila mereka dapat merasakan sendiri dan terbukti bisa menguntungkan dirinya.





Upaya Meningkatkan Partisipasi Masyarakat
Mengingat betapa pentingnya partisipasi kelompok masyarakat, utamanya yang menjadi kelompok sasaran (target group), dalam mencapai tujuan proyek/program pembangunan, maka sangat diperlukan upaya konkret dari pihak penyelenggara pembangunan untuk menggalang partisipasi mereka. Untuk memupuk dan menggalakkan partisipasi aktif kelompok masyarakat sasaran, maka BKM Bandulan telah melakukan beberapa upaya yang konkret seperti berikut.
a. Menggalakkan Sosialisasi P2KP
Upaya menggugah peran aktif masyarakat dalam pelaksanaan P2KP di Kelurahan Bandulan melalui sosialisasi, diawali pada tahap mempersiapkan pembentukan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). Karena eksistensi BKM merupakan syarat utama dan pertama diluncurkannya proyek P2KP di suatu Kelurahan atau Desa. Oleh karena itu pihak-pihak terkait yang terdiri dari pihak Pemerintah Daerah yang dalam hal ini BAPPEDA menugaskan aparatnya yang bertindak sebagai Penanggung Jawab Operasional Kegiatan (PJOK), bersama pihak Konsultan Managemen Wilayah (KMW) menugaskan Fasilitator Kelurahan (Faskel) untuk mengadakan sosialisasi kepada warga masyarakat Kelurahan.
Di kelurahan Bandulan sosilisasi ke-P2KP-an dilaksanakan di setiap Rukun Warga dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat di satuan wilayah tersebut. Acara sosialisasi bertujuan untuk memperkenalkan seluk beluk program P2KP yang pada intinya berbeda dengan program Jaring Pengaman Sosial (social safety net) yang telah ada sebelumnya. Dari sekitar antara dua sampai tiga kali sosialisasi di masing-masing RW, akhirnya terbentuklah Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di masing-masing RW. KSM tersebut merupakan salah satu komponen pembentuk Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) disamping aparat RT/RW dan tokoh masyarakat dalam suatu Kelurahan. Sosialisasi yang telah dilakukan oleh tim persiapan P2KP di Kelurahan Bandulan ini sangat efektif menggalang partisipasi masyarakat setempat, hal ini ditunjukkan oleh keberhasilan BKM Kelurahan Bandulan terbentuk tidak terlalu memakan banyak waktu, yakni hanya sekitar satu setengah bulan saja (wawancara dengan PJOK Kecamatan Sukun, 2002)
Selanjutnya untuk tahap pemantapan P2KP, BKM Kelurahan Bandulan tetap melaksanakan sosialisasi. Salah satunya adalah Pengurus BKM mendatangi acara pertemuan warga di masing-masing RW dan meminta waktu untuk memberikan informasi ke-P2KP-an serta perkembangan pelaksanaan P2KP khususnya yang telah dinikmati oleh masing-masing warga RW setempat. Dalam acara sosialisasi berupa penyampaian informasi tersebut terjadi dialog atau tanya jawab yang sangat responsif antara pengurus BKM dengan warga masyarakat RW yang dikunjungi. Dari acara itulah banyak diperoleh saran dan masukan dari warga dan aparat RT/RW untuk ikut mensukseskan dan bahkan mengupayakan mengamankan aset BKM yang berupa dana bergulir untuk seluruh komponen masyarakat Kelurahan.
Upaya sosialisasi tentang P2KP juga dilaksanakan oleh pengurus BKM dengan memberikan informasi, harapan, serta aturan main P2KP kepada seluruh anggota KSM yang menerima bantuan dana kredit yang disajikan pada setiap pencairan dan penanda tangan kontrak kredit ekonomi produktif. Sosialisasi tersebut dilaksanakan di kantor BKM agar setiap anggota KSM yang menerima bantuan kredit, dapat melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana agenda program BKM Bandulan, jumlah KSM dan jumlah warga yang sudah menikmati bantuan P2KP, jumlah dana yang sudah dicairkan kepada seluruh KSM, termasuk jumlah dana hibah yang telah disalurkan BKM kepada anggota masyarakat yang membutuhkan, baik berupa bantuan pembangunan sarana prasaran dasar lingkungan maupun bantuan sosial kepada masyarakat tidak mampu (Wawancara dengan Ketua BKM, 2002).



b. Meningkatkan Jalur Komunikasi Dan Informasi
Para pengurus BKM Bandulan sangat menyadari bahwa partisipasi warga masyarakat kelompok sasaran terhadap semua program pembangunan, akan sangat tergantung kepada kelancaran komunikasi informasi antara penyelenggara dengan penerima manfaat. Oleh karena itu BKM Bandulan dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakatnya telah melakukan upaya membuka jalur komunikasi kepada masyarakat. Salah satu jalur tersebut yaitu berupa menyebarkan masing-masing satu eksemplar untuk setiap hasil atau laporan penyelenggaraan program kepada setiap Ketua RW untuk diteruskan kepada aparat dibawahnya. Jalur komunikasi lainnya yaitu telah menyediakan Papan Pengumuman yang diletakkan di depan Kantor BKM, dan memasang enam buah Papan Informasi yang khusus berisi informasi ke-P2KP-an dan diletakkan di tempat-tempat yang mudah dilihat oleh seluruh warga dari ke enam RW di lingkungan Kelurahan Bandulan.



Saluran komunikasi lain yang telah disediakan oleh BKM Bandulan adalah berupa kotak saran yang diletakkan di depan Kantor Kelurahan Bandulan. Namun menurut informasi dari Ketua BKM Bandulan, Kotak Saran yang telah lama disediakan untuk dimanfaatkan oleh warga masyarakat ternyata sampai penelitian ini dilakukan masih belum pernah digunakan oleh warga masyarakat sebagaimana yang diharapkan. Dengan demikian keefektifan dari jalur/saluran komunikasi berupa Kotak Saran ini belum terlihat memberikan sumbangan pemikiran demi kemajuan dan penyempurnaan kinerja pengurus BKM.
Lain halnya dengan jalur Komunikasi berupa Papan Informasi, dimana dengan dimuatnya Nama-nama KSM beserta nama para anggota yang menunggak angsuran kredit yang telah diterimanya, ternyata dapat secara efektif menggugah yang bersangkutan untuk melunasi tunggakannya. Hal ini dapat dimaklumi, karena dengan termuatnya nama-nama mereka dalam daftar penunggak mereka merasa malu diketahui oleh warga masyarakat lain di wilayahnya.


c. Pemberian Insentif Dan Penghargaan
Upaya lain yang telah dilakukan oleh BKM Bandulan dalam rangka meningkatkan partisipasi kelompok masyarakat penerima manfaat adalah dengan jalan memberi insentif kepada KSM yang dapat menunjukkan usaha membina para anggotanya untuk tertib membayar angsuran tepat waktu setiap bulannya serta tidak pernah menunggak membayar angsuran selama masa kontrak kredit berlangsung. Insentif dimaksud yaitu berupa pengembalian satu kali jumlah uang jasa pinjaman KSM pada bulan terakhir. Selain insentif tersebut ditambah dengan pemberian penghargaan berupa kesempatan untuk diprioritaskan mendapat pinjaman berikutnya, jika KSM yang bersangkutan hendak mengajukan lagi usulan bantuan kredit ekonomi produktif.
Dengan adanya pemberian insentif tersebut ternyata di BKM Bandulan sangat besar maknanya dalam meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap keberlangsungan program P2KP. Hal ini terbukti pada jumlah KSM yang menunggak angsuran kredit hanya sebagaian saja yakni sekitar 30 % dari jumlah semua KSM yang menerima bantuan dana kredit ekonomi produktif.



d. Merevisi Dan Menyesuaikan Aturan-Aturan
Berdasarkan pengalaman selama menyelenggarakan program pengentasan kemiskinan melalui P2KP ini, maka BKM Bandulan perlu mengadakan perubahan ataupun penyesuaian peratutan-peraturan. Seperti halnya dalam mengajukan usulan kredit, selama ini pemohon tidak perlu minta persetujuan suami/istrinya, sehingga apabila terjadi masalah dengan angsuran yang wajib diselesaikan oleh penerima bantuan tersebut pihak BKM tidak dapat memaksa pihak suami/istri yang bersangkutan ikut bertanggung jawab. Berdasarkan pengalaman ini, maka direvisilah aturan tentang hal ini menjadi usulan bantuan kredit harus memperoleh persetujuan pihak suamu/istri si pemohon.
Selain dari pada itu pengajuan proposal bantuan kredit P2KP di Kelurahan Bandulan harus diketahui dan ditanda tangai oleh aparat RT atau RW setempat. Hal ini merupakan perubahan dari ketentuan sebelumnya, di mana proposal tidak perlu mendapat tanda tangani oleh aparat RT/RW. Perubahan ini pada dasarnya merupakan penyempurnaan yang dilakukan BKM Bandulan sebagai akibat dari pengalaman selama ini. Ketika pengurus BKM mengundang seluruh aparat Kelurahan beserta jajarannya dalam cara Laporan Pertanggung Jawaban Kinerja BKM Periode 2000/2001, terungkap bahwa pihak RT maupun RW tidak mengetahui siapa saja dari warganya yang menerima bantuan kredit, apalagi disuruh ikut mengawasi atau menghimbau warganya agar tidak menunggak. Sehingga dengan demikian pihak RT/RW tidak bersedia ketika diminta perpartisipasinya untuk ikut mengamankan aset masyarakat Kelurahan yang dikelola oleh BKM.
Ketentuan tanggung renteng yang diberlakukan terhadap warga dari suatu wilayah RW, dimana apabila dalam suatu wilayah RW terdapat satu atau lebih KSM yang tidak dapat melunasi angsuran kreditnya, maka KSM yang telah mengajukan usulan bantuan kredit sewilayah RW yang bersangkutan tidak/belum dapat direalisasikan sampai terlunasinya sisa tunggakan angsuran. Ketentuan ini menjadi salah penghambat dan banyak mendapatkan kritik yang tajam dari para pelaku P2KP ditingkat RW khususnya dari warga RT–RT lain yang merasa tidak pernah menunggak atau bahkan termasuk KSM yang mendapat perhargaan. Oleh karen itu berdasarkan pertimbangan prinsip keadilan, maka ketentuan tanggungrenteng tidak dikenakan kepada satuan wilayah RW melainkan dipersempit menjadi satuan RT. Sehingga masyarakat suatu RT harus ikut menanggung kewajiban melakukan tekanan kepada KSM “nakal” yang ada di wilayahnya jika tidak ingin kesempatan menerima bantuan kreditnya ditunda realisasinya.



Berkaitan dengan ketentuan denda bagi para KSM yang menunggak belum lama ini direvisi menjadi dikenakan denda sebesar 1 % (satu persen) dari jumlah angsuran bulan yang bersangkutan. Hal ini dilakukan karena banyak KSM yang belum dapat membayar nilai angsuran yang terdiri dari pokok ditambah jasa, seringkali menitipkan uang seadanya pada Kasir dan baru dimasukkan sebagai angsuran setelah cukup nilainya pda bulan berikutnya. Dengan demikian perolehan jasa yang seharusnya diterima BKM pada bulan tersebut menjadi berkurang, sehingga BOP bulan tersebut lebih kecil dari biasanya. Untuk itu agar KSM tidak meremehkan kewajibannya untuk membayar angsuran secara utuh, maka ketentuan denda diberlakukan walaupun nilainya relatif kecil yakni sebesar satu persen dari jumlah tunggakan bulan yang bersangkutan (Keputusan BKM, 2002).


e. Mengoptimalkan Kinerja Pengurus
Optimalisasi kinerja dari para pengurus BKM sangat dituntut apabila menginginkan adanya peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program P2KP. Upaya mengoptimalkan fungsi dan peran para pengurus di BKM Bandulan telah dilakukan dengan beberapa cara. Cara pertama, adalah mengangkat seorang Juru tagih dan seorang Karyawan Tetap sebagai staf administrasi sekaligus merangkap kasir. Kedua, dibentuknya satuan tugas dari para anggota pengurus BKM menjadi satuan tugas Konsultasi Klinik P2KP dan satuan tugas Penilai Kelayakan Proposal KSM.
Upaya mengangkat Juru Tagih dan Karyawan tetap ini sangat dirasakan efektifitasnya karena pelayanan kepada KSM menjadi lebih teratur dan tertib. Dengan adanya Juru Tagih kuantitas KSM yang bermasalah semakin hari semakin berkurang, sebab ada petugas yang khusus menangani setiap KSM yang tercatat kurang baik dalam menunaikan kewajibannya dalam membayar angsuran pinjaman usaha ekonomi produktif. Demikian juga dengan adanya seorang Staf Administrasi, walaupun volume pekerjaan semakin meningkat namun tidak mengalami kesulitan, sebab sudah ada karyawan yang siap mengerjakan sampai tuntas. Yang paling dirasakan manfaatnya dari penambahan staf administrasi ini adalah terutama terhadap pelayanan kepada KSM, yaitu selalu ada staf yang siap membantu dan menampung/menerima pembayaran angsuran setiap hari dalam jam-jam kerja.
Selanjutnya berkaitan dengan pembentukan satuan tugas dai para pengurus BKM, satuan tugas Konsultasi Klinik P2KP bertugas memberikan saran dan perbaikan terhadap para KSM yang mengalami kesulitan dalam membuat dan menyusun proposal pengajuan kredit P2KP. Satgas ini berkedudukan atau stand bay di kantor BKM. Yang dipilih untuk menjadi satgas Konsultasi Klinik ini dalah Bapak
H. Djarkasi dan Edy Irawan, SE. Sedangkan Satgas Penilai Kelayakan Proposal KSM adalah petugas yang melakukan survey dan penilaian guna menentukan skor nilai di dalam Instrumen Penilaian, sehingga setiap KSM bisa diketahui layak tidaknya untuk menerima bantuan kredit P2KP. Yang bertindak sebagai anggota Tim Penilai Kelayakan Usulan KSM adalah semua Anggota Pengurus kecuali yang telah dipilih sebagai tim Konsultasi Klinik P2KP. Adapun Instrumen Penilaian tersebut dapat dilihat pada tabel 4.8.



f. Mereformasi struktur pengurus
Selain dari upaya yang telah dikemukakan sebelumnya, BKM Bandulan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan khususnya penanggulangan kemiskinan juga melakukan mengadakan reformasi struktur kepengurusannya. Hal ini dilakukan karena penempatan personil pengurus yang lalu sudah dirasa kurang memadahi, yang disebabkan selain adanya perangkapan jabatan penting juga terdapat pengurus yang oleh sesuatu hal tidak dapat mencurahkan sepenuhnya kesempatan dan perhatiannya pada tugas-tugas di BKM.
Perangkapan jabatan yang semula terjadi dalam jabatan Bendahara BKM dengan Ketua UPK, oleh karena semakin bertambahnya volume tugas pekerjaan BKM, maka perangkapan jabatan tersebut dirasakan kurang memadai lagi. Sehingga diadakan perubahan susunan pengurus menjadi berikut yaitu Bendahara BKM tetap dijabat oleh Bapak H. Sutrisno, sedangkan Ketua UPK dijabat oleh Bapak H. Fathurrahman yang semula sebagai Staf UPK (Keputusan BKM, 2002).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa upaya yang telah dilakukan oleh BKM Kelurahan Bandulan sudah cukup optimal untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam melaksanakan program P2KP di wilayahnya. Upaya tersebut ditempuh melalui mekanisme proses pembelajaran (learning process).


Kendala BKM Dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai lembaga pelaksana proyek P2KP tentunya BKM banyak mengalami hambatan dan kendala. Kendala tersebut bisa datang dari luar tubuh BKM sebagai faktor eksternal, bisa pula berasal dari dalam tubuh BKM sendiri sebagai faktor internal. Kedua faktor tersebut sangat dirasakan pengaruhnya terhadap kelancaran pelaksanaan tugas BKM secara komprehensif.
Hambatan yang datang dari unsur luar tubuh BKM dapat berasal dari para KSM sebagai kelompok sasaran. Berawal dari proses pembentukannya, yang kebanyakan hanya bergabung sebagai kelompok karena merupakan prasyarat untuk memperoleh bantuan kredit, maka solidaritas kelompok masih sangat kurang.
Bertolak dari pernyataan tersebut di atas, diketahui bahwa pemberdayaan kelompok yang di rancang untuk program P2KP belum berjalan seperti yang diharapkan. Padahal berdasarkan manual proyek P2KP ditegaskan bahwa pemberdayaan komunitas (community empowerment) melalui KSM dipandang sebagai suatu keunggulan dari program P2KP. Namun karena proses pembentukan kelompok tersebut terjadi secara instant, maka keunggulan dinamika kelompok untuk menggalang sinergi dari potensi yang dimiliki para anggotanya tidak terjadi. Hambatan ini sangat mungkin terjadi bagi kelompok yang kurang siap menjadi suatu komunitas yang bersatu secara kohesif .
Selain dari yang dikemukakan di atas, KSM sebagai kelompok masyarakat yang tergolong kurang mampu, maka anggota KSM memiliki kelemahan baik fisik maupun mental. Kelemahan tersebut dapat berupa aspek pendidikan dan pengetahuannya yang masih rendah, kemampuan dan ketrampilan bekerja/berusaha yang masih kurang, tidak stabilnya kondisi ekonomi kelurga dan lain sebagainya. Hal itu dapat menjadi hambatan bagi BKM untuk mengharapkan partisipasi anggota KSM guna ikut terlibat dalam program P2KP. Sebagai ilustrasi, seseorang yang dapat diberi bantuan kredit ekonomi produktif harus mengajukan proposal dan telah mempunyai modal usaha (swadaya). Oleh karena pendidikan dan pengetahuan yang masih rendah, maka mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menyusun proposal bantuan kredit, sehingga BKM harus memberikan perhatian yang lebih guna membantu mereka membuat usulan kredit. Ketika harus menyebutkan dan merinci modal awal yang dimiliki dalam proposal, mereka merasa kebingungan karena pada dasarnya memang belum mempunyai moda usaha sebagai syarat dikabulkannya permohonan bantuan dana.
Peran serta masyarakat penerima manfaat proyek P2KP sering terganggu oleh adanya kondisi yang dialaminya. Seperti halnya bagi para anggota KSM yang terpaksa tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk membayar angsuran karena kondisi yang tidak memungkinkan. Kondisi tersebut terjadi seperti pada saat pembukaan tahun pelajaran, menjelang Hari Raya, ataupun saat-saat yang mengharuskan masyarakat memprioritaskannya.
Selain dari yang dikemukakan di atas, faktor rongrongan dari oknum yang memberikan informasi yang tidak benar tentang P2KP, sangat menyulitkan pihak BKM guna mengharapkan partisipasi dari warga masyarakatnya. Informasi bahwa P2KP tidak ubahnya seperti program Jaring Pengaman Sosial (JPS) lainnya yang karena sesuatu dan lain hal banyak mengalami kegagalan. Banyak anggota KSM pada awalnya yang memperoleh informasi bahwa bantuan kredit P2KP tidak perlu dikembalikan, karena dana itu memang untuk orang miskin jadi tidak perlu dikembalikan. Sehingga pihak pengurus BKM pada mulanya agak kerepotan menghadapi rongrongan dari para “provokator” agar masyarakat yang menerima bantuan kredit kembali percaya bahwa dana P2KP ini memang milik dan diperuntukkan bagi kesehteraan seluruh warga masyarakat Kelurahan Bandulan. Oleh karena itu justru masyarakat jugalah yang seharusnya mengembangkan dan sekaligus mengamankannya untuk kepentingan bersama.
Kendala selain yang telah dikemukakan di atas juga timbulnya hambatan dari rentannya para anggota KSM dalam mempertahankan keberlangsungan usahanya, sebagai akibat dari minimnya modal yang dimiliki termasuk yang berasal dari P2KP. Untuk mempertahannya produksinya suatu anggota KSM merasakan sangat berat, sebab modal yang dikeluarkan untuk ongkos produksi akan berkurang jika pembayaran dari hasil penjualan produk kurang lancar. Seperti halnya yang dialami oleh KSM Fiber Glass yang bergerak dalam usaha kerajinan patung hiasan dan souvenir dari bahan fiber atau gibs.
Mereka terpaksa berhenti untuk sementara kegiatan produksinya akibat pembayaran dari pihak pembeli atau pedagang tidak bisa tunai melainkan dibayar setelah barang dagangan berupa hasil produk KSM tersebut sudah laku. Dengan demikian untuk melaksanakan kegiatan produksi, mereka tidak punya dana sebagai modal/ongkos produksi.



Sedangkan hambatan yang berasal dari faktor internal pengurus terjadi, yaitu untuk mengharapkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan program P2KP yang dilaksanakan oleh BKM, maka terlebih dahulu dibutuhkan tumbuhnya peran aktif dari seluruh pengurus BKM yang perlu digalakkan. Hal itu memang sudah sewajarnya, karena pengurus memang dipilih oleh warga masyarakat untuk rela menyediakan waktu dan pikirannya guna berkiprah dalam lembaga kemasayarakatan BKM ini. Hambatan yang timbul berkenaan dengan peran setiap anggota Pengurus BKM adalah, bahwa lembaga ini hanya merupakan lembaga non formal atau lebih tepatnya sebagai lembaga sosial kemasyarakatan. Namun karena fungsi utamanya BKM dibentuk yaitu dalam rangka menjalankan Program P2KP yang mengarah pada lembaga menyalur pinjaman dana ke masyarakat. Sehingga dengan demikian agak berbeda dengan lembaga sosial kemasyarakatan lainnya, yang hanya bersifat sukarela tanpa paksaan.
Kegiatan BKM perlu penanganan khusus terutama berkaitan dengan pembukuan setiap keluar masuknya uang dari dan untuk KSM penerima bantuan kredit, untuk kemudian dibuatkan laporannya mulai dari laporan mingguan, bulanan, bahkan laporan tahunan, sebagaimana layaknya kantor Koperasi. Untuk mengharapkan partisipasi para pengurusnya, BKM agak kurang pas. Sebab tidak semua bagian/unit di BKM yang memerlukan penanganan serius setiap harinya, melainkan hanya kegiatan Unit Pengelola Keuangan (UPK) yang harus melayani para KSM yang hendak membayar angsuran bulanannya. Sehingga untuk memaksa para pengurus aktif datang di Kantor BKM setiap hari selama jam-jam kerja sangat mustahil, sebab sebagian dari pengurus yang bersatus sebagai pegawai negeri. Maka dari itu kemudian semua pengurus bermufakat untuk diputuskan bahwa setiap pengurus dijatah harus hadir di Kantor BKM minimal 2 (dua) kali dalam seminggu diluar rapat pengurus. Dari keputusan tersebut kemudian disusunlah Jadwal Piket Harian Pengurus.
PEMBAHASAN
Partisipasi Masyarakat Dalam Implementasi P2KP
Sebelum memberikan ulasan dan pembahasan terhadap fokus penelitian ini maka terlebih dahulu disampaikan kembali temuan penelitian sebagai berikut:
Kadar partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program P2KP bisa dibilang cukup tinggi, walaupun hanya untuk mengikuti pelaksanaan program saja sedang pada tahapan perencanaan dan pengamanan keberlangsungan program masih belum nampak.
Berdasarkan temuan tersebut dapat diketahui bahwa partisipasi masyarakat Kelurahan Bandulan yang dapat dikatagorikan cukup baik walaupun hanya terhadap pelaksanaan Program P2KP. Hal itu mengandung makna bahwa keterlibatan masyarakat dalam program P2KP hanya terbatas pada saat pelaksanaan program saja.
Kalau dikaji berdasarkan bentuknya, partisipasi yang dapat dilakukan oleh masyarakat penerima program menurut Cohen dan Uphoff (1977) terdiri dari (1) partisipasi dalam pengambilan keputusan, (2) implementasi, (3) pemanfaatan, dan (4) dalam evaluasi program. Oleh karena itu maka bentuk partisipasi masyarakat Kelurahan Bandulan masuk dalam bentuk partisipasi implementasi dan partisipasi pemanfaatan program. Temuan ini didukung oleh hasil penelitian dari Nordholt, 1986 (dalam Supriatna, 2000) juga membuktikan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan terbatas pada pelaksanaan pembangunan (implementation of development program). Jadi dengan demikian setelah dicermati lebih lanjut adanya partisipasi masyarakat tersebut masih bersifat ikut ikutan, dalam artian bahwa masyarakat hanya menyambut saja program pembangunan yang diluncurkan oleh pihak lain, dalam hal ini Pemerintah Pusat yang dituangkan dalam Manual Proyek P2KP.
Sedangkan yang berikutnya adalah bahwa masyarakat baru mau ikut terlibat apabila program pembangunan tersebut bisa menguntungkan dirinya dan keluarganya. Sehingga bukan merupakan kesadaran diri untuk ikut terlibat dalam suatu program pembangunan. Berkaitan dengan hal ini patut disimak apa yang dikemukakan oleh Korten (1984) sebagai berikut: “walaupun dalam tahap pertama usaha pembangunan dengan titik berat pada pengerahan dana dan daya orang kebanyakan bersedia menerima pengambilan keputusan yang terpusat, pada suatu titik ia menghendaki diikut sertakan dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi perikehidupannya dan perikehidupan anggota keluarganya”.
Intinya adalah bahwa suatu program pembangunan harus dipahami dulu oleh masyarakat sebagai target groups, jika ingin mendapatkan dukungan yang spontan dari masyarakat. Dengan demikian pembangunan yang diselenggarakan akan berhasil jika didukung oleh partisipasi masyarakat yang bersangkutan, seperti dikemukakan oleh Kartasasmita (1997: 56) menyatakan bahwa studi empirik banyak menunjukkan kegagalan pembangunan ataupun pembangunan tidak dapat memenuhi sasarannya akibat kurangnya partisipasi masyarakat.



Kenyataan yang terjadi selama ini dimana program pembangunan seperti P2KP merupakan program yang diperuntukkan kepada masyarakat khususnya dalam menanggulangi kemiskinan. Program yang demikian itu masih menggunakan konsep pembangunan untuk masyarakat dan bukan program yang berpusat pada masyarakat. Sebagaimana Korten (1988) yang disitir oleh Supriatna (2000), menyatakan bahwa pendekatan dalam kegiatan pembangunan yang masih berorientasi pada masyarakat (people oriented) harus dirubah dengan pendekatan pembangunan yang berpusat pada masyarakat.(people centered). Artinya pastisipasi masyarakat bukan sebagai faktor ikutan (nurturent factors) melainkan sebagai fantor utama (main factors) dalam setiap program pembangunan.
Seperti halnya dalam P2KP ini, masyarakat tidak hanya dituntut untuk ikut mensukseskan penyelenggaraan program, namun lebih jauh lagi yakni sebagai aktor tingkat lokal. Partisipasi masyarakat di Kelurahan Bandulan memang sudah cukup baik, namun akan lebih baik lagi apabila seluruh komponen masyarakat (tidak hanya masyarakat miskin yang dijadikan sasaran) turut bahu membahu menumbuhkan rasa saling peduli terhadap kondisi sosial di lingkungannya. Pendek kata bahwa partisipasi masyarakat seharusnya tidak hanya dituntut bagi yang berperan sebagai objek, tetapi yang paling penting justru harus ditujukan bagi yang berperan sebagai subyek pembangunan.


Upaya BKM Dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat
Temuan hasil penelitian tentang upaya yang telah dilakukan oleh BKM dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program P2KP dapat disampaikan kembali sebagai berikut:
Upaya yang telah dilakukan oleh BKM Kelurahan Bandulan sudah cukup optimal untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam melaksanakan program P2KP di wilayahnya. Upaya tersebut ditempuh setelah melalui mekanisme proses pembelajaran (learning process).
Walaupun dengan segala keterbatasannya, pengurus BKM telah berusaha memberikan pelayanan yang terbaik. Dilandasi oleh prinsip-prinsip dan asas-asas P2KP, pengurus berusaha melakukan upaya konkret guna memperoleh dukungan dan peran serta masyarakat dalam menyelenggakan program P2KP. Secara umum upaya-upaya tersebut merupakan suatu keputusan kolektif yang diambil pengurus BKM setelah mengamati dan merasakan adanya kekurangan atau kelemahan dari yang sudah terjadi atau telah berlaku. Sebagai contoh salah satu upaya yaitu menggalakkan sosialisasi ke-P2KP-an. Upaya ini sangat strategis dan fungsional untuk berusaha menggugah rasa kepedulian terhadap program yang sedang di jalankan. Sebab melalui sosialisasi masyarakat akan mempunyai pemahaman yang benar terhadap seluk beluk program/proyek.
Pentingnya sosialisasi dalam suatu program pembangunan dikemukakan oleh seorang pakar komunikasi Prof. Dr. Moh. Budiatna, (2001) sebagai berikut: “dalam sebuah program pemberdayaan masyarakat, sosialisasi sangat diperlukan. Sosialisasi yang paling efektif dilakukan oleh aparat pemerintah jika dibantu oleh tokoh masyarakat setempat. Ituptun dengan syarat tertentu yaitu, apabila aparat pemerintah dan tokoh masyarakat tersebut benar-benar jadi panutan masyarakat. Namun kecenderungan selama ini, tidak sedikit masyarakat yang tidak mempercayai aparat pemerintah setempat”.
Untuk memahami tujuan program sehingga capacity and institution building dapat tercapai, maka kemampuan masyarakat kelompok sasaran untuk memperoleh dan memanfaatkan informasi tentang program menjadi sangat penting. Setiap program yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pada hakekatnya membutuhkan keterlibatan kelompok sasaran pada program tersebut. Dengan diketahuinya tujuan dan sasaran program oleh masyarakat, maka niscaya partisipasi dan keterlibatan masyarakat tersebut terhadap program yang dilaksanakan akan meningkat. Hal ini diungkapkan oleh Supriatna (2000) bahwa penyebaran dan penyaluran informasi yang tepat merupakan salah satu bidang permasalahan yang perlu mendapat perhatian dalam menelaah pelaksanaan program pembangunan.
Meskipun disadari bahwa informasi merupakan penentu keberhasilan suatu program, namun pada kenyataannya penyebaran informasi dalam masyarakat tidak merata. Seperti yang disampaikan oleh Alwi Dahlan (1980) bahwa ada ketimpangan arus informasi dalam masyarakat yang menyebabkan golongan berpenghasilan rendah tidak memperoleh kesempatan cukup untuk mendapatkan informasi yang dapat meningkatkan taraf hidupnya. Dengan demikian orang yang dapat mengambil manfaat dari suatu program adalah mereka yang dekat dengan jaringan/saluran informasi, dan biasanya mereka itu adalah yang berada di lapisan atas. Ketidakmampuan memperoleh informasi tentang suatu program akan menyebabkan masyarakat tidak mampu memanfaatkan program tersebut, dan pada gilirannya program itu akan mengalami kegagalan.



Semua upaya yang telah dilakukan oleh BKM Bandulan didasarkan atas sesuatu hal/fenomena yang dirasa dapat mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas, peran, dan fungsinya sebagai pelaku pembangunan tingkat lokal. Fenomena tadi hanya dapat ditangkap atau dimaknai sebagai sesuatu yang termasuk kekurangan, apabila di tubuh BKM sendiri terjadi proses monitoring dan evaluasi program. Pengawasan dan penilaian tersebut tidak harus melalui suatu kegiatan yang bersifat formal seperti kegiatan Audit, melainka juga bisa dilakukan sendiri memalui proses refleksi atau mawas diri seperti yang terjadi pada proses kaji tindak (action research).
Dengan demikian tanpa melalui proses identifikasi kebutuhan (need assessment) yang dilakukan dengan menggunakan pemikiran reflektif (reflective thinking), kemudian dilanjutkan dengan penyusunan rencana kerja (action plann), untuk kemudian diterapakan dan dimonitor serta dieveluasi, maka Upaya yang dipilih dan dijalankan tidak akan berhasil menyelesaikan masalah.


Kendala BKM Dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat
Temuan penelitian yang berkaitan dengan fokus penelitian kendala yang dihadapi oleh BKM Bandulan dalam menumbuhkan serta meningkatkan partisipasi masyarakat dapat disampaikan sebagai berikut:
Kendala BKM untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam implementasi P2KP dapat digolongkan sangat serius. Kendala tersebut selain berasal dari faktor yang menghambat usaha-usaha untuk membela orang kecil/masyarakat miskin, juga datang dari faktor kondisi internal masyarakat miskin itu sendiri.
Kendala yang tampak nyata adalah kendala yang berasal dari faktor eksternal BKM yaitu dari pihak KSM sebagai kelompok penerima manfaat program. Faktor eksternal tersebut sangat erat berhubungan dengan unsur karakteristik dari masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran, yaitu keterbelakangan, kerentanan, dan ketidak berdayaan menghadapi lingkungan baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.
Keterbelakangan pendidikan misalnya, disinyalir merupakan faktor yang cukup signifikan dapat mempengarui ketidak mampuan berkarya dan beraktivitas yang menuntut ketrampilan tertentu. Pemberian bantuan yang sifatnya menuntut daya analisis tidak dapat dilaksanakan, sehingga sangat memakan waktu agar mempunyai kemampuan dan ketrampilan yang dikehendaki. Demikian juga dengan aspek kerentanan yang selalu menghantui para masyarakat utamanya yang berpenghasilan rendah. Aspek ini sangat mempengaruhi ketidak aktifan seseorang dalam suatu program pembangunan seperti P2KP ini. Partisipasi mereka sangat tergantung dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi di sekitarnya. Seperti misalnya pada musim tertentu, (seperti kekeringan) mereka tidak dapat dituntut untuk meningkatkan partisipasinya, sebab untuk mempertahankan hidupnya saja mereka sangat sulit dan sangat mengharapkan bantuan dari warga sekitarnya yang lebih mampu. Sehingga partisipasi mereka sangat rentan dan tergantung pada faktor diluar dirinya.
Aspek ketidak berdayaan masyarakat miskin juga sebagai faktor penghambat upaya meningkatkan partisipasi mereka. Hal ini disebabkan oleh sifat dari ketidakberdayaan itu sendiri, dimana untuk melindungi dirinya sendiri mereka tidak mapu apalagi diminta untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Banyak dari mereka tidak dapat berbuat banyak dan pasrah pada apa yang sedang dan akan terjadi pada dirinya. Usaha mengentaskan masyarakat miskin dari kemiskinannya secara hakiki sama sulitnya dengan usaha memberdayakannya. Karena menurut Adam Malik (dalam Alfian, 1980) upaya tersebut akan dapat terwujud jika ada kemauan untuk mengubah struktur masyarakat yang selama ini berlaku. Sehingga untuk memberdayakan dan mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, menurut Latief dan Suryatiningsih (1994) akan menemukan kendala yang besar. Menurut mereka terdapat dua kelompok kendala yang akan dihadapi untuk mengestas kemiskinan, yaitu kendala yang bersifat umum dan kendala yang bersifat khusus. Kendala umum yaitu kendala yang menghambat usaha-usaha membela orang kecil atau orang miskin, sedang kendala yang bersifat khusus yaitu kendala yang terdapat pada diri orang miskin itu sendiri atau orang yang hidup di daerah miskin.
Kendala yang pertama sebenarnya menyangkut pihak luar dari masyarakat miskin, khususnya datang dari pemerintah atau lembaga non pemerintah yang peduli terhadap nasib orang miskin. Dalam hal ini pertanyaan yang dianggap sesuai adalah seberapa besar komitment pemerintah untuk memihak dan membela orang miskin? Kemudian, sejauhmana sebenarnya kita peduli dan memahami kehidupan orang miskin dengan segala aspeknya? Ini akan memperbaiki persepsi seseorang terhadap masyarakat/penduduk miskin, sebab banyak orang yang merasa tahu tentang orang miskin dan ingin membantu mereka, namun si miskin sama sekali tidak memahami dan tidak mau tahu dengan “perjuangan orang tersebut”.



Sedang kendala kedua yakni kendala yang menyangkut kondisi internal masyarakat miskin itu sendiri. Latief dan Suryatiningsih (1994) menemukan tiga kendala utama. Kendala tersebut adalah (1) kendala yang bersifat fisik-alamiah, (2) struktural-kultural, dan (3) yang bersifat sistemik. Kendala fisik-alamiah disini adalah hambatan yang dihadapi masyarakat miskin karena faktor alam/fisik yang tidak menguntungkan sebagai warisan para pendahulunya, seperti lahan yang tidak subur, tandus, kering, dan berbukit. Untuk mengurangi atau jika mungkin mengatasi kendala tersebut hanyalah ditemukannya teknologi tepat guna dan yang berhasil guna. Adapun kendala struktural-kultural adalah berlakunya hubungan sosial dan interaksi sosial yang khas dalam masyarakat yang mengakibatkan berlangsungnya kebiasaan atau budaya yang dapat membatasi inisiatif dan semangat mereka untuk berkembang.
Sedangkan kendala ketiga yang bersifat sistemik disini adalah berlangsungnya suatu pola pengontrolan terhadap sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang sangat tidak menguntungkan bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin. Ketiga kendala utama tersebut saling terkait dan dapat menyebabkan kurang berhasilnya upaya meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap suatu program pembangunan apabila hanya memperhatikan salah satu dari ketiga dimensi kendala tersebut.
Yang menjadi kunci untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan sebenarnya berada pada kekuatan dalam diri masyarakat sendiri, untuk itu diperlukan upaya memberi daya kepada masyarakat atau dengan kata lain memberdayakan masyarakat. Upaya memberi daya tersebut tidak dapat disamakan hanya dengan memberi bantuan finansial belaka, namun harusnya lebih dari sekedar itu. Pemberdayaan masyarakat dalam tataran praktis harus berupa tindakan konkrit yang dapat meningkatkan kemampuan dan ketrampilan masyarakat atau lebih dikenal dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia.


KESIMPULAN
Berdasarkan penyajian hasil dan pembahasan seperti yang dikemukakan pada bagian terdahulu, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
1 Partisipasi masyarakat Kelurahan Bandulan sudah cukup menunjang dalam rangka pelaksanaan program P2KP, meskipun bentuk partisipasinya masih dalam tataran turut mengimplemantasikan program pembangunan. Partisipasi masyarakat khususnya masyarakat yang tergolong miskin sangat antusias mengikuti program P2KP, karena program ini memang ditujukan untuk mereka dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Namun masyarakat yang sudah tergolong mampu masih dirasa kurang tingkat kepeduliannya dalam mensukseskan program P2KP, terutama untuk ikut menyumbangkan potensi yang dimilikinya baik berupa materi maupun pikirannya demi upaya menanggulangi atau mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.
2 BKM Kelurahan Bandulan telah banyak melakukan upaya demi meningkatkan partisipasi masyarakatnya secara optimal. Upaya tersebut dilakukan berdasarkan pengalaman yang diperoleh selama menyelenggarakan program P2KP. Melalui proses pembelajaran yang dialami selama mengemban tugas sebagai lembaga pelaksana proyek P2KP di tingkat lokal, BKM Kelurahan Bandulan telah melakukan usaha perbaikan, menambah, dan menghilangkan hal-hal yang masih kurang sempurna, demi terjaminnya kelancaran pelaksanaan tugas, wewenang, serta tanggung jawabnya sebagai lembaga penyelenggara program P2KP.
3 Dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakatnya pada program P2KP, BKM Kelurahan Bandulan banyak menghadapi kendala yang cukup bervariasi. Kendala tersebut dapat dikelompokkan menjadi hambatan yang datang dari luar tubuh BKM, dan hambatan yang datang dari dalam diri BKM sendiri. Hambatan yang berasal dari luar BKM yaitu berupa belum dipahaminya aturan main dari program P2KP oleh masyarakat sehingga banyak yang menganggap bantuan kepada orang miskin tersebut tidak perlu dijaga kesinambungannya, selain juga hambatan yang bersangkut paut dengan kelemahan yang ada pada diri masyarakat miskin itu sendiri yang masih sangat rapuh untuk dipulihkan baik kondisi fisik-alamiahnya maupun kondisi mental-spiritualnya. Sedangkan hambatan yang berasal dari dalam tubuh BKM sendiri yaitu berupa masih rancunya status lembaga BKM sebagai lembaga sosial di satu sisi dan sebagai lembaga penyalur bantuan kredit di sisi lain, disamping hambatan yang berkaitan dengan koordinasi baik diantara maupun antar para pengurus masing-masing unit di BKM.
SARAN- SARAN Berdasarkan kesimpulan yang telah
dikemukan di atas, maka penulis menyarankan
hal-hal sebagai berikut:
1 Untuk menjaga keberlangsungan program P2KP di Kelurahan Bandulan, disarankan agar partisipasi masyarakat tidak hanya diarahkan pada bentuk partisipasi yang hanya turut serta dalam rangka implementasi program, tetapi harus ditingkatkan menjadi partisipasi dalam merencanakan dan mengevaluasi hasil pelaksanaan program. Untuk itu perlu direncanakan suatu program yang melibatkan masyarakat pengguna program dalam setiap tahap pembangunan yaitu perencanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi program. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, maka pengurus BKM perlu melibatkan atau meminta masukan dari unsur elit lokal seperti tokoh masyarakat, perangkat Kelurahan, dan para ketua/pengurus RT/RW dalam setiap penyusunan program kerja BKM, sehingga para elit lokal tersebut dapat turut serta mensukseskan, dan mengawasi jalannya pelaksanaan program kerja tersebut, serta bahkan dapat ikut bertanggung jawab apabila dikemudian hari program tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan.
2 Agar upaya peningkatan partisipasi masyarakat lebih meningkat, maka disarankan terutama bagi para pengurus BKM agar lebih serius melakukan perencanaan program kerja serta giat melakukan koordinasi yang terpadu, baik diantara maupun antar institusi/organisasi terkait di tingkat lokal Kelurahan. Upaya perbaikan tanpa ditunjang dengan koordinasi dari para pelaksananya, maka tidak akan berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Berusaha menumbuhkan dan mempertahankan komitmen para pengurus

untuk lebih meluangkan waktu dan menuangkan pemikiran yang arif dan bijaksana demi turut serta menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di lingkungan wilayahnya.
3. Agar kendala yang dihadapi dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dapat diatasi dengan baik, maka perlu dilakukan pengkajian yang mendalam terhadap setiap unsur dan ciri permasalahan yang muncul dilapangan. Pengkajian ini bertujuan memperoleh gambaran yang utuh menyeluruh dari setiap masalah baik menyangkut personel, maupun berkaitan dengan komponen fisik yang mungkin dapat mempengaruhi keberhasilan suatu program pembangunan. Untuk itu pengurus BKM perlu melakukan kegiatan pemetaan terhadap potensi masyarakat Kelurahan Bandulan serta pemetaan terhadap kantong-kantong kemiskinan diwilayahnya. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan metode self survey atau menggunakan pendekatan paticipatory rural appraisal (PRA). Agar pengkajian terhadap permasalahan kemiskinan di wilayah kelurahan bisa dilakukan dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan, maka pihak BKM dapat meminta bantuan dari Lembaga pengabdian Masyarakat suatu Perguruan Tinggi yang terdapat di wilayah Malang.


DAFTAR PUSTAKA
Alfian, 1980, Kemiskinan Struktural: Suatu Bunga Rampai, Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial dan HIPIS, Jakarta.
Baswir, Revrisond. 1999. Pembangunan Tanpa Perasaan, Evaluasi Penemuan Hal Ekonomi Sosial Budaya Orde Baru. IDEA dan Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Budiatna, Moh., 2001, Sosialisasi Harus dibarengi Pengawasan, Media Partisipatif No. 2 Th. II Edisi Februari 2001.
Dahlan, Alwi, 1980, Jaringan Komunikasi Sosial di Pedesaan sebagai Saluran Pemerataan Informasi. Jakarta.
Kartasasmita, Ginanjar, 1996, Pemberdayaan Masyarakat: Sebuah Tinjauan Administrasi, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar FIA, Unibraw, Malang
Korten, David, 1984, Strategic Organization for People Centered Development, Public Administration Review Vol; 40 No. 5,
Latief, M Syahbudin dan Suryatiningsih, 1994, Beberapa Kendala Pemberdayaan Masyarakat Miskin, dalam Mubyarto, dkk, 1994, Keswadayaan Masyarakat Desa Tertinggal, Aditya Media, Yogyakarta



Miles, M.B dan Huberman, A.M., 1992, Analisis Data Kualitatif, UI Press, Jakarta
Salim, Emil, 1984, Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan, Inti Idayu Press, Jakarta
Soegijoko dan Kusbiantoro, 1997, Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia, Grasindo, Jakarta
Sumodiningrat, Gunawan, 1998, Membangun Perekonomian Rakyat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
-----------------, 1999, Pemberdayaan Masyarakat Dan JPS, PT Gramedia, Jakarta
Suparlan, Parsudi (Ed), 1993, Kemiskinan Di Perkotaan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Supriatna, Tjahya, 2000, Strategi Pembangunan Dan Kemiskinan, Rineka Cipta, Jakarta
Tim Persiapan P2KP, 1999, Manual Proyek P2KP, Buku Satu: Pedoman Umum, Sekretariat P2KP Pusat, Jakarta

0 comments: