Friday 21 March 2008

BIAYA TRANSAKSI DALAM PENGHITUNGAN PAJAK

BIAYA TRANSAKSI DALAM PENGHITUNGAN PAJAK

Oleh : Adinur Prasetyo (mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi UI)
I. Pendahuluan
Salah satu faktor yang menentukan tinggi rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak dalam rangka melakukan pemenuhan kewajiban pajak adalah jumlah biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak yang dalam berbagai literature disebut dengan compliance cost 1. Idealnya, biaya-biaya yang dikeluarkan oleh wajib pajak dalam rangka pemenuhan kewajiban pajak tersebut tidak memberatkan wajib pajak dan tidak menghambat wajib pajak dalam melakukan pemenuhan kewajiban pajaknya. Sejak lama masalah tersebut mendapat perhatian para sarjana dan pemikir sebagai salah satu prinsip pemajakan yang dituangkan dalam prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam pemungutan pajak, seperti yang dilakukan oleh Adam Smith pada permulaan abad XVIII dan E.R.A. Seligman serta Fritz Neumark pada permulaan abad XX.
Adam Smith (1723-1790), seorang penulis dan filsuf yang dikenal sebagai bapak aliran ekonomi klasik kelahiran Skotlandia, menekankan perlunya penerapan prinsip efficiency, selain prinsip equality , certainty, dan convenience (atau yang dikenal dengan four maxims atau four canons). Sesuai prinsip efficiency, pemungutan pajak hendaknya dilaksanakan dengan cara sehemat mungkin dan biaya-biaya yang terkait dengan pemungutan pajak tersebut tidak lebih tinggi daripada pajak yang dipungut sebagaimana yang dikemukakan oleh Adam Smith bahwa : “Every tax ought to be contrived as both to take out and keep out of the pockets of the people as little as possible, over and above what it brings into the public treasury of the state” 2.
Dalam buku yang berjudul The Shifting and Incidence of Taxation (yang ditulis tahun 1892) dan The Income Tax (yang ditulis tahun 1911), E.R.A. Seligman merumuskan empat prinsip pemungutan pajak, yang terdiri dari prinsip fiscal (yang terdiri dari kaidah adequacy atau kecukupan dan kaidah elasticity atau keluwesan), prinsip administrative (yang terdiri dari kaidah certainty, convenience, dan economy), prinsip economic, dan prinsip ethical (yang terdiri dari kaidah uniformity dan universality). Kaidah economy yang merupakan bagian dari prinsip administrative yang dikemukakan oleh Seligman serupa dengan prinsip efficiency dari Adam Smith yang mengatakan bahwa biaya yang dikeluarkan wajib pajak dalam rangka melakukan pemenuhan kewajiban pajak harus ditekan pada tingkat yang serendah-rendahnya3.
Sedangkan, Fritz Neumark, seorang guru besar dalam ilmu keuangan negara di Universitas Goethe, Frankfurt, Jerman Barat, mengemukakan empat prinsip yang perlu
1 Safri Nurmantu, Pengantar Perpajakan (Jakarta, 2003), hal. 160. 2 “Tax”, dalam : The Encyclopedia Americana, International Edition, Vol. 26, hal. 318, dikutip oleh Safri Nurmantu, “Pengantar Perpajakan” (Jakarta : Granit, 2003), hal. 83. 3 Nurmantu, Op. Cit., hal. 86.

diperhatikan dalam pemungutan pajak yang terdiri dari prinsip-prinsip revenue productivity, social justice, economic goals, serta ease administration and compliance. Salah satu kaidah dalam prinsip ease administration and compliance adalah the requirement of economy yang mengatakan bahwa biaya-biaya penghitungan, pengawasan, dan penagihan pajak harus ditekan pada tingkat serendah-rendahnya. Menurut Neumark, biaya-biaya yang harus diminimalkan tersebut tidak hanya meliputi biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah (atau disebut administrative cost), melainkan juga biaya-biaya yang dikeluarkan oleh wajib pajak dalam rangka pemenuhan kewajiban pajak (atau disebut compliance cost)4.
Pada dasarnya, selain merupakan disinsentif bagi tingkat kepatuhan wajib pajak, tingginya tingkat compliance cost merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat high cost economy dalam suatu negara. Karena dianggap sangat penting, isu tentang compliance cost tersebut dibahas dalam kongres XLIII International Fiscal Association (IFA) tahun 1989 di Rio De Janeiro. Dalam kongres tersebut, Cedric Sandford, seorang guru besar emeritus dari Universitas of Bath, England, menyebutkan tiga macam biaya pajak (cost of taxation) yang terdiri dari sacrifice of income, distortion cost, dan running cost5. Menurut Sandford, sacrifice of income adalah pengorbanan wajib pajak yang menggunakan sebagian penghasilan atau uang dan hartanya untuk membayar pajak; Distortion cost adalah biaya yang timbul sebagai akibat perubahan-perubahan dalam proses produksi dan faktor produksi karena adanya pajak tersebut yang dapat menyebabkan perubahan pola perilaku ekonomi (sebagai contoh adalah pajak yang dapat menyebabkan disinsentif bagi individu dan badan usaha dalam berkonsumsi dan berproduksi); dan, running cost yang diartikan oleh Sandford sebagai biaya-biaya yang tidak akan ada jika sistem perpajakan tidak ada yang terdiri dari administrative cost (yakni, biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah sehubungan dengan penyelenggaraan sistem perpajakan nasional) dan compliance cost (yaitu, biaya-biaya yang dikeluarkan oleh wajib pajak dalam rangka melakukan pemenuhan kewajiban pajak).
Selanjutnya, Sandford membagi compliance cost dalam tiga jenis biaya, yakni direct money cost, time cost, dan psychic atau psychological cost. Menurut Sandford, direct money cost adalah biaya-biaya cash money (uang tunai) yang dikeluarkan wajib pajak dalam rangka pemenuhan kewajiban pajak, seperti pembayaran kepada konsultan pajak dan biaya perjalanan ke bank untuk melakukan penyetoran pajak; Time cost adalah waktu yang terpakai oleh wajib pajak dalam melakukan pemenuhan kewajiban pajak, antara lain waktu yng digunakan untuk membaca
4 Ibid, hal. 95.
5 Wallschutzky, Ian, “Minimizing Evasion and Avoidance” dalam : Sandford, Cedric (ed), Key Issues in Tax Reform, (Bath, England : Fiscal Publication, 1993), dikutip oleh Safri Nurmantu,”PengantarPerpajakan”(Jakarta : Granit, 2003), hal. 160-162.
formulir surat pemberitahuan pajak (SPT) dan buku petunjuknya, waktu yang digunakan untuk berkonsultasi dengan akuntan atau konsultan pajak dalam mengisi SPT, dan waktu yang digunakan untuk pergi dan pulang ke kantor pajak; Sedangkan, psychic cost adalah rasa stress dan berbagai rasa takut atau cemas karena melakukan tax evasion.
Sebagaimana telah dijelaskan pada paragraf terdahulu, tingginya tingkat compliance cost merupakan salah satu unsur yang dapat mempengaruhi tingginya tingkat high cost economy dalam suatu negara selain merupakan disinsentif bagi kepatuhan wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban pajak. Dalam artikel ini, Penulis berupaya membahas compliance cost (atau disebut juga dengan biaya transaksi pajak) dan faktor-faktor yang mempengaruhi biaya transaksi dalam penghitungan pajak tersebut. Dengan mengenali faktor-faktor tersebut, wajib pajak dapat melakukan perencanaan pajak yang ditujukan pada efisiensi atas compliance cost atau biaya transaksi pajak tersebut.
II. Biaya Transaksi Pajak
Pada hakekatnya, strategi merupakan kegiatan atau kumpulan kegiatan yang membutuhkan biaya untuk merealisasikannya. Sebagai contoh, strategi yang dilakukan perusahaan dalam rangka pencapaian tujuan (misalnya, mencapai profit dan going concern) tentu membutuhkan sejumlah biaya (seperti, biaya penyertaan modal dalam perusahaan lain dalam rangka pengendalian, biaya pembelian hadiah untuk program “bagi-bagi hadiah” sebagaimana marak dilakukan bank-bank di Indonesia belakangan ini untuk mengendalikan loyalitas konsumen, biaya pelatihan pajak bagi karyawan agar tanggap terhadap perkembangan peraturan perundang-undangan pajak yang dapat mempengaruhi bentuk transaksi bisnis, serta biaya-biaya yang terkait dengan pemenuhan kewajiban pajak). Namun, pilihan strategi yang akan diterapkan oleh organisasi harus mempertimbangkan faktor biaya transaksi yang paling murah. Dengan kata lain, organisasi harus melakukan pilihan atas strategi kombinasi antara kegiatan dan biaya transaksi yang memberikan hasil optimal, yakni kegiatan yang menghasilkan outcome tinggi (yang oleh Williamson disebut strategizing) dengan biaya transaksi murah (yang oleh Williamson disebut economizing). Menurut Oliver Willliamson, seorang pakar ilmu organisasi, strategizing dan economizing merupakan dua “strategi” atau kendali utama yang saling melengkapi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi6. Transaction Cost Economics (atau ekonomi biaya transaksi) merupakan suatu alat analisis dalam paham economizing yang digunakan dalam pemilihan alternatif kegiatan atau strategi dengan biaya transaksi paling murah bagi organisasi atau perusahaan (business firm). Dalam bagian ini, Penulis melakukan pembahasan atas konsep
6 Oliver Williamson, The Mechanisms of Governance (New York, 1996), hal. 307 et. Seq.
biaya transaksi (sebagai suatu alat analisis dari paham economizing) dan biaya transaksi dalam penghitungan pajak.
II. 1. Pengertian Biaya Transaksi
Oliver Williamson memperkenalkan konsep transaction cost of economics (TCE atau ekonomi biaya transaksi dan sering disebut biaya transaksi saja) yang merupakan perpaduan dari beberapa disiplin ilmu yang terdiri dari ilmu hukum, ilmu ekonomi, dan ilmu organisasi7. Pada dasarnya, biaya transaksi adalah biaya yang harus ditanggung oleh pihak-pihak yang melakukan pertukaran dalam dunia yang informasinya tidak sempurna, banyak aktor yang berperilaku opportunistic, dan rasionalitas para pelakunya terbatas8. Dalam hal ini, loopholes atau celah dalam suatu peraturan perundang-undangan (atau institutional arrangement) dapat menimbulkan beda persepsi yang selanjutnya akan meningkatkan biaya transaksi. Sebagai contoh, loopholes atau celah dalam salah satu pasal atau ayat dalam peraturan perundang-undangan perpajakan (sebagai akibat dari bounded rationality penyusun peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut) dapat menimbulkan beda persepsi (asymmetric information) antara wajib pajak dan petugas pajak (fiskus). Selanjutnya, beda persepsi antara wajib pajak dan fiskus tersebut memancing perilaku opportunistic fiskus untuk melakukan pressure terhadap wajib pajak untuk memberikan sejumlah imbalan (semacam dana ucapan terimakasih) sebagai biaya transaksi atas tidak diungkapkannya temuan hasil pemeriksaan berdasarkan celah dalam pasal atau ayat tersebut (Adapun, dalam rangka meminimalisasi biaya transaksi tersebut, wajib pajak dapat melakukan upaya, antara lain, dengan mengajukan surat permohonan penjelasan atas permasalahan yang timbul dari perbedaan persepsi tersebut ke Direktorat Jenderal Perpajakan).
Dalam rangka memberikan gambaran adanya beda persepsi antara wajib pajak dan fiskus, Sri Rahayu menguraikan beberapa masalah yang dihadapi dalam pemenuhan kewajiban perpajakan bidang usaha perkebunan, seperti masalah penyusutan/amortisasi atas hak guna usaha, masalah biaya perusahaan induk (atau biaya kantor pusat), masalah fasilitas perpajakan, masalah biaya penyusutan kendaraan, masalah hubungan istimewa, dan masalah biaya bunga pinjaman afiliasi9. Persoalan-persoalan di atas timbul akibat adanya beda persepsi antara wajib pajak dan fiskus yang disebabkan oleh lemahnya ‘institutional arrangement” yang ada. Selanjutnya, adanya informasi tidak sempurna (imperfect information) pada peraturan perundang-undangan pajak
7 Oliver Williamson, Organization Theory : From Chester Barnard to the Present and Beyond (New York, 1995), hal 172-256. 8 Supranoto, Biaya Transaksi Nasabah Bank Perkreditan Rakyat (Jakarta, 1996), hal. 20. 9 Sri Rahayu, Biaya Transaksi dalam Penghitungan Pajak Bidang Usaha Perkebunan (Jakarta, 2001), hal.10-13.
tersebut (sebagai suatu institutional arrangement) memicu perilaku opportunistic fiskus untuk melakukan koreksi pajak dan memicu perilaku opportunistic wajib pajak untuk melakukan kompromi dengan fiskus. Jika dalam hal ini dicarikan kesepakatan bersama antara fiskus dan wajib pajak, maka fiskus dapat menawarkan bantuannya dengan suatu pengharapan tertentu yang berpotensi mengurangi kewibawaan fiskus yang bersangkutan dan menimbulkan keraguan terhadap sistem perpajakan nasional10.
Adapun, rumusan biaya transaksi pertama kali dikemukakan oleh Ronald H. Coase pada tahun 1937 sebagai kerangka pemikiran baru untuk menganalisis transaksi dalam perusahaan11. Namun, setelah itu para ekonom gagal mengoperasionalisasikan konsep tersebut, sampai akhirnya dikembangkan oleh Williamson yang menyebut upaya yang dilakukannya sebagai “the new institutional economics” yang berasal dan merupakan cabang dari transaction costs. TCE mengasumsikan bahwa perusahaan cenderung untuk mencari biaya transaksi yang paling murah, antara lain membandingkan biaya transaksi melalui pasar (market transaction) dengan biaya transaksi di dalam perusahaan sendiri (hierarchical transaction) atau dikenal dengan istilah “make or buy”. Timbulnya TCE, menurut Williamson, disebabkan oleh kegagalan pasar (market failure) sebagai konsekuensi dari perilaku opportunistic dan bounded rationality pihak-pihak yang berinteraksi.
Sebagaimana telah disinggung di atas, terdapat, antara lain dua key concepts TCE yang terdiri dari opportunism dan bounded rationality dengan perilaku yang cenderung self-interested. Mengingat bahwa manusia cenderung berperilaku opportunistic dan self-interested, maka semua pertukaran ekonomi (economic exchange) akan lebih efisien apabila diorganisir dalam suatu kontrak. Namun, mengingat keterbatasan rasional manusia (bounded rationality), sangat tidak mungkin untuk memasukkan semua hal-hal kompleks yang berkaitan dengan kontrak dan menyebabkan kontrak yang dihasilkan menjadi tidak sempurna. Sehingga, diperlukan suatu analisis pilihan alternatif kegiatan yang dapat meminimalisasi biaya transaksi yang disebut dengan Transaction Cost Economics (TCE) dalam ikhtisar sebagaimana tabel yang diuraikan Evan berikut ini12 :
10 Ibid, hal. 14.
11 Ronald H. Coase, “The Nature of the Firm” (1937), dikutip oleh Adinur Prasetyo, “Strategi Efisiensi Biaya Transaksi” dalam Jurnal Bisnis dan Birokrasi, Vol. XI, No. 2 (Jakarta, 2003), hal. 10. 12 William M. Evan, Organization Theory : Research and Design (New York, 1993), hal. 16 et seq.
Tabel II.1.
An Overview of Transaction Cost Economics
Keypoint Description
Key Consepts Transaction, market transaction, hierarchical transaction, transaction cost, governance menchanism, bounded rationality, opportunism, asset specificity, uncertainty, frequency
Major Assumption Firm seek to economize on transaction cost
Unit of Analysis Transaction
Key Prepositions Hierarchical transaction costs tend to be lower than market transaction costs under conditions of high asset specificity, high uncertainty, and high frequency
Problem Areas Make or Buy

Sumber : Evan, William M, Organization Theory : Research and Design, New York : MacMillan Publishing Company, 1993, halaman 7 yang diolah.
Terkait dengan perilaku opportunistic yang menjadi salah satu key point dari TCE, Mary Douglas memberikan tanggapan. Salah satu bahasan Douglas adalah analisis terhadap salah satu aspek dari perilaku manusia, yakni opportunistic behaviour dengan cultural theory13. Menurut paham economizing, pada dasarnya manusia cenderung mementingkan diri sendiri dan berperilaku opportunistic, sebagaimana yang dijelaskan oleh Williamson bahwa : “people are self-interested and opportunistic”14. Namun, menurut Douglas, tidak selamanya manusia berperilaku opportunistic atau tidak selamanya niat opportunistic diwujudkan dalam perilaku, tergantung dari budaya yang melatarbelakanginya. Jika diibaratkan dengan gaya potensial dan gaya gerak dalam ilmu fisika, maka opportunistic diibaratkan sebagai gaya potensial, sedangkan perilaku opportunistic diibaratkan sebagai gaya gerak. Dengan kata lain, perilaku opportunistic merupakan niat opportunistic yang sudah diwujudkan dalam perilaku.
Untuk mendukung teorinya yang mengatakan bahwa tidak selamanya niat opportunistic diwujudkan dalam perilaku namun tergantung dari budaya yang melatarbelakanginya, Douglas mengklasifikasikan perilaku opportunistic dalam tabel berikut ini :
Tabel II.2.
Empat Tipe Perilaku Opportunistik

PERILAKU Grid
OPPORTUNISTIK Strong Weak
Group Strong Wolves (serigala) Vultures (burung bangkai)
Weak Donkey (keledai) Hawk (elang)

Sumber : Dorglas, Mary, Converging on Autonomy : Anthropology and Institutional Economics,”Organization Theory : From Chester Barnard to the Present and Beyond, ed. Oliver Williamson, New York : Oxford University Press,1995, hal. 98-115 yang diolah.
13 Mary Douglas,”Converging on Autonomy : Anthropology and Institutional Economics,” OrganizationTheory : From Chester Barnard to the Present and Beyond, ed. Oliver Williamson (New York,1995), hal. 98-115. 14 Paul H. Rubin, Managing Business Transaction : Controlling the Cost of Coordinating, Communicating,and Decision Making (New York, 1990), hal. 162.
Berdasarkan tabel tersebut di atas, opportunistic behaviour sebagaimana yang digambarkan oleh Williamson mengacu kepada tipe perilaku opportunistic elang (hawk). Ibarat elang, orang tipe ini memiliki powerfull untuk berperilaku opportunistic secara individual. Namun, perilaku opportunistic tipe elang ini hanya sebagian dari bermacam-macam tipe opportunistic. Tipe lain, adalah serigala (yakni, perilaku opportunistic timbul dalam kelompok yang terorganisir secara sistematis), burung pemakan bangkai (yakni, perilaku opportunistic timbul setelah ada pioneer atau pihak lain yang memulainya), dan keledai (yakni, orang yang tidak mempunyai keberanian atau powerless untuk berperilaku opportunistic).
II.2. Biaya Transaksi dalam Penghitungan Pajak
Dalam thesis berjudul “Biaya Transaksi dalam Penghitungan Pajak Bidang Usaha Perkebunan”, Sri Rahayu mendefinisikan biaya transaksi dalam penghitungan pajak sebagai semua biaya, diluar pajak terhutang, yang dikeluarkan oleh wajib pajak dalam proses pemenuhan kewajiban perpajakannya, mulai dari merencanakan aspek perpajakan dalam investasinya sampai dengan saat menerima putusan banding dan melunasi pajak terhutang15. Selanjutnya, Sri Rahayu membagi biaya transaksi dalam penghitungan pajak tersebut menjadi biaya resmi dan biaya tidak resmi. Biaya transaksi resmi dalam penghitungan pajak adalah biaya-biaya yang dikeluarkan wajib pajak dalam rangka melakukan pemenuhan kewajiban pajak yang ditunjang oleh tanda terima pembayaran resmi, seperti : biaya fotokopi dokumen yang terkait dengan pemenuhan kewajiban pajak, biaya formulir pajak, biaya transportasi untuk kunjungan wajib pajak ke tempat penyetoran pajak, kantor pajak, kantor konsultan, dan kantor pengadilan pajak, biaya pendidikan dan latihan karyawan dalam bidang perpajakan (seperti biaya kursus, seminar, dan lokakarya pajak), biaya penyimpanan dokumen perpajakan (yang harus disimpan selama sepuluh tahun sesuai ketentuan peraturan perundag-undangan pajak), serta biaya konsultasi pajak dengan akuntan atau konsultan pajak. Sedangkan, biaya transaksi tidak resmi dalam penghitungan pajak adalah biaya-biaya yang dikeluarkan wajib pajak dalam rangka melakukan pemenuhan kewajiban pajak yang tidak ditunjang oleh tanda terima pembayaran resmi, seperti : biaya entertainment dan biaya ucapan terima kasih yang diberikan wajib pajak untuk aparat pajak (fiskus)16.
Sedangkan, dalam thesis berjudul “Biaya Transaksi dalam Penghitungan Pajak Penghasilan atas Konsultan Manajemen”, Setiawan Noviarto membagi biaya transaksi dalam penghitungan pajak menjadi actual cash outlay dan opportunity cost of time. Actual cash outlay adalah semua pengeluaran tunai yang dibayarkan selama menghitung, menyetorkan, melaporkan,
15 Rahayu, Op. Cit., hal. 27. 16 Ibid., hal. 137 et seqq.
serta mempertanggungjawabkan jumlah pajak terhutang. Semua biaya transaksi resmi dan tidak resmi dalam penghitungan pajak yang dibayarkan secara tunai (antara lain, contoh-contoh biaya yang dikemukakan oleh Sri Rahayu dalam paragraf sebelumnya) merupakan actual cash outlay. Sedangkan, opportunity cost of time adalah kerugian yang diderita wajib pajak akibat penghasilan harian atau outputnya berkurang selama melakukan kewajiban perpajakan. Biaya ini merupakan ekuivalen rupiah dari waktu yang dihabiskan wajib pajak dalam melakukan pemenuhan kewajiban pajak17.
Selain dapat dibagi menjadi biaya resmi dan tidak resmi maupun actual cash outlay dan opportunity cost of time, biaya transaksi dalam penghitungan pajak dapat dibagi menjadi biaya transaksi internal dan biaya transaksi eksternal18. Biaya transaksi internal dalam penghitungan pajak adalah biaya pemenuhan kewajiban pajak yang terjadi akibat adanya pertukaran kontraktual antara pihak-pihak dengan informasi tidak lengkap serta memiliki perilaku opportunistic dan rasionalitas terbatas dalam organisasi hirarkis. Jensen dan Meckeling, pakar ilmu organisasi, menyebut biaya transaksi internal ini sebagai biaya keagenan yang timbul akibat adanya agency relationship19. Biaya transaksi internal dalam penghitungan pajak, diantaranya adalah biaya fotokopi dokumen yang terkait dengan pemenuhan kewajiban pajak, biaya formulir pajak, biaya transportasi untuk kunjungan wajib pajak ke tempat penyetoran pajak, kantor pajak, kantor konsultan, dan kantor pengadilan pajak, biaya pendidikan dan latihan karyawan dalam bidang perpajakan (seperti biaya kursus, seminar, dan lokakarya pajak), serta biaya penyimpanan dokumen perpajakan (yang harus disimpan selama sepuluh tahun sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan pajak).
Sedangkan, biaya transaksi eksternal dalam penghitungan pajak adalah biaya pemenuhan kewajiban pajak yang terjadi akibat adanya pertukaran kontraktual antara pihak-pihak dengan informasi tidak lengkap serta memiliki perilaku opportunistic dan rasionalitas terbatas diluar organisasi hirarkis. Biaya transaksi eksternal dalam penghitungan pajak, diantaranya biaya konsultasi pajak dengan akuntan atau konsultan pajak serta biaya entertainment dan biaya ucapan terima kasih yang diberikan wajib pajak kepada fiskus.
17 Setiawan Noviarto, Biaya Transaksi dalam Penghitungan Pajak Penghasilan atas Konsultan Manajemen (Jakarta, 2000), hal. 54. 18 Ibid., hal. 55.
19 Jensen, M.C. dan W.H. Meckeling, “The Theory of the Firm : Managerial Behavior, Agency Costs, andCapital Structure” (1976), dikutip oleh Adinur Prasetyo, “Strategi Efisiensi Biaya Transaksi” dalam Jurnal Bisnis dan Birokrasi, Vol. XI, No. 2 (Jakarta, 2003), hal. 12.

III. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Biaya Transaksi dalam Penghitungan Pajak
Kalau pada bagian II Penulis menguraikan biaya transaksi dalam penghitungan pajak sebagai variabel terikat, maka pada bagian III ini uraian akan terfokus pada beberapa faktor penyebab sebagai variabel independen yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat biaya transaksi dalam penghitungan pajak, meliputi faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan (uncontrollable factor) dan faktor-faktor yang dapat dikendalikan (controllable factor). Faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan adalah faktor-faktor yang cenderung tidak dapat dikendalikan oleh wajib pajak dalam mempengaruhi biaya transaksi penghitungan pajak terkait dengan keadaan perusahaan, seperti skala usaha (yang meliputi antara lain jumlah pajak terhutang dan nilai investasi), jarak tempat wajib pajak dengan kantor tempat pembayaran, kantor pajak, kantor konsultan pajak, dan kantor pengadilan pajak, serta frekuensi kunjungan wajib pajak ke kantor tempat pembayaran pajak dalam rangka menyetorkan pajak terhutang maupun frekuensi kunjungan wajib pajak ke kantor pajak dalam rangka menghitung, melaporkan, dan mempertanggungjawabkan pajak terhutang. Sedangkan, faktor-faktor yang dapat dikendalikan adalah faktor-faktor yang cenderung dapat dikendalikan oleh wajib pajak dalam mempengaruhi biaya transaksi penghitungan pajak terkait dengan perencanaan pajak, seperti ketaatan perpajakan, pembukuan, dan penerapan teknik tax avoidance.
III.1. Faktor-faktor yang Tidak Dapat Dikendalikan
Sebagaimana dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan adalah faktor-faktor yang cenderung tidak dapat dikendalikan oleh wajib pajak dalam mempengaruhi biaya transaksi penghitungan pajak terkait dengan keadaan perusahaan. Sri Rahayu menyebutkan empat variabel independen yang mempengaruhi tinggi rendahnya biaya transaksi dalam penghitungan pajak, terdiri dari jumlah pajak terhutang, jarak, frekuensi kontrak, dan nilai investasi dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Jumlah pajak terhutang ditentukan oleh tarif dari masing-masing jenis pajak pada transaksi tertentu sebagai obyek pajak sesuai ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Variabel ini diukur dalam satuan rupiah dan dihitung berdasarkan jenis-jenis pajak yang dilunasi oleh wajib pajak, termasuk pajak terhutang dalam surat tagihan pajak atau surat ketetapan pajak yang dilunasi;
b. Jarak adalah jarak antara tempat kedudukan wajib pajak dan kantor-kantor yang terkait dengan pemenuhan kewajiban pajak (meliputi kegiatan-kegiatan menghitung, menyetorkan, melaporkan, serta mempertanggungjawabkan pajak terhutang) yang terdiri dari kantor pos/bank persepsi, kantor pajak (yakni, kantor pelayanan pajak, kantor

pemeriksaan dan penyidikan pajak, kantor wilayah pajak, kantor pusat pajak), dan kantor pengadilan pajak. Variabel ini diukur dalam satuan kilometer yang ditempuh wajib pajak dalam melakukan pemenuhan kewajiban perpajakannya;
c. Frekuensi kontrak adalah frekuensi kunjungan wajib pajak ke kantor tempat pembayaran pajak dalam rangka menyetorkan pajak terhutang maupun frekuensi kunjungan wajib pajak ke kantor pajak dalam rangka menghitung, melaporkan, dan mempertanggungjawabkan pajak terhutang; dan,
d. Nilai investasi adalah jumlah dana yang diinvestasikan oleh wajib pajak dalam kegiatan usaha yang diukur dalam satuan rupiah20.

III.2. Faktor-faktor yang Dapat Dikendalikan
Pada pembahasan sebelumnya dijelaskan bahwa faktor-faktor yang dapat dikendalikan adalah faktor-faktor yang cenderung dapat dikendalikan oleh wajib pajak dalam mempengaruhi biaya transaksi penghitungan pajak terkait dengan perencanaan pajak, seperti penerapan teknik tax avoidance, ketaatan perpajakan, dan pembukuan dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Penerapan teknik tax avoidance adalah teknik dan upaya legal yang dilakukan wajib pajak dalam rangka meminimalisir jumlah total biaya pajak (yang meliputi pajak dan biaya transaksi pajak) dengan memanfaatkan celah-celah dalam peraturan perpajakan. Menurut Ngadiman, penerapan teknik tax avoidance harus memenuhi tiga kriteria atau syarat, yakni : bersifat legal (yakni, secara formal sesuai dengan ketentuan perpajakan atau tidak melanggar ketentuan perpajakan), secara cost dan benefit menguntungkan (yakni, perencanaan pajak yang dilakukan menghasilkan tax saving yang memadai), dan tidak mengandung risiko pajak (tax risk) yang tinggi (yakni, rendahnya risiko yang harus dipikul oleh wajib pajak apabila di kemudian hari terdapat pemeriksaan oleh fiskus yang menimbulkan tambahan pajak (yakni, pokok dan/atau sanksi yang terdapat pada surat ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak) akibat perbedaan pendapat antara wajib pajak dan fiskus21. Salah satu teknik tax avoidance yang sering dilakukan wajib pajak adalah pemilihan metode akuntansi yang disesuaikan dengan keadaan cash flow
20 Rahayu, Op. Cit., hal. 26 et. seq.
21 Ngadiman, Tax Planning yang Baik sebagai Upaya Legal untuk Meminimalkan Besarnya Pajak yangHarus Dibayar Sesudah Adanya Pemeriksaan (Jakarta, 1997), hal. 96.
perusahaan dalam rangka minimalisasi pajak terhutang, seperti pemilihan metode penyusutan dipercepat dengan saldo menurun daripada metode penyusutan garis lurus22.
b. Ketaatan pelaksanaan kewajiban perpajakan adalah ketaatan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan secara lengkap, benar, dan tepat waktu dalam rangka menghindari pemborosan sumber daya secara optimal23. Adapun, pemenuhan kewajiban pajak sesuai dengan peraturan (yang meliputi ketaatan jumlah maupun ketaatan waktu) tersebut dapat menghindarkan perusahaan dari kemungkinan dijatuhkannya sanksi administrasi (berupa bunga dan denda) maupun sanksi pidana (berupa denda maupun kurungan atau penjara). Pembayaran sanksi yang tidak seharusnya terjadi merupakan pemborosan sumber daya dan penghindaran pemborosan tersebut merupakan optimalisasi alokasi sumber daya ke arah yang lebih produktif dan efisien24.
c. Pelaksanaan kewajiban pembukuan secara tepat sesuai ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan merupakan salah satu variabel penting dalam pelaksanaan perencanaan pajak yang memadai. Terdapat beberapa indikasi dilakukannya pelaksanaan kewajiban pembukuan yang memadai, diantaranya, adalah : adanya penyimpanan berkas dan bukti transaksi yang dilakukan secara memadai, terdapatnya fungsi yang diberdayakan wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban pajak (seperti, adanya pegawai yang kompeten dalam bidang akuntansi dan pajak yang bertugas melaksanakan pemenuhan kewajiban pajak dari wajib pajak yang bersangkutan), adanya fungsi yang diberdayakan oleh wajib pajak untuk mengawasi pelaksanaan kewajiban perpajakan yang melakukan evaluasi serta menyusun laporan pelaksanaan kewajiban pajak (misalnya, hiring akuntan dan konsultan pajak oleh wajib pajak untuk melakukan pengawasan atas pemenuhan kewajiban pajak yang dilakukan), serta adanya literatur yang mendukung pelaksanaan kewajiban pajak (seperti, buku dan dokumen yang memuat tentang undang-undang perpajakan dan peraturan pendukungnya)25.

Akan lebih menguntungkan secara fiskal bagi perusahaan untuk menerapkan metode penyusutan declining balance daripada straight line, karena metode penyusutan declining balance memberikan suatu nilai penghematan pajak daripada metode straight line sesuai prinsip time value of money yang mengikutsertakan nilai sekarang/present value pada penghitungan dalam kondisi perusahaan yang senantiasa memperoleh keuntungan.23 Ngadiman, Op. Cit., hal. 97. 24 Gunadi, “Tax Management : Legalitas dan Implikasinya terhadap Upaya Peningkatan Penerimaan Pajak” dalam Majalah Berita Pajak No. 1350, Juli, 1997.
25 Ngadiman, Op. Cit., hal. 98.
IV. Penutup
Pada hakekatnya, selain merupakan disinsentif bagi tingkat kepatuhan wajib pajak, tingginya tingkat compliance cost merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat high cost economy dalam suatu negara. Oleh sebab itu, dalam rangka menciptakan sistem perpajakan nasional yang kondusif dan tidak menimbulkan efek kontraproduktif bagi perekonomian nasional, salah satu prinsip dalam pemungutan pajak yang dikemukakan berbagai pakar adalah pencantuman kaidah efisiensi. Dengan prinsip efisiensi tersebut, biaya-biaya yang dikeluarkan oleh wajib pajak dalam rangka pemenuhan kewajiban pajak tersebut (yang disebut dengan compliance cost atau biaya transaksi penghitungan pajak tersebut) tidak memberatkan wajib pajak dan tidak menghambat wajib pajak dalam melakukan pemenuhan kewajiban pajaknya. Selanjutnya, tinggi rendahnya tingkat pembebanan compliance cost atau biaya transaksi penghitungan pajak tersebut dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak yang pada akhirnya juga berpengaruh pada tingkat penerimaan pajak secara nasional.
Terdapat berbagai klasifikasi yang dapat dilakukan terhadap biaya-biaya transaksi dalam penghitungan pajak, diantaranya klasifikasi berdasarkan ketersediaan bukti resmi (yang membagi biaya transaksi dalam dua jenis biaya yang terdiri dari biaya resmi dan tidak resmi), klasifikasi berdasarkan tujuan pembayaran (yang membagi biaya transaksi dalam dua jenis biaya yang terdiri dari biaya internal dan biaya eksternal), serta klasifikasi berdasarkan kenyataan pembayaran (yang membagi biaya transaksi dalam dua jenis biaya yang terdiri dari biaya nyata atau actual cash outlay dan biaya semu yang terdiri dari opportunity cost of time dan psychic cost). Pada dasarnya, biaya transaksi pajak adalah total biaya transaksi yang dikeluarkan oleh wajib pajak dalam rangka pemenuhan kewajiban pajak yang, antara lain, terdiri dari biaya fotokopi dokumen yang terkait dengan pemenuhan kewajiban pajak, biaya formulir pajak, biaya transportasi untuk kunjungan wajib pajak ke tempat penyetoran pajak, kantor pajak, kantor konsultan, dan kantor pengadilan pajak, biaya pendidikan dan latihan karyawan dalam bidang perpajakan (seperti biaya kursus, seminar, dan lokakarya pajak), biaya penyimpanan dokumen perpajakan (yang harus disimpan selama sepuluh tahun sesuai ketentuan peraturan perundag-undangan pajak), biaya konsultasi pajak dengan akuntan atau konsultan pajak, serta biaya entertainment dan biaya ucapan terima kasih yang diberikan wajib pajak untuk aparat pajak (fiskus).
Tinggi rendahnya tingkat pengeluaran biaya transaksi dalam penghitungan pajak dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat dikelompokkan dalam dua faktor utama yang terdiri dari faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan dan faktor-faktor yang dapat dikendalikan. Faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan adalah faktor-faktor yang cenderung tidak dapat dikendalikan oleh wajib pajak dalam mempengaruhi biaya transaksi penghitungan pajak terkait dengan keadaan perusahaan, seperti skala usaha (meliputi, antara lain, jumlah pajak terhutang dan nilai investasi), jarak, dan frekuensi kunjungan. Sedangkan, faktor-faktor yang dapat dikendalikan adalah faktor-faktor yang cenderung dapat dikendalikan oleh wajib pajak dalam mempengaruhi biaya transaksi penghitungan pajak terkait dengan perencanaan pajak, seperti ketaatan perpajakan, pembukuan, dan penerapan teknik tax avoidance. Selain dapat meminimalisasi pajak terhutang, dengan melaksanakan perencanaan pajak secara memadai, wajib pajak dapat meminimalisisasi biaya transaksi dalam penghitungan pajak sejalan dengan maksud studi ekonomi biaya transaksi dari aliran economizing. Dengan melakukan efisiensi atas total biaya pajak, tersedia tambahan penghasilan bagi wajib pajak yang dapat digunakan untuk mendanai kegiatan produktif lainnya. Adapun, skema kerangka teoritis faktor-faktor yang mempengaruhi biaya transaksi penghitungan pajak dalam rangka minimalisasi total biaya pajak dan merupakan ringkasan dari bahasan tersebut di atas dapat dilihat pada gambar IV.1. di bawah ini.
Gambar IV.1. Kerangka Teoritis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Biaya Transaksi Penghitungan Pajak dalam rangka Minimalisasi Total Biaya Pajak26


Biaya Transaksi dalam
Penghitungan Pajak


Minimalisasi Total Biaya Pajak(Pajak + Biaya Transaksi dalam penghitungan Pajak)
Sumber : Rahayu, Sri, Biaya Transaks dalam Penghitungan Pajak Bidang Usaha Perkebunan, Jakarta: thesis , 2001, halaman 89 yang diolah kembali.
Model ini mengadopsi model yang telah dilakukan oleh Sri Rahayu dalam thesisnya yang berjudul “Biaya Transaksi dalam Penghitungan Pajak Bidang Usaha Perkebunan”, namun penulis menambahkan tiga variabel bebas Ketaatan Perpajakan (KP), variabel Pembukuan (Pb) dan variabel Penerapan Teknik Tax Avoidance (PTTA) yang menurut teori yang penulis bangun merupakan variabel penting yang juga mempengaruhi biaya transaksi pajak.
DAFTAR REFERENSI
Coase, Ronald H. 1937. The Natureof the Firm. Economica 4, hal. 386-405
Coase, Ronald H. 1960. The Problem of Social Cost. Journal of Law and Economics 3, hal. 1-44.
Evan, William M. 1993. Organization Theory : Research and Design. New York : MacMillan Publishing Company.
Gunadi. 1996. “Tax Management” : Legalitas dan Implikasinya terhadap Upaya Peningkatan Penerimaan Pajak”, dalam Majalah Berita Pajak No. 1350, Juli, 1997.
Jensen, M.C. dan W.H. Meckeling. 1976. The Theory of the Firm : Managerial Behavior, Agency Costs, and Capital Structure. Journal of Financial Economics 3, hal. 305 - 360.
Ngadiman. 1997. Tax Planning yang Baik sebagai Upaya Legal untuk Meminimalkan Besarnya Pajak yang Harus Dibayar Sesudah Adanya Pemeriksaan. Jakarta : thesis.
Noviarto, Setiawan. 2000. Biaya Transaksi dalam Penghitungan Pajak Penghasilan atas Konsultan Manajemen. Jakarta : thesis.
Nurmantu, Safri. 2003. Pengantar Perpajakan. edisi 2. Jakarta : Granit.
Prasetyo, Adinur. “Strategi Efisiensi Biaya Transaksi”,’ Jurnal Bisnis dan Birokrasi, Vol. XI, No. 2, Mei 2003, hal. 8-18.
Rahayu, Sri. 2001. Biaya Transaksi dalam Penghitungan Pajak Bidang Usaha Perkebunan. Jakarta : thesis.
Rubin, Paul H. 1990. Managing Business Transaction : Controlling the cost of coordinating, communicating, and decision making. New York : The Free Press.
Supranoto. 1996. Biaya Transaksi Nasabah Bank Perkreditan Rakyat. Jakarta : thesis.
Wallschutzky, Ian. 1993. “Minimizing Evasion and Avoidance” dalam Sandford, Cedric (ed). Key Issues in Tax Reform. Bath, England : Fiscal Publication.
Williamson, Oliver E. 1995. Organization Theory : From Chester Barnard to the Present and Beyond. New York : Oxford University Press.
Williamson, Oliver E. 1996. The Mechanisms of Governance. New York : Oxford University Press
BIO DATA PENULIS
Adinur Prasetyo, lahir di Jakarta, 4 April 1969. Tahun 1997 memperoleh gelar Akuntan dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan menjadi wisudawan terbaik dua dari sekitar seratus lima puluh wisudawan akuntan dan tahun 2002 memperoleh gelar Magister Sains dari Program Magister Ilmu Administrasi Kekhususan Administrasi dan Kebijakan Perpajakan Universitas Indonesia dengan predikat sangat memuaskan. Pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang pernah mengajar di beberapa perguruan tinggi (Universitas Trisakti, Universitas Kristen Indonesia, dan STIE Kusuma Negara) serta lembaga kursus pajak (LM Patra, LM Cendekia Mulya, dan LM Mitra Studi) ini, sedang mengikuti Program Doktor Ilmu Administrasi pada Universitas Indonesia sejak tahun 2002.

0 comments: