Saturday 22 March 2008

Good Governance, Demokrasi Keadilan Atas Akses Sumberdaya

Good Governance, Demokrasi Keadilan Atas Akses Sumberdaya
Imam Hanafi, S.Sos, Msi

Indonesia saat ini tengah dilanda krisis multidimensi. Keterbatasan akses atas sumberdaya dan kemampuan manajerial pemerintah adalah pemicunya. Sementara persaingan global dan dominasi negara-negara Barat menjadi atmosfir yang tidak mendukung bahkan memperparah kondisi krisis.
Sumberdaya hanyalah dibawah kuasa sekelompok kecil orang, sementara bagian terbesar dari masyarakat menjadi obyek saja atau terpinggirkan dari setiap bentuk partisipasi dalam proses pengambilan keputusan publik.. Pemerintahan mengarah pada kelemahan bahkan krisis kepemimpinan ketika membiarkan semakin banyak konsentrasi kekayaan pada sedikit orang. Pemerintah juga belum menunjukkan kemampuan untuk memimpin bangsa mendayagunakan kekayaan alam untuk kemaslahatan rakyat banyak. Mereka tidak berdaya atau bahkan mendukung eksploitasi kekayaan alam oleh maskapai-maskapai asing. Sementara sekelompok pemimpin lain berkutat pada pertarungan kekuasaan, Keadaan ini malah membuat trenyuh ketika ada perasaan tidak berdaya yang ditunjukkan oleh pemerintah ketika didikte oleh bangsa asing melalui lembaga-lembaga mternasional.
Multi krisis tadi, bahkan lebih dari itu, sangatlah akrab dalam kehidupan bcrbangsa di tanah air sejak kira-kira tiga tahun lalu dan tak beranjak hingga kini. Berbagai permasalahan tersebut. hanya bisa diatasi bila mayoritas bangsa berupaya bahu membahu mendukung terbentuknya good governance. Tulisan ini, mencermati beberapa persyaratan yang harus kita lakukan bagi terbentuknya good governance, tennasuk beberapa hal yang menjadi tanggungjawab bersama komunitas dunia.


Demokrasi dan Good Governance
Good governance adalah sebuah bentuk kesadaran akan tanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya alam serta dalam menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Good governance juga ada, bila misalnya, polisi menjamin keamanan warga. Begitu pula bila para birokrat menggunakan jabatannya untuk melayani masyarakat luas, bukan untuk memperkaya diri sendiri. Selanjutnya good governance juga berarti implementasi kebijakan sosial-politik untuk kemaslahatan rakyat banyak, bukan hanya untuk kemakmuran orang-per-orang atau kelompok tertentu. Tetapi, persyaratan terpenting bagi good governance, adalah demokrasi. Karena, hanya kelembagaan demokrasi yang mempunyai dua persyaratan mutlak bagi terwujudnya good govemance, yaitu kewajiban akuntabilitas dan kesediaan untuk bereaksi (positif terhadap aspirasi dan kebutuhan dasar para pemilih. Benar, bahwa negara-negara semi-otoriter di Asia Timur misainya, berhasil mencatat pertumbuhan pesat ekonomi negerinya. Tetapi, harga yang harus dibayar adalah pembatasan hak individu, yang biasanya tidak akan disetujui oleh siapa pun secara sukarela. Betapa pun pentingnya struktur demokrasi sebagai persyaratan bagi good governance, hal itu belumlah cukup untuk menjamin munculnya elite yang sadar dan bertanggungjawab. Rusia sebagai contoh. Sepuluh tahun lalu, dunia merayakan kemenangan demokrasi di negara-negara bekas Uni Soviet. Namun kini, orang Rusia semakin kehilangan kepercayaan pada sistem pemerintahan baru mereka. Para elite negara ini, boleh jadi tidak mampu atau bahkan tidak ingin melawan keperkasaan para “'mafia” bawah tanah. Dan, sementara segelintir orang Rusia dalam waktu singkat


Jnrnal Administrasi Negara Vol II, No. 1, September 2001 : 73 " 75

menjadi sangat kaya raya, pemerintah gagal memenuhi kebutuhan rakyat banyak yang semakin miskin. Ketika banyak orang Rusia kedinginan dan lapar, pemerintah yang dipilih secara demokratis melancarkan perang yang sangat mahal di Chechna. Tak heran bahwa, semakin banyak rakyat merindukan masa lalu dimana stabilitas dan lapangan pekerjaan menjadi prioritas, yaitu ketika negerinya masih dikuasai rejim komunis-otoriter. Orang-orang Rusia ini, tidak melihat kegunaan demokrasi, karena mungkin, tidak memahami bahwa demokrasi membutuhkan good governance. Hal yang sama, sebenamya mulai 'menjangkiti' sesama kita di tanah air saat ini yang merindukan masa-masa zaman di zaman Orde Baru. India adalah contoh lainnya. Sebagai negara yang berpenduduk lebih dari satu miliar jiwa, negerinya Mahatma Ghandi ini merpakan negara demokrasi terbesar di dunia. Sejak merdeka lebih dari 50 tahun lalu, secara teratur telah dilaksanakan pemilu. Tetapi, demokrasi tidak mampu menghindari munculnya partai politik fundamentalis, atau menyudahi kebencian antarkelompok serta menahan pemerintah mengucurkan dana miliaran dolar untuk program senjata nuklir sementara jutaan rakyatnya hidup dalam kemiskinan yang pahit.
Kegagalan pemerintah berbagai negara tadi, seakan mempertegas bahwa demokrasi menjadi hambatan bagi terciptanya good governance. Padahal, yang sebenamya, demokrasi bukanlah penyebab dari berbagai permasalahan di atas. Apa yang dibutuhkan oleh negara-negara tersebut, termasuk Indonesia, bukanlah memperkecil tetapi memperbanyak demokrasi. Terlalu sering, demokrasi sekedar didiskusikan dalam aras formal. Kita lalu puas, bahwa asas demokrasi telah ditanamkan dalam konstitusi, tanpa menyadari bahwa demokrasi akan berfungsi bila sebanyak mungkin masyarakat mempunyai akses pada pendidikan dan sumber daya material. Karena, pada dasamya, demokrasi tidak lain adalah sebuah filsafat (radikal) tentang keterlibatan masyarakat. Demokrasi bertumpu pada
keyakinan bahwa lewat wacana publik yang melibatkan semua warga, akan menghasilkan manusia-manusia yang merajut sebuah sistem yang cocok bagi kehidupan bersama. Untuk menciptakan sebuah demokrasi partisipatoris, diperlukan program yang jelas dalam memerangi kemiskinan serta memperluas (kesempatan) pendidikan. Hampir satu miliar anak manusia saat ini, adalah mereka yang buta aksara, sementara 1.3 miliar harus bertahan hidup dengan penghasilan kurang dari satu dolar AS per hari. Kepada para pemimpin dunia, Arias mengusulkan konsentrasi pada tiga bidang berikut, yaitu pengurangan beban utang, peningkatan dana bantuan pembangunan dan pemotongan budget untuk militer. Usulan tersebut, juga relevan bagi Indonesia, seperti yang akan diuraikan berikut ini.
Di banyak negara berkembang, beban utang luar negeri menjadi hambatan signifikan bagi penegakan demokrasi. Ambil contoh Afrika bagian selatan Sahara. Pengeluaran negara-negara di kawasan termiskin dmiia ini, untuk membayar utang luar negerinya empat kali lipat dana yang dialokasikan untuk kesehatan dan pendidikan. Bagaimana dengan Indonesia ? Temyata, krisis ekonomi sejak 1997 telah mengancam kita masuk ke dalam perangkap utang permanen (permanent debt trap). Hal ini, diungkapkan oleh Morgan Stanley Dean Wifter (MSDW), sebuah bank investasi yang berbasis di London. Sebelum krisis, Maret 1996, beban utang jumlahnya sebesar 30 % dari GDP. Awal tahun lalu, jumlah tersebut telah melonjak tajam menjadi 128 % dari GDP. Dengan demikian, kewajiban membayar utang, akan menyerap lebih dari 40 % pendapatan pemerintah selama bertahun-tahun ke depan. (Bank Dunia, April & Mei 2000) Krisis ekonomi yang masih saja berlangsung ini, juga menimbulkan dampak sosial yang sangat serius. Tahun 1993, jumlah penduduk miskin Indonesia tercatat sekitar 22,5 juta. Tahun 1998, jumlah tersebut meningkat drastis menjadi 40 juta. Sementara itu, indikator kesehatan dan kesejahteraan secara umum juga menurun


Good Governance, Demokrasi dan keadilan ...... (Imam Hanafi)

drastis. Kantor UNICEF Jakarta di akhir tahun 1999 misalnya, berkesimpulan bahwa tanpa pengurangan (beban) utang luar negerinya yang sangat berat, Indonesia akan "kehilangan generasi" (lost generation), berupa suatu generasi penerus yang lemah dan bodoh akibat kurang gizi, kurang pendidikan dan kurang sehat. Sebenamya, bila temyata tidak ada langkah nyata pengurangan utang dari pihak kreditor, menurut Prof Kumbert Raffer dari Vienna University, pemerintah Indonesia bisa mengusulkan Ariritrage Insolvency (tidak mampu membayar) dengan mengajukan fakta dan argumennya di depan hakim independen. Dalam pengadilan intemasional ini, suatu negara bisa saja diputuskan memperoleh keringanan atau pembatalan utang luar negerinya karena bertentangan dengan hak asasi mamisia, seperti anak-anak yang tidak sekolah, kekurangan gizi dan sebagainya. Pada saat yang sama, negara-negara industri dituntut agar memperkuat demokrasi dan menunjang good governance di negara-negara berkembang lewat peningkatan dana bantuan pembangunannya. Kini, ketika di banyak sudut duma sangat banyak kebutuhan tak tercukupkan, bantuan dari negara-negara kaya mencapai titik minimum. Kenyataaimya, sejak 1992, bantuan negara-negara kaya disunat menjadi tinggal seperiima. Dari GDP sebesar US $ 22.000 miliar per tahun, hanya sekitar 0,25 persen atau US $ 55 miliar yang disalurkan sebagai bantuan. Janji negara-negara industri untuk meningkatkan bantuan pembangunan menjadi 0.7 persen GDP beberapa tahun lalu, hingga kim hanya dipemihi oleh satu-dua negara. Selain bantuan pembangunan, yang juga diperiukan agar mereka yang tergusur bisa teriibat dalam proses demokratisasi adalah pengurangan anggaran belanja militer. Baik di negara kaya maupun miskin, dana besar untuk pertahanan telah menggerogoti sumber daya yang dibutuhkan untuk layanan sosial. Setiap dolar atau rupiah yang dikeluarkan untuk membeli senjata, terutama senjata canggih yang tidak dibutuhkan demi mengatur keamanan, mengurangi kesempatan memperbaiki kehidupan mereka yang selama ini tidak mempunyai akses pada pemenuhan kebutuhan akan makanan, rumah, pendidikan dan kesehatan. Tidak diragukan bahwa, saat ini, dana militer adalah penyimpangan prioritas kemanusiaan terbesar. Setiap tahun, sekitar US $ 800 miliar dolar dihabiskan untuk membiayai tentara dan perlengakapannya. Padahal, bila US$ 40 miliar saja dari dana tersebut digunakan untuk memerangi kemiskinan, maka dalam waktu sepuluh tahun, semua penduduk bumi ini mempunyai akses pada layanan sosial dasar seperti pendidikan, kesehatan, makanan, sanitasi dan air minum. Jumlah yang sama untuk kurun waktu sepuluh tahun, juga mampu membuat semua penduduk dunia hidup di atas garis kemiskinan. Sesuatu yang seharusnya menggetarkan hati siapa pun, bahwa US$ 80 miliar yang membawa kehidupan ini, tidak lebih dari sepuluh persen pengeluaran untuk militer. Mungkin, banyak dari kita yang pesimis dan menganggap tiga usulan di atas sulit diberlakukan. Tetapi, dalam keterbatasan, setiap dari kita bisa melakukan sesuatu, misalnya dengan mendorong dan menguatkan pemerintah maupun kelompok-kelompok masyarakat madani (civil society) untuk ikut berperan menyuarakan tuntutan tersebut, ke dalam maupun ke luar. Good governance hanya akan mungkin terwujud, bila setiap dari kita secara personel berjuang untuk perbaikan kehidupan, terutama kehidupan mereka yang selama ini masih terpinggirkan.

0 comments: