Saturday 22 March 2008

TRANSFER DANA PUSAT, MOBILISASI PAD DAN DEMOKRASI LOKAL

TRANSFER DANA PUSAT, MOBILISASI PAD DAN DEMOKRASI LOKAL
Lely Indah Mindarti
Staf Pengajar Administrasi Publik & Divisi Media pada RCCP FIA-Unibraw Malang
Abstrak
Peningkatan transfer dana bantuan pusat yang tidak disertai penguatan demokrasi lokal, bukan hanya tidak efektif untuk mendorong pola-pola mobilisasi PAD yang konstruktif bagi pemberdayaan ekonomi daerah, tetapi juga akan sekedar menularkan wabah korupsi dari pusat ke daerah itu sendiri. Untuk mewujudkan demokrasi lokal yang efektif, sesungguhnya dibutuhkan tingkatan desentralisasi yang jauh lebih besar dari yang diperkirakan selama ini, yakni desentralisasi yang secara fundamental mampu mengubah tatanan kekuasaan politik dan manajemen kepemerintahan di daerah.
Keyword: transfer dana pusat, mobilisasi PAD & demokrasi lokal
Pengantar
Salah satu misi sentral diintrodusirnya otonomi luas berdasarkan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 adalah demi memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah itu sendiri (Hardjosoekarto, 2002:9). Dua UU tersebut kini telah diganti dengan UU No 32 dan 33 Tahun 2004, namun pada intinya misi yang diemban tetap belum bergeser dari Undang-Undang sebelumnya. Misi tersebut akan tercapai, apabila mobilisasi pendapatan daerah tidak sekedar berorientasi pada kepentingan memaksimalkan pendapatan daerah akan tetapi justru lebih pada kepentingan mendukung pemberdayaan dan penciptaan ruang yang lebih besar bagi peranserta masyarakat dan swasta dalam pengembangan ekonomi daerah itu sendiri.
Namun seiring diberlakukannya otonomi luas, telah diikuti maraknya gejala pelaksanaan otonomi yang lebih dimaknai sebagai automoney. Berbagai daerah berlomba-lomba menciptakan pungutan baru yang makin memberatkan masyarakat dan pelaku dunia usaha. Sejak tahun 2001 hingga awal 2003 saja, pihak Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah - Depkeu telah mengajukan usulan ke pihak Mendagri untuk dilakukan pencabutan terhadap 206 Perda yang dinilai bermasalah. Di luar 206 perda tersebut, masih ada ratusan perda bermasalah yang masih dalam tahap pengkajian yang nantinya juga akan diusulkan untuk dicabut (Surya: 13/08/2003).
Artikel ini secara ringkas mencoba melakukan refleksi teoritik atas gejala mobilisasi PAD yang nggedabyah pada kurun pelaksanaan otonomi luas. Adapun argumen utama yang dikembangkan adalah mobilisasi PAD akan efektif mendukung pemberdayaan ekonomi daerah, apabila kebijakan transfer dana bantuan dari pusat dipadukan (matching) dengan penguatan demokrasi lokal. Peningkatan transfer dana bantuan pusat yang tidak disertai penguatan demokrasi lokal, bukan hanya tidak efektif untuk mendorong pola-pola mobilisasi PAD yang konstruktif bagi pemberdayaan ekonomi daerah, tetapi juga akan sekedar menularkan wabah korupsi di pusat ke daerah itu sendiri.
Pola-Pola Mobilisasi PAD
Banyak studi yang dilakukan para pakar yang menegaskan bahwa pelaksanaan desentralisasi yang efektif, akan tercapai apabila mobilisasi pendapatan daerah lebih menekankan pada sumber-sumber PAD daripada non-PAD. Demikian pula desentralisasi akan efektif bagi peningkatan pelayanan publik, apabila mobilisasi PAD lebih menekankan pada sumber pendapatan non-pajak daerah. Studi empirik de Mello dan Berenstein (2002) menunjukkan bahwa governance meningkat ketika pengeluaran lokal lebih dibiayai oleh mobilisasi pendapatan non-pajak, khususnya yang berupa retribusi daerah (Abed and Gupta, 2002: 356).
Penekanan mobilisasi pendapatan daerah pada sumber PAD, terutama demi mendukung penguatan akuntabilitas pejabat lokal dan tanggungjawab masyarakat lokal. Seperti ditegaskan Oates (1972), International American Development Bank (1997) dan Bahl (1999), keseimbangan yang lebih baik antara penyediaan layanan publik dan kebutuhan penduduk, akan tercapai sepanjang biaya yang dibutuhkan terkait dengan mobilisasi pendapatan yang dilakukan di wilayah yang sama. Keterkaitan erat pengeluaran dan mobilisasi pendapatan lokal, akan dapat mendorong membaiknya akuntabilitas tindakan pemerintah (Abed and Gupta, 2002:335).
Weisner (1995) mengemukakan alasan serupa, pentingnya memperhatikan upaya fiskal daerah adalah berakar pada arti pentingnya warga membayar pajak, apa yang mereka peroleh, sehingga pihak-pihak yang membuat keputusan pengeluaran lokal akan terjaga akuntabilitasnya, melalui lembaga politik lokal. Wold Bank (1995) menekankan pula bahwa apabila kenaikan transfer tidak diimbangi kenaikan kontribusi lokal, betapa pun kecil jumlahnya, kecil sekali kemungkinan manfaat penuh desentralisasi dapat terwujud. Tanpa rasa memiliki dan tanggungjawab dari masyarakat setempat, efisiensi pengeluaran kelihatannya sangat tidak mungkin ditingkatkan (Bird dan Vaillancourt, 2000: 265).
Versi yang lain, menyatakan bahwa setiap transfer dari pusat pada dasarnya merupakan sedekah yang tidak diperlukan pemerintah daerah, jika mereka tidak terlalu boros dalam pengeluaran dan lebih tekun menarik pajak dari penduduknya. Transfer dana dari pusat justru akan mudah mengundang munculnya intervensi pusat kepada daerah yang akhirnya justru menimbulkan ketergantungan daerah kepada pusat itu sendiri (Davey, 1988: 259).
Secara teoritik, upaya mobilisasi PAD dapat dilakukan melalui pola intensifikasi dan ekstensifikasi (Halim, 2002:75-76). Pola intensifikasi, peningkatan pendapatan dilakukan dengan lebih menekankan pada penerapan nilai atau prinsip-prinsip perpajakan yang baik. Baik itu pada sumber pendapatan yang berupa pajak daerah, retribusi daerah, badan usaha milik daerah, dan usaha-usaha lainnya yang sah. Davey (1988) mengidentifikasikan prinsip utama perpajakan yang baik mencakup: kecukupan, elastisitas, pemerataan, kemampuan administratif, dan penerimaan politik (Davey, 1988:40). Devas (1989) menyatakan prinsip perpajakan yang baik itu mencakup: tingkat hasil, keadilan, dayaguna ekonomi, kemampuan melaksanakan, dan kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah (Devas, dkk 1989:61-62). Kemudian Musgrave (1993) pemungutan pajak hendaknya memenuhi syarat-syarat: keadilan, yuridis, ekonomis, efisien dan sederhana (Halim, ed., 2002:146).
Sedangkan pola ekstensifikasi, peningkatan pendapatan pemda dilakukan dengan lebih menekankan pada perluasaan sumber-sumber pendapatan baru. Baik yang berupa pajak daerah dan retribusi daerah, maupun usaha-usaha lainnya yang sah. Kalaupun dilakukan, upaya ekstensifikasi ini hendaknya lebih menekankan pada retribusi daripada yang bersifat pajak. Bahkan idealnya, upaya ekstensifikasi ini dilakukan pemda dengan jalan mengembangkan sumberdaya ekonomi daerah yang masih bersifat potensial menjadi lebih fungsional dan produktif. Sehingga tidak saja mampu berfungsi sebagai sumber pendapatan baru bagi pemda, tetapi juga mampu mengerakkan ekonomi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah sendiri. Atau kalau perlu, sudah saatnya mencari sumber pembiayaan alternatif dari pasar modal, seperti yang dilakukan Pemprov Sulawesi Utara melalui program reksadana Sulut Fund. Tujuan otonomi untuk menumbuhkan kreativitas pemda, dengan demikian akan benar-benar terwujud secara konstruktif dalam rangka memberdayakan ekonomi daerah.
Pratikno (2002) mengidentifikasikan sejumlah kriteria penting dalam menentukan jenis dan besaran sumber pendapatan dan belanja, yaitu: memfasilitasi dan memacu pertumbuhan ekonomi, meningkatkan dan menjamin pemerataan pembangunan, memberdayakan masyarakat, dan menjaga sustainabilitas pembangunan ekonomi dan pelayanan kepada masyarakat (Pratikno, 2002:22). Kriteria ini membawa konsekwensi dimana pajak dan retribusi harus bisa menjamin bahwa investasi tetap jauh lebih besar dan menarik dibanding konsumsi. Pajak dan retribusi daerah perlu lebih menekankan pemungutan dan pembebanan pada output kegiatan ekonomi dan bukan membebani proccess kegiatan ekonomi. Pajak dan retribusi harus menekankan pada kelompok dan wilayah yang lebih kaya. Kegiatan pemerintah harus menyeimbangkan kesejahteraan masa kini dengan masa akan datang, pemerataan antara generasi kini dan akan datang. Jenis-jenis pelayanan yang terlalu mengandalkan pada satu kekuatan (pemerintah saja) maupun didanai oleh satu jenis sumber pendapatan, akan sangat rentan terhadap perubahan. Karena itu, pola-pola multi-aktor dan multi sumber pendanaan, lebih menjamin keberlangsungan sebuah pelayanan (Pratikno, 2002: 22-23).
Studi empirik yang dilakukan Mitchell (1969) menunjukkan bahwa semakin demokratis sistem politik, kebijakan perpajakan akan semakin lebih menekankan pada pajak langsung (direct tax) daripada pajak tidak langsung (indirext tax), dan pada tarif pajak progresif (progresive tax) daripada tarif pajak regresif (regresive tax) (Heidenheimer, ed., 1975:229). Mardiasmo (2002) selanjutnya menegaskan bahwa kebijakan tidak
menambah pajak dan lebih meningkatkan retribusi ini didasarkan atas pertimbangan:
Pertama, pungutan retribusi langsung berhubungan dengan masyarakat pengguna layanan publik. Peningkatan retribusi secara otomatis akan dapat mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik karena masyarakat tentu tidak mau membayar lebih tinggi bila pelayanan yang diterima sama saja kualitas dan kuantitasnya. Kedua, investor akan lebih bergairah melakukan investasi di daerah apabila terdapat kemudahan sistem perpajakan di daerah. Penyederhanaan sistem perpajakan di daerah perlu dilakukan misalnya melalui penyederhanaan tarif dan jenis pajak daerah (Mardiasmo, 2002:149).
Penekanan pada intensifikasi tersebut, sangat sejalan dengan fungsi pajak yang tidak sekedar sebagai instrumen budgeter, namun sekaligus sebagai instrumen regulatory (Halim, ed., 2001:145). Perpajakan merupakan instrumen mendasar untuk menjalankan peran-peran ekonomi pemerintah (Pratikno, 2002:39). Baik itu berupa peran alokatif, distributif, regulatori, dan stabilisasi (Bailey, 1999:6). Disamping itu juga sangat relevan dengan kepatuhan membayar pajak masyarakat Indonesia yang masih rendah. Hal ini terlihat pada relatif rendahnya tax ratio yang hanya sebesar 12%, sedangkan tax ratio negara-negara ASEAN rata-rata sudah berkisar 25% (Mardiasmo, 2002:147). Demikian pula pada sisi petugas pajak, seperti ditegaskan Stone (1995) dari survei yang dilakukan terhadap dunia usaha, mengindikasikan bahwa aparat pajak cenderung lebih antusias mengumpulkan suap daripada pajak itu sendiri (Bird dan Vaillancourt, 2000:188).
Kebijakan Transfer Dana Pusat
Davey (1989) menegaskan hubungan keuangan pusat dan daerah, pada prinsipnya lebih menyangkut persoalan tentang pembagian kekuasaan. Terutama hak mengambil keputusan mengenai anggaran, yaitu bagaimana memperoleh dan membelanjakannya.
Tujuannya adalah mencapai adanya kesesuaian dengan peranan yang dimainkan oleh
pemerintah daerah (Devas, 1989:179). Davey (1989) mengidentifikasikan 2 bentuk utama
peranan Pemda yang masing-masing membutuhkan dukungan format kebijakan keuangan
yang berbeda. Kedua peranan dan format kebijakan keuangan yang sesuai dengan masing
masing peranan tersebut yakni sebagai berikut:
“Pertama, pandangan yang menekankan peranan pemerintah sebagai ungkapan kemauan dan indentitas masyarakat setempat. Pemerintah daerah merupakan wadah bagi penduduk setempat untuk mengemukakan keinginan mereka dan untuk menyelenggarakan urusan setemapt sesuai dengan keinginan dan prioritas mereka. Adapun peralatan keuangan yang dibutuhkan mencakup: (1) kekuasaan untuk menghimpun sendiri pajak yang dapat banyak menghasilkan pemasukan dan menentukan sendiri tarif pajak; (2) bagi hasil pajak nasional antara pemerintah pusat dan daerah; dan (3)bBantuan umum dari pemerintah pusat tanpa pengendalian oleh pemerintah pusat atas penggunaannya.
Kedua, pandangan yang menekankan peranan pemerintah daerah sebagai lembaga yang menyelenggarakan layanan-layanan tertentu untuk daerah dan sebagai alat yang tepat untuk menebus biaya memberikan layanan yang bermanfaat untuk daerah. Sedangkan peralatan keuangan yang sesuai untuk peran ini adalah peralatan yang tidak menuntut wewenang tersendiri bagi pemerintah daerah untuk mengambil keputusan di bidang keuangan. Peralatan semacam ini mencakup: (1) Wewenang mengenakan pajak atau pungutan tetapi tanpa hak menetapkan tarif pajak atau pungutan; (2) Bantuan untuk layanan atau program tertentu; dan (3) Bantuan untuk menyamakan jumlah atau mengimbangi kekurangan, berdasarkan perkiraan yang dibuat pusat dan bukan berdasarkan perkiraan kebutuhan setempat” (Devas, 1989:180-181).
Penegasan tersebut, pada intinya menekankan pentingnya keseimbangan antara beban urusan yang menjadi tanggungjawab pemda dan kewenangan finansialnya. Semakin luas urusan yang menjadi tanggungjawab pemda, semakin besar pula kewenangan finansial yang dibutuhkannya. Sebagai konsekwensinya, seperti ditegaskan Hun Cho dan Meinardus (1996) if decentralizacion of power is the aim, then logically decentralization public finances must go with it (Hun Cho dan Meinardus, 1996:175). Argumen dasar ini selanjutnya mendorong munculnya prinsip baru dalam politik pembiayaan desentralisasi. Prinsip baru ini tercemin pada adagium no mandate wihtout funding atau money follow functions menggantikan prinsip kuno yang dikemukan Wayong (1956) yaitu functions follow money yang dinilai tidak realistik dan menyesatkan (Gaffar,dkk, 2002:189).
Undang-undang baru tentang Pemerintahan Daerah, merupakan undang-undang tentang pelaksanaan desentralisasi yang mendasarkan pada prinsip keseimbangan. Ditegaskan bahwa kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka desentralisasi, harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Namun operasionalisasinya, prinsip ini masih banyak mengundang kontroversi. Gaffar, dkk (2002) menilai bahwa peraturan tentang masalah keuangan daerah yang ada masih bersifat setengah hati, karena titik beratnya masih tetap pada pembagian proporsi, bukan kepada pemberian kewenangan yang luas sebagaimana yang dinyatakan dalam UU No. 22/1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32/2004 (Gaffar, dkk, 2002:203). Uang memang merupakan sesuatu yang mutlak, namun uang bukan satu-satunya alat menggerakkan roda pemerintahan. Kata kunci otonomi adalah kewenangan. Dengan kewenangan, uang akan dapat dicari (Gaffar, dkk, 2002: 213).
Pada sisi perpajakan, sistem perpajakan nasional yang ada dinilai masih cenderung sentralistik. Pajak langung dan tidak langsung yang penting dan produktif, tetap ditangani pusat. Tidak ada pajak tambahan (hak opsi) yang dapat dikenakan pemda atas pajak-pajak yang diadministrasikan pusat (Yuworo, 2002:18). Demikian pula dalam bidang perpajakan daerah yang diatur dalam UU No. 34/2000 dan PP No. 65/2001. Tarif pajak daerah telah ditentukan pusat, terutama dalam bentuk tarif pajak tetap dan tarif pajak maksimal. Dalam peraturan ini, pemda diijinkan melakukan ekstensifikai sepanjang memperoleh persetujuan DPRD. Namun hal ini tidak berarti pemda memiliki kewenangan yang mandiri untuk menetapkannya. Pemerintah pusat tetap memiliki hak veto untuk menolak (mencabut) pajak yang dibuat daerah (Brojonegoro, 2002:19). Berbagai persoalan krusial ini mengindikasikan, perangkat peraturan yang ada belum memberikan kepada pemda sejumlah instrumen perpajakan yang signifikan dan independen (Alms, 2002: 88).
Demikian pula dalam persoalan dana perimbangan. Pada sisi kebijakan bagi hasil, pola bagi hasil masih dilakukan basis per basis pajak dan belum mencakup setiap sumber pendapatan pusat yang ada di daerah. Penekanan lebih besar pada bagi hasil sumberdaya alam (SDA), dinilai lebih menguntungkan daerah yang kaya SDA dan tidak menguntungkan daerah yang bukan penghasil kekayaan alam tersebut (Pratikno, 2002:66). Sedangkan sumberdana alokasi umum, meskipun didasarkan formula yang lebih obyektif dan transparan, tetapi cenderung lebih mengutamakan pemerataan dan kurang memperhatikan sisi keadilan. Bahkan cenderung bersifat disinsentif karena tidak memperhitungkan kontribusi daerah kepada pendapatan pusat. Demikian pula pendekatan 25% dari pendapatan dalam negeri, belum dikembangkan untuk mencapai sufficiency pembiayaan daerah (Soekarwo, 2002).
Secara umum, transfer keuangan intra-pemerintahan hendaknya mampu mendorong peningkatan manajemen fiskal yang baik dan menghidari parktek yang tidak efisien (Syah, 1994:71). Bahkan mampu mengurangi beban perpajakan lokal yang relatif tinggi (Bailey, 1999:207). Upaya seperti ini akan dapat dilakukan pemda, apabila pemda memiliki kewenangan memadai di bidang pengelolaan sumberdaya ekonomi. Terutama kewenangan pemda dalam mengendalikan tarif pajak daerah (local tax power) (Bird dan Vaillancourt, 2000:49). Pemda juga perlu memiliki dana memadai, sehingga memiliki fleksibilitas untuk lebih menekankan pada intensifikasi. Bahkan kemungkinan memberikan tax holidy demi merangsang investasi di daerahnya (Mardiasmo, 2002:153). Studi yang dilakukan de Mello dan Berenstein (2002) menunjukkan semakin besar bagian dana yang dibelanjakan daerah, semakin besar keterkaitan positip antara desentralisasi dan perwujudan governance (Abed and Gupta, 2002:360).
Agar tidak terjadi pelemahan upaya fiskal daerah, setiap desain perimbangan keuangan harus bersendikan elemen potensi kapasitas penerimaan daerah (Bird dan Vaillancourt, 2000:45). Misalnya di Spanyol, 25% dana perimbangan daerah dialokasikan menurut penerimaan pajak daerah dan 70% menurut jumlah penduduk. Denmark dan Swedia, seperi Kanada dan Australia, secara eksplisit mengkalkulasikan dana perimbangan dengan mengasumsikan penerapan tarif pajak daerah menurut rata-rata nasional. Daerah yang menetapkan tarif pajak di atas rata-rata tarif pajak daerah, tidak diberi sangsi dengan pengurangan dana perimbangan. Sementara yang menerapkan tarif di bawah rata-rata, diberi insentif kenaikan dana perimbangan yang diterimanya.
Demikian pula, keuangan intra pemerintahan tidak seharusnya mengandung kompleksitas yang tidak perlu. Di semua negara, kompleksitas hunbungan fiskal antar pemerintahan tidak dapat dihindari dan biasanya tidak memuaskan bagi pihak-pihak yang terkait. Jika apa yang dikerjakan pusat adalah mesukseskan suatu tujuan khusus, lakukanlah tanpa menambah kerumitan atas keuangan intra-pemerintahan. Bilamana mungkin, transfer langsung ke kelompok masyarakat miskin lebih baik daripada transfer tidak langsung melalui daerah.
Kebijakan keuangan intra pemerintah, karenanya perlu dirancang lebih cermat. Devas (1988) mengemukakan tujuh kriteria dasar yang perlu diperhitungkan yaitu: simplicity (kesederhanaan, formula alokasi mudah dimengerti), adequacy (cukup untuk membiayai kebutuhan dasar daerah), elasticity (menyesuaikan diri terhadap inflasi, dll), stability and predictability (jumlah alokasi relatif stabil dan mudah diprediksi), equity (unsur pemerataan daerah), economic efficiency (menjamin efisiensi penggunaan dana), serta decentralization and local accountability (menjamin otonomi daerah dan akuntabilitas lokal) (Pratikno, 2002:61). Kriteria serupa ditegaskan oleh Syah (1994) yang mengemukakan sejumlah kriteri dasar yang perlu dipertimbangkan dalam merancang transfer keuangan intra-pemerintahan yaitu: autonomy, revenue adequacy, equity, predictability, efficiency (neutrality), simplicity, incentive, and safeguard of grantor’s objectives (Syah, 1994:30).
Disamping PAD dan dana transfer pusat, sumber dana pemda lainnya yang potensial adalah “pinjaman daerah” (local borrowing). Berdasarkan Undang-undang, daerah diberikan kewenangan melakukan pinjaman. Baik itu pinjaman pada pusat, bank komersial, dan institusi keuangan lainnya. Termasuk melakukan pinjaman ke luar negeri. Akan tetapi melalui peraturan No. 107/2000, kewenangan ini oleh pusat diatur sangat ketat sekali yang pada akhirnya justru mempersulit kemungkinan pemda melakukan pinjaman.
Bahkan berkat tekanan IMF kesempatan pemda melakukan pinjaman ini tertutup paling
tidak sampai terselesaikannya krisis ekonomi nasional (Brojonegoro, 2002:21).
Pelarangan kepada pemda melakukan pinjaman ini, dapat menimbulkan kondisi
kurang mendukung bagi percepatan perbaikan kinerja pemda. Bahkan merupakan bentuk
patronase lama untuk melindungi kinerja pemda yang tidak efektif. Seperti dikemukakan
Bird dan Vaillancourt (2000):
“Pemberlakuan batasan utang untuk mencegah kesalahan fiskal pada pemda dapat berakibat buruk. Karena dapat membendung terjadinya sangsi pasar secara alamiah. Kreditur potensial pemerintah, dapat memiliki kemampuan dan motivasi untuk membuat evaluasi kemungkinan risiko pada uangnya. Dari perspektif ini, kekhawatiran atas keteledoran pemda yang dapat menyebabkan mereka terjebak dalam posisi sulit, merupakan contoh lain dari paternalisme yang tidak tepat atau keliru, sikap “orangtua lebih tahu” yang umum terjadi pada pemerintah pusat dalam menghadapi kemungkinan tidak enaknya kehilangan kontrol akibat desentralisasi. Dan pemda sulit berkinerja dengan baik jika mereka selalu diamankan dari kemungkinan berbuat salah dengan memberlakukan batasan yang sembarang atau jika mereka yakin bahwa pusat selalu siap memberikan bantuan. Jika pusat ingin menghidari permasalahan, dapat dilakukan denagan tidak memberikan subsidi atas utang pemda dan merelakan pemda yang dililit utang terlalu banyak itu bangkrut seperti dipraktekkan di Maroko” (Bird dan Vaillancourt, 2000:10).
Sejumlah persoalan krusial tersebut, banyak ditengarai telah menjadi faktor penting yang mendorong otonomi seolah-olah identik dengan automoney. Meningkatkan PAD dengan cara menambah jenis dan meningkatkan tarif pajak/retribusi. Munculnya berbagai konflik perebutan sumber pendapatan antar pemerintahan. Seperti kengototan sejumlah Pemkab/Pemkot untuk mendapatkan bagi hasil lebih besar dari pajak kendaraan bermontor.
Tuntutan pengalihan kewenangan pengelolaan uji kir kendaraan yang selama ini tangani
Pemprov. Hal serupa juga ditujukan pada sumber pajak yang selama ini dikuasai pusat. Seperti cukai rokok, bandara, pelabuhan, BUMN dan sebagainya.

Urgensi Penguatan Demokrasi Lokal
Pola-pola mobilisasi PAD, tidak semata-mata dipengaruhi kebijakan keuangan intra
pemerintahan. Syah (1994) menegaskan bahwa desentralisasi tanggungjawab dan
rasionalisasi transfer dana intra pemerintahan, hendaknya didukung penguatan kapasitas
kelembagaan politik lokal (Syah, 1994:3-4). Bird dan Jenkins (1993) menegaskan bahwa
desentralisasi akan berjalan lebih baik jika dikaitkan erat ke struktur masyarakat dan
organisasi lokal (Bird dan Vaillancourt, 2000:51). Penegasan serupa dikemukakan Bird dan
Vaillancourt (2000) sendiri yang menyatakan bahwa:
“Pengalaman di berbagai situasi mengisyaratkan adanya 2 persyaratan yang sangat penting untuk kesuksesan desentralisasi. Pertama, proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, yaitu pengambilan keputusan tentang manfaat dan biayanya harus transparan dan pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan untuk mempengaruhi keputusan-keputusan tersebut. Kedua, biaya-biaya dari keputusan yang diambil, sepenuhnya harus ditanggung oleh masyarakat setempat. Maksudnya pemda perlu memiliki kontrol atas tarif (dan mungkin basis pajak, obyek) dari paling tidak beberpa jenis pajak. Jika peryaratan-persyaratan yang agak ketat ini dapat dipenuhi, devolusi atau otonomi barulah berarti. Sebaliknya, bila tidak dapat diwujudkan maka desentralisasi mungkin tidak akan mencapai sasaran dan tujuannya” (Bird dan Vaillancourt, 2000:17).
Konsekwensi tidak terpenuhinya persyaratan tersebut, seperti ditegaskan Bardhan dan Mookherjee (1998) jika akuntabilitas lokal adalah terbatas, desentralisasi dapat hanya sekedar memindahkan kekuasaan dan korupsi dari para elit nasional ke elit lokal (de Mello and Berenstein, 2002:336). Kondisi yang sebaliknya, ditegaskan Weingast (1995), Breton (1996) dan Triesman (2000), korupsi dapat dikurangi di dalam pemerintahan yang desentralistis, sepanjang di wilayah tersebut terdapat lembaga-lembaga yang sama-sama relatif otonom, mampu saling bertindak dan saling bereaksi (de Mello and Berenstein, 2002:335).
Smoke (2001) lebih spesifik menyatakan bahwa mekanisme fiskal tidak dapat
diharapkan berfungsi jika tidak ada tingkat pengembangan politik dan akuntabilitas lokal yang memadai (Smoke, 2001:32). Penegasan yang sama dikemukaan Syah (2000) dimana pengalaman di Indonesia dan Pakistan, telah memberikan pelajaran penting dalam melakukan reformasi fiskal di Negara Berkembang seperti berikut:
1 Kelembagaan partisipasi masyarakat dan akuntabilitasnya harus digiring ke arah reformasi sistem fiskal yang sungguh-sungguh. Meskipun dalam masyarakat yang primitif, seperti India sebelum dijajah Inggris, sistem pemerintahan lokal berjalan efektif untuk memberikan pelayanan dan pengumpulan pajak lokal, sebab ada pemahaman yang baik atas mekanisme partisipasi dan akuntabilitas masyarakat. Sistem pemerintahan lokal yang lebih modern, telah gagal karena ketiadaan suara masyarakat dan pengendalian akuntabilitas.
2 Kemampuan kelembagaan (administratif/manajemen) merupakan hal kedua terpenting, dan seharusnya mendapat prioritas yang lebih rendah dalam usaha reformasi. Kapasitas kelembagaan untuk membangun dan mengembangkan praktek organisasi modern, memang penting, namun seharusnya tidak dipandang sebagai kendala untuk desentralisasi. Kemampuan teknis dapat dipinjam dari dukungan tingkatan pemerintah yang lebih tinggi di berbagai tempat.
3 Pemisahan yang demikian jauh antara keputusan pembelanjaan dan perpajakan menyebabkan kurangnya akuntabilitas sektor pemerintah.
4 Bagi hasil atas dasar basis per basis pajak mendistorsi insentif efisiensi pemungutan pajak. Di Pakistan, bagi hasil pajak demi pajak atas penerimaan dan penjualan telah menyembunyikan pajak perdagangan dari reformasi, sebab pajak tersebut tidak dibagi dengan propinsi.
5 Desentralisasi yang berhasil tidak dapat dicapai tanpa keberadaan program transfer fiskal yang terancang baik.
6 Lingkungan kelembagaan negara berkembang membutuhkan tingkatan desentralisasi yang lebih besar daripada yang dibutuhkan negara industri. Lingkungan sektor pemerintah yang lebih terbelakang lebih sesuai dengan bentuk pemerintahan yang terdesentralisasi, sebab kebutuhan informasi dan biaya transaksi dapat diminimalkan dengan cara menggeser pengambilan keputusan lebih dekat ke masyarakat yang terpengaruh oleh kebijakan tersebut (Bird dan Vaillancourt, 2000: 204-209).

Penegasan tersebut menekankan pentingnya reformasi fiskal yang secara sungguh
sungguh dipadukan (matching) dengan pelembagaan demokrasi lokal. Pelembagaan
demokrasi lokal ini, sudah saatnya memperoleh perhatian serius. Sebab ada kecenderungan umum, desentralisasi seringkali gagal mencapai tujuan yang diharapkan, karena transfer kekuasaan yang dilakukan tidak mampu mengubah distribusi kekuasaan yang mengarah pada terwujudnya kesamaan derajad antara komponen pemerintah dan non-pemerintah.
Seperti ditegaskan Bailey (1999):
“Desentralisasi merupakan sesuatu yang sangat diperlukan (necessary) tetapi bukan kondisi yang mencukupi (unsufficient) untuk mempromosikan kepentingan publik, baik melalui peningkatan untuk dapat melakukan pilihan publik maupun penguatan suara publik….. Desentralisasi hanya menciptakan kesempatan (opportunity) untuk meningkatkan responsivitas dalam pemberian pelayanan publik, tetapi tidak mesti menjaminnya. Hasil nyata dari desentralisasi akan lebih tergantung pada distribusi kekuasaan (distribution of power) di antara berbagai kelompok yang ada di dalam dan di sekitar institusi pemerintahan lokal (Bailey, 1999:77).
Pada bagian selanjutnya, Bailey (1999) menyatakan bahwa:
“Desentralisasi umumnya hanya memperluas bentuk-bentuk tradisional demokrasi perwakilan (representative democracy), daripada demokrasi partisipatoris (participatory democracy) pada tingkat lokal. Manajemen desentraliasi lebih banyak terjadi di dalam lingkungan departemen daripada melintasi antar departemen. Desentralisasi lebih berkaitan dengan masalah access daripada decesion-making. Desentralisasi lebih terkait dengan pembuatan keputusan di dalam struktur lembaga pemerintah daripada penyebaran kekuasaan (devolution of power) kepada komunitas di suatu wilayah. Dan ini terjadi karena desentralisasi tidak secara fundamental mengubah tatanan kekuasaan politik dan manajemen”
(Bailey, 1999:77-79).
Undang-undang baru tentang Pemerintahan Daerah, secara formal mendasarkan diri
pada prinsip demokrasi dan peranserta masyarakat. Namun secara substansial, tranfer
kekuasaan yang terjadi masih terbatas pada lingkungan internal pemerintahan daerah.
Terutama pada eksekutif dan legislatif daerah. Sehingga proses politik pemerintahan
daerah, cenderung lebih menekankan pada mekanisme demokrasi perwakilan daripada demokrasi partisipatoris. Sementara itu, tidak ada satu pun pasal yang mengatur hak-hak penduduk, baik itu hak-hak untuk memperoleh pelayanan, hak pengawasan terhadap eksekutif maupun legislatif daerah, baik secara individu maupun institusi (Hardjosoekarto, 2002:12). Kontruksi kekuasaan yang tidak seimbang ini, menjadi faktor krusial yang menyebabkan proses penentuan kebijakan publik, dimonopoli dan didominasi kepentingan eksekutif dan legislatif daerah. Termasuk dalam kebijakan pendapatan dan belanja daerah.
Berbagai penegasan tersebut sangat relevan dengan apa yang dikemukan Smith (1985) bahwa persoalan keuangan lokal tidak bisa dipisahkan dari politik, baik dalam arti idiologi maupun dampak deferensial kebijakan fiskal terhadap kepentingan berbagai kelompok masyarakat yang berbeda (Smith, 1985:120). Lebih spesifik lagi, Pratikno (2002) menegaskan APBD merupakan kebijakan politik paling mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Melalui kebijakan ini para pembuat keputusan dapat menentukan siapa atau masyarakat mana yang lebih diuntungkan dibandingkan kelompok masyarakat lainnya (Pratikno, 2002:21). Sejauhmana keputusan tentang who gets what ini diambil, akan sangat tergantung pada persoalan krusial bagaimana keputusan itu dibuat, siapa yang terlibat, apa kepentingnya dan bagaimana distribusi kekuasaan di antara aktor yang terlibat tersebut. Penegasan serupa dikemukan Grindle (1980) bahwa keputusan tentang who gets what ini, akan sangat dipengaruhi oleh persoalan krusial tentang strategi, sumberdaya dan posisi kekuasaan dari masing-masing aktor yang terlibat itu sendiri (Grindle, 1980:12).
Penutup
Dari kajian ringkas di atas, ada sejumlah isu krusial yang sangat urgen diperhatikan dalam upaya mendesain kebijakan pembiayaan desentralisasi. Pertama, kebijakan desentralisasi akan efektif apabila didukung adanya pola-pola mobilisasi PAD yang lebih bertumpu pada upaya intensifikasi daripada ekstensifikasi sumber-sumber pendapatan daerah. Kalaupun ekstensifikasi dilakukan, hendaknya lebih menekankan pada sektor retribusi daripada perpajakan daerah. Demikian pula apabila sektor perpajakan akan dijadikan pilihan, hendaknya lebih berorientasi pada sisi output kegiatan ekonomi daripada sisi proccess kegiatan ekonomi agar tidak menambah beban dunia usaha maupun masyarakat.
Kedua, pola-pola mobilisasi PAD yang mendukung efektifitas desentralisasi, akan tercapai apabila kebijakan transfer dana bantuan pusat, tidak semata-mata perlu dirancang lebih cermat. Akan tetapi sekaligus perlu diserasikan atau dipadukan (matching) dengan kebijakan untuk memperkuat demokrasi lokal. Pola-pola mobilisasi PAD yang menghambat pelaksanaan desentralisasi yang efektif, terjadi karena kebijakan transfer dana pusat, tidak diimbangi penguatan demokrasi lokal yang sebanding dengan tingkat desentralisasi fiskal yang dilakukan. Desentralisasi politik yang dilakukan, masih cenderung bersifat desentralisasi setengah hati, atau desentraliasi tanpa kuasa rakyat.. Sebuah tipe desentralisasi yang hanya terfokus pada penguatan demokrasi perwakilan dan bukan pada demokrasi partisipatoris. Dan implikasinya bisa dilihat dimana-mana. Desentralisasi setengah hati ini, telah memunculkan disorientasi berupa maraknya koalisi eksploitatif yang dilakukan eksekutif dan legislatif untuk saling memaksimalkan kepentingan ekonomi istitusi dan pribadinya.
Ketiga, persoalan mobilisasi PAD dan kebijakan keuangan intra pemerintah (pusat-daerah), sekaligus merupakan persoalan politik yang melibatkan masalah paling krusial yaitu persoalan distribusi kekuasaan. Karena itu, redistribusi kekuasaan yang lebih seimbang dalam sistem pengambilan keputusan, tidak hanya dibutuhkan pada tingkal lokal, namun juga sangat dibutuhkan pada tingkat nasional. Redistribusi kekuasaan yang seimbang ini, makin urgen dan relevan apabila melihat kenyataan empirik di berbagai negara. Pada Negara-negara Berkembang, kebijakan fiskal intra pemerintahan cenderung bergerak dari pola-pola sentralistik menuju ke pola-pola yang makin bercorak desentralistik. Sedangkan di Negara-negara Maju, kebijakan fiskal intra-pemerintahan justru bergerak dari pola-pola yang desentralistik menuju ke arah kebutuhan bagi adanya pola-pola kebijakan fiskal yang bercorak sentralistik. Kenyataan empirik yang saling bertolak belakang ini mengisyaratkan bahwa kebijakan fiskal yang desentralistik dan sentralistik, hanyalah relevan dalam konteks yang bersifat temporer. Dinamika yang terjadi dalam dunia empirik justru menunjukkan makin pentingnya kebutuhan bagi adanya pola-pola keseimbangan antara kebijakan fiskal yang desentralistik dan sentralistik. Pola-pola keseimbangan ini akan tercapai, apabila sistem pengambilan keputusan di tingkat nasional, benar-benar dilandasi adanya distribusi kekuasaan yang seimbang antara pusat dan daerah itu sendiri.
Kebijakan fiskal intra-pemerintahan, merupakan persoalan yang sangat komplek. Baik secara teknis maupun politik. Kajian kritis pada tataran teoritik dan empirik, sangat urgen dilakukan. Terutama untuk menguji apakah fakta empirik memang memperkuat validitas proposisi teoritik yang banyak dikembangkan para akademisi dan dianut para praktisi di Negara Berkembang. Atau sebaliknya, banyak proposisi yang sebenarnya lebih layak diklasifikasikan sebagai provokasi yang dapat menjerumuskan berbagai pihak terkungkung dalam euforia di tengah-tengah keterbelakangan diri.


Daftar Pustaka
Abed, George T., and Gupta, Sanjeev, 2002, Governance, Corruption & Economic Performance, IMF: Washington, D.C.
Alm, James, 2002, Decentralization and Local Government Borrowing in Indonesia, FE-UI: Jakarta. (Makalah).
---------, 2002, Can Indonesia Decentralise Successfully?: Plans, Problems and Prospects, Bulletin of Indonesia Economic Studies: Vo. 37.
Anuar, Abdul Rahim, 2000, Fiscal Decentralization in Malaysia, Hitotsubashi Journal of Economics Vol. 14.
Bailey, Stephen J., 1999, Local Government Economics: Principles and Practice, Macmillan Press Ltd.: London.
Bird, Richard M. dan Vaillancourt, Francois, 2000, Desentralisasi Fiskal di Negara-negara Berkembang, PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Bratakusumah, Deddy Supriady dan Dadang Solikin, 2002, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,.
Brojonegoro, Bambang, 2002, Indonesian Intergovernmental Transfer in Decentralization Era: The Clash of General Allocation Fund, Mini-Economica FE-UI: Jakarta.
Cho, Chang-hyun, and Meinardus, 1996, Local Autonomy and Local Finance, CLA-Hanyang University: South Korea.
Davey, K.J., 1988, Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-praktek Internasional dan Relevansinya Bagi Dunia Ketiga, UI Press: Jakarta.
Devas, Nick., dkk., 1989, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, UI-Press: Jakarta.
Ditjen Pajak, 2002, Menkaji Format Pengelolaan PBB: Suatu Tinjauan atas Isu Desentralisasi PBB, Jakarta.
Halim, Abdul, (ed.), 2001, Manajemen Keuangan Daerah, UPP-AMP YKPN: Yogyakarta.
Hardjosoekarto, 2002, Hubungan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 2.
Mardiasmo, 2002, Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah, ANDI: Yogyakarta.
Muluk, M.R. Khairul, Desentralisasi: Teori, Cakupan dan Elemen, Jurnal Administrasi Negara Vol. II. No. 2.
Pratikno, 2002, Keuangan Daerah: Manajemen dan Kebijakan, MAP-UGM: Yogyakarta. (Pointers Kuliah).
Sidik, Machfud, 1998, Hubungan Keuangan Pusat-Daerah, Jakarta. (Makalah).
Shah, Anwar, and Qureshi, Zia, 1994, Intergovernmental Fiscal Relations in Indonesia, The World Bank: Washington, D.C.
Smoke, Paul, 2001, Fiscal Decentralization in Developing Countries: A Review of Current Concepts and Practice, UNRISD: Switzerland.
Gaffar, Afan, dkk, 2002, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Pustakan Pelajar : Yogyakarta.
***

0 comments: