Saturday 22 March 2008

STRATEGI KOMUNIKASI PEMERINTAH DAERAH DALAM MENSOSIALISASIKAN PROGRAM PEMBANGUNAN BAGI MASYARAKAT PERDESAAN DI ERA OTONOMI

Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 02 Maret 2002
STRATEGI KOMUNIKASI PEMERINTAH DAERAH DALAM MENSOSIALISASIKAN PROGRAM PEMBANGUNAN BAGI MASYARAKAT PERDESAAN DI ERA OTONOMI
Oleh:
Adam Idris

Adam Idris adalah dosen tetap Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIPOL Unmul Samarinda.

PENDAHULUAN
Pembangunan adalah merupakan proses aktivitas yang bersifat kontinyu dan terencana yang ditujukan untuk merubah dan meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi ke arah yang lebih baik dan wajar dari waktu ke waktu. Secara ideal, pembangunan nasional di Indonesia bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Ironisnya, sudah setengah abad lebih Indonesia merdeka, yang secara politis telah melewati tiga orde kepemimpinan nasional, mulai dari orde lama. Orde baru dan orde reformasi, namun pembangunan nasional relatif belum menampakkan hasil yang maksimal. Bahkan jumlah masyarakat miskin semakin tahun semakin bertambah besar, dan kejahatan semakin meraja lela. Terlebih lagi apabila dilihat dari pemerataan prioritas pembangunan antara desa dan kota, juga masih menampakkan adanya ketimpangan yang belum memperoleh penyelesaian yang proporsional.
Kita semua tahu bahwa hingga era Otonomi Daerah telah menapaki tahun ketiga di awal tahun 2002 ini, wilayah Indonesia masih didominasi oleh wilayah pedesaan, yang mengandung pengertian bahwa jumlah penduduk terbesar masih berdomisili di wilayah tersebut. Dengan demikian apabila prioritas pembangunan masih dipusatkan di wilayah perkotaan, itu artinya bahwa masyarakat yang mampu menikmati hasil pembangunan jauh lebih sedikit ketimbang yang tergilas oleh pembangunan.
Ketika sistem pemerintahan Indonesia masih bersifat sentralistik, kita sering melontarkan kecaman bahwa ketertinggalan pembangunan wilayah pedesaan merupakan kesalahan pemerintah, karena perencanaan pembangunan pada waktu itu masih didominasi oleh strategi pembangunan yang bersifat top-down. Apabila di era otonomi sebagaimana yang sedang kita alami saat ini, ketertinggalan pembangunan wilayah pedesaan ternyata masih tetap terjadi, lalu kita akan menyalahkan siapa lagi?.


OTONOMI DAERAH DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDESAAN
Sejak diberlakukannya UU No 22 Tahun 1999 tentang sistem Pemerintahan Daerah yang berintikan otonomi, memiliki pemahaman bahwa pihak pemerintah daerah (Kabupaten atau Kota) memperoleh wewenang penuh dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan di wilayahnya. Oleh sebab itu sudah saatnyalah bagi pemerintah daerah untuk segera memikirkan strategi pembangunan yang bagaimanakah yang sebaiknya ditempuh agar kue pembangunan benar-benar dapat dinikmati secara lebih merata bagi masyarakat, terutama bagi masyarakat di wilayah perdesaan.
Telah disinggung dibagian atas, bahwa sebagian besar, bahkan mungkin mencapai 2/3 dari jumlah penduduk kita berdiam di wilayah perdesaan, maka seyogyanya gerak dan langkah pembagunan di orde reformasi dan di era otonomi ini lebih diarahkan pada pembangunan desa dan masyarakat desa, serta menciptakan strategi pembangunan yang populis atau yang berdimensi kerakyatan. Artinya bahwa pihak pemerintah daerah dalam merencanakan pembangunannya harus diarahkan pada perbaikan sektor ekonomi rakyat yang lemah modal, dan tidak lagi terpaku pada sektor ekonomi konglomerasi yang kuat modal.
Satu hal yang perlu difahami betul oleh pihak pemerintah daerah, ketika pihaknya sudah berketetapan untuk memfokuskan pembangunannya bagi masyarakat desa yang lemah modal adalah terjadinya kelambanan pertumbuhan ekonomi di wilayah itu, sebab strategi ini memang tidak berorientasi pada economic growth, tetapi lebih diorientasikan pada terjadinya redistribution, yang bertujuan untuk menekan terjadinya kesenjangan. Kondisi inilah yang biasanya sangat tidak disukai oleh Pemerintah Daerah, karena kita masih terkungkung oleh paradigma lama yang menggunakan ukuran pertumbuhan ekonomi sebagai indikator dalam menentukan kemajuan atau keberhasilan pembangunan di wilayahnya. Akibatnya, walaupun secara teoritis mapun secara praktis pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi terbukti mengandung banyak kelemahan dan boleh dibilang gagal, tetapi masih lebih menggiurkan untuk dilaksanakan, karena pihak pemerintah daerah masih merasa lebih berprestasi apabila pihaknya mampu memacu pertumbuhan ekonomi, ketimbang menekan terjadinya kesenjangan ekonomi.
Pada orde yang lalu, dalam melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat ekonomi lemah di perdesaan selalu diawali dengan penguatan modal, sehingga banyak program yang dikemas dengan berbagai nama terbukti gagal. Berbagai program itu diantaranya BIMAS, INMAS hingga IDT dan KUT serta berpuluh program lainnya terbukti tak pernah mampu menggemingkan pemberdayaan ekonomi masyarakat desa pada waktu itu. Berkaca dari berbagai pengalaman tersebut, maka perlu ditawarkan alternatif lain dalam mengemas program pemberdayaan ekonomi masyarakat sebagai bagian dari pelaksanaan pembangunan perdesaan di era otonomi ini. Salah satu tawaran alternatif itu adalah dalam mengemas suatu program seyogyanya tidak diawali dari suntikan atau penguatan modal, tetapi harus diawali dari pembinaan keahlian atau ketrampilannya terlebih dahulu bagi target group yang akan dikenai suatu program. Ketika ketrampilan dan keahlian target group tersebut telah dianggap memadai baru suntikan dana atau penguatan modal dilakukan, sehingga dana yang dikucurkan oleh pemerintah tersebut benar-benar digunakan dalam kegiatan sektor produksi.
PEMBANGUNAN: PROSES TRANSFORMASI SOSIAL EKONOMI BAGI MASYARAKAT PERDESAAN
Oleh karena pembangunan selalu bertujuan untuk terciptanya kualitas kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari tahun ke tahun yang bersifat kontinyu, dapatlah dikatakan bahwa pembangunan merupakan proses social and economic transformation yang disengaja dan terkendali. Oleh karena pembangunan merupakan proses transformasi kearah yang lebih baik, maka pembangunan merupakan hak setiap orang dan harus dinikmati oleh setiap anggota masyarakat, termasuk masyarakat di perdesaan. Mereka harus dibangkitkan dari kondisi dan tingkat kehidupan yang tradisional menuju kearah kehidupan yang lebih maju (Ndraha:1982). Sedangkan Menurut Gunawan (1998) yang dimaksud dengan transformasi itu terdiri dari; terjadinya perubahan dari ekonomi tradisional ke arah ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke arah ekonomi tangguh, dari ekonomi subsisten ke arah ekonomi pasar dan dari kondisi ketergantungan ke arah kondisi kemandirian. Sudah barang tentu transformasi ekonomi masyarakat perdesaan itu baru bisa terjadi apabila pihak pemerintah daerah di era otonomi ini mampu memenuhi beberapa syarat yang dibutuhkan. Beberapa syarat itu diantaranya meliputi;
1 Penguatan Kelembagaan.
2 Pengalokasian Sumber Daya Alam secara proporsional dan ramah lingkungan,
3 Pemberdayaan Sumber Daya Manusia.
4 Penguasaan teknologi yang tepat dan relevan bagi masyarakat perdesaan
5 Penyediaan modal yang cukup.

Apabila benar bahwa pembangunan itu merupakan suatu proses transformasi sosial ekonomi, tepatlah yang dikatakan Rogers (dalam Amri; 1993) bahwa pembangunan harus mengandung unsur informasi secara merata melalu proses komunikasi yang efektif. Tanpa komunikasi tak mungkin ada informasi dan tanpa informasi transformasipun tak mungkin terjadi. Di era otonomi ini, pihak pemerintah daerah dianggap sebagai pihak yang paling berkewajiban membentuk sarana komunikasi yang dapat digunakan untuk menyalurkan informasi yang transparan, lengkap dan efektif kepada masyarakat di perdasaan tentang program-program pembangunan yang dicanangkan. Bahkan melalui sarana komunikasi itulah partisipasi yang positif dan konstruktif dari masyarakat terhadap program-program pembangunan dapat ditumbuhkan.



Dalam hal ini Rogers mensinyalir bahwa terjadinya kegagalan pelaksanaan program pembangunan perdesaan, salah satu diantaranya adalah disebabkan oleh terjadinya kesenjangan komunikasi sehingga informasi yang diterima oleh masyarakat perdesaan menjadi tidak lengkap. Akibat lanjut dari minimnya aliran informasi yang menuju ke wilayah perdesaan tersebut dapat menimbulkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yang sekaligus juga menghambat peningkatan kesejahteraan hidup mereka.
KOMUNIKASI INTERAKTIF: SARANA SOSIALISASI PROGRAM PEMBANGUNAN BAGI MASYARAKAT PERDESAAN
Banyak model-model komunikasi yang dapat dijadikan sebagai sarana penyebaran informasi, namun tidak semua model komunikasi bisa berhasil secara efektif untuk digunakan di wilayah perdesaan yang bertujuan untuk melakukan transformasi sosial ekonomi melalui program pembangunan. Menurut Susanto (1973) untuk mencapai tingkat keberhasilan pembangunan perdesaan yang tinggi, diperlukan adanya strategi komunikasi yang tepat. Hanya dengan komunikasi yang tepatlah proses sosialisasi program-program pembangunan bisa berhasil dengan baik.
Beberapa ahli komunikasi massa mensinyalir bahwa meskipun pelaksanaan pembangunan perdesaan telah dirancang dan dipersiapkan secara baik, tidak menjamin akan bisa dilaksanakan dan berhasil dengan baik apabila tidak didukung oleh metode komunikasi yang efektif. Dalam hal ini menurut (Dahlan;1977) sosialisasi program pembangunan masyarakat perdesaan pada waktu itu dilakukan dengan menggunakan model komunikasi linier. Ketika itu pihak pemerintah sebagai agent of change dalam melakukan sosialisasi program pembangunan lebih banyak bersifat instruktif, berjalan searah dan disampaikan secara singkat. Menurut Rogers (1985) model komunikasi sedemikian ini kurang tepat bagi masyarakat perdesaan, sebab komunikasi linier yang cenderung bersifat instruktif itu biasanya disampaikan melalui saluran-saluran formal. Sementara itu masyarakat perdesaan yang secara sosiologis, masih tergolong sebagai primary society itu relatif kurang bahkan tidak menyukai terhadap hal-hal yang bersifat formal, sehingga proses komunikasi model linier tidak berjalan secara efektif.
Berbeda dengan model komunikasi linier, komunikasi interaktif dalam menyampaikan pesannya tidak disampaikan melalui saluran formal, melainkan menggunakan saluran informal yang dibentuk secara swadaya dan swakelola oleh masyarakat desa. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Hilbrink dan Lohman(1983) menunjukkan bahwa model komunikasi interaktif ternyata haslinya lebih efektif untuk digunakan sebagai salah satu strategi dalam mensosialisasikan program-program


Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 02 Maret 2002

pembangunan di perdesaan, karena komunikasi interakttif tidak bersifat instruktif dan penyampaiannya selalu dilewatkan melalui lembaga-lembaga informal pedesaan yang bersifat swakelola.
Sedangkan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Ratih Cs; 1999) menunjukkan bahwa komunikasi interaktif ternyata berhasil secara efektif dalam hal memberikan pemahaman tentang pentingnya pembangunan, dan mampu menumbuhkan partisipasi positif bagi masyarakat perdesaan dalam pembangunan. Keberhasilan komunikasi interaktif sebagai sarana sosialisasi program pembangunan masyarakat desa ini menurut Rogers (dalam Gonzales; 1977), karena model komunikasi interaktif memiliki kelebihan dibandingkan dengan model komunikasi linier untuk diterapkan di wilayah perdesaan. Kelebihan model komunikasi ini, salah satunya adalah terletak pada prosesnya yang berjalan secara menyebar kesegala arah sehingga arus informasi tidak berjalan satu arah yang dapat dianggap sebagai suatu instruksi, melainkan berjalan secara timbal balik dari dan kesegalah arah diantara pihak-pihak yang terlibat. Artinya diantara mereka yang terlibat dalam proses komunikasi terdapat proses saling mempengaruhi, memberi dan menerima informasi secara seimbang guna membentuk kesamaan pengertian diantara mereka (Hang Kueng; 1994). Kelebihan lain dari model komunikasi interaktif ini adalah adanya kesamaan posisi antara pihak communicant dengan communicator nya, sehingga diantara mereka yang terlibat komunikasi tidak ada perasaan inferior dan superior, dan hasil komunikasinya dianggap sebagai sharing.



PENUTUP
Mengingat model komunikasi interaktif terbukti sangat cocok bagi masyarakat desa, maka tidak ada salahnya apabila pihak pemerintah daerah di era otonomi ini mengadopsi model komunikasi ini sebagai sarana sosialisasi program-program pembangunan di perdesaan, dengan harapan agar kesenjangan pemerataan pembangunan desa-kota dapat segera dieleminir. Era otonomi seyogyanya disikapi secara arif oleh pemerintah daerah, dalam artian bahwa keluasan dan perluasan kewenangan yang dimilikinya hendaknya bisa dipandang secara proporsional, yakni disamping sebagai peluang juga sekaligus tantangan, terutama dalam hal melaksanakan pembangunan di wilayah perdesaan.
Dalam memandang otonomi sebagai peluang, disamping pihak pemerintah daerah harus dapat memanfaatkan sebaik-baiknya juga harus bertindak dengan secepat-cepatnya untuk segera melakukan pembangunan wilayah perdesaan secara terarah dan proporsional. Sedangkan dalam memandang otonomi sebagai hambatan, pemerintah harus berfikir bahwa pembangunan wilayah perdesaan merupakan tugas berat yang harus segera dilaksanakan dengan hasil yang memuaskan, untuk membuktikan bahwa pihak pemerintah daerahlah yang merupakan lembaga paling tepat dalam menyusun strategi pembangunan yang ada di wilayahnya.

DAFTAR PUSTAKA


Alfian, Budi Santoso dan Parsudi Suparlan 1977, Sistem Komunikasi Dalam Masyarakat Indonesia, Hasil Penelitian, Leknas/LIPI, Deppen RI, Jakarta.
Dahlan, Alwi, 1977, Sistem-sistem Komunikasi yang Memadai di Indonesia, Hasil Penelitian dengan PT Incore dengan Proyek Penelitian dan Pengembangan Penerangan RI, Deppen, Jakarta.
Depari, Eduard, dan Colin, Mac Andrews 1988, Peranan Komunikasi Massa Dalam Pembangunan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hang Kueng, 1994, Mencari Alternatif Model Komunikasi Dalam Pembangunan Pedesaan, Tanpa Penerbit Yogyakarta.
Hilbrink, Albert, 1988, Forum Siaran Pedesaan di Indonesia, Dalam Edward Depari dan Colin Mac Andrews (ed) Peranan Komunikasi Masa Dalam Pembangunan. Gadjah Mada. University Press, Yogyakarta.
Khairuddin, H, 1992, Pembangunan Masyarakat, Penerbit. Liberty, Yogyakarta.
Rogers, Everett, 1975, Network Analysis of The Diffusion of Innovation, Institute for Communication Research. Stanford University.
Susanto, Astrid, S, 1977, Komunikasi Kontemporer. Binacipta Bandung
Worsley, Peter et. Al, 1992, Pengantar Sosiologi sebuah Pembanding. PT. Tiara Wacana, Yogyakarta.

0 comments: